Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

Sepakat 11 - 16 (end)

#Sepakat!
Part 11 by Iim Bundanya Farras.

Raya baru saja mengeluarkan sayuran dari kulkas saat Erlangga keluar dari kamar. Sudah tampak rapi dengan kemeja denim dan celana jeans berwarna hitam.
"Lho, mau ke mana, Mas?" tanya Raya heran. Kecuali ada hal yang penting, Erlangga jarang pergi di hari Sabtu dan Minggu. Apalagi saat masih pukul sembilan pagi seperti ini.
"Aku keluar sebentar, ya, Ra."
"Ke mana?" kejar Raya.

Erlangga melipat bibirnya sesaat sebelum menjawab. "Kantor. Tapi cuma sebentar. Ada yang mau dibahas sama Yudi."
Raya mendesah kecewa. Padahal dia baru saja mau memasak untuk makan siang mereka nanti. Dengan berbekal resep yang dia dapatkan dari internet.
"Nggak makan siang di rumah dong?"
Erlangga mendekat dan merengkuh pinggang istrinya. Membawa tubuh Raya mendekat ke arahnya.
"Sebelum makan siang, aku udah balik kok, Sayang. Udah, jangan cemberut begitu." Erlangga sengaja mencolek hidung mancung Raya. Membuat si empunya mencebik namun kemudian mengulas senyum.

"Oke. Tapi bisa minta tolong dulu, nggak?"
"Apa, Sayang?"
"Tolong beliin tepung serba guna di minimarket dulu. Rencananya aku mau buat jamur krispi. Tapi lupa beli tepungnya."
Erlangga mengangguk dengan senyum lebar. Bibirnya mencium pipi Raya dengan kilat. "Siap!"
Raya menghela napas dengan keras setelah melihat Erlangga keluar dari rumah. Dengan cepat, dia mengambil ponselnya. Memesan taksi konvensional lewat telepon. Setelah itu, Raya buru-buru ke kamar. Menyiapkan baju ganti dan tas yang berisi dompetnya.

Tak beberapa lama kemudian, Erlangga pulang dengan membawa kantong plastik putih berlogo nama sebuah minimarket. Memberikannya pada Raya yang duduk di ruang tengah.
"Itu pesanan Nyonya. Sekalian saya beliin jus jambu merek kesukaan Nyonya juga," canda Erlangga.
Raya menerimanya sambil tertawa. Mengintip isinya untuk memastikan suaminya tidak salah beli. "Makasih, ya, Sayang."
"Sama-sama," jawab Erlangga. Matanya kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya? Biar nggak kesiangan."
Raya mengangguk walau sebenarnya hatinya terasa berat. Namun dia tak mau memperlihatkannya di hadapan Erlangga.
Setelah punggung suaminya menghilang di balik pintu, Raya bergegas berganti baju. Kemudian keluar rumah dan menghampiri taksi yang sudah menunggu. Dia sengaja memberikan alamat tetangga di sebelahnya sehingga taksi tersebut tidak berhenti di depan rumahnya.
"Siang, Mbak. Mau diantar ke mana?" Sang sopir bertanya ramah.
"Keluar dulu ke jalan raya, Pak. Tolong agak cepat, ya."
Sopir itu mengangguk mengiyakan. Untungnya tidak terlambat. Mobil Erlangga terkejar saat hampir keluar dari gerbang kompleks.
"Pak, ikuti mobil hitam di depan itu. Tapi tolong jangan sampai ketahuan, ya, Pak." Raya menahan malu saat memberikan instruksi pada sopir.
"Iya, Mbak." Untungnya sopir itu menjawab tanpa bertanya lebih lanjut.
Sepanjang jalan, Raya terus berdoa dalam hati. Mendoakan untuk kebaikan rumah tangganya. Terutama hubungannya dengan Erlangga. Semoga pikiran buruk yang selama ini melintas di benaknya bukanlah kenyataan yang sebenarnya. Hanya hasil imajinasinya yang berlebihan.
Namun tubuh Raya melemas saat mulai mengetahui kalau jalan yang diambil mobil Erlangga bukanlah jalan menuju kantornya. Melainkan jalan menuju apartemen yang dulu pernah ditempatinya, yang kini ditempati oleh Gita.

****
Raya menarik napas berkali-kali untuk sekedar memenangkan dirinya sendiri. Kemudian melangkah pelan ke arah sekuriti yang sedang bertugas dan kebetulan cukup dikenalnya.
"Siang, Pak Agus." Raya menyapa dengan ramah.
Pria paruh baya itu tersenyum lebar sambil membalas sapaan Raya. "Siang, Mbak Raya. Mau ke atas, ya?"
"Iya, Pak. Janjian sama Mas Erlangga tapi nggak tahu dia sudah sampai atau belum." Raya memberikan pancingan sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Seolah sedang berusaha menghubungi seseorang.
"Mas Erlangga sudah naik, Mbak. Belum lama, sih."
Berhasil. Pak Agus memberikan informasi yang diinginkan Raya.
"Bapak sudah kenal belum dengan orang yang sekarang tinggal di unit Mas Erlangga?"
"Kenal dong, Mbak. Mbak Gita, kan? Adiknya Mas Erlangga."
Raya mengangguk sambil melihat sekeliling. Takut dengan kemunculan Erlangga atau Gita dengan tiba-tiba.
"Ada orang yang sering ke tempat Gita nggak, Pak. Soalnya saya khawatir sama adik saya."
Pak Agus menggeleng. "Nggak pernah, Mbak. Yang sering datang paling cuma Mas Erlangga aja."
"Kalau Mas Erlangga memangnya sering ke sini?" Raya terpaksa mengambil resiko pertanyaannya akan dicurigai. Tapi kepalang tanggung. Dia sudah sangat ingin tahu.
"Kalau Mas Erlangga kan memang setiap hari ke sini, Mbak."
Raya pura-pura tak terkejut dengan informasi itu. Padahal hatinya teremas saat mendengarnya. Menemukan kenyataan kalau selama ini Erlangga telah berbohong padanya.
Apalagi saat ada pesan masuk di ponselnya. Raya segera membuka pesan yang ternyata berasal dari Erlangga itu. Tangannya yang memegang ponsel bergetar saat membaca isi pesan itu.
[Maaf, Sayang, kayaknya meetingnya molor. Mas nggak bisa pulang untuk makan siang. Kamu makan siang sendiri, nggak apa-apa, ya?]

****
Raya berbaring miring di sofa saat Erlangga sampai di rumah. Sudah sekitar pukul tiga sore.
"Udah gede masih nonton kartun aja," komentar Erlangga sembari mengangkat ujung kaki Raya kemudian duduk sambil memangku kedua kaki jenjang itu.
Tapi Raya bergeming. Dia kehilangan minat untuk berbincang. Bahkan sebenarnya enggan untuk bertatapan dengan Erlangga. Hatinya kecewa dan sakit. Amarah memenuhi kepalanya.
"Kok diem aja, sih?" Erlangga menundukkan wajahnya ke arah kepala Raya. Mengamati wajah Raya dalam jarak dekat.
Raya balas tatapan Erlangga dengan tajam. Dia bangun dari tidurnya dan duduk dengan punggung tegak.
"Kamu dari mana, Mas?" tanya Raya.
Wajah Erlangga terlihat pias. Namun kemudian muncul senyum di bibirnya. Agak canggung dan tidak natural.
"Kantor. Emang kenapa, sih? Bukannya tadi aku sudah bilang waktu mau berangkat?"
Raya menutup mata mendengar satu kebohongan lagi dari mulut Erlangga. Hubungan macam apa ini bila sudah diwarnai dengan kebohongan? Juga alasan omong kosong apa yang menyebabkan Erlangga memilih untuk berbohong? Apa yang sebenarnya dia sembunyikan? Semua itu memenuhi isi kepala Raya.
Dengan gerakan mendadak, Raya berdiri dari duduknya. Berjalan ke kamar meninggalkan Erlangga tanpa kata. Membuat Erlangga kaget dan langsung mengejarnya.
"Ara, kamu kenapa? Kamu marah sama aku karena nggak nepatin janji untuk makan siang di rumah?"
Erlangga meraih pergelangan tangan Raya dan menahannya. Menghentikan gerakan Raya yang hampir mencapai pintu kamar. Tangannya yang lain meraih pipi Raya dan menolehkan wajah Raya ke arahnya. Dan Erlangga terpaku saat melihat air mata di pipi istrinya.
"Ra, kamu kenapa? Kenapa menangis?"
Raya tertawa hambar. Bahkan Erlangga tidak pernah merasa kalau dialah penyebab dari tangisannya ini. Tidak mustahil juga kalau dia juga tak merasa bersalah sama sekali.
Namun dia lebih marah kepada dirinya sendiri saat tidak memiliki kekuatan untuk melakukan konfrontasi dengan Erlangga. Justru memilih untuk menghindar.
"Aku agak nggak enak badan. Mau istirahat."

****
Benar kata orang, marah itu menguras jiwa. Baru dua hari, Raya memendam amarah di hatinya. Namun rasanya sungguh sangat tidak menyenangkan. Apalagi bila objek kemarahan adalah suaminya sendiri. Teman serumah, bahkan teman satu tempat tidur.
Raya memutuskan untuk mengakhiri semua ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus minta penjelasan pada Erlangga. Baru nanti dia yang akan menilai. Layak atau tidak, Erlangga mendapat maaf dan kesempatan kedua. Karena jujur saja, dibohongi itu rasanya sakit dan kecewa.
Taksi yang ditumpangi Raya berhenti di depan kantor suaminya. Dia sengaja memilih jam makan siang agar punya alasan untuk mengajak Erlangga bicara. Untuk menunggu sampai Erlangga pulang, rasanya Raya sudah tidak sanggup. Rasa ingin tahunya membumbung. Tentang apa yang melatarbelakangi hubungan aneh Erlangga dan Gita.

Raya sudah beberapa kali datang ke kantor. Pun dia sudah kenal beberapa orang di sini. Jadi tak sulit untuk masuk.
"Eh, Mbak Raya," sapa seorang gadis yang menjadi resepsionis di kantor Erlangga.
"Mas Aga ada, kan?"
"Ada, Mbak. Kebetulan lagi makan siang di ruangannya. Adiknya ke sini. Mbak Raya juga janjian, ya?" Gadis bernama Amel itu menebak.
Raya spontan mengangguk. Padahal dia tidak tahu kalau Kirana ada di sini. Gagal rencananya untuk mengajak bicara Erlangga. Tapi karena sudah terlanjur datang, Raya terpaksa melanjutkan niatnya untuk bertemu Erlangga.
"Kalau begitu, aku masuk dulu, ya, Mel."
"Silakan, Mbak." Amel tersenyum lebar.
Raya berjalan masuk dan langsung menuju ruangan Erlangga. Membalas sapaan beberapa orang yang mengenalnya.
 
Pintu ruangan Erlangga yang terletak di ujung terlihat terbuka lebar. Raya yang bermaksud langsung masuk ke dalam langsung membalikkan tubuhnya saat melihat orang yang berada di dalam ruangan.
Jantungnya bertalu dengan keras. Seluruh tubuhnya goyah. Bukan, bukan Kirana. Adik yang dimaksud Amel ternyata adalah Gita.
Gila! Jerit Raya hanya dalam hati.
Raya menenangkan dirinya sendiri. Untung saat ini jam makan siang jadi tidak ada karyawan yang melihatnya sekarang.

Kemudian Raya mendekat ke arah pintu. Tidak menampakkan tubuhnya. Namun berusaha mencuri dengar pembicaraan di dalam. Agak sulit karena kedua orang itu berbicara dengan nada rendah. Namun karena suasana yang sepi, membantu Raya untuk bisa menyimak.
"Mas, perceraian itu keinginanku. Jadi, aku harap Mas El nggak perlu ikut campur sejauh ini."
Suara perempuan. Dan itu suara Gita.
"Perceraian bukan hal sepele. Aku nggak ikut campur, aku cuma mau tahu alasan kamu mau pisah."
Sekarang giliran suara Erlangga. Ada jeda sesaat untuk Gita menjawab.
"Aku punya alasan tapi Mas El nggak perlu tahu."
"Nggak, Git! Aku perlu tahu kalau ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi dulu. Ada andil Mas di situ." Nada suara Erlangga mulai meninggi.
"Mas, berhenti menyalahkan diri. Kita semua tahu kalau kamu nggak bersalah." Suara Gita melemah.
Terdengar dengusan Erlangga. Sebelum kemudian dia menyahut ucapan Gita. "Bagaimana aku nggak merasa bersalah kalau aku yang sudah menghancurkan masa depan kamu?"
Raya tak sanggup lagi untuk mendengar lebih jauh. Dia mengambil langkah cepat meninggalkan tempat itu. Tak lupa menghampiri Amel dan berpesan agar merahasiakan kedatangannya ini pada Erlangga. Gadis itu jelas keheranan. Tapi akhirnya dia mengiyakan saat Raya terus memaksanya.
Raya bergegas keluar dari gedung perkantoran itu. Berjalan kaki menuju jalan raya. Saat ini yang dia inginkan hanyalah menangis. Tapi harga dirinya masih mengingatkan untuk tidak menangis di depan umum.
Bersambung ....

#Sepakat!
Part 12

Raya membenamkan wajahnya ke bantal. Isak tangisnya begitu menyayat hati. Kesesakan ini sungguh membunuhnya. Menyakiti hingga ke dalam jiwanya.
Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Erlangga? Dia yang menawarkan sebuah komitmen serius berupa pernikahan, tapi dia juga yang menghancurkan hubungan ini. Sungguh tidak bisa dimengerti.
Dan hubungan sialan apa yang sebenarnya terjadi di antara dua orang sepupu itu? Dengan semua yang dia lihat dan dengar, Raya tak akan percaya kalau Erlangga mengatakan mereka hanya sepupu biasa saja. Jelas pernah ada sesuatu yang terjadi di antara mereka di masa lalu.
Pikiran-pikiran Raya terus berimajinasi dengan liar. Memikirkan semua kemungkinan yang pernah terjadi. Apakah dulu mereka pernah menjalin kasih tapi terhalang keluarga? Saudara sepupu memang bukan mahram dan bisa menikah. Tapi tak bisa dipungkiri kalau hal itu masih dianggap tabu bagi sebagian besar masyarakat.

Selain karena dianggap tidak menambah saudara dan keluarga, juga ada ketakutan akan keturunan yang tidak sempurna dari pernikahan seperti itu. Pernikahan dua orang yang memiliki hubungan darah yang dekat dikatakan memiliki beberapa resiko kesehatan. Salah satunya kelainan genetik pada anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Entah valid atau tidak riset tersebut, Raya juga kurang tahu.
Raya segera mengambil keputusan. Dia harus minta konfirmasi dari Erlangga. Semua harus diselesaikan dengan segera. Bahkan, Raya sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Salah satunya adalah perpisahan.
Air mata Raya kembali mengalir saat membayangkan pernikahan yang baru seumur jagung ini harus kandas. Tapi rasanya juga tak mungkin bertahan dalam keadaan seperti ini. Dia tetaplah perempuan yang ingin dinomorsatukan. Mutlak, dan tak rela berbagi.

Menjelang jam kepulangan Erlangga, Raya segera membenahi penampilannya. Menyamarkan matanya yang bengkak dengan sapuan make up. Juga tak lupa menyiapkan mental. Dia punya firasat kalau malam ini adalah malam yang berat. Mungkin yang terberat selama masa pernikahannya.
Raya menyambut Erlangga seperti biasanya. Berusaha sekeras mungkin untuk bersikap normal. Walaupun kenyataannya itu sangat sulit.
Setelah makan malam, mereka berdua duduk di sofa ruang tengah. Menikmati acara yang disajikan oleh stasiun televisi. Biasanya, saat seperti ini mereka saling menceritakan aktivitas masing-masing seharian. Tapi kali ini, suasananya jelas berbeda. Raya terlihat kaku dan tegang.
"Mas, tadi aku diajak makan siang sama Alma. Kita nyobain restoran baru. Lokasinya dekat sama butik Alma."

Erlangga menoleh dan tersenyum. "Asyik, dong. Gimana restorannya? Cozy? Makanannya enak? Instragamable?" tanya Erlangga yang kemudian tertawa.
Raya memaksakan diri untuk tertawa juga. Dia hanya berharap kalau tawanya tidak mirip dengan ringisan.
"Lumayan enak, sih, Mas. Tempatnya juga nyaman. Kalau Mas makan siang di mana tadi? Sama siapa?"
Erlangga tampak menegang. Walaupun pandangannya mengarah pada televisi di depannya, namun Raya bisa melihat ketegangan itu dari gestur tubuhnya.
Dia bahkan berdehem beberapa kali sebelum menjawab. "Aku makan siang bareng anak-anak. Biasalah. Kita makan di warung makan Sunda yang ada di belakang kantor."

Sungguh, hati Raya pedih saat mendengar satu kebohongan lagi dari mulut Erlangga. Lebih sakit daripada ketika dia mendengar percakapan Erlangga dan Gita tadi siang. Karena hati kecilnya masih berharap Erlangga mau berkata jujur padanya. Sepahit apapun, dia lebih memilih kejujuran daripada disajikan kebohongan yang manis.
Raya memejamkan matanya. Mengatur napasnya agar lebih tenang. Dan saat dia membuka mata, dia siap mengambil keputusan. Biarpun ini sangat berat untuknya.
"Mas, kita pisah aja, ya?"

Erlangga menoleh dengan cepat. Matanya membulat kaget. "Apa, Ra?"
Raya balik menatap Erlangga. Menantang mata hitam legam itu untuk saling beradu pandang. Menunjukkan keseriusan dalam setiap kata yang terucap.
"Ayo kita akhiri hubungan ini."
Erlangga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tapi matanya menyiratkan kekhawatiran. "Nggak lucu bercanda kamu."
Tapi Raya tak goyah. Masih tidak mengalihkan pandangan barang satu inci pun. "Aku nggak bercanda. Serius banget malah. Kita pisah aja. Aku sudah nggak sanggup."
Kedua tangan Erlangga hinggap di bahu Raya. Mengguncangnya dengan pelan. Matanya masih menelisik wajah Raya.
"Kenapa, Ra? Kamu marah sama aku? Aku punya salah sama kamu? Bilang apa salahku, Ra. Kalau perlu marah dan maki aku kalau memang itu bisa bikin kamu lega. Tapi please, jangan minta pisah." Suara Erlangga mulai tidak stabil. Kalut menyerangnya.
Telapak tangan Raya melingkupi tangan Erlangga yang berada di atas bahunya. Menggenggam tangan itu agar menyingkir dari bahunya. Dia menghela napas dengan keras. Menetapkan hatinya agar kuat.
"Aku sudah tahu kebohongan kamu. Setiap hari kamu pulang terlambat, akhir pekan untuk meeting, semua itu bohong, kan? Karena kenyataannya, kamu pergi ke tempat Gita."
Erlangga hanya terpaku. Raya masih melanjutkan ucapannya. "Juga tadi siang. Kamu makan siang sama Gita, kan?"
"Ra ...."
Raya mengangkat tangannya. Menghentikan Erlangga yang akan bicara.
"Tak perlu kasih penjelasan apapun bila akhirnya hanya akan menambah daftar kebohongan kamu, Mas."

"Tapi aku harus kasih penjelasan, Ra. Beri aku kesempatan," pinta Erlangga.
Raya tersenyum. Terlihat pilu. "Sudah. Aku sudah mencoba memberikanmu kesempatan tadi. Tapi kamu justru memilih untuk berbohong. Dari kemarin, aku menunggu inisiatif darimu untuk jujur padaku. Tapi kamu hanya diam saja. Bahkan aku yakin kalau aku tidak tahu saat ini, mungkin besok akan ada kebohongan lain lagi yang tercipta."
Raya mengusap matanya yang terasa panas sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku bisa bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta, Mas. Tapi aku nggak akan pernah bisa hidup bersama orang yang nggak bisa kupercaya. Jujur saja, rasa kepercayaan yang aku miliki untukmu sudah rusak, Mas. Susah untuk diperbaiki lagi."
"Ra, aku benar-benar minta maaf. Maaf untuk semua kebohonganku. Aku nggak bermaksud menutupi semuanya dari kamu. Aku hanya mencoba menghindari salah paham. Tapi tolong berikan aku satu kesempatan."

Raya menggeleng dengan mata yang kembali mulai berembun. Hatinya belum sekeras batu. Melihat Erlangga yang memohon seperti itu bisa-bisa membuatnya goyah. Sementara keputusannya sudah bulat. Dia tak mau menyesal di akhir nanti. Lebih baik sakit sekarang. Dia masih bisa mengobatinya seiring berjalan waktu.
Sambil menahan diri untuk tidak menangis, Raya beranjak berdiri. Melangkah meninggalkan Erlangga yang masih terduduk di sofa. Menuju kamar dan keluar dengan koper yang sudah dia siapkan dari sore tadi.
Erlangga yang mendengar bunyi roda koper yang bergesekan dengan lantai langsung menoleh seketika. Wajahnya pias melihat Raya yang seolah memang sudah siap untuk pergi darinya. Dia menghadang langkah Raya dengan cepat.
"Ra, kita bisa bicarakan baik-baik masalah ini. Jangan ambil keputusan di saat masih emosi seperti ini." Erlangga berusaha membujuk.
"Dari tadi, kita bicara baik-baik, kan, Mas? Kita nggak cakar-cakaran. Dan aku sudah bulat dengan keputusanku ini. Tolong lepaskan aku, Mas?"
"Ra, ini terlalu berlebihan. Masalahnya hanya sepele. Kita ...."
"Sepele?" teriak Raya memotong ucapan Erlangga. "Kamu bilang masalah ini sepele, Mas? Berarti tolak ukur kita dalam menilai masalah mungkin berbeda. Karena bagiku, kejujuran adalah hal yang penting dalam sebuah hubungan. Apalagi pernikahan."
"Tapi Ra ...."
"Lepaskan aku sekarang juga, Mas. Sebelum aku makin benci sama kamu."
"Ra, semudah itukah kamu mau pergi meninggalkan aku? Aku akan coba perbaiki kesalahan yang sudah kulakukan. Tapi tolong, Ra ... tolong jangan pergi."
"Kamu bisa jujur soal masalah Gita?" tantang Raya.

Erlangga terdiam. Tanpa suara beberapa saat. Membuat Raya mengulas senyum sedih. "Oke, aku udah dapat jawaban kamu. Sekarang tolong talak aku, Mas."
"Nggak!" Spontan Erlangga menjawab dengan teriakan. "Jangan harap aku lakuin itu, Ra!"
"Mas, jangan egois. Kamu harusnya mengerti posisiku."
"Memangnya nggak ada cinta untukku yang mungkin bisa buat kamu bertahan di sisiku, Ra?" tanya Erlangga dengan sorot mata putus asa.
Raya menunduk dalam-dalam. Tak kuasa melihat tatapan itu. Dengan terpaksa, dia menggeleng dengan jelas. Sebuah kebohongan mutlak. Karena sesungguhnya hatinya telah mengukirkan nama Erlangga. Entah sejak kapan, Raya sendiri tidak tahu pasti.
Erlangga menekan pangkal hidungnya sambil menahan sesak yang tiba-tiba melandanya. Apa yang lebih egois daripada berkeras mempertahankan orang yang tidak mencintai kita? Padahal jelas-jelas orang tersebut memilih untuk pergi. Sungguh, ini bukan keputusan yang mudah.
Tapi bagi Erlangga, fase tertinggi dalam mencintai justru adalah saat kita berani melepas orang yang kita cintai agar bahagia. Jadi, kalau memang ini yang diinginkan Raya maka akan dia lakukan. Walaupun sebenarnya ini sungguh membunuh jiwanya sendiri.
"Aku ceraikan kamu, Narraya, mulai detik ini kita bukan suami istri lagi!"
Bersambung ....

#Sepakat!
Part 13

Brama mendekati putra sulungnya yang duduk di teras belakang. Duduk sambil menatap ke depan dengan pandangan kosong. Erlangga bahkan tidak menyadari kehadiran papanya itu. Hingga terdengar deheman dari Brama, baru Erlangga menoleh.
"Kamu kenapa, El? Ada masalah di kantor?" tanya Brama. Pria paruh baya itu mendudukkan diri di salah satu kursi kosong.
"Nggak, Pa. Sejauh ini masih terkendali."
"Ada masalah dengan Raya?" tanya Brama lagi.
Kali ini Erlangga menoleh pada papanya itu. Sesaat anak dan ayah itu saling beradu pandang. Kemudian Erlangga menggeleng.
"Terus Raya kenapa nggak ikut ke sini?" Brama terus mencecar.
"Dia lagi ke rumah kakaknya, Pa. Aku tadi sudah bilang, kan, waktu Eyang tanya."
"Dan kamu pikir Papa semudah itu dibohongi seperti Eyang? Kalau hubungan kalian baik-baik saja, kalian akan memilih salah satu tempat untuk dikunjungi bersama. Bukannya malah yang satu ke mana, yang satunya lagi ke mana." Brama masih tampak tenang.

Erlangga mendesah. Jelas dia tahu kalau papanya punya daya analisis yang bagus. Dan mungkin dia harus menceritakan masalah yang kini sedang dia hadapi. Ini masalah besar yang tidak bisa dia simpan sendiri. Dan kalau keluarganya harus tahu, Erlangga akan memilih papanya sebagai orang yang harus tahu pertama kali.
"Aku dan Ara sudah pisah, Pa. Aku sudah talak Narraya."
Brama menoleh seketika. Terkejut tak menyangka masalahnya sudah sedemikian serius.
"Erlangga Pranadipa! Papa nggak membesarkan kamu untuk jadi pecundang!" desis Brama tajam. Menahan amarah dalam suara pelan. Dia tak mau ada anggota keluarga lain yang mendengarnya.
Erlangga tidak membantah. Dia memang pantas disebut pecundang. Tak bisa mempertahankan pernikahannya yang masih berumur beberapa bulan saja. Sungguh pemimpin yang mengenaskan.

"Masalahnya apa?" Brama mulai mengolah emosinya. Dia harus mengambil tindakan bila memang keadaannya separah itu. Dan yang pertama harus dia lakukan adalah mengetahui duduk perkara masalahnya.
Erlangga sebenarnya enggan membuka cerita ini. Sungguh memalukan karena masih harus melibatkan orang tua dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri.
Tapi kenyataannya, dia memang sepayah itu. Mempertahankan istrinya saja tidak becus. Padahal seharusnya dia bisa memberikan perlindungan, bukannya justru membuat istrinya terluka dan memilih pergi.
"Ara kecewa sama aku, Pa. Aku nggak jujur soal Gita."
Brama tampak kaget. "Gita? Memang Gita ada di Jakarta?"
Erlangga mengangguk lemah. "Iya, Pa. Hampir sebulan, dia ada di Jakarta. Malah katanya mau bercerai dengan suaminya."
Erlangga pun menceritakan detail tentang apa yang terjadi selama ini. Mulai dari pertemuan tak sengaja dengan Gita di bandara sampai kesalahpahaman antara dia dan Raya.
"Kenapa kamu nggak menceritakan soal Gita pada Raya? Biar dia nggak salah paham."
"Aku nggak bisa, Pa. Aku udah janji sama Gita untuk menyimpan rahasia itu selamanya. Bahkan dalam keluarga kita, cuma aku, Papa, dan Mama aja yang tahu masalah ini. Tama, Kirana, dan Eyang nggak pernah tahu detailnya bagaimana."

Brama menggelengkan kepalanya dengan kesal. "Tapi kalau menyimpan rahasia itu malah menimbulkan masalah buat rumah tangga kamu, itu jelas pilihan yang salah, El! Lagipula, Raya itu istri kamu. Papa rasa dia berhak tahu."
"Aku malu sama Ara, Pa. Takut juga. Seandainya dia kecewa denganku gara-gara masalah itu."
"Pikiran kamu itu konyol, El. Dari mana kamu tahu kalau kamu aja masih simpan rapat masalah itu dari Raya? Jadi kalian bertengkar dan akhirnya berpisah karena ini?"
Dengan berat hati, Erlangga mengangguk.
"El, kamu dengar Papa baik-baik. Semua yang terjadi di masa lalu harusnya bisa kita ambil hikmahnya. Bukannya malah merusak apa yang ada di masa kini. Gita saja sudah berdamai dengan masa lalunya. Kenapa malah kamu yang kelihatan masih belum bisa berdamai dengan dirimu sendiri?"
"Susah, Pa." Erlangga menyugar rambutnya dengan frustrasi.
"Jadi kamu lebih memilih melepaskan Raya, Istri kamu?"
"Nggak, Pa. Aku terpaksa kemarin. Kalau bukan Raya yang minta pisah, aku nggak mungkin mengucap talak."

Brama tertawa mendengar penjelasan Erlangga. Tawa jengkel, tentunya.
"Kamu mengucap talak karena istri kamu yang minta? Astaga, Erlangga ... kamu ini benar-benar anak Papa bukan, sih?"
Erlangga menatap Brama. Papanya adalah orang yang jarang ikut campur masalah anak-anaknya kecuali bila memang sangat diperlukan.
"Kamu tahu kenapa talak menjadi hak suami, bukan hak istri?" tanya Brama pada putra sulungnya. Erlangga menjawab dengan gelengan.
"Karena fitrahnya memang begitu. Laki-laki diberikan kelebihan dalam hal ini oleh Allah. Karena kaum kita lebih sering bertindak berdasarkan logika dan akal sehat. Tidak mengedepankan emosi. Kita juga pemimpin bagi perempuan yang menjadi istri kita. Jadi kita yang menentukan baik buruknya rumah tangga dan isinya. Dan kamu malah mengabulkan permintaan istrimu yang dilandasi oleh kesalahpahaman? Bodoh namanya itu, El!"
"Tapi Ara bilang sudah nggak mau hidup sama aku lagi, Pa. Semua alasan untuk bertahan sudah nggak ada. Kepercayaan ataupun ... cinta," ucap Erlangga melemah di akhir kalimat.
Mata Brama menyipit. Mengamati Erlangga yang kini menunduk dengan tangan memijit pelipisnya sendiri.

"Cinta? Kamu memutuskan menceraikan Raya karena dia bilang begitu? Dan kamu percaya?"
Erlangga menghembuskan napas dengan keras. Lelah dengan topik pembicaraan ini. Walaupun usianya sudah hampir 30 tahun, tetap saja dia patah hati saat tahu kalau cintanya bertepuk sebelah tangan.
"Bukannya egois kalau kita bersikeras mempertahankan orang yang tidak mencintai kita? Dan aku memilih buat melepas Ara daripada dia menderita kalau bertahan denganku, Pa."
Brama kembali menggelengkan kepalanya berkali-kali. Kadang memang lucu kalau sudah menyangkut hati dan perasaan. Bahkan putranya yang tergolong jenius ini bisa begitu bodoh membaca perasaan perempuan.

"Perempuan itu suka mengekspresikan perasaan lewat tindakan, El. Dan menurutmu kenapa Raya nggak nyaman melihat perlakuan dan perhatian kamu pada Gita?"
Erlangga mengangkat bahu. Entah tidak tahu atau tidak bisa menebak.
"Jelas karena dia ada rasa ke kamu, El. Dia merasa tersaingi. Istilah populernya cemburu. Raya cemburu pada Gita. Dan orang hanya akan merasakan cemburu bila hatinya memendam cinta. Selebihnya, bisa kamu pikirkan sendiri."
Brama melihat anaknya itu mulai mencerna ucapannya. Dia kemudian melanjutkan nasihatnya. "Kalau kamu cinta sama istrimu, El, harusnya kamu nggak lepasin dia. Tapi kamu berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan dia. Kalau dia bilang tak bahagia, ya kamu harus berusaha keras membuat dia bahagia. Dia bilang nggak bisa percaya sama kamu, ya berarti kamu harus berupaya keras mengembalikan kepercayaan dia sama kamu. Cinta itu memang perlu diperjuangkan, El. Bukan cuma berharap aja. Begitulah cara kerja laki-laki sejati."

Erlangga tampak sungguh-sungguh menyimak masukan dari papanya itu. Pria yang jelas lebih punya banyak pengalaman daripada dirinya.
"Menurut Papa, aku masih punya kesempatan?"
Tangan papanya terulur. Menepuk bahu Erlangga. Bibirnya tersenyum hangat.
"Kesempatan itu diciptakan, El. Bukan ditunggu atau dicari."
Erlangga mengangguk mengerti. Tekadnya sudah bulat sekarang. Dia harus berusaha meraih Ara kembali. Apapun akan dia lakukan.
"Pa, aku mau balik sekarang. Mau ke rumah Naufal." Erlangga pamit seraya beranjak berdiri.
Brama tersenyum senang melihat semangat putranya mulai bangkit kembali. Dia mengangguk sambil mengangkat jempolnya.
Tepat saat Erlangga hampir mencapai pintu penghubung teras belakang dan ruang makan, Brama memanggil namanya. Ayah kandung Erlangga itu mengucapkan kalimat yang hampir membuat Erlangga ingin mengumpat.
"Kamu harus gerak cepat, El. Kalau nggak mau status Raya berubah dari istri menjadi adik ipar. Sekarang posisimu memang menang. Tapi kalau Raya sudah resmi bebas, jangan harap ada yang mau mengalah sekali lagi."

****
Raya perlahan membuka matanya yang terpejam. Kepalanya terasa sedikit pusing. Bau disinfektan tercium oleh hidungnya.
"Kamu sudah sadar?"
Suara seorang pria menyapa telinganya. Raya menyipitkan mata agar pandangannya menjadi lebih jelas. Seorang pria muda berdiri di dekat tempat tidur tempat Raya berbaring.
"Saya di mana, ya?"
Raya mengamati tempat yang terasa asing baginya itu. Tempat tidur yang dia pakai dikelilingi oleh gorden berwarna putih di keempat sisinya. Hanya satu sisi yang gordennya terbuka. Sisi di belakang pria itu berdiri.
"Tadi kamu pingsan waktu sedang antre mau beli rujak buah di dekat pasar Pondok Labu. Kamu ingat?"

Ah, Raya ingat sekarang. Sejak pagi, dia memang sudah merasa badannya kurang enak. Bahkan perutnya menolak untuk sarapan. Tapi siang tadi, tiba-tiba dia ingin makan rujak. Makanya dia pergi untuk membelinya. Seingatnya antrean yang panjang membuat dia harus menunggu beberapa lama. Lalu kepalanya mulai pusing dan dia lupa kejadian setelah itu.
"Kata dokter, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Kamu pingsan karena tekanan darah yang rendah." Pria itu menjelaskan pada Raya yang masih tampak lemas.
Kemudian pria itu mengulurkan sebuah ponsel pada Raya. "Ini ponsel kamu. Kalau tas kamu tadi dibawa sama istri saya. Dia lagi ke kantin rumah sakit sekarang. Mungkin sebentar lagi udah balik."
Raya menerima ponselnya sambil mengucapkan terima kasih.

"Oh, ya, aku juga udah telepon suami kamu. Dia sekarang udah jalan mau ke sini," tambah pria itu.
Mata Raya kontan terbelalak. "Hah? Suami siapa?"
Pria itu mengernyitkan dahi. Seolah pertanyaan Raya itu sesuatu yang aneh. "Suami kamu dong. Masa suaminya istri saya."
Saat Raya tahu siapa yang dimaksud, dia langsung melotot marah. "Dia itu bukan suami saya lagi. Ngapain kamu telepon dia?"
Pria itu tampak kaget karena mendapat luapan amarah dari Raya. Dia pun tak terima dan langsung membalas. "Mana saya tahu. Tadi perawat minta saya buat hubungi keluarga kamu. Dan di list panggilan terakhir, ada kontak yang namanya 'Suamiku', ya sudah saya telepon aja dia."
"Tapi dia itu bukan suami saya lagi." Raya ngotot ingin marah.
"Salah kamu sendiri. Kenapa nggak diganti kontaknya jadi 'Mantan Suamiku' gitu."
"Ya, karena kami belum resmi cerai."
"Tetap kamu yang salah. Kalau begitu harusnya ditulis 'Calon Mantan Suamiku'. Jadinya, aku nggak akan salah paham."

Raya masih melotot. Pria itu tak mau kalah, dia balik menatap Raya dengan mata menyipit.
"Eh, kalian ngapain?" Seorang wanita cantik dengan perut besar menghampiri mereka berdua. Menginterupsi perdebatan tidak penting itu.
Pria itu langsung menarik bahu wanita itu untuk mendekat ke arahnya. "Dia malah marah sama aku, Sayang. Katanya yang tadi aku telepon itu bukan suaminya, tapi calon mantan suaminya."
Kening wanita itu berkerut bingung. "Hah? Maksudnya gimana, sih? Calon mantan suami?
"Udah. Nggak usah dipikirin. Kasihan dedek bayi," ucap pria itu sambil mengelus perut istrinya.
Kemudian terdengar langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. Muncul Erlangga dengan napas terengah-engah. Dia langsung merangsek maju ke arah Raya.

"Ra, kamu kenapa? Sebelah mana yang sakit? Tadi katanya kamu sampai pingsan segala. Terus dokter bilang apa?" Erlangga memberondong Raya dengan banyak pertanyaan. Matanya memindai keseluruhan tubuh Raya. Namun agak lega karena tidak terdapat satu pun luka yang terlihat oleh matanya.
"Aku nggak apa-apa, Mas," jawab Raya pelan.
Pria yang berdiri tidak jauh dari tempat Erlangga berdiri itu mencibir. "Katanya tadi udah mau jadi mantan suami, tapi kok masih perhatian begitu?" sindirnya.
Erlangga menoleh mendengar suara pria itu. "Maaf anda siapa, ya?"
Pria itu maju selangkah. Tidak melepas rangkulannya pada istrinya jadi sang istri ikut tertarik maju.
"Saya Bima. Saya yang bawa istri anda ke sini tadi." Pria itu memperkenalkan diri.

Erlangga menjabat tangan pria itu dengan mantap. "Terima kasih banyak sudah menolong istri saya."
"Sama-sama." Pria itu kemudian menoleh pada istrinya. "Kita pulang sekarang, ya, Sayang."
Wanita cantik itu mengangguk sambil tersenyum. Kemudian melangkah mendekati Raya. "Cepat sembuh, ya, Mbak Narraya. Maaf tadi saya lihat KTP punya Mbak buat isi data administrasi. Nama saya Cahaya. Mirip ya nama kita?" Wanita bernama Cahaya itu tertawa kecil.
Raya balas tersenyum kemudian mengucapkan terima kasih. Cahaya juga memberikan tas Raya yang tadi sempat dia amankan.
Setelah pasangan suami istri itu berlalu, suasana jadi hening. Raya agak bingung dengan situasi ini. Sementara Erlangga juga agak canggung. Apalagi melihat Raya yang menghindari kontak mata dengannya.
Untungnya kedatangan seorang perawat memecahkan kesunyian di antara mereka berdua. Perawat yang masih muda itu membawa sebuah tabung plastik ukuran kecil.
"Kata dokter diminta untuk tes urin, Mbak. Ini tabung untuk tempat urinnya. Silakan ambil di kamar mandi. Ada di sebelah sana." Perawat itu memberi instruksi.
Raya bangun perlahan. Erlangga segera membantunya. Sebenarnya Raya ingin menolak tapi dia juga tak mau memancing keributan. Jadi dia biarkan saja Erlangga menuntunnya hingga ke depan pintu kamar mandi.
Perlu beberapa waktu untuk menunggu hasilnya. Raya pura-pura memejamkan matanya kembali. Sementara Erlangga berdiri di samping tempat tidurnya. Memijit pelan kakinya. Raya sudah menolak, tapi Erlangga tetap ngotot melakukannya.
"Bapak, Ibu, hasil tes urin sudah keluar." Seorang dokter wanita menghampiri Raya dan Erlangga. "Selamat, Ibu Narraya positif hamil."
Bersambung ....
🌿🌿🌿🌿
Nah lho? Jadi cerai atau rujuk aja nih?


#Sepakat!
Part 14

Erlangga tidak bisa menghilangkan senyuman dari bibirnya. Sejak dia mendengar dari dokter kalau Raya positif hamil, dia langsung melakukan sujud syukur. Hingga menarik perhatian beberapa orang yang berada di IGD rumah sakit tadi.
Tadi dia sedang dalam perjalanan ke rumah Naufal saat mendapat telepon kalau Raya pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Awalnya, Erlangga merasa panik luar biasa. Siapa sangka kalau pingsannya Raya membawa kabar yang menggembirakan.

"Ara, pulang ke rumah kita, ya?" ajaknya saat mobilnya sudah keluar dari gerbang rumah sakit.
"Nggak usah aneh-aneh, deh, Mas. Aku pulang ke rumahku." Raya menjawab dengan ketus.
Wanita itu sebenarnya sedang kesal pada Erlangga. Bahkan sempat menolak untuk pulang bersamanya. Apalagi sikap Erlangga yang seolah menganggap tidak pernah terjadi perpisahan di antara mereka.
Erlangga paham betul kalau Raya masih marah padanya. Namun kali ini dia tidak akan menyerah. Dia harus bisa berbaikan kembali dengan istrinya itu. Apalagi sekarang sudah ada calon buah hati mereka.
"Oke. Kalau itu memang kemauan kamu. Sementara kita tinggal di rumah Naufal."
Raya menoleh kaget. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. "Kita?"
Erlangga mengangguk tanpa beban. Seolah itu adalah hal yang wajar. "Iya. Kita sementara bisa tinggal sama Naufal."

Raya menggeram jengkel mendengar keputusan sepihak dari Erlangga. "Mas, aku ingetin kamu, ya? Takut kalau kamu mungkin lupa. Kita itu sudah pisah. Kamu sudah talak aku. Kita bukan suami istri lagi."
"Kita akan rujuk," putus Erlangga yang terdengar semena-mena di telinga Raya.
"Nggak bisa," sahut Raya tak mau kalah.
Erlangga menoleh pada Raya, kebetulan mereka sedang berhenti di lampu merah. "Rujuk itu masih jadi hakku selama masa iddah. Dan aku lebih berhak untuk merujuk, bahkan tanpa persetujuan kamu."
"Hah? Aturan dari mana itu?" tanya Raya tidak terima.
"Ada hukumnya. Nanti bisa aku jelaskan lebih detail lagi kalau kita sudah sampai di rumah."
Erlangga kembali melajukan mobilnya setelah lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
Raya mengusap wajahnya sambil mendesah. Entah mengapa tiba-tiba merasa sangat lelah.
"Kamu nggak perlu kembali sama aku kalau hanya demi anak ini, Mas. Aku nggak mau keberadaannya menjadi beban buat kamu."
"Beban? Aku nggak pernah merasa dia adalah beban, Ra. Dia itu anugerah. Karunia dari Allah. Allah sedang memberikan kita hadiah di tengah cobaan rumah tangga kita. Supaya kita bisa memperbaiki keadaan dan hubungan kita."

Raya membuang wajahnya ke arah jendela. Sudah terlalu malas untuk mendebat Erlangga. Namun dirinya tersentak kala tangan kiri Erlangga meraih jemarinya yang berada di pangkuan. Menggenggamnya erat hingga Raya gagal menarik tangannya.
"Ara, kuakui kalau aku bersalah kemarin. Tapi aku nggak akan pernah melepaskan kamu lagi. Cukup sekali aku melakukan tindakan bodoh. Aku nggak mau menyesalinya seumur hidupku."
Erlangga menghela napas berat. Mengeluarkan segala beban yang menggelayuti pikirannya akhir-akhir ini. Terutama soal ketakutannya bila nanti harus hidup tanpa Raya.

"Tapi kalau kamu memang belum siap memaafkan dan menerimaku lagi, nggak apa-apa. Jangan jadikan itu sebagai beban pikiran kamu. Ingat pesan dokter tadi, kamu harus jaga kesehatan, terutama menghindari stress." Erlangga menoleh pada Raya. Kemudian bicara lagi dengan suara yang sangat serius. "Kamu diam dan tunggu saja, aku yang akan berusaha untuk meraih maafmu lagi. Aku yang akan berjuang untuk kebersamaan kita lagi. Aku janji, kali ini aku tak akan pernah menyakitimu lagi, Ra."
Raya tertegun mendengar nada penyesalan juga tekad yang kuat dari suara Erlangga. Apalagi saat pria itu mengecup jemarinya dengan lembut. Salahkah kalau hatinya masih berdesir halus untuk pria ini?

****
[Ra, vitamin dari dokter udah diminum belum?]
[Eh, tadi aku baca-baca, katanya trimester pertama begini masih sangat rawan, Ra. Kamu pindah ke kamar di lantai bawah aja, biar nggak sering naik turun tangga.]
[Ra, lebih rajin lagi makan buah-buahan, ya? Oh, ya, jangan makan lalapan mentah. Katanya itu berbahaya buat ibu hamil.]
[Ra, kamu belum ngidam. Kayak pengen makan apa gitu? Bilang sama aku. Nanti biar aku yang beliin.]
Raya membaca deretan pesan-pesan itu dengan sedikit jengkel. Dari pagi, Erlangga sudah memborbardir Raya dengan puluhan pesan. Dengan rasa kesal, dia membalas pesan dari Erlangga itu.
[Iya, aku pengen makan kamu! Stop, kirim puluhan pesan begini. Bikin aku malah jadi pusing.]
Apa memang semua suami yang istrinya sedang hamil jadi selebay Erlangga ini? Tapi Raya tak menampik kalau hatinya menghangat melihat perhatian yang coba dilimpahkan oleh Erlangga padanya.
Nada pesan masuk mengalihkan perhatian Raya pada ponselnya kembali. Balasan pesan dari Erlangga.
[Nanti kalau kamu sudah maafin aku, kamu bisa makan aku sepuasnya.]

Raya membaca pesan dari Erlangga itu dengan mulut terbuka. Apalagi melihat emoticon dengan wajah tersipu merah. Ini maksud Erlangga apa, ya??? Tanpa sadar wajah Raya memanas. Dia langsung melempar ponselnya ke atas tempat tidur.
Lebih baik dia segera mandi dan bersiap-siap. Tidak perlu menghiraukan Erlangga yang sepertinya sedang korslet. Rencananya hari ini, Raya akan check up ke dokter kandungan.
Raya sengaja tidak memberitahukan hal ini pada Erlangga. Dia masih butuh ruang dan jarak dari pria itu. Setidaknya sampai dia punya keputusan yang diyakininya tepat untuk kehidupan masa depannya nanti. Alma yang akan menemani Raya ke rumah sakit.

****
Alma dan Raya berjalan menuju kasir setelah keluar dari ruangan dokter. Raya terus mengulas senyum di bibirnya. Rasa bahagianya sungguh tak terkira. Tangannya beberapa kali mengelus perutnya yang masih rata. Belum tampak memang karena kehamilannya baru menginjak usia 8 minggu.
"Ray, aku boleh tanya, nggak?" Alma berbicara saat mereka sedang duduk di kursi yang tersedia di depan kasir.
"Tanya apa, Al?"
"Kamu yakin mau pisah sama Erlangga? Maksudku, dengan kehamilan kamu yang sekarang bukankah lebih baik kalau kalian rujuk aja."
Raya mengangkat bahu. "Nggak tahu, Al. Aku juga masih bingung."
"Erlangga udah kasih iktikad baik, lho, Ray. Bahkan dia udah berani bicara langsung sama Mas Naufal."

Erlangga memang langsung bicara pada Naufal setelah pulang dari rumah sakit kemarin. Memberitahukan kalau Raya hamil, juga niatnya untuk rujuk kembali. Tanggapan Naufal memang dingin, tapi dia tetap menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Raya.
"Tapi pokok permasalahan dalam rumah tangga kami belum ada titik terang, Al. Aku takut kalau Mas Aga nggak berubah. Dibohongi dan dikecewakan itu rasanya sakit, Al."
Alma merangkul bahu Raya. Dia paham apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Pasti butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatinya. Juga untuk melapangkan dada agar bisa memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh suaminya dulu.

"Ya udah. Kamu pikirin baik-baik dulu aja, Ray. Minta petunjuk sama Allah biar mendapat solusi yang terbaik. Apalagi sekarang kamu sedang hamil. Kamu juga harus memikirkan anakmu nantinya," saran Alma sambil tersenyum menenangkan.
Tak berapa lama nama Raya dipanggil. Alma yang berdiri dan membayar ke kasir. Dia kembali menghampiri Raya setelah selesai. Tangannya membawa kwitansi pembayaran.
"Aku ambil obat di farmasi dulu, ya, Ray. Kamu tunggu aja di sini. Daripada mondar-mandir nanti kamu malah kecapekan."
"Tapi kamu nggak apa-apa ke sana sendiri?" tanya Raya agak tak enak pada Alma.
Alma menggeleng dan menepuk pipi Raya dengan gemas. "Cuma ambil obat aja."

Raya membuka ponselnya sambil menunggu Alma. Mencari artikel-artikel soal kehamilan. Suasana rumah sakit cukup padat karena lebih banyak dokter yang praktek pada sore hari seperti ini. Raya mengedarkan pandangannya sambil menyimpan kembali ponselnya.
Tiba-tiba pandangan Raya terpaku pada seorang wanita muda yang berjalan dalam rangkulan seorang pria. Wajah yang familiar di mata Raya walaupun sudah tidak pernah dia temui akhir-akhir ini. Sepertinya dia belum mengetahui keberadaan Raya. Hingga saat jarak mereka tinggal beberapa meter, Raya memanggil nama wanita itu.
"Gita?"
****

"Kamu mau istirahat sekarang, Ray? Mau aku antar ke kamar?" tanya Gita pada Raya.
Seolah tahu kalau sebenarnya itu hanyalah alasan agar Gita bisa berbicara lebih bebas, maka Raya mengangguk. Membiarkan Gita menggandengnya menuju kamar. Alma yang juga duduk di salah satu kursi di ruang tamu hanya tersenyum dan mempersilakan Gita mengantar Raya ke kamarnya.
Raya duduk di tepi tempat tidurnya. Dia kemudian menepuk tempat di sebelahnya. Isyarat agar Gita ikut duduk juga. Wanita itu menurut, mengambil duduk di samping Raya.
"Suamiku sudah tua, ya, Ray?" tanya Gita sambil mengerling ke arah Raya.
Raya menggeleng dengan kikuk. Padahal sebenernya itu adalah kesan yang dia dapat saat pertama kali melihat suami Gita tadi.

Setelah Raya menyapa Gita. Gita langsung mengenalkan Raya pada pria yang bersamanya, yang ternyata adalah suaminya. Kemudian Gita memaksa untuk mengantar Raya dan Alma pulang. Kebetulan mereka berdua tadi naik taksi sehingga tidak bisa menolak maksud baik dari Gita.
Gita tersenyum geli melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Raya. "Nggak usah sungkan, Ray. Selisih usia kami memang jauh. Lima belas tahun. Tahun ini, dia udah berusia 40 tahun."
Raya mengerutkan kening. Dia memang berpendapat kalau suami Gita terlihat berumur, tapi untuk ukuran pria berusia 40 tahun, Riza masih terlihat muda.
"Dulu aja awal kenal, aku manggil dia pakai sebutan 'Om' lho," tambah Gita.
"Serius?" tanya Raya tak percaya.

Gita mengangguk sambil tersenyum. Dan Raya bisa menilai kalau Gita tampak bahagia saat ini. Wajahnya yang cantik terlihat bersinar. Berbeda dengan waktu awal kedatangannya di Jakarta.
"Kalian nggak jadi bercerai?" tanya Raya pelan dengan nada hati-hati.
Gita menggeleng. "Mungkin aku egois, Ray. Ternyata walaupun aku berusaha melepaskan dia, tapi hatiku nggak bisa bohong. Aku cinta dan mau hidup bersama dia. Biarpun sebenarnya aku nggak pantas untuk mendapatkan pria sebaik dia."
Raya sedikit bingung dengan kalimat terakhir dari Gita. Namun dia sungkan untuk menelisik lebih dalam lagi.
"Kamu nggak tanya apa pekerjaan suamiku, Ray?" tanya Gita tiba-tiba.
Memang penting, ya? tanya Raya dalam hati. Namun akhirnya bibirnya tetap menyuarakan juga pertanyaan itu. "Memangnya pekerjaan suami kamu apa, Git?"
Gita menyunggingkan senyum yang tak sampai ke matanya. "Suamiku itu dokter spesialis kejiwaan." Kemudian dia melanjutkan, "dan dulu, aku ... pasiennya."
Bersambung ....

🌿🌿🌿🌿
Jadi, satu fakta baru terungkap. Gita itu pernah menderita gangguan jiwa.
Kalau ditengok part sebelumnya. Kirana pernah ngomong sama Raya begini,
"Mbak, sebaiknya hati-hati sama Mbak Gita. Dulu, dia itu kan pernah ...."
Jadi ... Kirana sebenarnya mau bilang kalau Gita dulu pernah sakit jiwa. Eh, keburu dipotong sama Tama. Maksud Tama sih baik supaya adiknya nggak buka aib saudara, tapi jadinya Raya malah salah paham.
Bye, selamat penasaran, wkwkwk ....


#Sepakat!
Part 15

Sembilan tahun yang lalu ....
Erlangga merasakan kepalanya terus berdenyut mengerikan. Belum lagi, rasa sakit di seluruh badannya. Ini semua gara-gara dia terlalu sibuk ikut UKM dan sering kehujanan. Pola makan tidak teratur, waktu tidur yang kurang, ditambah dengan kegiatan yang padat. Penyiksaan terhadap diri sendiri itu berujung dengan terkaparnya dia dalam keadaan sakit.
Suara ketukan pintu tertangkap oleh telinga Erlangga yang tersembunyi di bawah selimut. Dan tak lama kemudian, terdengar derit pintu kamar kost-nya yang dibuka.
"Angga, ada yang nyari tuh," ucap seorang pria berwajah oriental. Namanya Daniel dan merupakan teman satu kost Erlangga.
Rasanya Erlangga malas sekali untuk bangun, apalagi harus keluar kamar. Tapi lanjutan ucapan Daniel membuatnya mau tak mau harus beranjak dari kasurnya.
"Adik kamu yang cantik udah nunggu di bawah."
Erlangga bisa menebak kalau yang dimaksud Daniel adalah Gita. Sudah beberapa kali, sepupunya yang duduk di kelas dua SMA itu datang ke sini. Sekadar membawakan sesuatu atas perintah ibunya. Tante Ayu, ibunya Gita adalah adik dari almarhumah Mama Sekar. Rumah beliau tidak jauh letaknya dari kost yang ditempati oleh Erlangga.

Dan tebakan Erlangga tepat. Gita tampak duduk manis di ruang tamu. Di atas meja di depannya ada plastik bening yang berisi kotak makan bertingkat. Gadis periang itu tersenyum lebar menyambut kedatangan Erlangga.
"Kata Mama, Mas El sakit, ya?" Gita bertanya agak khawatir saat melihat wajah Erlangga yang agak pucat.
"Cuma gejala flu aja," jawab Erlangga menenangkan.
Tangan Gita menunjuk barang bawaannya. "Makanan dari Mama. Kalau begitu, Mas El cepat makan terus istirahat aja. Udah berobat belum? Atau mau aku beliin obat?" Gita menawarkan diri.
Erlangga buru-buru menggeleng. "Aku udah ke dokter kemarin."
"Ya sudah, nanti abis makan terus minum obat, ya, Mas. Biar cepat sembuh."
Erlangga mengangguk mengiyakan. Adik sepupunya ini memang orang yang perhatian. Juga baik hati dan tulus.
"Aku pulang dulu, ya, Mas. Keburu Maghrib soalnya," pamit Gita beranjak berdiri.
Erlangga ikut berdiri dan melihat ke arah pintu utama yang terbuka lebar. Memperlihatkan rintik hujan yang turun.
"Masih hujan, Git. Kamu naik apa ke sini tadi?"
"Naik angkutan. Ah, cuma dekat ini." Gita melambaikan tangan seolah itu bukan masalah besar baginya.
Tapi Erlangga langsung menggeleng tidak setuju. "Nanti turun angkutan di depan kompleks, kamu masih harus jalan. Lumayan jauh. Bisa-bisa badanmu basah kuyup semua. Nanti ikut-ikutan sakit."
Gita baru saja akan membantah saat ada seorang pemuda berkulit putih keluar dari salah satu kamar. Tampak rapi dan terlihat siap untuk pergi.
"Mau kemana, Don?" tanya Erlangga pada pemuda bernama Doni itu. Doni adalah teman satu kampus Erlangga. Tapi mereka beda fakultas.
"Biasa. Mau keluar sebentar. Ada urusan," jawab pemuda berwajah tampan itu.
"Aku boleh minta tolong, nggak? Tolong sekalian anterin adikku pulang. Nggak jauh kok dari sini," pinta Erlangga.
Gita yang merasa tak enak hati berusaha memberi kode ke arah Erlangga. Tapi pria itu tidak melihatnya.
Doni mengangguk sambil tersenyum. "Tentu. Kebetulan aku mau bawa mobil, kok."
Erlangga tersenyum lega. "Oke, thank's, ya."
Gita pun berpamitan kembali pada Erlangga. Kemudian gadis itu masuk ke mobil Doni yang terparkir di carport rumah yang dijadikan tempat kost itu.

Setelah Gita pulang, Erlangga segera memakan makanan yang dibawakan gadis itu. Lalu minum obat dari dokter. Setelah sholat isya, dia langsung berbaring dan tidur. Sambil berdoa agar besok tubuhnya sudah fit kembali.
Rasanya Erlangga belum lama tertidur saat ponselnya yang berada di atas nakas berdering. Panggilan masuk yang tak kunjung berhenti. Erlangga melihat jam dinding yang menempel di tembok kamarnya. Pukul sepuluh malam.
Tangannya segera meraih ponsel. Ternyata dari nomor telepon Tante Ayu. Pria itu segera menjawab panggilan tersebut.
"Assalamualaikum, ada apa, ya, Tante?"
"Walaikumsalam. Gita masih di situ, El?" tanya Tante Ayu dari seberang sambungan. Ada nada panik dalam suaranya.
"Hah? Enggak, Tante. Gita udah pulang dari sore tadi." Erlangga menjawab dengan rasa khawatir yang mulai merayap.
Terdengar kekalutan yang sepertinya terjadi di rumah Tante Ayu. Sambungan belum terputus tapi tak ada suara dari Tante Ayu lagi. Hingga kemudian suara Om Wahyu yang terdengar.
"Gita belum pulang sampai sekarang, El. Tadi dia dari sana jam berapa?"
Jantung Erlangga mulai berdebar tak terkendali. Rasa takut menyusup hingga membuatnya berkeringat dingin.
"Gita udah pulang sebelum Maghrib tadi, Om."
"Naik angkutan atau ojek?"
Erlangga memegang kepalanya yang tiba-tiba sakit seperti terkena pukulan benda keras.
"Dia dianter sama teman kost-ku, Om," jawab Erlangga lirih.

Setelah itu, malam yang sepi dan basah karena hujan dari sore itu memanas. Rumah kost menjadi riuh sejak Wahyu, papanya Gita datang. Apalagi saat diketahui ternyata Doni juga tak berada di kamarnya.
Erlangga diserang panik dan rasa ketakutan. Hal-hal buruk menghampiri pikirannya. Apalagi ponsel Gita tidak bisa dihubungi. Juga ponsel Doni.
Wahyu segera bertindak. Mencoba mencari bantuan dari kerabat yang berdinas di kepolisian. Berharap bisa membantu mencari keberadaan Gita.
Ayu harus pingsan berkali-kali. Kekhawatiran sebagai seorang ibu jelas membuatnya dihantam badai ketakutan. Apalagi Gita adalah putri semata wayangnya.
Malam itu, tidak ada satu orang pun yang tidur. Semua bergerak dan berusaha membantu sebisa mereka. Beberapa penghuni kost berusaha mencari informasi keberadaan Doni. Namun pemuda itu seperti menghilang di telan bumi. Erlangga berusaha menghubungi seniornya di kampus yang bisa dimintai bantuan untuk melacak keberadaan Gita dan Doni dari GPS di ponsel mereka.
Hingga akhirnya dua hari kemudian usaha mereka membuahkan hasil. Polisi berhasil melacak keberadaan Doni lewat transaksi ATM-nya.
Doni ditangkap di sebuah kecamatan di kabupaten Gunungkidul. Setelah diinterogasi akhirnya dia memberitahukan di mana Gita berada.

Di sebuah kamar hotel, Gita disekap oleh Doni. Dia ditemukan dalam keadaan syok berat. Dan setelah proses penyelidikan dimulai, akhirnya diketahui kalau Doni bukan hanya menyekap namun juga memperkosa dan melakukan kekerasan fisik terhadap Gita.
Gadis berusia enam belas tahun itu mengalami depresi karena trauma atas kejadian yang dialaminya. Belum lagi proses panjang dan melelahkan saat kasus itu bergulir. Kondisi mental yang tidak stabil, masih ditambah dengan harus memberikan kesaksian pada pihak kepolisian. Semua hal itu tidak bisa ditanggulangi oleh jiwa remajanya.
Seakan belum cukup, satu berita buruk menghampiri pada bulan berikutnya. Menghancurkan sisa kekuatan yang berusaha menerima musibah itu. Gita dinyatakan hamil.

****
"Selama satu bulan sejak mengetahui kehamilan itu, aku melakukan percobaan bunuh diri sebanyak lima kali, Ray."
Gita mengucapkan kalimat itu dengan enteng. Tapi matanya tak bisa berbohong. Itu adalah saat paling hancur dalam hidupnya. Walaupun kini semua sudah terlewat dan keadaan sudah jauh lebih baik.
Raya hanya terdiam sambil mengusap pipinya yang basah. Ini sungguh di luar bayangannya. Tak menyangka kalau Gita pernah mengalami cobaan seberat itu.
"Tapi sejak kehamilanku masuk usia empat bulan, dan setelah mengikuti beberapa sesi konseling dengan psikolog juga seorang ustadzah, aku mulai bisa menerima keadaanku. Juga janin dalam rahimku. Bagaimanapun juga, anak itu kan tidak bersalah. Terlepas dari bagaimana proses sampai dia bisa ada. Namun, sepertinya Allah masih ingin aku kembali mendekat pada-Nya. Di usia kehamilan 30 minggu, aku terpaksa harus melahirkan prematur. Dan bayiku tidak tertolong," tutur Gita melanjutkan.

Raya sekuat tenaga menahan isak tangisnya yang mendesak ingin keluar. Membuatnya agak kesulitan bernapas.
"Kejadian-kejadian setelah itu agak samar di ingatanku. Aku seperti kehilangan kesadaran. Seperti terombang-ambing dalam nyata dan khayal. Hingga akhirnya papaku memutuskan agar kami pindah. Beliau minta mutasi dan memilih kota Makassar. Di sana kami tidak mengenal siapapun. Tidak ada keluarga ataupun kerabat. Dan menurut dokter yang menanganiku, itu justru baik untuk pemulihan mentalku."
"Keadaanku mulai membaik sejak tinggal di Makassar. Aku terus mengikuti sesi terapi dengan psikolog dan dokter kejiwaan. Di saat itulah aku bertemu dan berkenalan dengan Mas Riza."
"Dia adalah salah satu orang yang sangat berjasa dalam hidupku, Ray. Penolong yang menarikku dari jurang kelam yang hampir menenggelamkan jiwaku. Aku nggak tahu terbuat dari apa hatinya. Karena bukan hanya tenaga, dia ternyata juga bersedia memberikan cintanya pada orang yang bernasib malang sepertiku."
"Dia terus mendampingi dalam proses kesembuhanku. Tepatnya empat tahun setelah perkenalan kami, dia melamarku. Dan aku akui kalau aku juga mencintai dia, Ray. Maka dari itu dengan egois, aku menerima lamarannya dan menikah dengannya."
"Tapi setelah empat tahun menikah, kami tak juga memiliki anak. Akhirnya kami ke dokter kandungan untuk konsultasi. Ternyata ada masalah dengan kandunganku. Bukannya mustahil untuk hamil, tapi sulit. Saat itu, duniaku terasa kembali ke titik nadir. Apalagi yang begitu diharapkan seorang istri selain bisa memberikan keturunan untuk suaminya? Dan aku terancam gagal melakukan tugas itu."

"Kecewa pada keadaan membuatku berbuat nekad. Aku kabur ke Jakarta dan bermaksud menggugat cerai Mas Riza. Semua rencana aku lakukan diam-diam. Tak ada yang tahu. Tapi takdir berkata lain. Aku malah nggak sengaja ketemu kamu dan Mas El."
"Selain cinta, kamu tahu apa yang bisa mengikat orang begitu dalam, Ray?" tanya Gita pada Raya. Raya menjawabnya dengan gelengan.
Gita menunduk sebentar, kemudian saat dia mengangkat wajahnya kembali, ada kesedihan yang tampak dari matanya.
"Rasa bersalah, Ray. Rasa bersalah bisa membunuhmu jika terus kamu biarkan tumbuh di hatimu. Apalagi kalau kamu pupuk dengan penyesalan yang teramat dalam." Gita menatap Raya dengan mata berkaca-kaca. "Seperti itulah yang dialami oleh Mas El. Selain Papa dan Mama, Mas El adalah orang yang paling terpukul karena kejadian itu. Apalagi dia merasa kalau dia lah yang menjadi penyebab musibah itu."

"Dan saat di bandara waktu itu, aku punya firasat kalau Mas El pasti akan menghalangi rencana perceraianku. Setidaknya pasti dia akan ikut campur. Dan terbukti benar. Awalnya dia menahanku untuk tinggal di rumah kalian. Setelah akhirnya aku berhasil pindah pun, dia masih terus mengawasiku. Hampir setiap hari ke apartemen untuk berbagai urusan. Dari memasang kamera CCTV tambahan, memperbaiki sistem keamanan pintu, dan juga mengecek hasil rekaman CCTV."
"Dan terakhir saat Mas El datang di suatu akhir pekan, dia menemukan berkas perceraian yang sedang kuurus. Kami berdebat alot. Dia ngotot ingin tahu masalahku. Tapi aku nggak mau dia ikut campur. Dan malamnya, Mas Riza meneleponku. Mas Riza bilang akan menyusul dan menjemputku ke Jakarta. Dia nggak bilang dari mana dia tahu nomor teleponku yang baru, juga keberadaanku. Tapi aku bisa menebak pasti Mas El yang memberikan semua informasi itu pada Mas Riza. Karena marah, aku akhirnya mendatangi Mas El di kantornya. Melakukan konfrontasi yang berujung perdebatan lagi."
"Jujur saja, aku nggak tahu kalau ternyata keberadaanku membawa masalah untuk hubungan kalian. Mas El nggak pernah cerita sama aku. Kalau kemarin, Pakdhe Brama nggak ngomong, aku nggak akan pernah tahu. Jadi sekarang aku mau minta maaf sama kamu, ya, Raya. Aku nggak pernah bermaksud mengganggu hubungan kalian."
"Aku sudah menceritakan semua masa lalu yang mengikat antara aku dan Mas El. Masa kelam yang menyebabkan luka dan trauma. Bukan cuma bagiku yang menjadi korbannya, tapi juga untuk Mas El. Setelah kejadian itu, Mas El jadi agak anti sosial. Susah menjalin pertemanan, apalagi hubungan spesial. Makanya aku kaget saat Budhe Nania mengabarkan kalau Mas El mau menikah. Kesimpulanku hanya satu. Because you're the one for him. Kamu mungkin nggak sadar, tapi aku yakin kalau hatinya sudah kamu genggam sepenuhnya."

******
Raya berbaring miring di atas tempat tidurnya. Matanya bengkak setelah menangis selama berbicara dengan Gita tadi sore. Dia masih tak percaya kalau Gita pernah menjadi korban kejahatan seksual seperti itu. Apalagi melibatkan Erlangga.
Namun rasa sedih atas apa yang terjadi pada Gita di masa lalu, masih kalah oleh rasa malu. Malu pada Erlangga dan Gita karena sempat berprasangka buruk pada mereka.
Apalagi saat Raya mengingat ekspresi yang ditunjukkan oleh Erlangga setiap dia minta penjelasan tentang Gita. Pria itu terlihat serba salah. Dan kini Raya sudah mendapatkan jawabannya. Rasa penyesalannya makin besar karena saat itu secara tidak langsung dia membuat Erlangga harus kembali mengingat salah satu kejadian buruk di hidupnya.

Sekarang rasanya Raya sudah tak sabar ingin bertemu dengan Erlangga. Dia harus minta maaf. Ternyata selama ini dia sudah bersalah karena keliru menilai sikap pria itu.
Suaminya itu biasanya setiap pulang dari kantor akan mampir untuk melihat keadaan Raya. Namun hari ini sepertinya Erlangga sibuk. Dia tak juga tampak padahal sudah pukul sembilan malam.
Raya juga kecewa karena tidak ada satu pesan pun yang dikirimkan oleh Erlangga. Biasanya dia sering menanyakan apakah Raya mau dibelikan sesuatu. Atau jangan-jangan Erlangga sudah bosan karena terus diabaikan olehnya? Raya menggelengkan kepalanya keras-keras. Tidak mungkin. Erlangga tidak mungkin menyerah begitu mudah.

Raya terlonjak girang saat melihat ponselnya bergetar. Dia meraih benda pipih itu dengan senyum terkembang lebar. Namun wajahnya memucat bersamaan dengan senyumnya yang memudar saat membaca sebuah pesan yang masuk. Bukan dari Erlangga, tapi dari Kirana.
[Mbak Raya, bisa ke rumah sakit sekarang? Mas El kecelakaan.]

Bersambung ....

#Sepakat!
Part 16 (Ending)

Raya berlari dengan jantung yang terus berdebar keras. Ketakutan mengiringi setiap langkah kakinya. Mulut dan hatinya tidak berhenti terus memanjatkan doa.
Dia langsung masuk ke dalam IGD rumah sakit. Kepalanya menoleh ke sana kemari. Mencari keberadaan suaminya.
Dan saat matanya menangkap sosok dengan kemeja putih bergaris biru yang amat familiar, otomatis kakinya melangkah mendekat. Dengan tangan gemetar, Raya menepuk pelan bahu pria itu dari belakang.
Pria itu menoleh dan terkejut saat bertemu pandang dengan Raya.
"Ara? Kok kamu bisa ada di sini?" tanyanya dengan heran.

Bukannya menjawab, Raya justru menangis terisak-isak. Kedua tangannya menutupi wajah. Bahunya bergerak naik turun. Erlangga yang melihat itu seketika diserang rasa khawatir.
Diraihnya kedua bahu wanita itu. Erlangga merangkul Raya dan membawanya keluar dari IGD. Tidak mau kalau sampai Raya menjadi pusat perhatian di IGD yang kebetulan sedang sepi itu.
Sampai di luar, Erlangga mengarahkan Raya untuk duduk di kursi tunggu yang tersedia. Kemudian dia berjongkok di depan Raya. Meraih tangan Raya yang menutupi wajahnya sendiri.

Raya memilih untuk menunduk dalam. Tak mau memperlihatkan wajahnya yang pasti terlihat mengerikan. Tapi Erlangga meraih dagu wanita itu dan menariknya. Membuat wajah cantik istrinya terlihat. Terlihat sembab dan basah.
"Sst ... tenang, Sayang. Sekarang kamu cerita sama aku. Kenapa kamu bisa ada di sini?" Erlangga bertanya dengan lembut.
Raya mengendalikan dirinya sendiri. Menghentikan tangis dan mengusap wajahnya dengan punggung tangan.
"Kirana kirim pesan ke aku." Raya menjawab dengan suara serak.
Erlangga mengerutkan kening. Namun beberapa saat kemudian kesadaran menghampirinya. Ini semua jelas ulah Kirana.
"Memang dia bilang apa?" tanya Erlangga ingin memastikan.
"Katanya kamu kecelakaan."
Bibir Erlangga menahan senyum mendengar jawaban itu. "Terus kamu menangis heboh gini karena khawatir sama aku?"

Raya yang melihat senyum yang tidak berhasil ditahan oleh Erlangga langsung merengut. "Jangan besar kepala, Mas. Aku cuma nggak mau anakku jadi yatim sebelum lahir."
Astaghfirullah. Erlangga langsung mengucapkan istighfar dalam hati. Untungnya, dia sayang dengan wanita judes ini. Jadi, walaupun pedas mulutnya, tetap terasa manis di telinganya.
"Aku nggak apa-apa, kok. Tadi emang ada kecelakaan sedikit. Ada motor yang nabrak mobilku dari belakang. Tapi pengendara motornya cuma luka ringan aja. Sudah ditangani juga."
Raya mengangguk sambil mengusap wajah dengan tisu yang dia bawa. Kali ini, tangisannya benar-benar sudah berhenti. Saat itulah, Naufal datang menghampiri mereka. Tadi dia memang datang bersama Raya namun harus memarkirkan mobilnya terlebih dulu.

"Kamu nggak apa-apa, Ngga?" tanya Naufal sambil mengamati Erlangga dari atas sampai bawah.
"Nggak, kok," jawab Erlangga. "Mobilku ditabrak sama motor dari belakang. Aku sih baik-baik aja. Pengendara motornya yang luka ringan." Pria itu berdiri dari posisi jongkoknya.
Naufal mengangguk sambil melirik adiknya dengan wajah yang terdapat sisa tangisan. "Alhamdulillah kalau begitu. Karena nggak ada yang perlu dikhawatirkan, kamu mau pulang sekarang nggak, Ray?"
Raya terlihat bingung. Apalagi setelah mendengar ucapan Erlangga berikutnya. "Ara, pulang ke rumah kita, yuk?"
Wanita itu melirik dua orang pria di hadapannya itu bergantian. Naufal yang menunggu jawaban. Dan Erlangga yang tampak penuh pengharapan.
"Aku ... pulang ke rumah Mas Naufal dulu aja," jawab Raya yang membuat Erlangga terlihat kecewa seketika.
Raya kemudian melirik Naufal. "Tapi aku pulang cuma buat packing. Besok Mas Aga bisa jemput aku untuk pulang ke rumah lagi."

Naufal hanya mengedikkan bahu. Gestur kalau dia menyerahkan semua keputusan pada Raya. Sedangkan Erlangga langsung menghela napas lega sambil tersenyum lebar.
"Makasih, Ra. Besok aku pasti jemput kamu," janjinya pada Raya.
Raya tersenyum dengan wajah yang tersipu. "Kalau begitu, aku pulang sama Mas Naufal dulu. Kamu nanti pulangnya hati-hati, ya, Mas."
"Pasti!" jawab Erlangga mantap.
Senyum Erlangga tak hilang bahkan sampai Raya dan Naufal pamit dan benar-benar pulang. Dia sungguh tak menyangka kalau musibah yang dia alami bisa membawa berkah sebesar ini.
Malam ini rencananya, dia akan pulang ke rumah orangtuanya. Dia diberi kabar kalau Eyang sakit. Maka dari itu, Erlangga berniat untuk menjenguk. Siapa sangka di jalan malah terjadi insiden kecil. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi Kirana agar mengatakan pada orang rumah kalau dia tak jadi berkunjung. Tidak disangka kalau Kirana justru bisa membuat improvisasi yang begitu memukau.
Getaran ponsel di saku celananya mengalihkan perhatian Erlangga. Ada pesan masuk dari Kirana. Panjang umur nih bocah, batin Erlangga.
[Mbak Raya sudah ke rumah sakit, belum, Mas? Kalau bisa baikan sama Mbak Raya, aku bisa dong dapat uang kompensasi.]
Adiknya memang baik hati dan cerdas tapi tetap saja ada maunya. Erlangga membalas pesan itu sambil tersenyum lebar.
[Apa? Bilang aja sama Mas.]
[Tiket nonton aja. Tapi aku maunya nonton di CGV kelas velvet.]
[Oke. Sekalian ajakin teman kamu, tapi khusus cewek. Mas bayarin buat 10 orang.]
Erlangga bisa membayangkan adiknya yang manja itu berjingkrak kesenangan di kamarnya setelah membaca pesan darinya itu.
[Beneran, lho, Mas. Nggak boleh diralat. Oh ya, sekalian bayarin makan di Social House, boleh, dong?]
Yang begini sih namanya dibaikin terus ngelunjak. Tapi kali ini, Erlangga tak keberatan. Jasa Kirana sangat besar kalau hanya dibandingkan dengan permintaan semena-mena yang dia ajukan. Dia pun mengetik balasan dengan cepat.
[Deal.]

****
Erlangga membuka kunci pintu rumahnya. Kemudian membuka lebar agar Raya bisa masuk. Dia mengikuti dari belakang sambil membawa barang-barang Raya.
"Selamat datang kembali, Sayang." Erlangga mengucapkan kalimat sambutan itu saat mereka sudah sampai di ruang tengah. Raya langsung memutar bola matanya. Namun sebenarnya hatinya menghangat. Kembali pulang setelah pertikaian mereka selesai ternyata begitu melegakan.
Erlangga meraih jemari Raya dan menariknya untuk duduk di sofa favorit mereka. Tempat mereka biasanya menghabiskan waktu untuk mengobrol sambil menonton televisi.
"Makasih, ya, Sayang. Makasih karena sudah mau pulang. Nggak ada kamu, rumah serasa gelap banget." Erlangga langsung melancarkan aksi menggombal.

Raya mencibir tak percaya. "Jadi gelap? Memangnya kamu nggak pernah nyalain lampu? Mentang-mentang TDL naik lagi, ya? Terus kamu jadi berhemat."
Erlangga tertawa terbahak-bahak. Biarpun Raya merusak suasana romantis yang coba dia ciptakan, tapi itu sama sekali tak mengurangi rasa bahagianya. Justru hatinya tambah yakin kalau inilah yang dia butuhkan. Dia sangat merindukan kalimat-kalimat lucu dari bibir istrinya.

Tanpa ragu, Erlangga memeluk tubuh Raya. Mendekapnya dengan erat. Menghirup dalam-dalam, aroma campuran antara parfum dan sabun yang dipakai oleh Raya.
"Aku kangen banget. Sampai mau gila rasanya," bisik Erlangga.
Raya terpaku mendengar kesungguhan dalam suara Erlangga. Apalagi saat Erlangga kemudian mengeratkan pelukannya. Raya lalu membalas pelukan itu. Tak kalah erat.
"Aku juga."
Erlangga yang kaget akan respon Raya langsung menjauhkan wajah sambil melonggarkan pelukannya. Ingin melihat wajah Raya untuk melihat apakah ada ekspresi bercanda.
"Serius? Kamu juga kangen sama aku?" tanyanya lagi tidak percaya.
Raya mengangguk malu-malu. Membuat Erlangga makin gemas. Diciumnya seluruh bagian wajah Raya hingga dia terkikik geli.

"Mas, kenapa kamu nggak pernah mau cerita soal Gita sama aku?" tanya Raya pada Erlangga. Posisi mereka kini duduk berdampingan di sofa. Raya bersandar di bahu Erlangga, dan Erlangga merangkul erat tubuh Raya dengan sebelah lengannya.
Erlangga sedikit menegang. Walaupun sudah lama berlalu, dia masih kesulitan membuka cerita tentang masa lalu itu. Namun dia sadar kalau Raya berhak tahu dari mulutnya sendiri. Ini adalah sebentuk penghargaan pada istrinya yang seharusnya menjadi orang yang paling dia percayai.
"Maafin aku, Ra. Aku sadar kalau sikapku kemarin memang salah. Harusnya aku jujur tentang semua hal sama kamu. Aku harusnya bisa mempercayai kamu sebagai istriku yang pasti bisa menerima semua masa laluku. Maaf, ya, Ra?"
Raya mengangguk. Apapun kesalahan yang telah dilakukan oleh Erlangga sudah dia maafkan sejak kemarin. Dia sadar kalau semua hanya salah paham semata. Dia bahkan juga merasa bersalah.
"Aku juga minta maaf, ya, Mas? Udah berprasangka yang bukan-bukan sama kamu dan Gita. Secara nggak langsung, aku juga sudah membuat kamu tertekan karena harus mengingat kejadian buruk itu."
Erlangga menggeleng. Dia tak pernah merasa kalau Raya punya kesalahan padanya. Tidak ada sama sekali.
"Aku nggak cerita karena aku malu, Ra. Dan aku takut kamu jadi nggak respek sama aku."
Raya membelai pipi suaminya itu. Tersenyum lembut padanya. "Aku ini istrimu, Mas. Aku menerima kamu satu paket dengan masa lalumu. Cintaku nggak sedangkal itu untuk bisa ditepis karena kesalahan yang sebenarnya nggak kamu lakukan dengan sengaja."
Mata Erlangga berbinar. "Kamu cinta sama aku, Ra?"
Raya mengangguk mantap.

"Tapi kamu belum tahu semuanya, Ra. Bagaimana terpukulnya aku setelah kejadian itu. Aku yang hidup tapi seperti orang mati. Nggak bisa tidur berhari-hari. Hingga akhirnya bikin aku kecanduan obat antihistamin hanya agar bisa tidur. Bahkan aku pernah hampir di DO dari kampus karena nilaiku yang turun drastis, juga presensi kehadiran yang buruk. Kamu masih mau menerima aku, Ra?"

Raya menatap mata Erlangga dalam tatapan intens. Berusaha meyakinkan kalau dia berbicara sungguh-sungguh.
"Aku cinta kamu dengan segala kekurangan dan kelebihan kamu, Mas. Tapi kamu tetap harus janji satu hal sama aku."
"Apa?"
"Janji bahwa kamu akan selalu jujur sama aku ke depannya nanti. Nggak boleh ada yang ditutup-tutupi lagi. Kamu bisa?"
"Pasti, Ra. Aku janji."
Raya tersenyum lebar. Tangannya terulur. "Sepakat?"
Erlangga tergelak. Mengingat kesepakatan yang dulu mereka lakukan sebelum pernikahan mereka. Dia menjabat tangan Raya dengan erat. "Sepakat!"
****

Raya menggeser piring terakhir yang dia letakkan ke dalam posisi yang dia rasa paling tepat. Wanita itu memandangi seluruh permukaan meja yang kini tertutup oleh aneka piring yang menyajikan masakannya. Setelah merasa puas, dia kemudian memanggil suaminya untuk makan malam bersama.
"Mungkin kita harus nyari asisten buat bantu kamu mengerjakan pekerjaan rumah, Ra. Aku nggak mau kamu sampai kecapekan," komentar Erlangga sambil melihat istrinya mengambilkan makanan ke piringnya.
Raya menggeleng tidak setuju. "Aku baik-baik saja, kok. Kehamilanku juga sehat. Kata dokter, justru bagus kalau aku banyak gerak menjelang HPL. Asal nggak terlalu diforsir aja."
Erlangga tak membantah lagi. Istrinya itu memang agak keras kepala. Jadi dia hanya bisa mengikuti keinginan Raya saja.

"Gimana hasil masakan buatanku, Mas? Enak, nggak?" tanya Raya dengan wajah penuh semangat.
Erlangga mengunyah makanan di mulutnya. Kemudian tampak berpikir keras. Setelah makanan di mulutnya tertelan, baru dia mulai berkomentar.
"Semur ayamnya terlalu manis, Ra. Kayaknya kebanyakan kecap. Kalau capcay sayurnya, bumbunya pas, tapi tingkat kematangannya over. Tempe krispinya terlalu keras, mungkin komposisi tepung yang kamu bikin kurang pas. Tapi secara keseluruhan enak, kok. Dan aku suka," komentar Erlangga panjang lebar.

Raya mengerutkan dahi. Terlihat berpikir keras. Dibanding kecewa, ada rasa lain yang lebih dominan. Rasa heran. Kenapa suaminya yang dulu selalu memuji masakannya sekarang malah menyerupai Chef Arnold Purnomo? Salah satu juri kompetisi memasak yang mempunyai muka baby face, badan atletis, tapi mulutnya selevel dengan Bon Cabe level lima belas.
"Mas, aku agak heran, deh. Dulu waktu awal nikah, kamu selalu muji masakanku. Tapi sekarang kamu selalu kritik masakanku. Padahal menurutku, kemampuan masak yang aku miliki udah berkembang pesat, lho." Raya menyuarakan keheranannya.

Erlangga mengusap tengkuknya dengan salah tingkah. Raya makin menatapnya penuh selidik. Akhirnya, Erlangga memutuskan untuk jujur saja.
"Ra, kamu ingat kesepakatan kita setelah berbaikan dulu itu?"
"Kesepakatan yang mana?" tanya Raya tak mengerti.
"Kalau aku harus selalu jujur sama kamu."
"Terus hubungannya apa?"
Erlangga kembali terlihat salah tingkah. Ada kekhawatiran yang terbaca dari matanya. "Maka dari itu, sekarang aku mulai jujur sama kamu."
Raya masih terdiam. Berusaha mencerna jawaban dari Erlangga yang berbelit-belit. Dan saat kesadaran menghampirinya, dia menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Apalagi melihat Erlangga yang sekarang nyengir padanya.
"Jadi dulu kamu bohong saat ngomentarin masakan aku?"
Pria itu mengangguk.
"Terus sekarang jadi cerewet karena kamu jujur?"
Erlangga kembali mengangguk. Raya mendesah. Antara kesal dan juga geli. Dia tentu saja menyukai konsistensi yang ditunjukkan Erlangga untuk menepati janjinya. Tapi juga tak habis pikir dengan pola pikir suaminya itu. Memangnya dia tidak tahu istilah 'white lies' alias berbohong demi kebaikan? Berbohong demi menyenangkan hati istri begitu?
Kawan, bantu kasih solusi untuk Raya. Enaknya, suami yang jujurnya kebangetan seperti ini diberi hadiah cubitan menyengat ataukah pelukan hangat???

Selesai ....