Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

Sepakat 6 - 10

#Sepakat!
Part 6
by Iim Bundanya Farras.

Raya mendorong pintu kaca itu dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegang bungkusan plastik putih berukuran sedang. Sebuah bunyi khas toko terdengar saat Raya melangkah masuk.
Seorang pramuniaga melihat Raya. Dia langsung menyapa.
"Siang, Mbak Raya? Mau ketemu Mbak Alma, ya?"
"Iya. Alma di mana?"
"Ada di ruang kerjanya. Langsung masuk aja." Pramuniaga itu sudah hafal betul dengan teman bosnya itu.

Raya mengucapkan terima kasih dan langsung berjalan menuju ruang kerja Alma. Kebetulan butik Alma hari ini terlihat lumayan ramai. Mungkin karena akhir pekan.
"Hai, aku nggak ganggu, kan?" sapa Raya saat masuk ke dalam ruang kerja Alma.
Sahabatnya itu tampak sedang menekuri sesuatu. Sepertinya sebuah laporan. Entah keuangan, deadline pesanan, atau persediaan bahan dan perlengkapan.
Wajah cantik itu mengulas senyum lebar. "Nggak, dong. Apalagi kalau bawa makanan."
Raya terkekeh mendengar jawaban dari Alma itu. Tangannya menaruh bungkusan yang dia bawa di atas meja kerja Alma. Tangan Alma dengan cekatan mengeluarkan isi bungkusan itu.

Beberapa menit kemudian, dua sahabat itu sudah asyik mengobrol sambil menikmati rujak buah yang pedas dan nikmat. Terasa segar dimakan di siang hari dengan cuaca yang cukup panas.
"Ray, memang benar kamu mau menikah?" tanya Alma dengan nada hati-hati.
Raya menatap Alma yang pura-pura sibuk dengan potongan buah di depannya. "Iya. Kamu tahu dari mana?"
Alma balas menatap Raya. "Bukan karena aku, kan? Pernikahan bukan hal yang sepele. Jangan pernah berpikir menikah hanya agar mendukung hubunganku dengan Mas Naufal."
Helaan napas Raya terdengar. Matanya dialihkan ke sekeliling ruangan kerja milik Alma. Mengamati sebuah manekin yang memakai baju hasil karya tangan berbakat milik Alma. Sebuah mesin jahit yang biasa dipakai Alma untuk mewujudkan desainnya ke dalam sebentuk penutup raga.
"Kamu jangan berpikir seperti itu, Al. Ini bukan keterpaksaan. Aku merasa ini adalah saatnya. Aku siap, dan ada calon suami potensial. Mengapa harus menunda sesuatu yang baik?"
"Bagaimana dengan cinta?"

Raya menoleh pada Alma lagi. Bibirnya mengulas senyum. "Cinta? Aku mengakui kalau rasa itu belum ada. Tapi bukan berarti itu sesuatu yang menghalangi pernikahan. Banyak orang yang menikah yang awalnya tanpa cinta. Cinta itu suatu rasa yang mirip dengan rasa lain. Dia bisa tumbuh, tapi juga bisa hilang. Lebih baik kalau sekarang belum ada cinta, tapi akhirnya cinta akan tumbuh, kan? Daripada diawali dengan rasa cinta yang menggebu-gebu, tapi akhirnya pudar dan menghilang seiring berjalannya waktu? Benar, kan?"
Alma terus menatap Raya dengan intens. Mencoba menyelami air muka gadis itu yang coba disembunyikan dalam wajah datar. Kemudian dia menghela napas. Menyerah untuk terus mencerca Raya. Dia harus percaya pada sahabatnya itu.

"Kalaupun itu bukan cinta, tapi hatimu kasih pertanda, kan, kalau dia adalah orang yang tepat?"
Raya memang sudah berkali-kali minta petunjuk pada Allah lewat sholat istikharah. Walaupun kadang dia masih meragu pada jawaban yang dia dapat. Namun dia terus berusaha meyakini semua ini.
"Memangnya tandanya apa, Al, kalau hati kita memang mau dia?"
Alma merenung sesaat. Mencoba mengingat apa yang dirasakan hatinya kala berdekatan dengan Naufal dulu. "Mungkin berdebar-debar saat sedang bersama dia," jawab Alma kembali menatap Raya.
"Berdebar-debar? Hm ... sepertinya belum. Justru, aku suka berdebar kalau melihat pria lain."
Alya menegakkan punggungnya. Gesturnya terlihat sangat serius. "Siapa?"
Pandangan Raya seperti orang yang sedang menerawang jauh. "Pria itu jarang aku temui. Tapi kalau ketemu, hatiku suka berdebar kencang. Dia sering bersama dengan rekan kerjanya yang berseragam sama. Membuat aku tiba-tiba harus berhenti untuk menghampirinya. Padahal aku terkadang lupa membawa sesuatu yang sering dia tanyakan."
"Hah? Maksudmu apa dan siapa, sih?" Alma tampak kebingungan.
"Polisi lalu lintas, Al. Aku suka berdebar-debar kalau lihat mereka sedang razia. Padahal aku sering lupa bawa STNK. Lagipula ...."
Ucapan Raya terhenti karena potongan mangga berlumur banyak sambal yang masuk ke mulutnya. Disuapkan oleh Alma dengan wajah gemas sekaligus kesal setengah mati.

****
Kalau bukan karena teror pesan dari Kirana, adik Erlangga, tak mungkin Raya mau pergi ke sini. Sungguh hari Minggu yang buruk. Rencananya untuk menjadi kaum rebahan harus tersingkirkan.
Tapi Raya merasa tak lagi bisa membantah. Kirana benar-benar membuatnya terpojok. Dengan lemah, Raya membaca ulang pesan-pesan yang dikirim oleh Kirana.
[Mbak, bisa tolongin aku, nggak?]
[Pliiiiissss, bisa, dong?]
[Mas El lagi sakit, tapi dia lagi di apartemennya. Dan dia minta tolong beliin obat sama makanan. Tapi aku nggak bisa.]
[Aku sudah terlanjur ada janji sama seniorku. Dia janji mau bantuin aku buat nyari bahan skripsi.]
[Pliiisss, Mbak Raya bisa gantiin aku buat nengok Mas El, kan? Dia nggak repotin kok kalau sakit. Tapi harus segera minum obat dan makan biar cepat sembuh.]
[Kalau urusanku udah kelar, aku langsung nyusul Mbak Raya ke apartemen Mas El.]
[Aku kirimin gambar obat yang biasa diminum Mas El ya, Mbak?]
[Kalau makanannya, apa aja boleh. Tapi kalau bisa yang berkuah bening. Soalnya biasanya kalau lagi drop begini, radang Mas El suka kambuh.]
[Tengkyuuuu, Mbak Raya.]
[Mbak emang iparku debest]

Setelah mengirim gambar merek obat yang harus dibeli Raya, Kirana masih mengirimkan beberapa pesan lagi. Deretan emoticon tersipu, lope, meringis, jempol, dan saudara seperguruannya yang lain.
Raya jadi pusing melihat pesan itu. Fix, untuk beberapa waktu bisa dipastikan kalau Raya akan menghindari untuk memakai gambar berwarna kuning itu. Setidaknya sampai efek mualnya hilang karena sudah dicekoki ratusan emot dari Kirana.
Dan, apa-apaan ini? Mereka tiga bersaudara memang suka semena-mena rupanya. Bahkan Raya belum mengiyakan permintaan tolong Kirana, tapi dengan seenak jidatnya gadis itu merasa kalau Raya tidak keberatan.

Raya juga tak habis pikir kenapa Erlangga harus tinggal di apartemen padahal sedang sakit begini? Harusnya dia ada di rumah saja. Biar ada yang merawatnya.
Untung saja birokrasi masuk ke apartemen ini tidak begitu rumit. Petugas security yang berjaga menelepon unit Erlangga untuk memastikan kalau Raya memang adalah tamunya. Setelah mendapat kejelasan, Raya diperbolehkan naik ke unit apartemen Erlangga yang berada di lantai 16.
Erlangga berdiri di depan pintu saat Raya sampai di unit apartemen dengan nomor 1606 itu. Rupanya pria itu sengaja menunggu Raya.
"Kenapa kamu yang ke sini? Kirana yang telepon kamu?" tanya Erlangga sembari menghela Raya untuk masuk.

Raya masuk ke dalam tempat tinggal pria itu dengan ragu-ragu. Ini pertama kalinya dia masuk ke tempat tinggal laki-laki yang notabene bukan saudaranya. Ini agak ... menakutkan. Apalagi dengan pemberitaan kasus kriminal yang sering diikuti oleh Raya.
Hal itu membuat Raya memutuskan menyimpan sebuah stun gun di dalam tasnya sebelum berangkat ke apartemen Erlangga. Bukannya berprasangka buruk, dia hanya merasa harus waspada.
"Kamu sakit apa, sih?"
Akhirnya Raya bertanya pada Erlangga untuk mengalihkan kegugupan yang melanda dirinya. Erlangga memang terlihat agak pucat tapi dia masih bisa berdiri dan berjalan dengan normal. Oh, suaranya juga terdengar agak serak, sih.
"Cuma agak meriang aja. Sama tenggorokanku sakit."

Erlangga mengambil duduk di sofa yang berada di tengah apartemen. Raya masih berdiri memandang sekeliling. Apartemen ini memiliki ruang tengah yang dilengkapi sofa dan televisi, ruang makan dan dapur yang menjadi satu, serta dua kamar dan satu kamar mandi.
"Duduk, Ara. Nggak capek dari tadi berdiri terus?" tegur Erlangga.
Raya mengambil duduk di posisi paling jauh dari Erlangga. Dahi pria itu mengernyit melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Raya. Gadis itu kelihatan sekali kalau tidak nyaman. Namun berusaha keras untuk menutupinya.
"Kamu bawa apa?" tanya Erlangga dengan telunjuk ke arah bawaan Raya.
Raya tersadar dari kecanggungannya. Meraih paper bag berisi tupperware yang dia bawa dari rumah.
"Ini makanan kamu. Sebelum minum obat, kamu harus makan dulu."
Erlangga terlihat antusias melihat kotak makan yang dikeluarkan oleh Raya. "Kamu yang masak?"
Raya mengangguk. Gadis itu kemudian berdiri hendak mengambil peralatan makan. Namun Erlangga mencegahnya.

"Aku aja. Kamu kan sudah capek masak. Duduk aja. Nyalain TVnya kalau mau nonton."
Erlangga berlalu ke dapur dan kembali dengan membawa piring dan sendok. Juga dua botol air mineral yang masih bersegel.
Matanya berbinar menatap masakan Raya. Ini kali pertama, dia dimasakkan oleh seorang gadis. Apalagi gadis spesial di hidupnya. Membuatnya tanpa sadar mengulas senyum lebar.
"Kamu nggak makan?" tanya Erlangga pada Raya.
"Aku udah makan tadi di rumah. Kamu aja makan yang banyak. Abis itu langsung minum obat," jawab Raya.
Dia mengeluarkan plastik kecil berlogo sebuah apotek dari dalam tasnya. Ada beberapa strip obat dan juga sebotol madu berukuran 500 gram.
"Aku sekalian beliin madu. Ini bagus buat daya tahan tubuh kamu. Minum dua kali sehari. Pagi hari waktu bangun tidur sama pas malam. Kalau bisa minumnya pakai air hangat. Kalau rutin dikonsumsi, insya Allah imunitas kamu lebih bagus."

Erlangga mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Raya dengan senyum lebar. Aneh, tapi hatinya menghangat mendapat sedikit perhatian dari gadis itu. Seperti menemukan oase setelah berhari-hari menahan dahaga dalam perjalanan panjang.
Bahkan rasa sop ayam yang sedikit hambar di lidahnya jadi terasa sangat lezat. Ngomong-ngomong, Raya ternyata orangnya sangat sederhana. Bisa dilihat dari menu masakannya kali ini. Sop ayam, nasi putih, dan nugget ayam. Tapi bagi Erlangga, ini masakan terenak selain masakan mamanya.
"Kamu suka masak?" tanya Erlangga setelah menghabiskan makanan yang dibawakan Raya.
"Jarang, sih. Kenapa? Masakanku nggak enak, ya?" Raya bertanya sambil meringis.
Erlangga menggeleng. "Enak, kok. Biasanya suka masak apa?"
"Aku biasanya masak yang simpel, sih. Paling sayur bayam atau sayur sop. Untuk lauk biasanya aku goreng nugget, telur, atau sosis."
Erlangga melipat bibirnya untuk menyembunyikan senyum yang akan terbit. "Simpel banget, ya?"
Raya mengangguk tanpa tahu kalau Erlangga sedang menahan geli. Dia mengangsurkan obat yang harus diminum oleh Erlangga.

"Makasih," ucap Erlangga kemudian menelan pil itu dengan sisa air mineral di botolnya.
Raya meraih piring kotor dan bekal makan yang dia bawa dari rumah. Bermaksud mencucinya sekalian.
"Nggak usah, Ara. Biar aku aja," cegah Erlangga.
Tapi Raya menggeleng. Membawanya ke tempat mencuci piring. Cuma sedikit ini, batin Raya.
Erlangga mengawasi Raya yang sedang mencuci piring dari tempatnya duduk. Senyum tak kunjung hilang dari bibirnya.
Biasanya selain dia, hanya keluarganya yang pernah berada di apartemen ini. Dia tidak terlalu suka ada orang asing di daerah pribadinya, termasuk tempat tinggal. Namun kali ini berbeda. Melihat Raya di apartemennya, menyiapkan makanan untuknya, dan kini mencuci piring, semuanya terasa pas. Bahkan terlihat indah. Erlangga merasa tak akan keberatan bila disuguhi pemandangan seperti ini setiap hari.
Selesai dengan urusan piring kotor, Raya kembali menghampiri Erlangga. Pria itu masih duduk di tempatnya tadi.
"Terima kasih, ya? Kedatangan kamu benar-benar berharga banget buat aku," ucap Erlangga tulus.
"Nggak masalah. Ya walaupun sebenarnya ini belum menjadi tugasku. Belum jadi istri, tapi aku udah melakukan kewajiban seorang istri. Harusnya sih aku bisa minta hak seorang istri juga, ya?" jawab Raya seraya bergurau. Tangannya meraih botol mineral di atas meja. Minum beberapa tegukan untuk menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Mata Erlangga menyipit dengan senyum jahil. "Kamu menuntut hak karena sudah melakukan kewajiban? Boleh, kok."
"Hah? Maksudnya?" Padahal tadi Raya hanya bercanda. Mana mungkin dia minta bayaran atas bantuan yang dia berikan tadi.
"Ya, mungkin aku bisa nyicil. Bisa dimulai dari memberikan nafkah batin. Gimana menurut kamu?"
Raya tersentak dan langsung berdiri. Satu tangannya masih memegang botol air mineral, sementara tangan yang lain mendekap tubuhnya sendiri. Gestur melindungi diri.
"Jangan macam-macam, ya!" Raya memberi peringatan.

Erlangga masih bergeming. Mengulas senyum yang dibuat terlihat meremehkan peringatan dari Raya. "Aku nggak masalah kok kalau diminta kasih DP duluan."
Raya melotot dan terlihat mulai takut. Pikirannya yang kalut membuatnya reflek melakukan sesuatu di luar kendalinya. Tangannya sukses memukul kepala Erlangga dengan botol air mineral.
"Aww!!!" pekik Erlangga dengan tangan memegang bagian kepalanya yang terkenal pukulan.
Raya yang tersadar akan perbuatannya jadi sedikit merasa bersalah. Apalagi botol di tangannya itu masih lumayan penuh. Pasti sakit sekali rasanya.
"Maaf ... maaf ... aku nggak bermaksud pukul kamu. Sakit, ya?" Wajah Raya mulai menunjukkan penyesalan.
Erlangga menatap Raya dengan wajah kesal. "Menurut kamu aja?"
Tak terima, Raya membalas ucapan Erlangga. "Salah kamu juga. Ngomong sembarangan."
Raya segera berlalu. Mengambil tasnya dan beranjak ke pintu. Erlangga yang melihat itu langsung gelagapan. Padahal tadi niatnya hanya iseng.
"Ara ... oke, aku minta maaf. Tapi jangan pulang dulu." Erlangga berusaha mencegah Raya yang ingin pulang.

Tapi Raya menggeleng kuat. Dia harus pulang. Untuk mencegah hal-hal buruk yang bisa terjadi. Kakinya melangkah ke arah pintu. Sampai di depan pintu, dia membalikkan tubuh ke arah Erlangga yang membuntutinya. Tangannya meraih gagang pintu dan membukanya tapi dengan pandangan tetap ke arah Erlangga.
"Enak aja kamu minta maaf setelah bilang mau kasih DP duluan sebelum nikah. Aku aduin ke Mas Naufal baru tahu rasa. Bisa-bisa kamu bakal disunat lagi." Raya terus memberikan ancaman palsu.
Erlangga menatapnya dengan wajah yang agak memucat. Gesturnya terlihat serba salah. Raya yang melihatnya langsung menyeringai geli. Ternyata pria itu cuma kucing yang sok mau jadi macan.
Namun seringai di bibir Raya lenyap saat dia membalikkan tubuhnya. Menghadap ke arah pintu yang terbuka. Spontan, dia meneriakkan istighfar.
"Astaghfirullah!!!"
Tampak Eyang Ajeng dan Nania yang berdiri di depan pintu unit apartemen Erlangga. Mata Eyang Ajeng menyipit ke arah Raya dan Erlangga. Sementara Nania menutup mulutnya dengan satu punggung tangannya, menahan geli melihat ekspresi lucu dua orang yang baru saja terciduk.
Bersambung ..


#Sepakat!
Part 7

"Jadi, siapa di antara kalian yang mau menjelaskan? Tadi itu apa?" tanya Eyang Ajeng yang duduk di depan Erlangga dan Raya. Keduanya persis seperti tersangka dari sebuah kejahatan kriminal.
Raya yang menunduk dengan takut langsung bereaksi dengan menyikut Erlangga. Memberikan kode agar pria itu yang menjawab pertanyaan dari Eyangnya.
"Nggak ada apa-apa, Eyang. Itu tadi cuma bercanda."
"Bercanda???!"
Raya sampai terlonjak kaget saat mendengar suara menggelegar dari Eyang Ajeng. Nania yang duduk di samping Eyang Ajeng sampai menahan senyum. Antara kasihan tapi juga geli.

"Tadi Eyang dengar soal kasih DP duluan? Kalian pikir Eyang nggak tahu artinya?"
"Tadi itu aku cuma bercanda, Eyang. Tapi Raya salah paham. Kami nggak ngapa-ngapain, kok. Raya ke sini cuma buat nganterin makanan sama obat buat aku." Erlangga coba menjelaskan duduk perkaranya.
Eyang Ajeng mengibaskan tangannya. Gestur yang menunjukkan kalau dia tidak mau tahu. "Pokoknya kalian segera menikah. Secepatnya!"
"Apa?"
"Eyang?"
Reaksi dua orang yang ingin protes itu diabaikan oleh Eyang Ajeng. Dia merasa itu adalah keputusan yang tepat dan final. Tidak mau diganggu gugat lagi.
Raya kembali menyikut rusuk Erlangga. Kini dengan kekuatan eksta hingga pria itu mengaduh. Menatap Raya ingin protes tapi langsung dibalas Raya dengan pelototan tajam. Gadis itu mengedik ke arah Eyang. Erlangga jelas tahu artinya. Dia harus membujuk Eyang agar mengubah keputusannya.
"Eyang, pernikahan nggak semudah itu. Kami memang berniat menikah, tapi kami juga butuh waktu untuk mempersiapkan semuanya," ucap Erlangga mencoba bernegosiasi.
"Nggak mudah memang, tapi ini jelas solusi terbaik. Eyang nggak mau ya proses pembuatan cicit Eyang dilakukan di luar pernikahan," jawab Eyang Ajeng dengan frontal.

"Eyang, kejadian tadi itu nggak seperti yang Eyang pikirkan. Aku sama Raya sudah sama-sama dewasa. Tahu mana yang baik dan mana yang buruk."
"Justru karena kalian sudah dewasa. Harus disegerakan agar tidak terjadi adegan dewasa sebelum waktunya. Mengerti?"
Bahu Raya merosot dengan wajah putus asa. Sementara Erlangga kini mengusap wajahnya dengan frustasi.
Nania yang percaya pada putra dan gadis di hadapannya itu, akhirnya buka suara. Mencoba memberi pembelaan. "Ibu, mungkin mereka masih butuh waktu. Lagipula menyiapkan pernikahan itu bukan perkara mudah. Butuh proses dan waktu yang nggak sebentar."
Eyang Ajeng menoleh dan menatap tajam pada Nania. "Itulah gunanya uang. Bisa mempermudah sesuatu yang sulit, dan mempercepat sesuatu yang prosesnya lama."
Erlangga menegakkan badannya. Mencoba terlihat sangat serius. "Eyang, aku juga merasa belum siap."
"Erlangga Pranadipa ... Kamu cukup siapkan diri dan mahar aja. Lainnya biar diurus sama Mama kamu. Kamu jangan kayak orang susah. Harusnya bisa dong kamu menyiapkan mahar untuk Raya. Paling nggak jangan mau kalah sama Hamish Daud. Kalau dia kasih emas setengah kilogram, kamu bisa kan kasih Raya mahar emas satu kilogram?"
Ketiga orang di ruangan itu yang mendengar ucapan Eyang Ajeng sama-sama tertegun. Tak menyangka kalau Eyang mengikuti berita dari kalangan selebriti. Atau jangan-jangan Eyang juga ikut merasakan hari patah hati nasional itu?

****
Hari-hari berikutnya menjadi moment tidak terlupakan bagi Erlangga. Saat di mana dia berusaha mati-matian meyakinkan Raya agar benar-benar yakin mau menikah dengannya.
"Orientasi hubungan kita memang menikah, kan? Jadi sebenarnya ini sama saja. Hanya waktunya saja yang dipercepat." Erlangga mencoba berargumentasi.
Raya langsung melotot. "Hanya dipercepat? Tapi ini jelas terlalu cepat. Bulan depan kita harus menikah?"
Erlangga menatap Raya dengan tatapan tenang. Berusaha mempengaruhi Raya. "Tapi dalam rencana awal paling lambat kita menikah juga dalam dua bulan ke depan, kan? Ingat lagi apa motivasi utama kamu untuk menikah muda? Agar Naufal segera melamar Alma, kan? Dan Alma akan dijodohkan kurang dari empat bulan lagi."
Raya terdiam. Mau tidak mau membenarkan ucapan Erlangga itu. Walaupun hatinya masih diselimuti oleh keraguan.

"Tapi antara sebulan dan dua bulan itu bedanya lumayan. Setidaknya aku punya tambahan waktu untuk memantapkan hati."
"Ara, percaya sama aku. Aku nggak pernah berniat main-main dengan pernikahan ini. Mungkin ini lebih terdengar seperti kesepakatan, tapi aku benar-benar serius."
Raya meremas tangannya sendiri. Pertanda ada kebimbangan yang menyelimuti hatinya.
"Tapi kamu bisa dipercaya?"
"Tentu."
"Kamu akan setia?"
"Insya Allah."
"Oke, aku mau."
Erlangga tersenyum lebar. Tangannya terulur pada Raya. "Kita usahakan yang terbaik untuk pernikahan kita. Sepakat?"
Raya menatap tangan Erlangga selama beberapa saat. Kemudian menerima uluran itu. "Oke, sepakat!" jawab Raya mencoba terdengar mantap.

****
Erlangga terus menatap langit-langit kamarnya. Hatinya terus gelisah memikirkan apa yang akan dilaksanakan besok pagi. Besok dia akan menikah. Iya, Me-ni-kah.
Berkali-kali, dia terus merapalkan kalimat kabul yang besok harus dia ucapkan. Sekarang sih hafal, tapi tidak tahu kalau besok. Semoga saja dia tidak terlalu gugup. Jadi bisa terhindar dari melakukan sesuatu yang akan mempermalukan diri sendiri seumur hidupnya.
Pikirannya juga sibuk bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Raya sekarang. Apakah gadis itu sudah tidur? Ataukan masih seperti dirinya? Terjaga dengan perasaan cemas.
Tangan Erlangga meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Bermaksud menghubungi Raya. Ditekannya tombol panggil pada kontak bernama 'Calon Istri'.
Namun Erlangga harus menelan rasa kecewa karena panggilan tidak juga diangkat sampai nada dering berakhir. Mungkinkah gadis itu sudah tidur? Ah, tidak adil. Dia di sini dilanda kecemasan, tapi dia malah bisa tidur dengan nyenyak?
Tapi tebakan Erlangga salah karena beberapa saat kemudian ada pesan masuk. Dari kontak milik Raya.

[Apa, sih? Udah malam kenapa mau telepon?]
Tanpa sadar, seulas senyum menghiasi bibir Erlangga setelah membaca pesan itu. Bisa dia bayangkan mimik lucu di wajah Raya saat mengetik pesan itu.
[Jangan galak begitu. Kalau aku kabur dan besok nggak jadi datang gimana?]
Balasan datang dengan cepat karena ternyata Raya juga sedang online.
[Silakan. Aku akan cari suami pengganti. Kayak di novel gitu. Biasanya malah lebih cakep dari calon sebelumnya.]
Bibir Erlangga merengut. Tiba-tiba saja bayangan adiknya muncul. Dia langsung menggelengkan kepalanya saat di benaknya tercipta bayangan Raya dan Tama duduk berdua di pelaminan. Tidak boleh!!!
[Bercanda. Aku pasti datang.]
Erlangga mengirimkan pesan itu. Tapi anehnya tidak terkirim. Dan ternyata Raya sudah offline. Huft! Erlangga mendesah kesal. Dia berniat menggoda saja, tapi kenapa hasilnya jadi hatinya yang kacau?

***
"Saya terima nikah dan kawinnya Narraya Faradina binti Abdul Jaiz dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
"Sah!"
"Alhamdulillah. Baarakallaahu Laka Wa Baaraka ‘Alaika Wa Jama’a Bainakuma Fii Khoir."
Prosesi ijab kabul berjalan lancar. Salah satu hal yang sangat disyukuri oleh Erlangga. Apalagi kalau mengingat dia tidak bisa tidur hampir semalaman.

Dan saat Raya dibimbing untuk mendekat ke arahnya, napas Erlangga tertahan. Padahal dia sudah melihat Raya memakai baju pengantin saat fitting sebelumnya. Tapi kali ini berbeda. Entah karena sapuan make up yang sempurna atau karena aura yang dikeluarkan sebagai seorang istri. Gadis itu terlihat sempurna.
Erlangga seakan terhipnotis. Terpaku dengan wajah mendamba. Bila awal pertemuan membuat Erlangga tertarik, mengenal Raya membuatnya suka, dan kali ini menatap Raya sebagai istrinya yang sah dengan busana dan riasan paripurna, maka Erlangga terang-terangan mengakui kalau dia sudah jatuh cinta. Iya, CINTA.
Erlangga Pranadipa telah jatuh cinta pada istrinya, Narraya Faradina.
Bersambung ....


#Sepakat!
Part 8
Erlangga tak pernah suka berada dalam acara-acara formal. Dia hampir selalu absen saat ada acara di perusahaan papanya. Baginya, berdiri dan mengobrol basa-basi bersama orang yang tidak begitu dikenal itu melelahkan.
Namun lelah itu sungguh tidak dia rasakan saat ini. Justru ada kelegaan yang memenuhi dadanya. Membuat senyumnya tak kunjung hilang.
Tak peduli dengan ratusan tamu undangan yang hadir yang harus dia salami. Semua tak membuat fisiknya melemah. Justru makin semangat karena makin banyak doa yang dia terima.
"Menurutmu saat difoto, aku lebih bagus pakai senyum atau diam yang terlihat misterius?" Pertanyaan yang absurd itu jelas keluar dari mulut Raya.
Erlangga menelengkan kepalanya ke arah Raya. Bermaksud mengamati wajah gadis itu dari dekat. Pilihan yang salah karena kini matanya tak mau beranjak dari objek pandangan. Justru makin tertarik seperti reaksi yang ditimbulkan oleh dua kutub magnet yang berlainan jenis.
"Cantik."
"Yang mana?" tanya Raya merasa kurang jelas dengan jawaban dari Erlangga.
"Coba praktekin. Nanti baru aku nilai."
Raya pun menuruti perintah dari suaminya itu. Bibirnya tertarik ke atas. Menciptakan senyum yang begitu manis hingga Erlangga merasakan napasnya tertahan. Kemudian bibir itu merapat. Menampilkan wajah dengan bibir penuh yang menggoda dan membuat Erlangga penasaran bagaimana rasanya bibir itu. Apakah semanis kelihatannya?
"Yang mana?" Pertanyaan Raya menghentikan imajinasi liar yang mulai terbentuk di dalam pikirannya.
Erlangga berdehem pelan. Melegakan tenggorokan juga meredakan sesuatu yang mulai timbul. Belum waktunya, El, batin Erlangga.
"Sama aja."
Jawaban yang membutuhkan waktu lama tapi begitu mengecewakan dan tidak menjawab pertanyaan Raya. Membuat gadis itu cemberut.
"Tapi karena ini moment istimewa dan akan jadi kenangan seumur hidup, kenapa tidak pilih untuk tersenyum saja?"
Dan Raya menoleh untuk memberikan hadiah senyuman manis bagi Erlangga yang memberikan usul bagus itu.

****
"Sudah, Ray. Lepas, ah! Malu sama keluarga baru kamu." Naufal berusaha mengurai pelukan erat Raya. Namun gagal. Gadis itu tetap bersikeras mendekap tubuh tegap kakaknya. Seakan takut untuk ditinggal pulang.
Tamu-tamu undangan sudah pulang dan hanya tinggal menyisakan beberapa orang saja yang masih ada hubungan keluarga. Juga beberapa pekerja dari WO yang sibuk hilir mudik merampungkan tugas akhir mereka.
"Mas nggak bisa pulang ke tempat kami sekalian aja? Sudah malam, kan? Sekalian nemenin aku." Raya bertanya dengan suara sedikit teredam. Namun Naufal bisa mendengarnya dengan jelas.
Pria itu terkekeh. Geli akan tingkah adiknya itu. Dia diminta untuk menemani pasangan pengantin waktu malam pertama? Oh, dia belum segila itu untuk mengiyakan. Kadang adiknya memang perlu disadarkan agar bisa berpikir lebih peka dan dewasa.

"Kamu sudah menikah sekarang. Jadi berhenti bergantung sama Mas. Sekarang, kamu punya suami yang akan jadi tempatmu bermanja-manja."
Naufal memegang kedua bahu Raya dan mendorongnya dengan lembut. Kali ini Raya tidak melawan. Namun bibirnya terlipat dan matanya membentuk kolam bening. Siap memuntahkan apapun isinya.
Dan kali ini rasanya semakin berat. Andai diberikan pilihan, rasanya Naufal juga tak akan pernah siap untuk menghadapi ini. Melepaskan adiknya, satu-satunya keluarga yang dia miliki, untuk hidup bersama dengan pria yang kini berstatus sebagai suaminya. Kalau tidak malu, ingin rasanya Naufal ikut menangis.
Di belainya lengan Raya dengan lembut. Menahan diri untuk tidak berkedip terlalu banyak agar air matanya tak ikut jatuh. Apalagi melihat pipi adiknya mulai basah.

"Sekarang kamu sudah menikah. Harus bisa berpikir dan bersikap lebih dewasa. Suami kamu sekarang menjadi orang yang paling berhak atas kamu. Berbakti sama dia agar kamu diridhoi olehnya. Dengan begitu, kamu juga akan mendapatkan ridho dari Allah."
"Tugas Mas untuk menjaga kamu memang sudah berpindah sekarang. Tapi bukan berarti Mas akan lepas tangan. Seperti sebelumnya, Mas akan selalu ada buat kamu. Selalu, Ray."
"Sekarang bantu Mas untuk melaksanakan amanah dari almarhum orangtua kita. Kamu jadi istri yang berbakti sama suami. Juga jadi menantu yang baik untuk orangtua Angga karena mereka sekarang adalah orangtua kamu juga."
Naufal mengusap kasar matanya yang basah. Ternyata usahanya agar tidak terlihat lemah gagal. Air mata itu tetap turun juga. Didorongnya bahu Raya dengan lembut ke arah Erlangga. Membiarkan tubuh adiknya itu dirangkul oleh suaminya.

Pandangan mata Naufal kini beralih pada Erlangga. Seorang teman yang kini resmi menjadi iparnya. Seseorang yang sekarang menjadi penanggungjawab bagi kebahagiaan adiknya.
"Ngga, aku serahkan sekarang Raya sama kamu. Bimbing dan selalu lindungi dia. Dia ini memang terlihat kuat tapi sebetulnya hatinya lembut. Dia tak pernah terbiasa mendengar kata-kata kasar. Jadi bila nanti seandainya dia melakukan kesalahan yang membuatmu marah, tolong sabarkan hatimu. Tegur dia dengan kalimat lembut dan membujuk."
"Dia juga kadang masih egois dan suka menang sendiri. Tapi tolong bila suatu saat dia membuat amarahmu datang, lapangkan hatimu dan cobalah mengerti dia. Memang aku terdengar seperti menuntut banyak tapi kamu juga punya adik perempuan, jadi pasti paham posisiku."
"Bila dia nanti masih belum bisa menunaikan tugasnya sebagai istri dengan sempurna, tolong maklumi itu. Sebenarnya itu bukan murni kesalahannya, ada andil kelalaianku dalam membimbingnya. Jadi bantu aku untuk meneruskan tugas yang belum sempat kuselesaikan."
Kini Raya sudah menangis tersedu-sedu. Menyembunyikan sebagian wajahnya di dada Erlangga. Erlangga terus menyimak pesan dari kakak iparitu. Tangannya sendiri tak berhenti memberikan usapan lembut di kepala istrinya.

Naufal memandang mereka dengan mata yang memerah. Kerongkongannya tercekat. Menyulitkan dia untuk bersuara. Tapi dia tetap harus menyampaikan pesannya. Walaupun dengan suara parau.
"Dia juga nggak pintar memasak. Seringnya hanya bisa menyajikan menu masakan yang sederhana dengan bumbu instan. Tapi aku bisa pastikan kalau masakannya dibuat dengan ketulusan."
Raya mengangkat wajahnya dan kembali merangsek ke depan untuk memeluk Naufal. Dengan sedu sedan yang makin keras. Membuat Naufal menghela napas keras. Sedangkan Erlangga hanya tersenyum melihat bagaimana keterikatan antara dua saudara kandung itu.
"Sst ... udahan yang nangis, Raya. Lagian kamu cuma menikah dan pindah rumah aja. Masih di Indonesia. Bahkan kita sama-sama di Jakarta. Kita masih bisa sering ketemu." Naufal mencoba menghibur Raya. Namun gadis itu tak menjawab.
Kali ini, Naufal kembali menatap Erlangga sambil masih memeluk Raya. "Oh ya, pastikan Raya mencicipi dulu gula yang akan dia masukkan ke kopi yang akan dibuatkannya untukmu. Karena dari pengalamanku, dia masih kesulitan membedakan gula dan garam."

****
Raya mengikuti langkah Erlangga yang memasuki apartemen miliknya. Apartemen yang baru saja ditata ulang. Erlangga memang sengaja mengganti design interior apartemen miliknya itu. Biar terlihat lebih hangat, tidak maskulin dengan warna-warna monokrom.
Dan mengapa mereka tidak menghabiskan malam di hotel tempat mereka menyelenggarakan resepsi? Itu adalah keputusan Erlangga. Dia hanya merasa tidak nyaman menghabiskan malam istimewa di tempat asing.
Pemikiran Erlangga memang terkadang aneh. Kirana saja sebenarnya sempat protes. Tapi Erlangga mengabaikannya. Yang terpenting baginya, Raya setuju dan tidak protes.
Bagi Erlangga, tidur dan mungkin akan melakukan 'hal lain' di kamar hotel bukan pilihan yang bagus. Apalagi ini moment penting dan akan dikenang seumur hidup mereka. Tidak ada yang tahu siapa saja yang pernah tidur di kamar hotel itu, kan?

Erlangga membuka pintu kamar utama dan mempersilakan Raya untuk masuk lebih dulu. Raya mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Dia tidak tahu perubahan yang dilakukan karena memang belum pernah masuk ke kamar ini sebelumnya.
"Kamu mandi dulu. Pakai air hangat, ya? Aku mau mandi di kamar mandi yang ada di luar."
Raya hanya mengangguk. Setelah Erlangga keluar dari kamar, baru dia bisa bernapas dengan lega. Tapi jantungnya masih berdetak tidak normal. Pikirannya mulai mengarang bebas tentang apa yang akan terjadi beberapa saat nanti. Dan dia merasa belum siap.

Raya buru-buru mencari koper yang menyimpan barang-barangnya. Koper itu sudah dia packing sejak seminggu lalu dan dibawa ke apartemen ini oleh Kirana dan Tama. Ternyata semua sudah dirapikan ke dalam lemari. Semua pakaian dan beberapa peralatan yang dia bawa.
Raya buru-buru mengambil baju tidur yang dia persiapkan untuk malam ini dan cepat masuk ke dalam kamar mandi. Dia tidak mau keluar dari kamar mandi saat Erlangga sudah ada di dalam kamar juga.
Dan Raya dibuat kembali takjub saat melihat semua perlengkapan mandi dengan merk yang biasa dia pakai sudah tertata rapi. Semua masih baru. Jadi ini sebabnya Kirana sempat menanyakan tentang hal ini. Mau tidak mau, Raya jadi terkesan dengan Erlangga. Ternyata suaminya itu cukup perhatian.
Raya memutuskan tidak menghabiskan waktu yang lama di kamar mandi. Walaupun menggunakan air hangat, dia tetap tak nyaman mandi tengah malam begini. Namun setelah mandi, rasanya memang jauh lebih baik. Badannya terasa jauh lebih segar dan ringan.

Saat keluar kamar, Erlangga belum masuk lagi. Membuat Raya bisa bernapas lega. Biarpun hanya sesaat. Tidak lama kemudian, Erlangga masuk dengan memakai sarung dan baju koko putih. Di mata Raya, Erlangga dengan tampilan seperti itu menjadi tampan berkali lipat.
"Kita sholat sunah dulu, ya?" Erlangga mengajak Raya dan langsung menyiapkan sajadah dan mukena untuk Raya. Lagi-lagi mukena baru.
Bacaan Al Qur'an Erlangga memang tak sebagus Muzzammil, namun Raya cukup mengaguminya. Selesai sholat, Erlangga mengulurkan tangannya pada Raya. Raya menyambutnya dengan kikuk. Jujur, dia belum terbiasa dengan semua ini. Dan ini jelas pengalamannya yang pertama.
"Ara, sini! Aku mau bacakan doa buat kamu," perintah Erlangga.
Raya mendekat. Bergetar saat Erlangga meraih belakang kepalanya dan membawa wajahnya mendekat. Bibir pria itu mendekati ubun-ubun Raya dan mulai membacakan doa untuknya dalam bisikan pelan.
"Allahumma inni as-aluka khaira-ha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a-‘udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi."
Kemudian Erlangga kembali menatap Raya. Tepat di bola matanya. Tangannya bergerak membuka mukena yang dipakai Raya. Menampilkan rambut Raya tanpa penutup.
"Rambutmu bagus. Hitam."
Raya mencoba meredakan kegugupannya yang makin menjadi. "Memangnya kamu kira warna rambutku apa? Hijau?"
Erlangga yang tadi ingin menciptakan moment romantis jadi tertawa. Kadang-kadang apa yang keluar dari mulut Raya memang tidak bisa diprediksi. Ajaib.

Lalu dengan cepat, bibirnya mengecup bibir wanita yang kini resmi jadi istrinya itu. Sekilas dan hanya menempel saja selama dua detik. Mata Raya membelalak terkejut. Tangannya langsung menutupi bibirnya yang baru saja dicium oleh Erlangga.
"My first kiss ...."
Entah itu pernyataan atau protes. Erlangga tidak tahu dan tidak mau tahu. Karena selanjutnya, pria itu menarik Raya berdiri. Melepaskan bawahan mukena yang dipakai Raya. Kini Raya hanya memakai baju tidurnya. Sebuah baju tidur berbahan sutera. Berwarna soft pink yang sangat cocok pada kulit Raya yang kuning langsat.
"Aku akan kasih pengalaman pertama lainnya sama kamu malam ini," bisik Erlangga.
Raya menelan ludahnya. Memekik saat Erlangga mengangkatnya ke dalam gendongan. Kemudian membawanya ke atas tempat tidur. Memulai pengalaman pertama mereka sebagai suami istri.

Bersambung ....


#Sepakat!
Part 9

"Kita mau ke mana, sih?" Raya bertanya pada Erlangga yang fokus pada padatnya lalu lintas sore ini.
Pria itu menoleh sesaat sambil menyunggingkan senyum misterius. "Sabar. Sebentar lagi sampai."
Raya mendesah sebal pada sikap sok rahasia yang ditunjukkan oleh Erlangga. Namun tak protes lagi. Tahu betul kalau pria ini susah dimanipulasi.
Mobil Erlangga berhenti di depan sebuah rumah yang sepertinya baru selesai dibangun. Pria itu turun untuk membuka pagar dan menyuruh Raya untuk tetap di dalam mobil saja. Setelah membuka lebar pagar, Erlangga kembali masuk ke balik kemudi. Membawa mobil masuk ke carport rumah itu.
Erlangga dan Raya turun bersamaan dari mobil. Raya langsung mengedarkan pandangannya. Kemudian menoleh pada suaminya.
"Rumah baru untuk kita?" tebaknya.

Erlangga menggaruk rambut di kepalanya. "Kok kamu bisa langsung nebak, sih?"
Raya tergelak. Apalagi melihat wajah kecewa Erlangga karena gagal memberikan kejutan untuknya.
"Kamu tahu dari mana?" Erlangga tetap merasa ini tidak masuk akal. Pasti ada yang bocor mulutnya hingga rencananya jadi gagal begini.
Raya tersenyum miring. "Kamu yang nyuruh Kirana pura-pura minta pendapatku soal perabot baru untuk rumah temannya, kan?"
Erlangga mengangguk. Dan otaknya mulai menemukan titik terang.
"Aku nggak mau. Tapi Kirana terus memaksa. Aku jadi curiga, terus aku cecar dia. Akhirnya dia ngaku kalau cuma disuruh kamu dengan imbalan tiket nonton Java Jazz Festival. Iya, kan?"
Erlangga mengumpat kesal dalam hati. Ternyata Kirana menipunya. Gagal tapi sok bilang berhasil.
"Udah, nggak usah cemberut begitu. Ayo masuk aja! Aku nggak sabar pengen lihat." Raya meraih lengan Erlangga dan menyeretnya masuk.
Raya memegang dadanya dengan ekspresi takjub. Sangat suka pada rumah baru mereka. Walaupun besar tapi terasa homey. Tidak kaku dan dingin.
"Kamu buat kamarnya banyak amat?" tanya Raya sedikit heran. Padahal mereka masih berdua saja.
Erlangga tersenyum miring dan mendekat ke arah Raya. "Kan aku mau punya anak banyak."
Wajah Raya seketika memerah. Sebulan menikah, bukan berarti dia kebal dengan hal-hal intim seperti itu. Membuat Erlangga justru semakin gemas.
"Boleh, tapi kamu aja yang hamil," balas Raya sekenanya.

Erlangga tertawa terbahak-bahak. Membuat Raya jadi makin kesal. Apalagi saat tangan Erlangga menariknya dengan semena-mena hingga tubuh mereka menempel.
"Sayangnya aku nggak bisa hamil, my Ara. Bisanya menghamili. Mungkin bisa langsung dipraktekkan."
Erlangga kemudian menarik Raya hingga mereka memasuki ruangan yang menjadi kamar utama. Tampak rapi dan siap ditempati. Erlangga berjalan ke arah ranjang dan duduk di bagian tepinya. Dalam satu sentakan tangannya membawa Raya duduk di pangkuannya.
"Mas Aga!" protes Raya.
Dia masih belum terbiasa dan malu bila berada dalam posisi intim begini. Kedua tangannya mendorong bahu Erlangga. Berusaha memberi jarak sejauh mungkin.
"Mau ikutin ajakanku, nggak?" tanya Erlangga. Kedua tangannya memegang sisi pinggang Raya.
"Mas Aga ini masih sore." Raya berusaha mengelak.
Tapi Erlangga justru terkekeh. "Sore atau pagi sama aja. Mau kan, Ra?"
Ajakan itu disuarakan dengan ekspresi manis dan menggemaskan, bagaimana caranya Raya bisa menolak?

****
"Wah, pengantin baru. Auranya bersinar banget, ya? Matahari mah kalah ini," seloroh Kirana saat melihat kedatangan Erlangga dan Raya.
"Udah dua bulan. Bukan baru lagi namanya," elak Raya.
Kirana mencebikkan bibirnya. "Masih baru namanya kalau belum dapat buntut. Ini Mas El bisa nggak sih yang main bola? Kok belum kelihatan hasilnya?"
Erlangga langsung menoyor kepala adik perempuannya itu. "Omongannya anak gadis kok gini amat. Mau aku aduin sama Eyang?" ancam Erlangga.
Kirana langsung menggeleng. Bisa-bisa dia kena ceramah panjang lebar kalau Eyang tahu. Padahal kan dia hanya bercanda. Kadang kakaknya ini memang nggak asyik.
"Kok sepi, Ran? Yang lain pada ke mana?" tanya Raya.
"Papa, Mama, sama Eyang pergi ke Bintaro. Ke tempat Om Aldi. Katanya mau jenguk Tante Sinta yang baru aja pulang dari rumah sakit. Kalau Mas Tama pergi naik gunung bareng teman-temannya."
Kening Raya berkerut. "Perasaanku, Tama sekarang sering banget naik gunung, ya?"

Sejak menikah dengan Erlangga dan resign dari kantor, Raya memang memanggil Denitama dengan sebutan Tama. Mengikuti anggota keluarga yang lain. Tanpa embel-embel 'Mas' karena sekarang statusnya adalah kakak ipar Tama. Walaupun sebenarnya secara usia, Raya masih dibawah Tama.
Kirana mengangguk membenarkan pendapat Raya. "Udah dua kali dalam bulan ini. Aku aja juga heran, Mbak. Memang nggak capek, ya? Pusing kerjaan kantor, masih ditambah naik gunung."
Erlangga lebih memilih menyimak dalam diam. Tidak ikut berkomentar. Padahal dia tahu alasan aktivitas Tama yang gila-gilaan akhir-akhir ini. Bahkan, sedikit rasa bersalah terselip di hatinya.

"Mas El sama Mbak Raya jadi mau ke Jogja?" tanya Kirana sambil menyalakan televisi di depannya. Raya mengambil duduk di sebelah Kirana. Sedangkan El berlalu ke lantai dua di mana kamarnya terletak. Katanya mau mengambil sesuatu untuk dibawa pulang ke rumah.
"Jadi. Acara pernikahannya lusa. Nanti malam, kita udah berangkat."
Pernikahan yang akan dihadiri oleh Erlangga dan Raya adalah pernikahan Naufal dan Alma. Akhirnya pasangan itu akan menikah juga. Walaupun diselipi dengan drama penolakan dari orangtua Alma. Tapi untung saja, Naufal berhasil meyakinkan mereka kalau dia benar-benar mencintai Alma.
Pernikahan diadakan di Jogja karena di sanalah kampung halaman orangtua Alma. Pun keluarga besarnya kebanyakan ada di Jogja dan Jawa tengah.

"Pas di Jogja bisa sekalian jalan-jalan dong, Mbak. Asyik banget pasti. Aku jadi pengen ikut," rengek Kirana.
Gadis ini sudah lulus dan tinggal menunggu wisuda saja. Tapi kadang kelakuannya masih seperti anak kecil saja.
Raya tertawa dan menggeleng. "Mas Aga kayaknya nggak bakal ngebolehin, deh."
Kirana langsung cemberut. "Biar nggak ganggu yang mau bulan madu, ya? Oke, deh. Asal pulang dari sana bawa calon ponakan buat aku."

****
Raya dan Erlangga keluar dari area terminal kedatangan domestik. Dengan wajah lelah, Raya melangkah mengikuti Erlangga yang menarik troley bawaan mereka. Koper berisi pakaian dan beberapa oleh-oleh.
"Kenapa? Capek, ya?" tanya Erlangga dengan lembut.
Raya mengangguk dengan lesu. Entah kenapa tubuhnya terasa lelah. Padahal tidak banyak aktivitas menguras tenaga selama lima hari di Jogja. Atau mungkin ini karena daya tahan tubuhnya yang sedang lemah.
"Nanti istirahat kalau sudah sampai rumah. Atau mau sekalian mampir Spa aja?" Erlangga menawari.
"Nggak. Langsung pulang aja. Aku capek banget."
Erlangga tersenyum. Satu tangannya mengusap kepala Raya dengan lembut. Kemudian menggandeng tangan istrinya menuju deretan antrian taksi.
"Walaupun capek tapi kamu senang, kan? Akhirnya Naufal nikah juga sama Alma. Bukannya ini salah satu cita-cita kamu?"
Raya menoleh ke arah Erlangga dan tersenyum. "Bener banget. Duh nggak sabar pengen cepat dapat ponakan?"
Erlangga tersenyum geli melihat antusiasme dari Raya. Istrinya itu seolah langsung melupakan kelelahan yang sedari tadi dia sampaikan.

Erlangga mengedarkan pandangan di tengah lalu lalang orang dengan kepentingan masing-masing. Ada yang tampak santai, namun banyak juga yang tampak buru-buru. Hingga dia melihat sosok itu. Berdiri beberapa meter di depannya. Tanpa sadar, kaki Erlangga mematung. Membuat Raya yang sedang dalam gandengannya ikut berhenti.
"Lho, kenapa berhenti, Mas?" tanya Raya keheranan.
Namun Erlangga bergeming. Tak menjawab pertanyaan itu. Pandangannya menyipit ke arah objek yang menarik perhatiannya tadi. Kemudian tanpa sadar, dilepaskannya tangan Raya dari genggaman.
Dia harus memastikan kalau dia tidak salah mengenali orang. Tanpa sadar Erlangga melangkah dan semakin mendekat. Objek itu belum sadar akan kehadiran Erlangga di dekatnya.
Tangan Erlangga terulur. Menyentuh pundak orang itu. Terperanjat, dia menoleh dengan cepat. Mungkin karena dari tadi perhatiannya tertuju pada gawai yang dipegangnya, membuatnya cukup terkejut.
Dan wajah itu masuk dalam pandangan Erlangga. Pria itu ternyata tidak salah. Wanita itu masih sama dan tidak banyak berubah secara fisik.
"Mas El?" Wanita itu masih tampak terkejut saat menyebut nama Erlangga.
Erlangga makin menyipitkan matanya. "Gita? Sejak kapan kamu di Jakarta?"
Dan tak jauh dari posisi mereka berdua, Raya berdiri mematung. Menatap penuh tanya pada suami dan wanita yang disapanya.

Bersambung ....

#Sepakat!
Part 10

Wanita bernama Gita itu tersenyum ramah. Tangannya meraih gelas kopi di depannya. Menyesapnya perlahan. Mereka bertiga kini sedang duduk di salah satu gerai makanan yang ada di area bandara.
"Mbak Raya kelihatan masih muda, ya?"

"Iya, umurnya memang dua tahun di bawah umurmu." Erlangga yang menjawab.
Gita mengangguk sambil terus tersenyum. "Berarti selisih enam tahun dengan Mas El?"
Erlangga mengangguk. Wajahnya tampak datar tapi kalau diperhatikan lebih teliti akan terlihat kalau pria itu sedang gelisah.
"Panggil Raya aja," koreksi Raya.
Gita mengangguk sambil menyunggingkan senyum manis. Raya mengamati gadis cantik di depannya dengan diam-diam. Dia merasa ada yang aneh dari sikap yang ditunjukkan Erlangga sejak bertemu dengan Gita tadi.
Dari penuturan Gita, ternyata dia adalah sepupu Erlangga dari pihak almarhumah mama Erlangga. Almarhumah mama Erlangga adalah kakak dari mamanya Gita. Dulu keluarganya tinggal di Jogjakarta, tapi kemudian pindah ke Makassar.

"Maaf nggak bisa hadir waktu pernikahan kalian. Kabarnya mendadak dan Papa nggak bisa ambil cuti. Mas Riza, suamiku juga nggak memungkinkan untuk ambil cuti mendadak."
"Nggak apa-apa. Santai aja," jawab Raya karena Erlangga hanya bungkam.
"Kamu ada urusan apa di Jakarta?" Akhirnya Erlangga buka suara.
Gita terdiam beberapa saat. Seperti terlihat memikirkan jawaban yang akan dia berikan.
"Ada urusan sama teman."
"Urusan apa? Suami kamu kenapa nggak ikut?" cecar Erlangga.
Raya mencubit paha Erlangga yang duduk di sebelahnya. Memberikan peringatan kalau pertanyaannya itu sudah terlalu ikut campur. Namun Erlangga hanya bergeming. Gita yang justru tertawa kecil.

"Urusan sepele aja, kok, Mas. Cuma sebentar. Mas Riza kebetulan sedang sibuk."
"Kamu tinggal di mana selama di Jakarta nanti?"
Raya mengerutkan kening mendengar nada pertanyaan yang disampaikan oleh suaminya. Seperti bukan Erlangga yang biasanya.
Gita menjawab dengan santai. "Mungkin di hotel. Atau aku bisa sewa tempat tinggal untuk sementara. Gampanglah urusan tempat tinggal. Aku juga bisa ...."
"Nggak. Lebih baik kamu tinggal di rumah kita. Lebih aman." Erlangga memotong jawaban Gita.
Wanita itu langsung protes. "Nggak. Aku nggak mau ganggu kalian."
"Nggak apa-apa. Nggak ganggu. Ara juga pasti nggak akan keberatan. Iya kan, Ra?"
Ditodong pertanyaan seperti itu, Raya hanya bisa mengangguk.

****
Raya menatap takjub pada Gita yang tampak cekatan dalam menggunakan perkakas dapur. Terlihat sangat ahli dan berbakat.
"Kamu nggak mau nyobain ikut audisi Master Chef Indonesia?" tanya Raya dengan polos.
Gita tertawa kecil. Namun langsung menggeleng. "Memasak itu memang hobiku. Dan nggak ada keinginan buat mengubahnya jadi profesi."

Raya semakin kagum pada sosok Gita. Sudah cantik, pintar masak juga. Benar-benar wife material. Beruntung orang yang jadi suaminya.
Mereka berdua bersama-sama menata meja makan. Kali ini masakan di meja terlihat ramai dan mengundang. Tidak seperti biasanya. Karena Raya sedang dalam proses belajar memasak. Jadi hidangan yang bisa dia sajikan masih sangat sederhana.
Setelah semua siap, Raya memanggil Erlangga yang sedang sibuk di ruang kerjanya. Pria itu berdecak kagum melihat apa yang ada di meja makan.
"Ini kita lagi pesta atau gimana?" gurau Erlangga.
"Aku sengaja masakin semua kesukaan Mas El. Mumpung aku lagi di sini." Gita menjawab sambil mengambilkan nasi di piring Erlangga.

Dan Raya terpaku melihat itu semua. Dia tahu kalau mereka masih ada hubungan keluarga. Tapi kenapa ada yang aneh di hatinya. Membuatnya merasa kesal tiba-tiba. Namun Raya tahu kalau dia tak boleh bertingkah kekanakan. Maka dia simpan rapat-rapat kekesalannya.
"Gimana, Mas? Enak, nggak?" tanya Gita setelah Erlangga memasukkan satu suapan ke mulutnya.
Pria itu mengunyah sesaat sambil seolah sedang berpikir. Kemudian senyumnya melebar. Jempolnya teracung ke udara.
"Enak. Masakanmu selalu enak. Bahkan lebih enak daripada yang dulu."
Gita tertawa mendengar pujian itu. Namun tidak dengan Raya. Hatinya tiba-tiba terasa bergemuruh. Ada sesuatu yang ingin dia luapkan. Pikirannya tiba-tiba mendapat sebuah kesimpulan. Apakah sekarang dia sedang cemburu? Dengan adik sepupu suaminya? Ini benar-benar memalukan.

****
Sudah hampir seminggu, Gita tinggal di rumah Erlangga dan Raya. Sebenarnya Gita sudah mengungkapkan niatnya untuk mencari tempat tinggal sendiri. Namun hal itu selalu ditentang oleh Erlangga. Membuat Raya jadi kesal pada suaminya itu.
Bukannya membantu pun ada batasnya. Apalagi semakin lama, Gita terlihat semakin tidak nyaman. Dan sikap Erlangga untuk memaksakan keinginannya sungguh tidak bijaksana. Juga menimbulkan kecurigaan Raya pada suaminya itu.
"Kamu belum ada tanda hamil, Ray?" tanya Gita pada suatu siang.
Raya menggeleng. Wajahnya agak mendung bila membahas hal ini.
Gita tersenyum mengerti. "Baru beberapa bulan, kan? Aku sudah hampir empat tahun tapi juga belum punya anak."
Raya menoleh ke arah Gita. Nada suara yang dipakai Gita tadi seperti orang yang putus asa. "Belum, kan? Masih ada harapan. Ada pasangan yang menunggu sampai belasan tahun dan akhirnya berbuah manis."
Gita balas menatap Raya dengan serius. "Tapi kayaknya memang nggak akan bisa, Ray. Karena ... aku mau bercerai dengan suamiku."

Raya tak bisa menutupi ekspresinya yang terkejut. Tak menyangka kalau Gita menyimpan masalah seserius ini. Dari luar, dia memang tampak biasa, siapa sangka kalau ada bom waktu yang disimpannya?
Gita meraih tangan Raya. Menatap dengan pandangan memohon. "Tolong bantu aku untuk bujuk Mas El agar aku bisa pindah dari sini, Ray. Aku harus mulai mengurus berkas untuk diajukan. Tapi aku juga nggak mau kalau Mas El sampai tahu masalah ini."
"Tapi ini masalah besar, Git. Kamu nggak mau berpikir ulang dan mencoba minta pendapat dan masukan dari keluarga kamu. Mas El pasti bisa bantu kamu." Raya coba memberikan saran.
Gita menggeleng dengan wajah sendu. "Justru aku ingin niatku ini terlaksana dengan diam-diam. Masalahnya terlalu rumit untuk aku ceritain ke kamu, Ray. Maaf, ya?"

****
"Mas, Gita kayaknya udah nggak nyaman, deh. Dia berkali-kali ngomong sama aku kalau dia mau pindah rumah."
Raya sengaja mengajak Erlangga untuk berbicara malam itu. Erlangga sedang mengerjakan sesuatu dengan ponselnya. Dia mengangkat wajah dari kesibukannya dan menatap Raya dengan serius.
"Gita yang nyuruh kamu bilang sama aku?"
Mau tak mau Raya mengangguk. Sebenernya selain karena permintaan dari Gita, dia sendiri juga mulai tak nyaman. Biar bagaimanapun, Gita adalah orang asing baginya. Walaupun dia tak boleh egois, tapi hati kecilnya tidak dapat berbohong.
"Memang kenapa sih kok kamu ngotot banget nggak ngebolehin Gita pindah dari sini?" tanya Raya sedikit heran.
Erlangga terlihat tidak siap dengan pertanyaan dari Raya itu. Untuk sesaat dia hanya diam. Mau tidak mau, mulai timbul curiga di hati Raya.

"Aku cuma khawatir aja, Ra. Gita kan perempuan. Dia juga belum pernah tinggal di Jakarta sebelumnya. Apalagi sekarang semakin banyak kasus kejahatan."
"Tapi Gita sudah dewasa, Mas. Umurnya bahkan sudah 25 tahun. Sudah menikah. Pasti dia sudah tahu cara menjaga dirinya sendiri." Raya coba berargumen.
"Tetep aja, Ra. Aku nggak tega melepas dia."
Bahkan kamu nggak sekhawatir ini dulu pada Kirana. Padahal dia juga sempat kos waktu kuliah, Raya bermonolog dalam hatinya.
"Dulu waktu kamu masih kuliah di Jogja, keluarga Gita sudah pindah ke Makassar belum, Mas?" Raya bertanya tiba-tiba.
Ekspresi wajah Erlangga terlihat kaget. Walaupun cuma sekejap karena dia kemudian bisa mengendalikan ekspresinya menjadi datar kembali.
"Belum. Keluarga Gita masih di Jogja."
Tanpa sadar, Raya menghela napas lelah. Bukannya mau berprasangka buruk, tapi hatinya mengatakan kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.
"Lebih baik Mas Aga biarkan Gita pindah kalau kemauannya memang begitu."
"Tapi Ara, dia ...."
"Stop, Mas! Kamu hargai keputusan Gita. Lagipula mungkin ini lebih baik. Biarpun ada ikatan keluarga, dia tetaplah hanya sepupu kamu. Dia bukan mahram bagimu. Tidak baik kalau dia tinggal di sini terlalu lama."
Mendengar keputusan final dari Raya itu, Erlangga tak bisa membantah lagi.

****
"Maaf ya nunggu lama," ucap Raya sembari membukakan pintu untuk Kirana dan Tama yang berkunjung ke rumahnya.
"Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja, kali. Kayak sama siapa aja." Kirana menjawab sambil melangkah masuk diikuti oleh Tama di belakangnya.
"Kalian duduk di ruang tengah aja. Aku mau ke belakang dulu."
Kirana dan Tama menuruti perintah Raya. Mengambil duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Bila Kirana langsung meraih remote dan menyalakan TV, Tama lebih memilih untuk membuka ponselnya.
"Mas El ke mana, Mbak?" tanya Kirana dengan berteriak karena Raya masih berada di dapur. Sedang membuatkan minuman untuk tamunya.
"Kantor." Raya balas berteriak.

Tama yang berada di antara mereka berdua, mengusap telinganya. Mulai berpikir kalau pendengarannya akan terganggu bila lama-lama berdekatan dengan dua orang ini. Cara komunikasi mereka sungguh luar biasa. Tunggu saja sampai Eyang mengetahuinya. Dijamin dua orang ini kan mengikuti les kepribadian yang langsung ditangani oleh Eyang sebagai tutornya.
Raya kembali dari dapur dengan membawa sebuah nampan. Meletakan isinya di atas meja di hadapan Tama dan Kirana.
"Sabtu kok masih ngantor?" tanya Kirana agak heran.
"Ada masalah di website klien, dan kebetulan orang yang pegang klien itu sedang sakit. Sisa tim kewalahan, makanya Mas Aga ikut turun tangan."
Kirana mengangguk-angguk mengerti. Tangannya membantu Raya mengatur minuman dan makanan yang ada di atas meja.
"Eh, browniesnya enak, nih? Beli di mana, Mbak?" Kirana bertanya setelah mencoba mencicipi sepotong kue brownies.
"Oh, bukan beli. Kemarin Gita yang bikin waktu dia masih tinggal di sini."
"Gita? Gita siapa?" tanya Kirana heran. Tama yang berada di sebelahnya mulai ikut menaruh perhatian juga.
"Ih, masa kamu lupa sama sepupu kamu. Gita kan masih sepupu dari almarhumah Mama Sekar," jawab Raya sambil tersenyum saat menjelaskan.

Kini Kirana dan Tama saling berpandangan dengan wajah tak biasa.
"Maksud kamu, Gita anaknya Tante Ayu? Yang sekarang tinggal di Makassar?" Kini Tama yang bertanya.
Raya mengangguk. Heran akan reaksi dua orang di hadapannya ini saat nama Gita dia sebutkan.
"Memang Gita ada di Jakarta? Dan dia sempat tinggal di sini?"
"Iya, sepuluh hari dia di sini. Kami nggak sengaja ketemu dia di bandara waktu balik dari Jogja."
"Terus sekarang dia tinggal di mana?" Tama terus bertanya.
"Apartemen Mas El. Karena memang masih kosong, jadi biar Gita aja yang nempatin. Daripada dia harus sewa apartemen milik orang, lebih baik pakai punya saudara aja. Iya, kan?" Raya terus menjelaskan panjang lebar.
Tama mengangguk mengerti. Namun dari wajahnya jelas terlihat kalau sedang memikirkan sesuatu.
Kirana menatap Raya dengan serius. "Mbak, sebaiknya hati-hati sama Mbak Gita. Dulu, dia itu kan pernah ...."
"Ran! Jangan biasakan ghibah orang, apalagi saudara sendiri!" tegur Tama memotong ucapan Kirana. "Setiap orang punya masa lalu, dan kita nggak berhak menghakimi hidup orang lain."
Wajah Kirana langsung keruh karena mendapat teguran. Namun dia juga tak berani membantah Tama karena dia menyadari kalau ucapan kakaknya itu benar.
Raya sendiri mau tidak mau menjadi penasaran. Tapi tak mungkin juga untuk mencari tahu dari Kirana. Walaupun manja, dia adalah gadis yang penurut, terutama pada kakak-kakaknya.

Bersambung ....