Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

Sepakat 1 - 5

#Sepakat!Part 1
by Iim Bundanya Faras

"Aku ceraikan kamu, Narraya, mulai detik ini kita bukan suami istri lagi!"
Kalimat itu menjadi titik balik dari hidup mereka. Mengakhiri kebersamaan mereka yang memang diawali dengan cara yang salah.

Mereka mengira pernikahan hanyalah sebuah kompromi di mana setiap perbedaan dan masalah akan bisa diselesaikan dengan mudah.
Mereka lupa kalau akan ada ego, prinsip, kepercayaan, perasaan, dan komunikasi yang juga terlibat di dalamnya.

Mereka tak akan bisa terus bersama bila masih saling berkeras untuk mempertahankan ego masing-masing.
Mustahil untuk bertahan dengan prinsip yang kian bertolak belakang.
Komunikasi dan rasa saling percaya yang nyaris tak ada hanya makin memperuncing masalah yang timbul.
Belum lagi dengan adanya pihak-pihak ketiga. Makin membutakan mata hati mereka untuk mengenali isi hati satu sama lain.
Hingga mereka merasa semakin jauh dan tidak saling mengenal lagi.
Dengan begitu banyak alasan untuk berpisah, akankah tersisa satu alasan untuk kembali bersama?

****
Sebelumnya ....
Alma meremas kesepuluh jari-jarinya dengan kalut. Menerangkan bahwa dia benar-benar berada di titik darurat. Ini bukan lagi satu hal yang bisa ditunda. Masa depannya akan ditentukan dalam waktu dekat ini.
"Mas Naufal sebenarnya benar-benar cinta sama aku, nggak?" tanya Alma dengan sendu. Rasa putus asa tergurat di wajahnya. Tak menyisakan sedikitpun binar di matanya.
Raya tercenung. Jawaban yang dituntut Alma bukan lagi sekedar 'iya' atau 'tidak'. Tapi lebih kepada sikap yang diambil Naufal sekarang.
Raya tak pernah menyalahkan posisi Alma yang meminta kejelasan. Mereka sudah terlibat hubungan asmara selama hampir tiga tahun. Dan sampai sekarang, kakaknya tak kunjung mengupgrade komitmen antara mereka. Wajar bila Alma merasa putus asa.

Wanita itu sebenarnya masih bisa bersabar dan menunggu. Rasa cintanya pada Naufal bukan hanya isapan jempol belaka. Jangankan tiga tahun, bahkan sampai sepuluh tahun lagi, dia akan setia pada rasa cintanya ini. Masalahnya, orangtua Alma tidak mau menunggu lagi. Kesabaran mereka sudah habis.
Bahkan kini mereka sudah mengeluarkan ultimatum. Segera lamar, atau akhiri hubungan tidak berarah itu untuk selamanya. Hal yang sangat wajar mengingat kepentingan anak gadisnya. Pihak wanita memang akan lebih dirugikan bila menjalani hubungan cinta tanpa status hubungan yang legal.

"Ayah bilang akan menjodohkan aku dengan pria pilihannya bila mas Naufal nggak juga bersedia melamarku." Alma berbicara sambil menyeka air mata yang turun di pipinya. "Tapi aku beneran cinta sama mas Naufal, Ya. Aku maunya menikah dengan dia."
Raya mengelus punggung tangan Alma yang berada di atas meja. "Kamu sudah bilang sama mas Naufal tentang ini?"
Alma menelan kembali isak tangisnya yang keluar. Kepalanya mengangguk pelan. "Sudah. Tapi jawabannya masih sama. Dia nggak bisa, Ya."

Raya mendongakkan kepalanya untuk menghalau air matanya yang ikut merebak. Hatinya tercubit melihat pemandangan menyedihkan yang ditampakkan oleh Alma. Gadis ini cantik. Juga cerdas dan pengertian. Dan yang terpenting, cintanya pada Naufal begitu tulus dan besar.
Tapi Naufal benar-benar kepala batu. Menyia-nyiakan berlian yang begitu bersinar hanya demi sebuah keinginan yang tidak masuk akal. Setidaknya begitu menurut Raya.

Untuk apa laki-laki itu berkeras menunda untuk menikah sampai nanti adiknya yang menikah dulu? Padahal dia sudah mempunyai kekasih yang sempurna. Kekasih yang harusnya diperjuangkan dengan keras untuk bisa dihalalkan. Tantangan dari orangtua Alma harusnya bisa menyadarkan kekerasan hatinya. Bukannya malah membuatnya memilih mundur.
Dasar pria goblok! Raya mengumpat dalam hati.

"Maafin aku dan kakakku, ya, Al?" pinta Raya tulus.
Alma lekas menghapus jejak basah dari pipinya. Menatap ke arah Raya dengan sungguh-sungguh. "Nggak, Ya. Aku nggak pernah menyalahkan kamu. Juga mas Naufal. Ironis, tapi kadang aku juga merasa bangga padanya karena hal ini. Betapa dia sangat mengagumkan sebagai seorang kakak yang merasa memegang amanah untuk selalu menjaga adik perempuannya. Membuatku bisa membayangkan dia pasti kelak juga akan menjadi seorang suami dan ayah yang luar biasa. Kamu juga nggak salah. Kamu nggak pernah meminta mas Naufal untuk berbuat ini, kan? Aku tahu bagaimana kamu, Ya. Kamu adalah sahabat terbaikku."
Raya tak kuasa lagi menahan sesak di dadanya. Dia tahu betul bagaimana putihnya hati Alma. Masih bisa memandang segala sesuatu dari sisi positif. Padahal hatinya telah dipatahkan Naufal berkali-kali. Tapi tak sedikitpun ada rasa benci yang timbul untuk pria itu.

"Aku cuma berharap setelah ini hubungan kita masih akan baik-baik aja, kan, Ya? Walaupun aku putus dengan kakakmu dan menikah dengan pria lain. Kamu masih mau tetap jadi sahabatku, kan, Ya? Hatiku sudah patah karena harus melepaskan mas Naufal. Jadi jangan biarkan makin hancur kalau aku harus kehilangan kamu juga, Ya? Kita masih bisa berteman, kan?"
Demi mendengar permintaan yang tulus itu, Raya tak bisa menjawab apa-apa lagi. Hanya sebuah pelukan erat yang bisa dia berikan sebagai jawaban. Andai saja ini bukan Naufal, sudah tentu pria kurang ajar yang berani membuat Alma hancur akan Raya hajar hingga babak belur.
Masalahnya, pria itu adalah kakaknya. Seseorang yang mendedikasikan hidupnya selama ini untuk menjaganya. Satu-satunya keluarga yang dia miliki setelah orangtua mereka meninggal enam tahun lalu.

Tapi rasa bersalah itu menghujam jantung Raya saat tahu kini ada lagi pengorbanan besar yang dilakukan kakaknya itu. Melepas Alma bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh Naufal. Dia juga berat melakukannya. Tapi cintanya pada sang adik lebih teramat besar lagi. Cita-cita pria itu hanya satu. Dia baru akan menikah bila tanggung jawab pada Raya sudah dia serahkan pada pria yang akan menjadi suaminya. Pria yang akan dia pastikan bisa bertanggungjawab penuh pada kebahagiaan sang adik.

***
"Siapa, ya?"
Raya bertanya dengan mata menyipit curiga pada pria yang kini berdiri di depan rumahnya. Pria itu memakai celana jeans biru gelap dan atasan kemeja flanel yang kancingnya terbuka. Memperlihatkan kaus putih yang dipakainya. Wajahnya familiar tapi Raya terlalu malas untuk mengingat di mana dia pernah melihat wajah itu.
"Saya temannya Naufal. Dia ada di rumah?" Pria itu menjawab dengan suara berat dan tenang.
Raya mengendurkan syaraf waspadanya. Jawaban pria itu membuka sedikit memori di otaknya. Memori yang menyimpan di mana dia pernah melihat wajah itu. Salah satu dari teman kakaknya yang pernah datang beberapa kali ke rumah.

"Mas Naufal belum pulang. Mungkin sebentar lagi. Mau menunggu atau titip pesan?"
Pria itu berpikir sejenak. "Boleh saya tunggu aja? Tanggung juga udah sampai sini."
"Tentu boleh. Tapi nggak keberatan kalau nunggu di teras, kan?"
Pria itu menggeleng sembari tersenyum tipis. "Terima kasih, Narraya."
Raya membalas senyuman itu dengan pipi sedikit memerah. Tersanjung karena namanya diingat oleh teman kakaknya itu. Mengikuti pergerakan pria itu yang melangkah ke kursi teras dengan pandangannya. Setelah memastikan pria itu duduk dengan nyaman, Raya berbalik masuk rumah. Namun dia urungkan dalam detik terakhir. Ada sesuatu yang terlupakan.

"Oh ya, Mas namanya siapa? Biar saya kabari Mas Naufal kalau sudah ditunggu," ucap Raya dengan sedikit sungkan. Rasanya agak tidak sopan karena dia tidak mengingat nama orang yang tahu betul nama depannya. Salahkan memori otaknya yang memang terbatas dalam mengingat nama orang.
"Erlangga," jawab pria itu singkat.
Raya benar-benar berbalik untuk masuk rumah. Berniat membuatkan kopi untuk tamu kakaknya itu. Juga untuk mengabari Naufal agar segera pulang. Tidak enak kalau membuat seseorang terlalu lama menunggu.
Erlangga. Raya hampir menyemburkan tawa saat pertama mendengar nama tersebut diucapkan oleh si empunya. Nama yang mengingatkan Raya pada nama penerbit buku cetak pelajaran yang sering dipakainya saat masih SMA.

***
Raya mengecek kembali gawainya. Memastikan kalau Naufal baru akan sampai tiga puluh menit lagi. Jalanan sedang macet, katanya. Dia juga bilang kalau sudah mengabari keterlambatannya ini langsung pada Erlangga, jadi Raya harusnya tak perlu merasa sungkan.
Tapi masalah lain timbul. Laptop milik Raya tiba-tiba bermasalah. Padahal ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Dan deadline pekerjaan itu besok pagi. Mau tidak mau, Raya harus ke toko servis elektronik untuk memperbaiki laptopnya. Tapi bagaimana dengan Erlangga? Sedangkan Naufal belum juga sampai rumah.
Raya mendekati Erlangga yang sedang asyik bermain game dengan gawainya.
"Mas, aku tinggal pergi keluar sebentar, nggak apa-apa, kan?"
Pria itu mendongak. "Mau ke mana? Kayaknya mau turun hujan."
Raya mengikuti arah pandangan Erlangga. Langit memang sudah dihiasi oleh awan gelap. Bahkan beberapa kali terlihat cahaya kilat. Angin pun mengantarkan bau khas tanah basah seakan memberi pertanda langit sebentar lagi akan menumpahkan airnya.

"Laptopku tiba-tiba bermasalah. Dan aku punya pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Parahnya, aku lupa back up file itu." Raya menjelaskan dengan nada putus asa.
Erlangga mengusap tengkuknya dengan gestur ragu. "Boleh coba aku lihat. Siapa tahu bisa kubantu?"
Mata Raya langsung berbinar penuh harap. Dengan semangat dia mengeluarkan laptop dari tasnya. Menyerahkan kepada Erlangga untuk diperbaiki. Dan semoga saja Erlangga benar-benar bisa memperbaikinya.

Beberapa menit, Erlangga sibuk mengutak-atik laptop Raya. Sang pemilik hanya bisa mengawasi sambil berdoa agar laptopnya benar-benar bisa diperbaiki. Bukannya malah tambah rusak. Tentunya bukan dengan maksud untuk berprasangka buruk pada Erlangga.
Ajaibnya, laptop Raya benar-benar bisa bekerja normal kembali. Erlangga segera menyuruh Raya untuk mengecek file yang ada di dalamnya. Untuk memastikan tidak ada file yang hilang.
"File masih lengkap. Makasih banyak, ya?" Raya tersenyum lebar.
Erlangga sampai tertawa kecil melihatnya. "Oke. Sama-sama."
Kebetulan saat itu ada tukang bakso lewat di depan rumah. Spontan, Raya berteriak memanggil Abang bakso itu untuk berhenti.

"Sebagai ucapan terima kasih, aku traktir bakso, mau?" tanya Raya dengan binar yang tak kunjung hilang dari matanya.
Erlangga tertawa kecil. Baginya itu tadi bukan pertolongan besar. Tapi melihat antusiasme yang ditunjukkan Raya, mau tidak mau dia mengiyakan tawaran itu. Apalagi dalam cuaca mendung seperti ini, sepertinya sangat cocok untuk menikmati semangkuk bakso. Eh, makin sempurna dengan teman makan yang cantik.

***
Bakso dengan kuah sedap yang masih hangat. Gerimis yang turun dengan butir-butir air yang besar. Menciptakan suasana syahdu kala menimpa dedaunan dan tanah.
Suasana sempurna itu membuat dua anak manusia itu seakan lupa pada kesan asing di awal pertemuan mereka sore itu. Kecanggungan melebur bersama dengan keluarnya tawa dan canda mereka. Dengan cepat mengakrabkan sepasang pria dan wanita itu.
Bahkan kini Raya tak sungkan lagi untuk menceritakan masalah yang membebani pikirannya akhir-akhir ini. Apa lagi kalau bukan soal kakaknya.
"Pernah ketemu sama Alma?"

"Belum, sih. Tapi kayaknya pernah dengar dari anak-anak pas ngecengin si Naufal."
"Alma itu orangnya cantik banget. Kalem, wajahnya adem gitu. Duh, aku sebal banget sama mas Naufal. Masa mau nyia-nyiain perempuan sebaik Alma. Tetap ngeyel kalau aku yang harus menikah duluan." Raya bercerita dengan semangat. Erlangga tekun mendengarkan sambil mengangguk.
"Memang Alma serius mau dijodohin sama orangtuanya?"
Raya mengangguk. "Iya. Pria pilihan ayahnya itu sekarang sih masih di luar negeri. Kerjanya di KBRI yang ada di Malaysia. Rencananya empat bulan lagi mau pulang buat lamaran. Setelah itu, kesempatan mas Naufal benar-benar tertutup rapat."
"Kalau mau bantu kakakmu, kenapa kamu nggak segera menikah aja?"
Raya mendesah keras. Bukannya dia tak mau. Tapi dia memang tak punya kenalan pria yang bisa dijadikan calon suami yang potensial. "Gimana mau menikah kalau calonnya nggak ada."
Tangan Raya menusuk bakso dengan garpu menggunakan kekuatan ekstra. Sedikit melampiaskan kekesalan hatinya. Disuapnya bakso itu ke dalam mulutnya sebelum kemudian mengunyah dengan pelan dan tak bersemangat.
"Kalau aku ngajuin diri jadi calon suami kamu, boleh?"
Uhuk! Uhuk! Raya langsung tersedak dengan mata melotot ke arah Erlangga.
Dia pasti bercanda, kan???
Bersambung ....

..
🌿🌿🌿🌿
#Sepakat!
Part 2
Pria itu dengan tergesa menuruni anak tangga dari kamarnya yang berada di lantai dua. Berjalan menghampiri meja makan besar yang sudah lengkap dengan hidangan makan malam. Lima orang dewasa yang sudah duduk di masing-masing kursi menoleh ke arahnya.
"Maaf, aku terlambat." Erlangga berucap pelan dengan napas yang sedikit ngos-ngosan.
Semua diam tak bereaksi. Hanya seorang wanita berusia senja dengan rambut memutih yang sedikit mengeluarkan dengusan. Beliau paling tidak suka dengan orang yang tidak tepat waktu. Makan malam adalah salah satu hal yang wajib diikuti oleh anggota keluarga ini. Tidak hadir berarti harus menyediakan alasan yang bisa diterimanya.

Untung saja Erlangga adalah cucu kesayangan dari Eyang Ajeng Rahayu ini. Kalau yang terlambat adalah anggota keluarga yang lain bisa dipastikan akan kena ceramah panjang lebar.
Brama, ayah dari Erlangga akhirnya buka suara. "Duduk, El. Kita segera mulai makan malam kita."
Dengan sigap, Nania melayani suami dan ibu mertuanya. Erlangga dan dua adiknya segera mengikuti. Mereka makan malam dalam diam. Eyang Ajeng tidak menyukai orang yang berbicara saat sedang makan. Baginya itu hal yang tidak sopan. Biasanya mereka baru akan berbicara bila makanan di piring masing-masing telah habis.
"El, Eyang mau bertanya serius sama kamu." Eyang Ajeng memulai pembicaraan setelah makan malam usai.
Semua masih duduk rapi di kursi. Aturan lain di rumah ini, tidak boleh ada yang meninggalkan meja makan sebelum Eyang. Ribet? Memang, tapi mereka sudah terbiasa.
"Bicara apa, Eyang?" tanya Erlangga dengan sopan.

Eyang menghela napas panjang. "Kapan kamu bergabung dengan perusahaan keluarga?"
Erlangga menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi. Belum apa-apa, dia sudah lelah dengan pembicaraan ini. Topik yang lagi-lagi sama diangkat oleh Eyang.
"Eyang, aku sudah nyaman dengan pekerjaanku yang sekarang. Lagian sudah ada Tama yang bantu Papa, kan?"
Tama yang namanya disebut tak ikut menyahut. Kepalanya menunduk dengan jari memainkan sendok kecil bekasnya untuk makan puding buatan mamanya. Kirana, anak bungsu dalam keluarga itu juga bungkam. Namun menyimak pembicaraan itu dengan minat yang nyata.
"Tapi kamu itu anak sulung dalam keluarga ini. Harusnya kamu yang memimpin perusahaan kelak kalau papamu sudah pensiun. Bukan Tama."
"Aku dan Tama sama-sama anak Papa. Jadi nggak ada bedanya. Anak pertama dan kedua ataupun terakhir, itu kan hanya bilangan, Eyang."

Hanya seorang Erlangga yang berani membantah ucapan Eyang Ajeng sedemikian rupa. Brama, putranya saja lebih sering diam dan mengalah. Nania apalagi. Menantu yang tak berani sekedar mengatakan kata 'tidak' pada ibu mertuanya. Tama dan Kirana juga tak punya keberanian untuk memancing kemarahan Eyang mereka.
"Kamu ini makin lama makin ngeyel, ya. Sepertinya kamu memang perlu secepatnya dicarikan istri. Supaya ada yang bisa bikin kamu mikirin masa depan." Eyang mulai mengomel. Kepalanya menoleh pada Nania. "Nan, cariin calon istri buat El."
"Nggak usah, Ma," bantah Erlangga dengan cepat.
"Iya, Bu. Biarin El mencari sendiri pasangan yang cocok buat dia." Nania membela pendapat Erlangga.

Eyang menatap tajam. "Kamu nggak mau bantu karena El bukan anak kandung kamu, kan?"
Nada tuduhan itu sangat kental. Memercikkan aroma ketegangan dalam ruangan itu. Nania menunduk dalam. Hal ini sudah biasa dia terima. Suaminya bahkan selalu diam dan tak memberikan pembelaan untuk istrinya. Tama dan Kirana pun bungkam. Namun tangan Tama di atas meja yang tampak mengepal menunjukkan kalau dia tak terima pada tuduhan terhadap mamanya itu.
"Eyang, please ... jangan terus mojokin Mama. Walaupun Mama bukan ibu kandungku, tapi kita semua tahu kalau Mama yang membesarkan aku dengan kasih sayang yang tulus. Mama nggak pernah membedakan perlakuannya pada kami semua. Aku, Tama, dan juga Kirana selalu mendapat cinta yang sama."

Eyang Ajeng mendengus. Mengabaikan sepenuhnya ucapan Erlangga. Dari dulu sebenarnya beliau memang tak begitu menyukai Nania. Bahkan menentang saat Brama minta restu ingin menikah dengan Nania. Justru memaksa Brama menuruti keinginannya agar mau menikah dengan Sekar.
Akhirnya Brama dan Sekar menikah. Tapi Sekar ditakdirkan meninggal saat melahirkan anaknya, Erlangga. Kemudian saat Erlangga berusia dua tahun, Brama menikahi Nania. Jadi Nania yang merawat dan membesarkan Erlangga sejak berusia dua tahun. Menyayanginya layaknya anak kandungnya sendiri. Tidak berubah meskipun kemudian dari rahimnya sendiri telah lahir Tama dan Kirana.

Namun Eyang Ajeng sepertinya belum bisa menerima Nania seutuhnya hingga sekarang. Mungkin itu yang membuatnya lebih menyayangi Erlangga daripada adik-adiknya.
"Sekali saja, El, bisa kamu turuti keinginan Eyang? Kalau memang tak ingin bergabung di perusahaan papamu, segeralah menikah agar Eyang bisa melihat dan menimang cicit sebelum meninggal."
"Ibu, nggak baik bicara seperti itu," potong Brama tidak suka.
Kini Eyang menoleh pada Brama dengan serius. "Itu memang kenyataannya, Bram. Ibu sudah tua. Dan kita juga harus realistis. Hidup Ibu sudah nggak lama lagi. Setidaknya biarkan harapan Ibu untuk melihat cicit Ibu terkabul. Terutama, Ibu ingin punya cicit dari El."
Wanita yang sudah berusia lanjut itu berbicara dengan mata berkaca-kaca. Sungguh tak tega bagi siapapun untuk kembali membantah ucapannya.

Erlangga mengangkat kedua tangannya. "Oke, aku akan segera menikah. Tapi dengan wanita pilihanku sendiri. Kasih aku waktu untuk meyakinkan dia untuk kukenalkan pada keluarga ini."
"Lho, kamu sudah punya calon, El? Siapa?"
Belum, itu yang ingin dikatakan oleh Erlangga. Tapi tidak mungkin dia suarakan. Dia baru saja menciptakan kebohongan yang sempurna. Dan harus mewujudkan kebohongan itu agar menjadi kenyataan.
Tiba-tiba saja satu nama terbersit di pikirannya. Seorang gadis manis yang merupakan adik dari teman yang dikenalnya dari Yayasan di mana dia menjadi volunteer. Narraya Faradina.

***
"Angga!" panggil Yudi sambil mengibaskan tangan di depan wajah Erlangga.
Pria itu tersadar dari lamunannya. Diusapnya wajah dengan kedua tangannya. Sepertinya dia butuh secangkir kopi lagi.
"Ngelamun aja dari tadi, Bro?" tegur partner kerja Erlangga itu.
Yudi adalah sahabat sekaligus partner kerja Erlangga saat mendirikan perusahaan start up di bidang konsultan IT ini. Bila Erlangga lebih konsentrasi pada masalah teknis, maka Yudi lebih banyak berhubungan dengan klien. Dia mempunyai jaringan yang cukup luas dan mempunyai ilmu Public Relation yang cukup mumpuni.

Tidak terfokus pada jasa konsultan IT saja, perusahaan mereka juga menawarkan jasa di bidang publishing dan marketing. Tersedia layanan web design dan digital marketing (search engine dan social media marketing). Seperti membuatkan website yang berkualitas sesuai dengan konsep yang diinginkan kemudian mempromosikannya melalui sejumlah pilihan pemasaran online.
Walaupun terbilang masih baru, namun perusahaan mereka sudah mempunyai beberapa perusahaan yang menjadi pemakai jasa mereka. Kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan memang menjadi fokus mereka hingga bisa mendapat kepercayaan dari perusahaan yang memakai jasa mereka.
"Jadi mau meeting di daerah Cilandak?"

Yudi mengangguk. "Nanti jam satu siang. Sementara aku sama Danang aja yang presentasi. Nanti kalau mereka masih kurang puas dan mau penjelasan detail, baru pertemuan berikutnya kamu ikut."
Erlangga tak membantah. Justru senang karena waktunya berjam-jam yang harus dipakai untuk meeting bisa dia gunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif.
"By the way, tadi Naufal telepon. Katanya acara bakti sosial yang diadakan sama yayasan Peduli Bangsa jadi dilaksanakan akhir bulan ini. Kamu serius nawarin diri jadi seksi dokumentasi?"
"Iya. Emang kenapa? Ada yang aneh?"
"Ya, kan udah lama kamu nggak pegang kamera dan semacamnya. Lebih sering utak atik komputer."
"Malah bagus, kan? Aku bisa nyumbang tenaga sekaligus nostalgia dengan kameraku. Kamu sendiri mau ikut, nggak?"
Yudi menggeleng dengan wajah menyesal. "Ada acara keluarga."
Dahi Erlangga mengernyit. "Acara apa? Kok tumben anak-anak nggak diundang?"
Yudi menggosok tengkuknya dengan salah tingkah. Ada ekspresi malu-malu di wajahnya. "Acara keluarga inti aja, sih."
"Apaan?" Erlangga terus meminta kejelasan.
"Mau lamaran, Bro."
Erlangga mengangguk. "Oh, lamaran ..." Tapi sesaat kemudian, matanya melotot tidak percaya. "Lamaran? Kamu atau siapa?"
"Ya, aku dong. Kakakku kan udah nikah semua." Yudi menjawab sambil tertawa melihat reaksi Erlangga.

"Siapa yang mau kamu lamar? Setahuku, pacar aja nggak punya." Erlangga masih terlihat syok.
"Temannya anak Mama. Belum lama kenalan, tapi hatiku udah klik. Ya sudah, semuanya kayak mengalir begitu aja. Orangtua sudah sama-sama setuju. Kita sendiri juga udah siap. Ya, mau menunggu apa lagi?"
Erlangga masih ternganga mendengar cerita Yudi. Dia ini terkenal sebagai seorang player. Tiba-tiba berniat settle down dengan seorang wanita yang belum lama dikenalnya.
"Aku masih nggak percaya. Ini bukan prank, kan? Kok kayak mustahil begitu."
Yudi tersenyum lebar. "Nggak ada yang mustahil di dunia ini, Ngga. Apalagi soal cinta. Sesuatu hal sebesar pernikahan pun akan terasa mudah dijalani kalau kita sudah ketemu sama soulmate kita."
Dan Erlangga merasa kalau Yudi mungkin sedang kemasukan sejenis roh halus atau makhluk astral lainnya. Ini sama sekali tidak tampak seperti Yudi yang dia kenal. Atau memang kekuatan cinta sedahsyat itu?

****
"Tahu dari mana kantorku? Tahu dari mana nomor WAku? Mau ngapain ajak ketemu?"
Berondongan pertanyaan itu langsung diluncurkan begitu gadis itu sampai. Bahkan dia belum mengambil duduk. Menatap tajam pada pria yang sedang duduk santai dengan laptop di depannya.
"Bisa duduk dulu, Narraya? Sekalian aku pesan dulu makanan dan minuman buat kamu," usul Erlangga dengan santai.
Raya yang hari ini memakai jilbab berwarna biru muda merengut. Terlihat kesal dan tak ikhlas menemui Erlangga. Bagaimana dia tidak kesal kalau pesan yang dikirimkan Erlangga tadi lebih seperti pemaksaan ketimbang sebuah ajakan.

Namun gadis itu akhirnya setuju untuk duduk. Menjawab 'terserah' saat Erlangga menanyakan minuman yang ingin dia pesan.
"Sekarang, cepetan bilang apa yang perlu kamu sampaikan sama aku. Jangan bikin aku penasaran," tuntut Raya.
Erlangga tersenyum tipis. "Cuma mau melanjutkan obrolan kita dulu yang terputus."
"Obrolan soal apa?" Raya tak mengerti.
"Soal menikah," jawab Erlangga santai. Telunjuknya menunjuk dirinya sendiri. "Aku dan ..." Ganti menunjuk Raya yang duduk di depannya. "Kamu."

Bersambung ....
#Sepakat!
Part 3

Waktu masih kecil, Raya sering menonton film-film komedi yang dimainkan oleh grup komedi beranggotakan tiga orang laki-laki. Ada adegan yang sering sekali ditampilkan. Yaitu adegan di mana tiga orang laki-laki itu dikerjai habis-habisan oleh seseorang. Dan ternyata orang itu sebenarnya adalah pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Karena kemudian akan datang petugas rumah sakit yang membawa orang itu pergi untuk dikembalikan ke rumah sakit jiwa lagi.
Karena sering melihat adegan itu waktu masih kecil, jangan salahkan Raya kalau sekarang dia sibuk menoleh ke semua arah. Seperti sedang mencari sesuatu.

"Kamu nyari apa?" tanya Erlangga. Dia jadi ikut-ikutan menoleh ke sana kemari.
"Petugas rumah sakit jiwa. Kamu pasien yang kabur, kan?"
Bukannya tersinggung, Erlangga justru tertawa kencang. Membuat Raya makin mempertanyakan kesehatan mental pria di hadapannya itu.
"Emang aku kelihatan seperti orang yang nggak waras?" tanya Erlangga setelah tawanya reda.
Raya mengangguk mantap. "Omongan kamu menunjukkan itu. Kalau soal penampilan kan bisa menipu."
Erlangga menegakkan posisi duduknya. Menutup laptop yang tadi digunakan sebagai selingan saat menunggu kedatangan Raya.
"Aku masih waras. Dan aku serius. Justru sekarang makin mantap. Ayo menikah, Narraya."
Raya mengusap wajahnya dengan frustasi. Dia sudah dipusingkan oleh urusan pekerjaan selama delapan jam, dan kini dia harus menghadapi tingkah Erlangga yang aneh. Rasanya seakan kepalanya mau meledak.

Raya mengambil napas beberapa kali mencoba menenangkan pikiran dan mengatur emosinya. Dia harus tetap tenang.
"Kita baru bertemu berapa kali, sih? Bahkan seingatku, kita baru benar-benar ngobrol itu cuma sekali, beberapa hari yang lalu. Bisa-bisanya kamu ngajak aku nikah? Memang umur kamu berapa? Ngebet banget cepat-cepat mau nikah." Raya menggerutu dengan wajah yang masih terlihat kesal.
Baginya, ucapan Erlangga sungguh seperti candaan yang tidak lucu. Hello??? Memang hanya gara-gara ceritanya kemarin terus Erlangga merasa bisa menggunakan kesempatan dalam kesempitan begitu? Big No! Salah besar! Raya masih waras untuk tidak memilih menikah dengan orang asing.
Lain dengan Erlangga. Dia terlihat setenang air danau. Namun tak ada yang tahu apa yang ada di dalam dasar hatinya. Baginya ini adalah suatu tanda dari Tuhan kalau mereka berdua memang berjodoh. Momentum ini sungguh-sungguh tepat. Raya butuh menikah untuk menolong kakaknya. Dan dia sendiri juga harus segera menikah untuk memenuhi permintaan eyangnya.

Untuk urusan cinta? Ah, itu bisa diusahakan nanti. Seperti pepatah Jawa yang mengatakan, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa. Terbiasa bertemu, terbiasa bersama, terbiasa ngobrol, dan terbiasa lain-lainnya.
"Sebenarnya kuantitas pertemuan nggak bisa dijadikan patokan. Aku berani bilang begini sama kamu karena aku merasa punya semacam 'cemistry' sama kamu. Dari segi usia, kita jelas memenuhi syarat untuk menikah."
"Menikah itu bukan main-main, lho!" hardik Raya masih terlihat kesal.
Erlangga bersedekap dan memandang serius ke arah Raya. "Aku juga nggak main-main. Aku serius dengan lamaran ini."
Tangannya merogoh sesuatu dari kantong celana yang dipakainya. Menaruh benda itu di atas meja.
"Cincin ini menjadi salah satu tanda keseriusan dariku."
Raya masih diam dengan mata tertuju pada kotak cincin yang diletakkan Erlangga di atas meja.
"Aku beri waktu untuk kamu memikirkan keseriusanku ini. Mungkin memang ini mendadak dan terlalu tiba-tiba buatmu. Tapi yang jelas, aku tidak pernah main-main dengan keputusan yang kubuat. Termasuk sekarang, saat mengajakmu untuk menikah."

****
Raya agak terkejut karena Naufal tiba-tiba saja menerobos masuk ke kamarnya. Dia terlihat lelah karena baru saja pulang dari kegiatan sosial yang diadakan oleh yayasan tempat dia menjadi relawan.
"Ya, sejak kapan kamu punya hubungan khusus sama Angga?"
Raya terbengong mendapat todongan pertanyaan itu. "Angga? Angga siapa?"
Naufal mengusap wajahnya dengan kesal. Mengira kalau Raya hanya pura-pura tidak tahu. Tapi dia tetap menjawab pertanyaan itu. "Angga. Erlangga."
Pemahaman mulai hadir di benak Raya. Kepalanya mengangguk. "Aku sama Erlangga itu ... ah aku juga bingung gimana yang jelasin." Sekarang dia mendongak menatap wajah kakaknya. "Memang Erlangga bilang apa?"

"Dia minta restu buat menikah sama kamu. Bahkan katanya dia sudah lamar kamu. Apa itu benar?"
Raya mengamati wajah kakaknya yang merah. Jelas kalau sekarang pria itu sedang kalut. Dan Naufal jelas butuh jawaban segera. Raya akhirnya mengangguk.
Naufal menjambak rambutnya sendiri setelah mendapat jawaban dari Raya. Membuat Raya sedikit ngeri.
"Kenapa harus Erlangga?" tanya Naufal tak habis pikir.
"Memangnya kenapa dengan dia?" Raya justru balik bertanya.
Naufal menghembuskan napas dengan keras. Dia sadar kalau sebenarnya bukan masalah siapa pria itu. Ini masalah pada dirinya yang belum siap mendengar adiknya mau menikah. Semua terasa terlalu terburu-buru.
"Dia memang temanku. Tapi aku belum lama kenal sama dia. Belum ada satu tahun. Jadi aku belum begitu tahu bagaimana sebenarnya dia. Memangnya kamu sudah yakin sama Angga, Ya?"
Raya mengangguk. Sedikit berbohong. Padahal dia belum yakin. Tapi dia juga tak mungkin berseberangan dengan Erlangga di depan Naufal. Bisa fatal untuk ke depannya.
"Kamu tahu dan kenal dengan keluarga Angga?"
Kali ini, Raya menggelengkan kepalanya. Naufal kembali menghela napas keras. Kemudian menatap Raya dengan pandangan tidak terbaca.
"Aku akan selalu mendukung keputusan kamu. Tapi kamu harus benar-benar mempertimbangkan hal ini dengan matang. Dan bilang sama Angga, dia harus hati-hati kalau nggak mau dapat pukulan yang seratus kali lipat lebih menyakitkan dari yang tadi dia dapatkan."

****
"Itu ... sakit?" tanya Raya dengan telunjuk mengarah ke luka di sudut bibir Erlangga.
Pria itu tersenyum tipis yang kemudian berubah jadi ringisan. "Sedikit. Tapi luka kayak begini sih udah biasa."
"Kamu sering berantem, ya?"
"Nggak, kok. Tapi kadang laki-laki memang punya cara komunikasi yang unik. Salah satunya dengan bertukar kepalan tangan."
Raya mengernyitkan dahinya dengan bibir mencebik. "Sok jagoan," gerutunya pelan.
Erlangga hanya tersenyum tipis. Tapi matanya menatap tajam pada Raya yang duduk di depannya.
"Naufal sudah tahu. Awalnya memang kaget. Tapi akhirnya dia setuju. Kamu sendiri, sudah punya jawabannya?"
Raya merasa memang ini adalah waktu yang tepat. Dia harus berani membuat keputusan. Walaupun sadar kalau tiap keputusan yang diambil pasti mempunyai resiko.
"Oke. Kita bisa coba dulu untuk saling mengenal. Termasuk keluarga masing-masing."
Erlangga sekarang tersenyum lebar. Tidak peduli dengan bibirnya yang sakit saat dipaksa untuk mengulas senyum.

"Pasti. Bagaimana kalau Sabtu depan, aku ajak kamu ketemu dengan keluargaku?"
"Boleh. Tapi kalau boleh tahu, pekerjaan kamu apa?"
"Yang jelas aku bukan koruptor, penyebar berita hoax, ataupun admin grup pergosipan." Erlangga terkekeh saat mengatakannya.
Raya merengut mendengar jawaban tidak serius dari Erlangga.
"Bercanda. Pekerjaanku berhubungan dengan komputer dan alat elektronik. Ya seperti yang aku lakuin pada laptop kamu dulu itu."
Raya langsung mengerti sambil ber'oh ria. Ternyata Erlangga adalah orang yang ulet dan pekerja keras.
"Ehm ... jadi kamu tukang servis dan reparasi alat elektronik. Kapan-kapan bisa minta tolong cek AC di rumahku. Kayaknya ada yang perlu diperbaiki, deh."
Erlangga melongo pada Raya yang tengah menatapnya dengan serius. Tanpa ada gurat bergurau di wajahnya. Dia serius dengan pertanyaan itu?
Bersambung ....

#Sepakat!
Part 4

"Raya!"
Raya berjengit kaget mendengar seruan itu. Deni, atasannya yang merupakan manajer keuangan di perusahaan tempat Raya bekerja, sudah berdiri di samping kubikel Raya.
Tangan Raya buru-buru memindah laman Instagram ke laman yang menampilkan sheet di Microsoft Excel. Terpampang laporan keuangan yang tadi dikerjakannya sebelum menengok ke Instagram untuk sekedar merefresh otaknya.
"Apa sih, Pak? Bikin saya kaget aja," gerutu Raya pelan.
Deni tertawa keras. Tahu betul aib yang tadi disembunyikan oleh Raya.
"Udah. Nggak usah sok sibuk. Tadi saya udah lihat kamu baru aja mantengin akun lambe-lambean, kan?"
"Ish, enak aja Bapak nuduh sembarangan." Raya masih berusaha mengelak. Berbuat kesalahan mungkin iya, tapi membela diri itu wajib.
Deni melambaikan tangan. Enggan mendengar bantahan lagi. "Sekarang kamu ikut saya. Kita meeting ke lantai atas. Bawa laptop kamu dan pastikan semua laporan yang saya minta kemarin sudah lengkap."
Raya terpaksa segera membereskan laptop dan segala barang yang akan dibawa ke meja rapat. Sebenarnya agak kesal juga dengan Deni. Padahal dia punya sekretaris, kenapa harus mengajaknya. Seolah dia kurang kerjaan hingga harus menemani atasannya itu untuk rapat selama berjam-jam.
"Raya, kamu sudah tahu belum kalau Anna mau resign?"
Anna adalah salah satu staff di divisi keuangan juga. Tentu saja Raya sudah tahu. Bahkan sebelum Anna mengajukan surat pengunduran resmi ke HRD.
"Sudah, Pak." Raya menjawab sambil mengikuti langkah Deni menuju ruang meeting di lantai 5.
"Kamu tahu alasan dia resign?"
Deni menoleh pada Raya setelah berada di depan lift dan menekan tombol naik.
"Anna mau menikah, Pak."
"Kamu kapan?"
Sekarang Raya bingung dengan pertanyaan itu. "Maksudnya?"
Deni malah tertawa. "Ya, berarti di divisi kita tinggal kamu aja yang single, kan?"
Raya memutar bola matanya dengan malas. "Emang Bapak sendiri udah double? Iya, tuh dobel perutnya!"

Bukannya marah, Deni justru tertawa makin keras. Membuat Raya geleng-geleng kepala melihat kelakuan bosnya. Kalau dia bukan putra dari pemilik perusahaan, tidak mustahil Deni ini sudah dipecat. Mentalnya perlu dipertanyakan.
Pintu lift terbuka. Ada beberapa orang yang berada di dalamnya. Tapi Raya tak mengenal satu pun orang-orang itu. Mungkin karyawan di lapangan.
"Saya dan kamu jelas beda dong." Deni masih melanjutkan topik yang sama saat sudah masuk ke dalam lift.
Raya memilih menunda untuk menjawab. Sungkan dengan penghuni lift yang lain. Jelas dia berbeda dengan Deni, salah satunya Raya masih punya rasa malu.
Hanya Raya dan Deni yang keluar saat lift berhenti di lantai 5. Dan Deni kembali membicarakan topik yang sebenarnya enggan dibahas oleh Raya.
"Pria itu makin berumur justru makin matang dan menawan."
"Oh ya? Pantesan laki-laki yang sudah punya cucu kadang pada kegenitan mau menikah lagi."
"Ya, kan laki-laki boleh menikahi lebih dari seorang istri."
"Jadi Bapak nanti punya niat berpoligami?" Raya bertanya dengan mimik serius.
Deni mengerling jahil. "Ya, itu sih tergantung."
Raya mendengus kesal mendengar jawaban mengambang itu. "Di mana-mana lelaki mah sama aja," gerutunya sedikit kesal.
"Tenang aja. Saya nggak akan poligami kalau kamu nggak setuju, kok."
"Loh, apa hubungannya sama saya?" tanya Raya gagal paham.
Deni tersenyum manis. "Kan istri saya nanti kamu."
Rasanya Raya ingin menggeplak kepala bosnya itu keras-keras dengan map di tangannya. Bisa-bisanya dia flirting di saat begini.
"Bapak suka asal deh kalau ngomong. Jangan sampai Bu Juwita dengar, ya, Pak. Bisa-bisa saya diviralkan dengan tuduhan merebut pacar orang."
Raya jelas tak terima bila dia sampai dimusuhi oleh Juwita cuma gara-gara candaan dari Deni. Semua orang kantor juga tahu kalau ada hubungan spesial antara dua petinggi perusahaan itu.
"Panjang umur, itu Bu Juwita ke sini," guman Raya pelan.

Deni mengikuti arah pandang Raya. Seorang perempuan bertubuh tinggi dan langsing berjalan dengan anggun ke arah mereka. Senyum manis terpasang di bibirnya yang tipis.
"Eh, kenapa pada berdiri di sini? Ayo langsung masuk aja," ajak Juwita pada mereka berdua yang memang masih dalam posisi berdiri di depan pintu ruang pertemuan yang masih tertutup.
"Hai, Raya. Gimana kabar kamu? Lama kita nggak makan siang bareng." Juwita menyapa Raya dengan ramah. Kadang-kadang memang dia suka bergabung dengan Deni atau staff dari divisi keuangan saat makan siang. Makanya dia kenal dan hafal dengan nama-nama mereka.
"Pagi, Bu Juwita. Alhamdulillah kabar saya baik."

Deni mengambil tumpukan map di tangan Raya. Membuat Raya agak bingung. "Sudah. Kamu sekarang balik ke lantai bawah. Terima kasih udah mau nganterin saya."
Juwita dan Raya sama-sama menatap ke arah Deni dengan bingung.
"Maksud Pak Deni gimana, ya?" tanya Raya tak mengerti.
"Narraya Faradina ... silakan kembali ke meja kerja kamu. Laptop kamu, kamu bawa kembali aja. Lanjutin pekerjaan kamu tadi." Deni menjelaskan dengan tampang tidak berdosa.
"Jadi ... Bapak tadi nyuruh saya ikut ke sini cuma untuk nganterin Bapak aja?"
Deni mengangguk. Raya melotot kesal. Juwita menahan tawanya.
Raya menggelengkan kepalanya sambil mengelus dadanya dengan satu tangan yang bebas. Tangan yang lainnya masih mengapit laptopnya.

"Oke. Saya permisi dulu, Pak Deni." Raya sengaja menekan setiap kata dari kalimat yang diucapkannya. Kemudian dia menoleh ke arah Juwita. "Permisi, Bu Juwita."
Juwita mengangguk sambil tersenyum. Pandangannya mengikuti Raya sampai gadis itu tak terlihat lagi setelah keluar dari pintu kaca. Kemudian dia menoleh pada Deni yang ternyata juga melakukan hal yang sama dengannya.
"Kamu jahil banget sama staff sendiri, Den," tegur Juwita.
Deni tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya. "Dia lucu kalau lagi marah begitu. Pasti nanti dia bakal ngambek sama aku."
Senyum Juwita sedikit memudar saat melihat arti tatapan mata Deni. Mungkin banyak orang yang salah paham pada hubungannya dengan Deni. Mengira mereka menjalin hubungan kasih, padahal mereka hanya sekedar sahabat. Walaupun ada salah satu di antara mereka yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.

****
Raya menuangkan beberapa sendok sambal pada sotonya hingga kuahnya berwarna merah menyala. Membuat Adit dan Mega yang menjadi teman makan siangnya hari ini menatapnya dengan ngeri.
"Nggak takut sakit perut tuh?" tegur Adit pada Raya.
Raya menggeleng dan mulai menyicip kuah sotonya. Mencoba tingkat kepedasan yang dihasilkan dari racikan tangannya. Tersenyum senang saat merasakan pedasnya cabai menyapa lidahnya. Dia justru mengecap dengan nikmat.
"Duh, rugi deh abangnya kalau semua pelanggannya macem Raya begini. Apalagi pas harga cabe naik." Adit berkomentar sambil menyuap makanan pesanannya. Nasi Padang dengan lauk rendang. Salah satu menu favoritnya bila sedang makan di kantin yang berada di gedung kantor mereka.
"Kamu nggak usah mikirin harga cabe. Kayak doyan pedas aja. Kalau cabe-cabean mahal, baru kamu boleh pusing." Mega yang menyahut membuat Adit berdecak kesal.
Raya terkikik geli melihat wajah Adit yang dongkol.
"Boleh gabung?"

Tahu-tahu saja seseorang sudah duduk di kursi yang berada di sebelah Adit. Tepat di depan Raya. Pria yang tadi sukses membuat Raya meradang karena keisengannya.
"Boleh, Pak. Kursinya masih jadi hak milik bersama, kok," jawab Adit garing.
"Terima kasih."
Deni memang tergolong atasan yang low profile. Tidak jarang bergabung makan siang dengan anak buahnya. Tidak seperti yang lain. Kebanyakan lebih suka makan di restoran mahal. Makan daging dengan harga ratusan ribu padahal porsinya sama dengan potongan rendang di warung nasi Padang.
"Bu Juwita kok nggak ikut, Pak?" Adit mulai kepo.
"Nggak tahu. Emang saya sama Juwita harus bareng terus?"
Adit kontan menggeleng. "Tapi kan kalau punya pacar biasanya lebih senang makan bareng pacarnya."
"Itu sih kamu. Suka norak kalau pacaran."

Adit melotot pada Raya yang menyahut omongannya. Deni malah tertawa melihat keduanya.
"Emang kamu nggak norak kalau pacaran?" Deni ganti bertanya pada Raya.
Raya menatap Deni dengan serius. " Maaf, Pak. Saya tidak pacaran."
"Terus?" Deni bertanya sambil lalu. Tangannya mulai sibuk menyuap nasi dengan lauk ayam bakar.
"Raya itu penganut paham pacaran setelah menikah, Pak." Adit yang mewakili Raya untuk menjawab.
"Jadi?"
"Ya kalau berani, langsung lamar aja," jawab Raya enteng.
Adit dan Mega tertawa melihat wajah datar Raya saat mengatakan semua itu. Sementara Deni justru menatap serius pada gadis itu.
Perhatian Raya teralihkan pada ponselnya yang bergetar di saku blazernya. Ada sebuah pesan yang baru masuk. Dari Erlangga.
[Besok aku jemput kamu di rumah. Jam sepuluh pagi.]
Tanpa sadar, Raya menghela napas. Terbayang-bayang akan bagaimana jadinya pertemuan esok. Semoga saja sesuai dengan rencana mereka.

***
"Ada siapa aja di rumah kamu?"
"Papa, Mama, ibunya Papa, sama dua adikku," jawab Erlangga dengan konsentrasi ke jalanan yang mulai macet di akhir pekan.
Raya mengangguk mengerti. Membayangkan kira-kira bagaimana sosok yang akan dia temui nanti. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Tidak perlu ada adegan drama Korea di dunia nyata.
"Nama panggilan kamu apa, sih? Angga, ya? Mas Naufal manggil kamu 'Angga'."
"Teman-teman dan rekan kerja kebanyakan memang panggil aku 'Angga', tapi kalau di rumah, panggilanku 'El'."
"Hah? El? El Jalaluddin Rumi?" tanya Raya sambil mengulum senyum.
Erlangga menoleh sekilas dengan kening berkerut. "Siapa tuh?"
Raya meringis. "Kamu nggak kenal?"
"Nggak. Emang siapa? Tokoh di Timur Tengah?"

Raya mengibaskan tangannya. "Udah, nggak perlu dibahas. Nggak penting juga. Terus ini aku manggil kamu apa? Mas El atau Mas Angga? Atau Mas Erlangga? Atau Mas Erlan? Atau Mas ...."
"Stop ... stop ...." potong Erlangga. "Terserah kamu aja."
Raya berpikir keras. Kemudian tak lama, dia menjentikkan jari dengan mata berbinar. Seolah telah menemukan sebuah ide yang sangat brilian.
"Aku panggil kamu, Mas Aga aja? Gimana? Bagus, kan? Biar beda dari yang lain. Kesannya kan jadi spesial." Raya dengan semangat mengatakan idenya.
Erlangga mengiyakan sambil tersenyum melihat tingkah gadis itu. "Kalau begitu aku juga mau punya panggilan khusus buat kamu."
Raya memiringkan tubuhnya ke arah Erlangga. Terlihat antusias sekali. "Boleh banget. Apa nih nama kesayangan buat aku?"
Erlangga terlihat berpikir serius beberapa saat. "Narraya ... Na ... rraya .... Bagaimana kalau Ara?"
"Ara ... Ara dan Aga? Ih, kok bisa pas banget, sih?" Raya menyahut dengan senyuman lebar.

Padahal untuk Erlangga, ini hanya masalah sepele. Tapi Raya menanggapinya seolah dia menemukan sebuah teknologi baru yang berguna bagi umat. Tapi yang lebih aneh lagi, Erlangga merasakan hangat di hatinya ketika melihat binar ceria di mata gadis itu. Seakan terselip keinginan untuk menjaga agar binar itu tak akan pernah redup.
Rumah Erlangga terletak di daerah Kebayoran Baru. Sebuah rumah besar dengan tanah yang lumayan luas. Jelas pemiliknya bukan sembarangan orang.
"Ini rumah kamu?" tanya Raya dengan berbisik saat mereka sudah turun dari mobil yang diparkir di carport.
"Lebih tepatnya, rumah orangtuaku," koreksi Erlangga santai.
Tangan Raya meraih lengan kemeja yang dipakai Erlangga. Pria itu menghentikan langkahnya seketika. Dahinya mengernyit melihat Raya yang kelihatan gugup.
"Kenapa?"
"Aku gugup, nih," jawab Raya jujur.
"Santai aja. Keluargaku baik, kok."
Raya menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Memangnya ada orang yang blak-blakan mengakui kalau keluarganya itu jahat.
Tapi Raya menyadari kalau dirinya harus tenang. Lagian ini hanya perkenalan. Bahkan kalau hasilnya buruk, harusnya hatinya bisa menerima dengan lapang dada. Toh, komitmen yang disepakati dengan Erlangga belum melibatkan perasaan. Seharusnya begitu, kan? Tapi mendapat sebuah penerimaan yang baik tetap saja menjadi harapan bagi Raya.
Erlangga langsung melangkah masuk ke dalam rumah. Raya mengikuti tanpa berani menoleh ke sana kemari. Fokus pada punggung tegap yang ada di hadapannya.
Seorang gadis cantik tampak duduk di sofa ruang keluarga bersama dengan pasangan suami istri yang terlihat harmonis.
Kirana langsung berdiri menyambut kedatangan Erlangga dan Raya. Menghampiri mereka dengan senyuman lebar.
"Mas El, beneran nih bawa calon kakak ipar buatku?"
Kirana bertanya dengan antusias tinggi. Matanya memindai Raya dari atas sampai bawah. Membuat Raya sedikit risih.

"Kenalin, ini adikku yang bungsu. Namanya Kirana," ucap Erlangga pada Raya.
Raya yang tahu diri segera mengulurkan tangan pada Kirana. "Narraya."
Kirana meraih tangan Raya. Membawa punggung tangan itu ke dahi sebelum kemudian memeluk Raya tanpa sungkan. Sebuah penyambutan yang terlalu ramah bagi Raya. Tapi Raya berusaha menerimanya dengan baik.
Lepas dari Kirana, kini giliran Raya dibuat terkejut saat melihat kedua orangtua Erlangga. Terutama papanya. Sosok itu tidak asing bagi Raya. Membuatnya menoleh pada Erlangga. Kebetulan Erlangga juga sedang menatapnya.
Raya memberi kode pada Erlangga dengan sedikit mengedikkan kepalanya ke arah papanya. Tak disangka Erlangga justru tersenyum kecil. Berarti pria itu sudah tahu, batin Raya sedikit jengkel.
"Siang Bapak. Siang Ibu," sapa Raya pada orangtua Erlangga itu.
"Loh, kok Bapak sama Ibu? Papa sama Mama aja." Nania mengoreksi panggilan dari Raya.
Raya hanya bisa tersenyum tipis. Masih kaget dengan kejutan yang diberikan Erlangga.
Beberapa saat kemudian, seorang pria muda menuruni tangga dari lantai atas. Dia menatap Raya dengan wajah terkejut. Apalagi dengan posisi Erlangga yang duduk di sampingnya.
"Narraya?"
Raya spontan berdiri. "Siang, Pak Deni."

Brama dan Nania saling pandang dengan heran. Tak menyangka kalau calon istri Erlangga mengenal anak kedua mereka, Denitama.
Sedangkan Raya sendiri sebenarnya juga masih tak percaya. Apakah memang dunia sesempit ini? Keluarga dari pria yang akan menjadi suaminya ternyata adalah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Sesuatu yang agak tidak masuk akal.
Dan ada satu pertanyaan yang memenuhi benak Raya sejak melihat Big bosnya, Pak Brama. Kenapa Erlangga yang notabene adalah anak seorang pengusaha bidang properti yang sukses memilih profesi sebagai tukang servis elektronik? Apakah jangan-jangan dia hanya anak pungut? Ah, kasihan Mas Aga, batin Raya bersimpati.

Bersambung ....


#Sepakat!
Part 5

"Jadi Narraya ini staff kamu, Tam?"
Brama bertanya pada Tama yang masih terdiam dari tadi.
"Iya, Raya ini staff di divisi keuangan."
"Terus gimana ceritanya nih kalian bisa kenal?" tanya Brama penuh minat pada Erlangga dan Raya.
Raya melirik pada Erlangga yang duduk di sebelah kirinya. Memberikan kode agar dia yang menjawab pertanyaan dari papanya itu. Kirana yang duduk di sebelah kanan Raya tersenyum ketika melihat interaksi itu. Dikiranya mereka sedang malu-malu. Padahal mereka sedang berusaha menyusun skenario yang pas dan tidak janggal.

"Ara ini adiknya teman El, Pa. Kebetulan beberapa kali ketemu terus kita merasa cocok. Akhirnya sekarang, kami mencoba naik ke level yang lebih serius."
"Ara? Tadi Mas Tama manggilnya Raya. Kok Mas El manggilnya Ara?" Kirana bertanya kepo.
Erlangga tersenyum sebelum menjawab pertanyaan itu. "Ara itu panggilan sayangku buat Narraya. Dan Ara manggil aku Aga."
Kirana langsung memekik setelah mendengar penjelasan dari Erlangga. "So sweeeeeet banget, sih," ujar Kirana sambil memegangi kedua pipinya yang ikut memerah.

Brama dan Nania tersenyum lebar. Percaya pada sandiwara yang tercipta. Sedangkan Tama masih terdiam. Pura-pura tak acuh, namun matanya tak bisa berbohong. Mencuri pandang berkali-kali ke arah Raya.
Hal itu tentu saja ditangkap oleh mata Erlangga yang tajam. Tapi dia diam, terlihat abai. Padahal hatinya cukup terganggu. Instingnya mengatakan kalau ada sesuatu yang janggal dari hubungan bos dan staff ini. Dia harus menyelidikinya nanti.
"Mama panggil Eyang dulu, ya? Beliau pasti juga pengen ketemu sama calon istrinya El yang cantik."

Nania bangkit dan berjalan ke kamar Eyang Ajeng yang berada di lantai bawah. Dekat kamar utama yang ditempati oleh Brama dan Nania.
Napas Raya tersendat saat melihat Nania kembali ke ruang keluarga bersama Eyang Ajeng. Bibir tipisnya tertarik lurus. Raya bisa menduga kalau beliau yang akan menjadi tokoh antagonis di sini.
"Eyang, ini Narraya, calon istri yang mau dikenalin oleh El," terang Nania sembari menunjuk Raya.
Raya berdiri dan menghampiri Eyang Ajeng. Setengah membungkuk untuk mengambil punggung tangan wanita lanjut usia itu untuk dicium. Dengan gerakan sehalus mungkin. Dia tak mau memicu amarah seseorang yang berpotensi mempunyai penyakit hipertensi ini.
"Apa kabar, Nek? Saya Narraya," sapa Raya dengan senyum lebar padahal hatinya sudah deg-degan parah.

Mata keriput milik Eyang Ajeng membesar. "Nek? Kami panggil aku Nenek?"
Glek! Raya menelan ludah dengan susah payah. Sepertinya dia baru saja mengambil langkah yang salah. Matanya melirik pada Erlangga. Tapi pria itu bergeming. Tak paham dengan kode pertanyaan yang disampaikan oleh matanya.
Tiba-tiba saja, Raya teringat sebuah video yang dulu sempat dia tonton. Video lucu nenek-nenek yang tidak mau dipanggil nenek ataupun ibu. Jangan-jangan nenek di depan Raya ini juga seperti itu?
"Ehm ... kalau begitu, saya harus panggil apa? Nona?"

Eyang Ajeng langsung melotot tak terima. Hidungnya sudah kembang kempis. Andaikan adegan ini dituangkan dalam gambar kartun, pasti wajahnya kini sudah memerah dengan dua tanduk yang keluar dari kepalanya.

****
Erlangga mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang tersedia di teras rumah Raya. Mereka baru saja pulang dari rumah Erlangga. Dan Raya meminta Erlangga mampir dulu karena ada hal yang ingin dia bicarakan.
Erlangga sudah bisa menebak apa saja yang mau dibahas oleh Raya. Dan memang sebaiknya masalah-masalah yang mengganjal di antara mereka harus segera diselesaikan. Lebih cepat lebih baik.
"Kamu ini anak Pak Brama?"
Pertanyaan itu yang dipilih Raya untuk disampaikan pertama kali.
Erlangga mengangguk tanpa ragu. Ini adalah sesuatu hal yang harus diketahui Raya. Tidak boleh ditutup-tutupi. Walaupun Erlangga sudah mengetahui kalau Raya adalah karyawan di perusahaan papanya sejak menyelidiki informasi soal Raya. Tentang bagaimana caranya dia mencari informasi pribadi itu, sebaiknya tidak perlu diungkapkan. Karena semua itu melibatkan sedikit tindakan pelanggaran hukum.
"Terus kenapa kamu jadi tukang servis kalau papa kamu punya perusahaan besar? Kamu kan bisa bekerja di perusahaan papa kamu aja. Seperti Pak Deni."
Erlangga mengernyit. "Kamu serius masih mengira aku ini tukang servis?"
"Lho, kan kamu sendiri yang bilang kemarin."
"Bahkan setelah kamu lihat mobil yang kupakai?" Erlangga menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir di depan ruman Raya.
Giliran Raya yang menatap heran pada Erlangga. "Itu mobilmu, ya?"
"Menurut kamu?"
"Hm ...." Raya melirik Erlangga dengan ekspresi sedikit takut. "Aku kira itu mobil pinjaman."

Erlangga berdecak setengah kesal. Membuat Raya makin sungkan. Walaupun menurut Raya, dirinya tidak bersalah. Erlangga tidak menjelaskan padanya soal statusnya. Jadi bukan salah Raya kalau dia punya dugaan yang keliru. Apalagi sebelumnya Erlangga selalu memakai motor saat ke rumahnya. Motor matic merek pasaran yang sudah terlihat usang. Bila menyalakan mesinnya harus disela karena tombol starternya tidak bisa berfungsi.

"Oke. Sorry, kalau aku ngambil kesimpulan sendiri dan kebetulan salah. Ya, walaupun sebenarnya ini semua bukan murni kesalahanku. Tapi nggak apa-apa. Aku berlapang dada mengaku salah."
Erlangga mengangguk dengan wajah dongkol mendengar permintaan maaf yang jelas tidak tulus itu.
"Keluarga kamu baik, padahal mereka itu kaya. Tapi Eyang kok agak serem, ya?" Raya berkomentar sambil meringis.
Untung saja insiden salah sebutan tadi tidak berlanjut. Emosi Eyang Ajeng mulai stabil saat tahu kalau Raya ini keturunan orang Jawa. Padahal walaupun lahir dari orangtua yang keduanya Jawa asli, Raya tidak pernah bisa berbahasa Jawa. Lahir pun di Jakarta.

"Tapi respon Eyang tadi sudah termasuk bagus. Kayaknya beliau suka sama kamu. Asal ke depannya, kamu lebih hati-hati saja kalau mau bicara."
Raya menatap tak percaya pada Erlangga. Serius? Tadi itu respon yang bagus? Padahal tak ada senyum seulas pun yang diberikan pada Raya. Nada bicaranya juga sinis. Kata-katanya tajam.
Bila seperti itu saja bagus, bagaimana dengan respon yang buruk? Dilempar pakai panci? Dipukul pakai sapu? Atau sekalian ditenggelamkan di bak mandi?

****
Sebelumnya, Raya bukanlah termasuk golongan orang yang benci dengan hari Senin. Baginya justru hari Senin adalah hari yang membuatnya semangat. Di mana pikirannya telah kembali segar setelah libur selama dua hari dari hiruk pikuk pekerjaan.
Namun hari Senin kali ini adalah pengecualian. Dia sangat ketakutan bahkan sejak dia baru bangun tidur tadi. Membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi. Akankah hubungannya dengan Erlangga berdampak buruk pada pekerjaannya di kantor?

Tapi sebagai seseorang yang dewasa, Raya menyadari kalau dia tetap harus menghadapi semua ini. Menunda hanya akan memperburuk keadaan. Jadi rencana membolos, dia coret dari daftar solusi. Lagipula belum tentu ketakutannya itu benar-benar terjadi. Semoga saja semua tetap berjalan seperti biasanya.
Pak Brama adalah orang yang sangat jarang Raya bisa temui. Perbedaan kasta di antara mereka membuat Raya hanya pernah melihat beberapa kali wajah pimpinan perusahaan itu. Lain halnya dengan Denitama. Dia adalah atasan langsung Raya. Menghindari untuk bertemu jelas adalah sesuatu hal yang mustahil.
Namun sepertinya semesta sedang ingin menguji adrenalin Raya. Sudah pukul sembilan tapi Deni belum tampak juga. Membuat Raya jadi tidak tenang. Padahal biasanya, Deni tiba di kantor selalu tepat waktu. Paling lambat pukul delapan, kecuali dia harus menghadiri meeting dulu.
Akhirnya penantian Raya tidak sia-sia. Pukul sepuluh, Deni tiba di ruangan divisi keuangan. Dengan wajah kusut dan terlihat lelah. Mungkin ada masalah kantor yang dihadapinya. Raya sudah bersiap-siap untuk mendapat repetan dari bosnya itu.

Aneh, tapi Deni langsung berjalan masuk ke dalam ruangannya. Tanpa menoleh apalagi mampir ke kubikel Raya seperti biasanya. Membuat Raya jadi kalut sendiri. Menerka apa yang menyebabkan perubahan perilaku Deni itu.
Telepon di meja Raya berbunyi. Raya segera mengangkat panggilan itu.
"Ke ruangan saya sekarang!"
Perintah singkat dan jelas bahkan sebelum Raya mengucap kata 'halo'. Bibir Raya otomatis mencibir karena tingkah tidak sopan dari bosnya itu. Namun dia tetap menuruti instruksi tersebut.
Setelah mengetuk pintu dan diperbolehkan masuk, Raya membuka pintu. Melangkah ke arah Deni yang duduk di belakang mejanya.
"Ada apa ya, Pak?"
"Bukti transaksi pengeluaran sudah kamu input ke jurnal bulan ini?" tanya Deni tanpa mendongak dari layar laptopnya.
"Sudah, tapi belum selesai, Pak."

Kali ini, Deni menoleh pada Raya. Raya yang melihat tatapan Deni sudah siap untuk dimarahi karena keterlambatan kerjanya. Namun mulut pria itu terus tertutup. Aneh sekali. Dia hanya menatap Raya dengan pandangan tidak terbaca. Membuat Raya makin ngeri.
"Ya sudah. Cepat lanjutkan. Usahakan hari ini sudah terinput semua."
Raya menghela napas lega. Alhamdulillah, lolos dari omelan, batin Raya senang. Dia mengira mungkin Deni merasa tidak enak kalau harus memarahi calon kakak iparnya.
"Kalau begitu, saya permisi, Pak." Raya berpamitan.
Namun saat tubuhnya baru saja berbalik, Deni memanggil namanya. Mau tak mau, Raya mengurungkan niatnya untuk segera keluar dari ruangan atasannya.
"Ada apa, ya, Pak?" tanya Raya lagi.
Deni kembali menatap Raya dalam diam. Seolah ada yang mau disampaikan, tapi masih ada keraguan yang menghalanginya. Hingga akhirnya pria itu memilih untuk tak jadi berbicara.
"Nggak jadi. Kamu boleh kembali ke meja kamu."
Raya yang merasa sedikit aneh dengan tingkah Deni hanya bisa berlalu dengan pikiran bertanya-tanya. Ini sungguh berbeda dengan Deni yang biasanya. Pria itu seakan menjaga jarak dan terlihat kaku saat berinteraksi dengannya.
Apa dia nggak suka bawahannya bakal jadi kakak iparnya, ya? Raya terus bertanya-tanya dalam hati.

****
"Dalam rangka apa nih kamu mau traktir aku?"
Erlangga mengerutkan dahinya. Tidak mengerti dengan maksud pertanyaan itu. Memangnya harus ada alasan untuk mengajak makan bersama dengan calon istrinya?
"Biar kita lebih dekat aja. Kamu keberatan?"
Raya langsung menggeleng. "Rezeki mana boleh ditolak."
Pelayan datang dan mulai meletakkan pesanan mereka di atas meja. Mata Raya berbinar melihat ayam kampung geprek pedas yang terlihat menggoda.
"Bagaimana hari kamu di kantor hari ini?" tanya Erlangga di sela suapan makanannya.
"Baik. Alhamdulillah, nggak ada drama yang terjadi."
"Drama? Maksudnya?"

Raya menelan makanan di mulutnya sebelum memberikan jawaban pada Erlangga. Satu tangannya seolah memegang sesuatu dan membantingnya ke atas meja.
"Ini uang seratus juta. Ambil dan tinggalkan anak saya!" ucap Raya dengan suara yang sengaja dibesarkan. Bermaksud meniru suara bapak-bapak.
Erlangga kontan tertawa terbahak-bahak. Apalagi melihat wajah Raya yang pura-pura berekspresi garang. Tak cocok dengan wajahnya yang manis.
"Pikiran kamu kebanyakan drama! Lagian mungkin itu justru harapan kamu. Aku tebak kalau itu kejadian beneran, kamu bakalan milih uang ketimbang aku. Iya, kan?"
"Ish, enak aja! Emangnya aku semurahan itu? Ya, aku nggak bakalan terima uang itu," sahut Raya dengan wajah tak terima.

Ya, mana mau kalau cuma seratus juta. Seorang Erlangga harusnya dihargai satu milyar. Kalau sebesar itu, Raya mungkin akan menerimanya. Dan Raya mulai mendaftar apa saja yang mau dibeli dengan uang satu milyar itu. Tapi Raya masih terlalu waras untuk tidak menyuarakan semua itu di hadapan Erlangga. Cukup dalam hati saja.
"Lagian Papa juga nggak bakal ngelakuin itu. Beliau adalah orang yang bijak. Kalau Tama gimana? Dia suka galak sama kamu? Hari ini kamu kena marah, nggak?"
Raya menegakkan badannya. Terlihat bersemangat akan bercerita. "Pak Deni agak aneh. Dia kalem banget hari ini."
"Memang biasanya dia gimana?"
"Biasanya dia cerewet, tapi baik juga, sih. Kadang kalau aku ketahuan main Instagram pas jam kerja, paling dia negur sambil senyum-senyum. Sering juga kasih aku kue yang dia dapat waktu meeting."
"Oh ya? Kue untuk kamu aja atau untuk staff lain juga?"
"Ya, tergantung. Tapi aku sering dapat."
"Kok bisa kamu yang lebih sering dapat ketimbang rekanmu yang lain?"
Raya agak meringis malu. "Katanya wajahku ini wajah yang minta disedekahin. Agak kurang aja, ya, adikmu itu?"
"Bukan wajah yang minta dihalalin?"
"Hah?"
Erlangga segera mengibaskan tangannya. "Nggak. Nggak usah dipikirin. Terus apa lagi nih kebaikan Tama sebagai bos di kantor?"
"Dia juga suka kasih sarapan atau makan siang buatku. Kadang kan dia atau OB yang dia suruh, nggak sengaja beli kebanyakan."
"Beli kebanyakan?"
"Iya. Kadang waktu Pak Deni nyuruh OB beliin makan siang. Disuruh beli satu porsi, malah dibeliin dua porsi. Atau salah pencet pas delivery order makanan pakai ojol. Pak Deni sering tuh kasih makanan itu buatku." Raya menjelaskan panjang lebar.
Erlangga terkekeh pelan. "Narraya?"
"Iya?" Raya menatap Erlangga yang terus tersenyum.
"Kamu kejam dan sadis."
"Hah?" Raya terlihat kebingungan.
Erlangga terus menatapnya dengan dalam. "Tapi untuk mengalah, aku nggak bisa. Karena aku ... juga mulai suka."

Bersambung ....