Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

RINDU AKSARA AISYAH 6 - tamat

#RINDU_AKSARA_AISYAH
Part 6 author : Khayzuran

"Kalian mau kemana?"
"Kami mau ke klinik bersalin untuk menggugurkan kandungan Rindu," jawab Dito enteng tapi membuat mata Aksara terbelalak.
Aksara mendekat pada Dito.
"Buk!"
Satu hantaman keras dari kepalan tangan Aksara mendarat di pelipis Dito membuat Dito terhuyung. Tidak sampai disitu, Aksara menghadiahi lagi satu bogem mentah tepat di ulu hati Dito membuat Dito berteriak kesakitan.

"Brengsek kamu Aksa, hentikan." Rindu berlari menghampiri Dito namun tangan Aksa menariknya lalu meyeret Rindu keluar dari Butik.
"Kalian sudah berdosa besar, apa dengan membunuh anak kalian dosa kalian akan terampuni dan aib kalian akan lenyap?"
Aksara mendorong tubuh Rindu untuk masuk mobil, Rindu meronta, tapi tubuh kekar Aksa tidak dapat Rindu lawan. Rindu kalah.
___________________________________

"Datanglah ke Rumah Sakit, temui aku di klinik kebidanan dan kandungan setelah selesai pelayanan, datanglah sebagai suami dari pasienku, ada yang ingin aku bicarakan terkait istri Mas Aksa."
Aksara menutup ponselnya setelah membaca pesan dari Aisyah. Ia sendiri masih melaksanakan pelayanan terhadap pasien-pasiennya di klinik paru, di Rumah Sakit yang berbeda dengan tempat bekerja Aisyah.

Dulu Aisyah bekerja di Rumah Sakit yang sama dengan tempat kerja Aksara namun Aisyah mengundurkan diri setelah Aksara membatalkan lamarannya dan menikah dengan Rindu. Memang alasan pengunduran diri Aisyah bersifat personal, bukan alasan profesional, tapi Aisyah justru melakukan itu agar tidak sering bertemu Aksa yang bisa saja mengotori hati Aisyah disaat hati Aisyah belum sepenuhnya bisa bersih dari rasa yang sebelumnya bertahta disana, rasa istimewa untuk Aksa. Tapi ternyata kenyataan berkata lain, Aisyah masih dipertemukan Aksa dalam posisi sebagai suami dari pasien dengan dokter yang merawat istrinya.

_________________________________

Perlahan Aksara mengetuk pintu klinik kebidanan dan kandungan yang sudah sepi dari pasien, hanya ada dua orang bidan dan beberapa orang mahasiswa kebidanan yang sedang praktek.
"Saya mau bertemu dr. Aisyah."
"Silahkan, dr Aisyah ada di dalam, baru selesai periksa pasien terakhir." Seorang bidan dengan Ramah mempersilahkan Aksa untuk masuk ke ruang kerja Aisyah.
"Assalamualaikum, sudah bisa masuk?"
"Silahkan, Mas. Maaf ruangannya masih berantakan, belum dibereskan."
Aksa duduk di kursi di depan meja kerja Aisyah, kini mereka duduk berhadapan, sangat terasa canggung. Berkali-kali Aksa membetulkan posisi duduknya, Aisyah mengamati dengan ujung matanya. Laki-laki dihadapannya tetap saja terlihat mempesona dan masih menggetarkan hati meski sudah menghianatinya. Aisyah menata detak jantungnya, kehadiran Aksa membuat detak jantungnya seperti berlari.
"Istri Mas Aksa apa kabar?"
"Alhamdulillah baik, maaf kejadian kemarin." Aksa tulus meminta maaf. Rindu adalah istrinya jadi apapun yang dilakukan oleh Rindu adalah tanggung jawab Aksa.

"Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti kondisi psikis ibu hamil, apalagi ketika hamil disaat belum siap untuk hamil dan tidak direncanakan." Ada penekanan dalam kalimat Aisyah, kalimat yang lembut tapi sungguh menampar Aksa. Aksa sangat faham maksud kalimat Aisyah.
"Mas, sekarang aku akan bertanya sebagai dokter yang merawat istri Mas Aksa, jadi aku mohon Mas Aksa berkata jujur."
"Tentu, ada apa, Dok?"
"Aisyah saja, aneh rasanya Mas Aksa memanggilku seperti itu."
Aksa tersenyum kecil, masih terlihat manis di mata Asiyah meski Aisyah melihatnya dalam kondisi hati yang sedang tidak baik.
"Begini Mas, maaf kalau pertanyaan aku lancang, tapi aku harus menanyakan ini. Apa saat pertama Mas Aksa berhubungan badan dengan Rindu, Rindu sudah tidak perawan?"
Aksa gelagapan mendengar pertanyaan Aisyah, jangankan berhubungan badan, tidur satu kasur saja tidak pernah. Aksa menarik nafas dalam, masih bingung mau menjawab apa, Aksa tidak mungkin berbohong pada Aisyah.
"Apa ada masalah dengan istriku?" Aksa berkelit dengan bertanya balik pada Aisyah.
"Mas Aksa sudah berapa lama kenal Rindu? Sebelum menikah hubungan kalian sudah sejauh apa?"
Pertanyaan yang menyakitkan untuk Aisyah, tapi Aisyah harus menanyakan itu meski jawaban Aksara akan mempertegas bahwa laki-laki itu telah mengkhianati Aisyah dengan melamarnya meski sedang mempunyai hubungan yang sudah jauh dengan Rindu hingga berbuah kehamilan di luar nikah.
"Aisyah, tidak usah berbelit-belit, langsung saja jelaskan ada apa dengan istriku?"
Istriku? Sungguh Aisyah tidak nyaman dengan kata itu yang berulang-ulang dikatakan Aksa.
Aisyah mengeluarkan sebuah map, membukanya lalu menyodorkan pada Aksa. Map besisi hasil USG.

"Aku ingin menjelaskan ini waktu Rindu dirawat, tapi ternyata Rindu kabur, jadi aku belum sempat menjelaskan. Ada tumor di daerah serviks Rindu, aku mencurigainya sebagai keganasan, tapi untuk memastikannya aku harus melakukan biopsi dulu, kalau ternyata ganas, dengan sangat terpaksa harus segera dilakukan histerektomy dan dengan begitu, otomatis janin kalian juga harus digugurkan."
"Kamu tidak melakukan ini sebagai balas dendam pada Rindu dan aku kan?" Aksa menyelidik.
"Apa perempuan sejahat itu yang pernah Mas Aksa lamar dan diajak untuk hidup bersama sampai ajal memisahkan?" Aisyah berang, tidak menyangka Aksa akan menuduhnya sekeji itu.

"Aisyah, bagi seorang perempuan rahim adalah nyawa kedua, kamu tidak bisa langsung memvonis harus histerektomy secepat ini. Apa kamu yakin dengan hasil diagnosamu? Tidak ada motif lain kan dibalik diganosamu? "
"Mas, tolong lihat dulu hasil USG nya, baca dengan teliti pakai mata jangan pakai emosi, posisikan diri Mas Aksa sebagai suami Rindu yang sekaligus orang yang mengerti masalah medis, dan posisikan aku juga sebagai dokter obgin yang merawat istri Mas Aksa, bukan sebagai perempuan yang pernah Mas Aksa sakiti dan khianati."

Aksa menurut, ia membaca hasil USG yang tadi disodorkan Aisyah.
"Mungkin ini balasan untuk para pezina seperti kalian. Mas Aksa tahu kan kalau ca cervix itu satu-satunya ca yang diketahui penyebabnya? Multiple sex patner, Mas. Makanya aku bertanya apakah saat kalian berzina pertama kali Rindu masih perawan atau tidak? Karena ca ini banyak diderita oleh perempuan yang sering gonta-ganti pasangan."

Aksa masih membisu, rahangnya menguat. Rindu, sekelam apa kehidupanmu dan Dito?
"Mas, aku memang sudah tidak berhak lagi ikut campur dalam kehidupan Mas Aksa. Rasa hormat dan simpati aku sudah hilang saat aku tahu Mas Aksa dan Rindu sudah melakukan perbuatan keji. Benar ya hadits Rasulullah yang diriwayatkan Abu Dawud, "Tidaklah boleh seorang yang berzina dan telah didera menikah, melainkan dengan orang yang semisal dengannya," sama lah seperti Ridu dan Mas Aksa, sama-sama pezina. Kalaupun pacar Rindu yang lain yang bernama Dito yang kita ketemu waktu di butik kemarin berniat menikahi Rindu tentu saja tidak boleh karena Rindu sudah hamil oleh Mas Aksa. Mas Aksa mungkin masih ingat apa yang dikatakan Allah dalam surat An Nur ayat tiga, "Dan wanita yang berzina tidak boleh dinikahi, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman." Sampai detik ini aku sungguh tidak mengerti kenapa Mas Aksa bisa melakukan perbuatan keji ini." Aisyah mengepalkan tangannya diatas meja.

"Maafkan aku Aisyah, aku ...."
"Sudahlah Mas, inti dari aku meminta Mas kesini hanya ingin menjelaskan kondisi istri Mas Aksa yang sebenarnya. Anggaplah ini hukuman Allah untuk kalian."
"Aisyah, maafkan aku telah membuatmu kecewa."
"Aku bukan cuma kecewa Mas, tapi jijik, Mas Aksa yang begitu sempurna dimata aku ternyata tidak lebih dari seorang laki-laki yang tak punya iman. Aku menyesal pernah mencintai Mas Aksa."
Aksa menunduk, mungkin Aksa salah telah menikahi Rindu meski tujuannya mulia yaitu untuk membalas jasa keluarga Rindu. Waktu akan menikah dengan Rindu pikiran Aksa sangat kacau sehingga tidak berpikir jernih, jadi Aksa percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Abah terkait hukum menikahi perempuan yang sedang hamil hasil zina dengan laki-laki lain.

"Aisyah ...." Aksa memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Aisyah. Aahh ... nyeri rasanya melihat orang yang kita cintai berlinang air mata karena benci dengan kita. Aisyah, perempuan berhati lembut yang sangat dicintainya namun bukan kebahagiaan yang diberikan Aksa, tapi justru kekecewaan dan kesedihan.

"Aku memang salah, tapi sungguh aku tidak seburuk yang kamu pikirkan."
"Adakah yang lebih baik dari seorang laki-laki pezina? Mas, silahkan cari second opinion ke dokter obgyn yang lain kalau Mas Aksa tidak percaya dengan aku. Maaf Mas, aku ada jadwal operas SC, aku permisi."
_________________________________
Ca: cancer
Histerektomy : operasi pengangkatan rahim
Obgin: obstetri dan ginekologi



----

#RINDU_AKSARA_AISYAH
Part 7
Aisyah berdiri di depan sebuah rumah sederhana dengan beberapa tas yang cukup besar.
"Aisyah, masyaa Allah, Nak."
Umi berhambur ke pelukan Aisyah, ada rindu yang ia tambatkan pada pundak Aisyah. Ada air mata yang mengalir deras dari kedua mata perempuan berhati lembut itu.
"Maafkan Umi, Abah dan Aksa, Umi sungguh-sungguh minta maaf." Pelukan Umi belum lepas, Aisyah membalas pelukan Umi tak kalah erat, Aisyah juga tak kuasa untuk tidak menitikkan air mata. Pelukan Umi begitu menenangkan dan membuat Aisyah merasa nyaman.
"Tidak apa-apa Umi, tidak usah minta maaf, Aisyah mengerti."

Perlahan Umi melepaskan pelukannya, dengan lembut tangannya membelai kepala Aisyah yang berkerudung lebar.
"Bagi Umi, Aisyah tetap anak Umi, rasa sayang Umi tidak akan berkurang meski Aisyah tidak jadi menantu Umi."
Aisyah mengangguk.
"Iya Umi, terimakasih banyak sudah menyayangi Aisyah seperti anak Umi senidri, rasa sayang Aisyah juga tidak akan berkurang pada Umi."
"Ayo masuk, Nak. Kita ngobrol di dalam saja, Umi rindu sekali pada Aisyah."
"Maaf Umi, Aisyah tidak bisa lama disini. Aisyah hanya ingin mengantarkan ini."
Aisyah melirik pada tas-tas besar yang dibawanya.
"Apa ini, Nak?"
"Ini barang-barang yang dibawa Mas Aksa waktu melamar Aisyah, juga banyak barang-barang pernak-pernik isi rumah yang dibeli Mas Aksa via online yang dikirim ke rumah Aisyah, sebagian sudah dibawa Mas Aksa dan disimpan di rumahnya dan ini sebagian lagi sisanya yang belum sempat Mas Aksa bawa."

Air mata Umi kembali berlinang di kedua pipinya. Umi tahu betapa Aksa dan Aisyah begitu antusias menyiapkan rumah yang akan mereka huni setelah menikah. Jadi, begitu selesai lamaran, mereka langsung menyiapkan segala sesuatunya karena Aksa dan Aisyah ingin melangsungkan resepsi pernikahan di rumah mereka sekalian syukuran rumah. Tapi kini rumah impian itu ditempati Aksa dengan istrinya, Rindu.
"Aisyah nitip ini ya, Umi. Titip salam juga untuk Abah, insyaa Allah kalau ada waktu kapan-kapan Aisyah silaturahmi lagi kesini."
Dan pertemuan mereka diakhiri dengan saling memberikan pelukan hangat sebagai tanda perpisahan, seperti seorang ibu dan anak gadisnya yang sudah lama saling memendam rindu namun terpaksa harus berpisah lagi.

___________________________
Aisyah memperlambat laju mobilnya saat ada telepon yang masuk, ternyata telepon dari Rumah Sakit.
"Maaf mengganggu Dok, saya Fina dokter jaga IGD PONEK, mohon ijin konsul, pasien Nyonya Rindu, usia 25 tahun, G1 A1 P0 usia kehamilan 10 minggu, riwayat aborsi di klinik bersalin Mawar kurang lebih dua jam yang lalu, masuk ke IGD PONEK dengan perdarahan hebat, tensi 80/60, saturasi oksigen 85, HB 5,4 gr% ...." Aisyah langsung tancap gas sambil terus mendengarkan laporan dari dokter jaga IGD PONEK.
________________________________

"Ini ruptur uteri, siapkan untuk histerektomy cito, sedia darah empat kolp, siapkan OK dan ICU untuk pasca operasi. Tolong keluarganya ke ruangan saya untuk informed consent, saya sebentar lagi kesana," perintah Aisyah sambil berusaha menghentikan perdarahan dari jalan lahir Rindu.

Kondisi Rindu sendiri sangat lemah, kesadarannya menurun karena perdarahan yang sangat banyak akibat robekan di rahimnya pasca melakukan aborsi di klinik bersalin yang ternyata tanpa izin alias klinik bersalin ilegal. Rindu dibawa oleh seorang laki-laki ke IGD PONEK dan laki-laki itu menghilang setelah meninggalkan Rindu begitu saja. Untunglah tidak lama kemudian keluarga Rindu dan Aksa datang ke Rumah Sakit setelah ada seseorang yang mengabari mereka via telepon.
"Sakit ... sialan kamu Dito ... sakit ...." Rindu meracau, tangannya gelisah meraih apa saja yang bisa diraih, matanya kadang membuka, kadang menutup. Tangan dan kaki Rindu teraba dingin.

_____________________________
"Bagaimana kondisi Rindu?" Dengan cemas Aksa bertanya pada Aisyah, ada Pak Ridwan dan istrinya di samping Aksa.
"Mohon maaf kondisi Rindu kritis, Rindu kehilangan banyak darah karena rahimnya robek. Jadi, kami harus melakukan operasi pengangkatan rahim segera."
"Apa tidak ada jalan lain?" Tanya Aksa lagi.

"Tidak ada, ini satu-satunya jalan terbaik untuk menyelamatkan Rindu. Sebagai suami, Mas Aksa yang harus menandatangi surat ijin operasi pengangkatan rahim ini."
"Lakukan saja, Dok. Lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan anak saya." Pak Ridwan berpegangan tangan dengan istrinya yang mulai menangis.

"Maaf Pak, dalam hal ini bukan orang tua yang berhak menandatangani surat ijin operasi, tapi suami. Mas Aksa yang menghamili Rindu disaat Rindu tidak siap untuk hamil sehingga Rindu berusaha mengakhiri kehamilannya dengan cara seperti ini, jadi tentu saja yang harus bertanggungjawab adalah Mas Aksa. Mas, tolong segera tanda tangani SIO nya agar aku bisa melakukan operasi segera untuk menyelamatkan istri Mas Aksa."

Aksa meraih pena yang ada di atas meja kerja Aisyah, bersiap untuk menandatangani SIO.
"Jangan kamu yang tanda tangan Aksa, biar Bapak saja. Dok, Aksa bukan ayah dari bayi yang dikandung anak saya, entah siapa bapaknya, entah Dito entah laki-laki mana, Rindu saja tidak tahu. Aksa hanya seorang laki-laki baik yang tidak tega menolak permintaan saya atas nama balas budi. Saya yang memaksa Aksa untuk menikahi Rindu yang sedang hamil demi menutupi aib."
Pak Ridwan merebut pena dari tangan Aksa lalu menandatangi SIO.

"Lakukan yang terbaik untuk anak saya, saya percayakan semuanya pada dokter."
Sekilas Aisyah menatap Aksa yang sedang tertunduk. Aksa mengangkat kepalanya dan menatap Aisyah. Ada sesal yang dalam di hati Aisyah untuk Aksa. Tidak tega rasanya melihat Aksa sekusut ini dalam situasi yang rumit. Pak Ridwan benar, Aksa adalah laki-laki baik yang tidak pernah tega menolak permintaan orang lain meski harus menyakiti dirinya sendiri.
"Dok, SIO nya sudah? Kalau sudah, pasien siap di dorong ke kamar operasi." Seorang dokter muda muncul dari balik pintu.
"Sudah, saya segera kesana."
Pak Ridwan dan istrinya mengikuti dokter muda tadi menuju ruang operasi.
"Mas, maafkan Aisyah. Aisyah salah langsung memvonis Mas Aksa tanpa bertanya dan mendengarkan penjelasan Mas Aksa terlebih dahulu."

Aisyah menyadari kesalahannya, mungkin rasa cemburu Aisyah pada Rindu yang membuat kemarahan Aisyah pada Aksa meletup-letup. Selama ini Aisyah hanya melihat hasil akhir, tidak bertanya tentang prosesnya. Aisyah hanya melihat kehamilan Rindu dan langsung menuduh Aksa sebagai ayah dari bayi yang sedang dikandung Rindu karena Aksa menikahi Rindu. Padahal dalam Islam, ketika seseorang menuduh orang lain berzina maka harus mendatangkan empat orang saksi yang melihat langsung perzinaan itu. Kalau tuduhannya tidak terbukti makan yang menuduh berzina itu harus di dera (dicambuk) sebanyak 80 kali dera.
"Aku akan melakukan yang terbaik untuk Rindu, Mas."
"Terimaksih Aisyah. Aku percaya pada kemampuanmu. Lakukan yang terbaik untuk Rindu."
"I'll do the best, Mas."
Ingin rasanya Aisyah memberi penguatan untuk Aksa sebagai permohonan maafnya karena selama ini sudah salah faham. Cinta kadang membuat hati buta, cemburu kadang membuat rindu berbalik amarah. Itulah yang dirasakan Aisyah selama ini. Aisyah tidak memahami kesulitan Aksa, malah memperberatnya dengan tuduhan-tuduhan Aisyah.

-----

#RINDU_AKSARA_AISYAH
Part 8 (part akhir)

Sudah lima jam Aksara dan orang tua Rindu menunggu di ruang tunggu kamar operasi dengan gelisah. Meski Aksa sama sekali belum merasa ada ikatan batin dengan Rindu, namun posisinya yang sekarang sebagai suami Rindu mengharuskannya untuk tetap berdoa dan mengharapkan yang terbaik untuk Rindu, menunggu Rindu sampai selesai operasi.
"Aksa, maafkan Bapak selama ini tidak pernah menceritakan apapun tentang masa lalu Rindu yang harusnya kamu ketahui sebelum kalian menikah."

Pak Ridwan mendekati Aksa yang sedang duduk di kursi tunggu lalu merengkuh bahu Aksa yang bidang. Pak Ridwan merasa bersalah telah melibatkan Aksa dalam kemelut keluarganya demi nama baik.
"Jika Bapak tidak ingin menceritakannya tidak apa-apa, setiap orang punya masa lalu dan tidak semua orang ingin mengingat masa lalu terlebih jika itu sesuatu yang menyakitkan."

"Bapak salah mendidik Rindu. Selama ini Bapak membiarkannya hidup bebas dengan menikmati berbagai fasilitas yang serba ada dan cukup. Selepas SMU, Rindu memilih untuk kuliah di London dan tinggal di apateman yang Bapak beli. Bapak hanya mencukupi semua kebutuhannya berupa materi tanpa memantau kehidupan pribadi dan pergaulannya yang ternyata belakangan Bapak tahu sangat liar. Selesai S1, dia meminta modal untuk membuka usaha dibidang fashion, langsung Bapak beri modal yang banyak dengan harapan dia akan kembali hidup normal layaknya kita orang timur yang memegang norma agama dan norma susila. Passion Rindu dibidang fashion sangat bagus sehingga usahanya maju pesat, ada garmen, beberapa butik dan bridal. Rindu berencana membuka cabang butiknya di London, dia sering sekali bolak-balik London, bertemu lagi dengan teman-teman masa kuliahnya dan ternyata dia kembali menjalani kehidupan yang bebas hingga akhirnya Rindu hamil. Sebenarnya Rindu sendiri tidak tahu laki-laki mana yang telah menghamilinya tapi karena saat itu dia sedang dekat dengan Dito maka Dito yang dia jadikan kambing hitam. Bapak sita paspor Rindu sehingga dia tidak bisa melarikan diri ke luar negeri dan Bapak paksa Rindu untuk menikah denganmu, Bapak tidak ingin Rindu menikah dengan Dito karena Dito sama dengan Rindu, sama-sama liar dan brengsek." Pak Ridwan menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. Ada beban berat di dada yang sedikit demi sedikit sudah mulai terurai.

"Sekarang Bapak sadar, menikahkan Rindu dan kamu adalah sebuah kesalahan, tadinya Bapak berpikir masih bisa menyelamatkan Rindu jika ia menikah dengan kamu. Bapak telah merampas kehidupan kamu dan memaksa kamu untuk masuk dalam kehidupan Rindu padahal Bapak tahu kamu sudah punya calon istri yang sangat kamu cintai." Mata Pak Ridwan berkaca-kaca.

"Saya senang bisa membantu Bapak karena selama ini Bapak sudah banyak membantu saya dan keluarga. Mungkin saya tidak akan seperti sekarang ini kalau tanpa bantuan Bapak. Jadi, sudah sewajarnya saya melakukan ini sebagai bentuk terimaksih saya, Umi dan Abah pada Bapak sekeluarga."
Pak Ridawan menggeleng, lalu menatap mata Aksa dalam-dalam.

"Kamu laki-laki baik, Aksa. Sudah cukup kamu membantu Rindu sampai disini. Bayi yang ada dalam kandungan Rindu sudah tidak ada jadi dia sudah tidak butuh lagi sosok ayah."
"Tapi mungkin Rindu akan membutuhkan saya sebagai seorang suami. Izinkan saya untuk terus mendampingi Rindu."

"Lalu bagaimana dengan Aisyah? Kalian masih saling mencintai kan? Bukan cuma Rindu yang berhak bahagia tapi kalian juga. Maafkan Bapak yang telah memisahkan kalian. Abahmu sudah menceritakan tentang Aisyah pada saat Bapak memintamu untuk menikahi Rindu, tapi Bapak tetap bersikeras meminta restu Abahmu agar kamu dan Rindu segera menikah."
Aksara terdiam, Pak Ridwan juga tidak berbicara lagi. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Benar yang dikatakan Pak Ridwan, rasa cinta Aksa pada Aisyah belum sedikitpun berkurang tapi dalam kondisi seperti ini Aksa tidak mungkin meninggalkan Rindu dan belum tentu juga Aisyah mau kembali pada Aksa meski Aksa sangat tahu Aisyah masih menyimpan rasa yang tak berbeda dengan apa yang Aksa rasakan.
Pintu ruang operasi dibuka seseorang. Aksa, Pak Ridwan dan istrinya segera memburu orang-orang yang keluar dari pintu itu.
"Alhamdulillah operasinya berjalan lancar meski sangat sulit. Rindu masih dalam pengaruh obat anestesi jadi kesadarannya belum penuh."
Aisyah tersenyum memberikan informasi tentang keberhasilannya melakukan operasi histerektomi pada Rindu.
"Terimaksih banyak Aisyah, terimakasih sudah menyelamatkan istriku."
Entahlah, kata "istriku" masih saja terdengar perih bagi Aisyah.

Aisyah mengangguk, "Itu sudah tugas saya," jawab Aisyah diplomatis.
"Terimaksih banyak Dok sudah menyelamatkan putri kami." Pak Ridwan dan istrinya berpelukan. Mereka bahagia Rindu bisa melewati masa kritisnya.
"Sama-sama, Bu. Rindu belum bisa ditemui, masih di observasi, bantu doa saja agar cepat pulih. Saya permisi dulu."
Aisyah pamit pada Pak Ridwan dan istrinya juga pada Aksa. Aksa menjejeri langkah Aisyah yang berjalan cepat meninggalkan ruang operasi.
"Aisyah tunggu ...."
Aisyah tak mengurangi kecapatan langkahnya namun tetap bisa terkejar oleh langkah kaki Aksa yang panjang-panjang.
"Sekarang kita impas, aku telah menyelamatkan istrimu sebagai permintaan maaf ku karena selama ini telah salah faham pada Mas Aksa. Terimakasih atas semua kebaikan Mas Aksa selama ini padaku, dari mulai aku coast, intership, PPDS sampai sekarang aku bisa menjadi sepesialis obgin, semuanya tidak terlepas dari kebaikan Mas Aksa yang sudah membimbing aku, memberi aku banyak masukan, meminjami aku buku-buku bahkan Mas Aksa sering waktunya aku ganggu hanya untuk konsul kasus, berdiskusi dan meminta saran atas kasus pasien yang sedang aku tangani."
"Aisyah, aku ...."
"Jika setelah ini kita tidak pernah bertemu lagi, ingatlah aku sebagai dokter yang telah menyelamatkan istrimu, bukan sebagai yang lain."
"Aisyah, aku tidak pernah mencintai Rindu. Pernikahan kami bisa saja dibatalkan karena pernikahan itu fasakh"

Aisyah ingat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Seorang gadis pernah datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkannya, padahal ia tidak suka. Maka Nabi SAW memberikan pilihan padanya (boleh meneruskan perkawinannya atau bercerai dari suaminya)."
Seorang perempuan jika ia tidak memberikan izin untuk dinikahkan, maka pernikahannya tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau dinikahkan secara paksa, maka pernikahannya itu di fasakh (dirusak), kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridho.

Apalagi Aksa menikahi Rindu yang sedang dalam keadaan hamil oleh orang lain, para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi perempuan hamil. Tapi Aisyah masih yakin dengan dalil yang diambilnya, tentang haramnya menikahi perempuan yang sedang hamil hasil zina, dalam surat An-Nur ayat tiga disebutkan bahwa, "Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin."

Aisyah menghela nafas dalam, mencoba menetralisir emosi di hatinya.
"Aisyah tahu Mas Aksa laki-laki baik dan laki-laki baik akan bertanggungjawab dengan apa yang sudah dilakukannya. Rindu sakit, dia butuh Mas Aksa."
"Lalu bagaimana dengan kamu, hati kamu juga sedang sakit, bukan? Apa kamu tidak butuh aku?"
"Aku masih bisa berlari untuk sembunyi dan menyembuhkan lukaku, tapi Rindu tidak."
Aksa menelan ludah, Aisyah sudah nyata menolaknya, lalu untuk apa lagi dikejar? Ada Rindu yang harus Aksa jaga fisiknya, ada hatinya yang harus ia jaga juga.

"Allah tidak akan salah memberi ujian, Mas. Adanya Rindu dalam kehidupan Mas Aksa mungkin ujian, ada dan perginya Mas Aksa dalam kehidupan aku mungkin juga ujian. Rindu tidak bersalah pada Mas Aksa, dia hanya pernah salah langkah. Aku yakin Mas Aksa bisa membimbing Rindu."
"Jika itu yang terbaik menurutmu, akan aku lakukan, akan ku jaga Rindu untukmu."
"Doa terbaik untuk kalian, selamat tinggal, Mas." Aisyah tersenyum, menatap Aksa sekilas dengan tatapan getir. Aisyah tahu, setelah ini akan ada kerinduan yang mengejarnya, kerinduan untuk laki-laki yang telah memberinya warna dalam kehidupannya yang bahagia dan laki-laki itu kini telah menjadi milik orang lain, tidak pernah halal untuknya.
Aisyah berlalu meninggalkan Aksa yang masih mematung di koridor Rumah Sakit.
"Doa terbaik juga untukmu, Aisyah." Lirih suara Aksa sambil menatap punggung Aisyah yang semakin menjauh.

________________________________

Hari pertama pasca operasi kondisi Rindu sudah membaik, sudah sadar penuh meski jarum infus masih menempel di tangan kirinya dan selang oksigen masih menempel di hidungnya. Dengan telaten Aksa menemani Rindu, tidak menjauh sedikitpun kecuali untuk shalat, mandi dan makan. Aksa sengaja mengambil cuti kerja, beberapa undangan dari stasiun tv swastapun terpaksa dibatalkan demi menemani Rindu.
"Assalamualaikum, permisi Pak, Bu, dokter mau visite, kalau ada yang mau dikonsultasikan mengenai kondisi ibu, silahkan Bapak bisa tanya langsung ke dokter." Dengan ramah seorang perawat memberitahu Rindu dan Aksa.

Aksa melirik ke arah Rindu yang sedang terbaring, lalu mendekat dan membetulkan selimut Rindu. Tak lama kemudian seseorang masuk.
"Assalamualaikum, perkenalkan saya dokter Tio, mulai hari ini saya yang akan menangani Bu Rindu menggantikan dokter Aisyah. Dokter Aksara apa kabar? Kita pernah beberapa kali bertemu di acara ulang tahun IDI kan?" Dokter Tio mengulurkan tangannya pada Aksa yang disambut dengan hangat oleh Aksa. Mereka memang sempat bertemu dan bercengkrama di beberapa acara yang diadakan IDI.

"Alhamdulillah baik, terimaksih sudah berkenan melanjutkan penanganan terhadap istri saya," jawab Aksa ramah.
"Aisyah kemana? Lari dari tanggung jawab setelah memotong rahimku? Dokter macam apa itu? Sialan." Rindu bergumam sinis. Aksa menggenggam tangan Rindu sambil menatap matanya seolah berkata, "Rindu, tolong jaga sikapmu, jangan permalukan aku." Sikap Rindu sungguh tidak sopan.
"Sabar Rindu, operasi pengangkatan rahim yang dilakukan Aisyah justru untuk menyelamatkanmu," ujar Aksa lembut sambil mengelus-elus punggung tangan Rindu. Aksa begitu sabar menghadapi Rindu yang menyebalkan. Suami yang teramat baik.

"Mohon maaf dr. Aisyah tidak sempat pamit pada Bu Rindu dan Pak Aksa karena dr. Aisyah harus segera berangkat ke India dengan tim riset dari Kemenkes, tapi dr. Aisyah sudah memberikan semua informasi terkait tindakan dan kondisi kesehatan serta rencana tindak lanjut untuk Bu Rindu pada saya, jadi Bu Rindu tidak usah khawatir."
"Tetap saja dia tidak bertanggungjawab. Apa begini cara balas dendam seseorang yang berpendidikan tinggi? Kampungan sekali. Aku tidak mau diperiksa dokter lain, jadi silahkan dr. Tio keluar dari ruangan ini, aku ingin Aisyah yang bertanggung jawab padaku, dia sudah merampas hak aku sebagai perempuan." Rindu menunjuk pintu keluar sambil berteriak.
"Mohon maaf, Bu. Tapi ... "
"Keluar ...!!!"
"Rindu, tenangkan dirimu. Dr. Tio salah satu dokter obgin terbaik di kota ini." Aksa berusaha menenangkan Rindu. Aksa merasa tidak enak hati dengan sikap Rindu pada Tio.
"Kamu juga keluar, kalian semua keluar!!! Brengsek kalian semua."
"Mohon maaf dr. Tio, mungkin istri saya masih perlu istirahat, suster tolong temani istri saya dulu. Mari dr. Tio saya antar keluar."
Aksa segera mengajak Tio keluar demi menghindari Rindu yang bisa saja lebih ngamuk lagi.
"Maafkan istri saya, Dok. Sepertinya istri saya belum bisa menerima keadaannya, jadi emosinya masih labil."
"Tidak apa-apa, Dok. Saya faham sekali kondisi psikis seorang perempuan yang baru saja diangkat rahimnya apalagi usianya masih sangat muda. Nanti saya coba visite lagi kalau kondisi istri dr. Aksa sudah agak tenang karena dr. Aisyah tidak mungkin visite lagi, tadi pagi dia sudah berangkat ke India."

Ada yang berdesir di hati Aksa, Aisyah benar-benar pergi meninggalnya. Pergi menjauh dengan membawa luka untuk disembuhkan.
"Apakah dr. Aisyah akan lama di India?" Tanya Aksa hati-hati dengan detak jantung yang berdebar, rasanya ada yang hampa.
"Dr. Aisyah bergabung dengan tim riset Kemenkes, akan melakukan riset selama satu tahun tentang kehamilan surrogacy. Tapi katanya dr. Aisyah akan langsung melanjutkan sekolah disana, akan mengambil sub spesialis KFER. Dokter sehebat dr. Aisyah memang pantas jadi seorang konsultan, public speaking dia juga bagus, pintar menganalisa kasus dan humble sama semua orang."
Aksara menangkap ada binar dari mata dr. Tio saat menceritakan tentang Aisyah, sepertinya dr. Tio tahu banyak tentang Aisyah. Apalagi saat dr. Tio menyunggingkan sepotong senyumnya seperti sedang membayangkan Aisyah.

"Apa dr. Tio ada hubungan yang lebih dari seorang rekan kerja dengan Aisyah?" Itu pertanyaan yang ingin diutarakan Aksa namun hanya tercekat di kerongkongan.
"Kenapa dr. Tio tidak bergabung dengan tim riset itu juga?"
"Saya tidak lolos seleksi, tapi insyaa Allah saya akan segera ke India." Senyum dr. Tio semakin lebar membuat hati Aksa semakin gusar.
"Untuk?"
"Untuk memperjuangkan mimpi saya. Sudah lama saya tertarik pada dr. Aisyah, kami sering bertemu dalam acara seminar atau workshop yang diadakan POGI, tapi Aisyah selalu menjaga jarak, suatu hari saya memberanikan diri untuk menyatakan perasaan saya tapi katanya dia sudah ada yang mau melamar, hancurlah hati saya. Tapi baru-baru ini saya dengar lamarannya batal karena laki-laki yang melamarnya menikah dengan orang lain. Laki-laki sebodoh apa yang berani meninggalkan Aisyah.

Saya pikir ini peluang bagus untuk saya dan mungkin juga ini jalan yang dibukakan Allah bagi saya untuk memenangkan hati Aisyah, saya tidak boleh menyia-nyiakannya, jadi insyaa Allah dalam waktu dekat saya akan menyusul Aisyah ke India. Duh sorry ya jadi cerita banyak kayak gini."
Tio tersenyum lebar, tak menyadari raut muka Aksa yang berubah. Sekarang Aksa tahu kenapa Aisyah begitu memaksanya untuk tetap bersama Rindu, mungkin karena Aisyah sudah menemukan Tio yang bisa menyembuhkan lukanya. Aisyah, kamu bisa menyembuhkan lukamu, tapi bagaimana dengan lukaku? Aksa meredam gejolak di hatinya. Tidak bisa dipungkiri, ada cemburu yang bertalu di hati Aksa saat mendengar pengakuan Tio.

________________________________

Aisyah merapatkan long coatnya sambil menatap langit yang temaram bintang, New Delhi sangat dingin malam ini. Apa kabar Indonesia? Rindu ....
Langit yang menaungi Aisyah adalah langit yang sama yang menaungi Aksa dan Rindu. Itulah kenapa Aisyah sangat menyukai menatap langit, karena bisa sedikit mengurai kerinduannya pada orang-orang yang ia rindukan. Ah ... masih bolehkah Aisyah rindu?
Ponsel Aisyah bergetar, ada pesan masuk dari Tio, Aisyah membacanya sekilas lalu tersenyum kecil. Tak lama kemudian terdengar ada ketukan di pintu apartemennya. Masih dengan sisa senyum, Aisyah berlari menuju pintu lalu membukanya.

"Mas Tio cepet benget bisa menemukan alamat tempat tinggalku disini ..." Aisyah menggantung kalimatnya, dadanya berdebar, hatinya bergetar, wajahnya pucat pasi.
"Apa aku terlambat untuk mengembalikan hatiku pada pemiliknya? Apa dokter yang ada di hadapanku ini sudah tidak bisa lagi menyembuhkan luka di hatiku karena sudah ada dokter lain yang telah mengambil dan menyembuhkan luka di hatinya? Aku sudah menunaikan janjiku untuk menemani dan mendampingi Rindu hingga ia pulang pada pemiliknya, seperti permintaanmu.

Sekarang, sudah habiskah waktuku untuk kembali menunaikan janjiku yang sempat aku ingkari padamu?" Bibir Aksa bergetar, susah payah ia meredam berbagai rasa yang berkecamuk di hatinya, harapannya luluh sudah saat Aisyah membukakan pintu sambil menyebut nama Tio. Laki-laki itu kah yang ditunggu Aisyah? Bukan Aksa.
"Mas Aksa, aku ...." Aisyah menatap Aksa, lalu tatapannya beralih pada laki-laki yang berdiri di belakang Aksa, dr. Tio.
Hidup itu tidak sulit, tapi pilihanlah yang kadang membuat sulit. Bertahan demi cinta atau berlari mengejar cinta dan mimpi yang lain?
____________Tamat______________________
KFER: Konsultan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi
POGI: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia

-----

#RINDU_AKSARA_AISYAH
Extra Part

"Mas Aksa, aku ...." Aisyah menatap Aksa, lalu tatapannya beralih pada laki-laki yang berdiri di belakang Aksa, dr. Tio.
Hidup itu tidak sulit, tapi pilihanlah yang membuat sulit. Bertahan demi cinta atau berlari mengejar cinta dan mimpi yang lain?

Aksa mengikuti tatapan Aisyah, ia menemukan ada Tio yang sedang berdiri mematung di belakangnya dengan buket bunga neelakurinji di tangannya. Neelakurinji, bunga langka khas semenanjung India yang hanya mekar setiap dua belas tahun sekali. Bunga berwarna biru itu selain terlihat cantik juga diyakini masyarakat India sebagai lambang dari cinta.

Aksa mundur beberapa langkah, memberi jalan pada Tio untuk berhadapan langsung dengan Aisyah. Aksa cukup tahu diri, Aisyah berhak bahagia tapi bukan Aksa yang bisa membahagiakannya, Aksa telah menorehkan luka di hati dan hidup Aisyah, meninggalkannya begitu saja setelah dilamar lalu menikah dengan perempuan lain di hari yang sama dengan pembatalan lamaran. Perempuan mana yang tidak sakit hati, perempuan mana yang tidak merasa dikhianati jika berada dalam posisi Aisyah.
Tio menyerahkan buket bunga neelakurinji, dengan tangan bergetar Aisyah menerimanya.

Aksa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sebelum berangkat ke India, Aksa sudah menyiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk seperti ini. Aksa masih mengingat dengan jelas apa yang pernah dikatakan Tio bahwa ia akan segera menyusul Aisyah ke India. Aksa sendiri tidak bisa langsung menyusul Aisyah ke India karena Aksa tidak bisa meninggalkan Rindu terlebih kondisi Rindu semakin memburuk karena menolak untuk dilakukan kemoterapi. Dengan sabar Aksa menemani Rindu dalam masa-masa kritisnya hingga Rindu menghembuskan nafas terakhir di ruangan ICU. Raga Aksa selalu berada di samping Rindu di ICU namun hatinya melayang ke India.
"Tio, aku percaya kamu bisa membahagiakan Aisyah. Aku tidak akan menitipkan Aisyah padamu karena dia bukan milikku dan aku tidak pernah memilikinya. Aisyah terimakasih sudah pernah hadir dalam hidupku dan memberikanku kebahagiaan. Kamu perempuan baik, berhak mendapatkan pendamping hidup laki-laki baik seperti Tio. Semoga kalian selalu bahagia, aku permisi, assalamualaikum." Aksa tersenyum pada Aisyah dan Tio dengan mata berkaca-kaca, sungguh dia rindu Aisyah, tapi kehadiran Tio menyadarkan Aksa bahwa mulai detik ini Aksa harus bekerja keras untuk menghilangkan semua tentang Aisyah di hati dan hidupnya.

Aksa berjalan cepat menuju lift, meninggalkan Asiyah dengan linangan air mata di pipinya dan Tio yang masih mematung menyaksikan dua orang yang sangat jelas terlihat saling merindukan, ada cinta yang kentara dari sorot mata Aksa dan Aisyah.
"Aksa mungkin masih ada di lobi, kerjarlah, katakan pada Aksa kalau kamu masih setia menunggunya selama ini. Aku datang hanya untuk mengucapkan selamat padamu karena telah lolos seleksi untuk melanjutkan sub spesialis. Katakan juga padanya aku kesini untuk berbulan madu dengan istriku, bukan untuk melamar perempuan yang sangat dicintai Aksa karena aku tahu aku tidak pernah mendapat tempat di hatinya, jadi aku putuskan untuk melamar dan menikahi perempuan lain."
Tanpa berpikir panjang Aisyah langsung berlari menuruni anak tangga karena terlihat lift masih naik menuju lantai atas. Denagn terengah-engah Aisyah mencari-cari Aksa di lobi, tapi sosok yang dicarinya tidak ada. Tidak mungkin bagi Aisyah berteriak-teriak memanggil nama Aksa. Mungkinkah Aksa sudah pergi ke bandara dan langsung pulang ke Indonesia?

Aisyah berlari menuju parkiran di baseman, tapi tak terlihat ada Aksara disana. Lalu Aisyah berlari menuju halaman depan apartemen. Lututnya sudah bergetar, tak kuat lagi berlari, nafasnya memburu, keringat sudah menetes di pelipis Aisyah.
"Harus berlari sekeras inikah mengejarmu?" gumam Aisyah pada laki-laki yang sedang duduk di coffee shop di sudut taman dengan tatapan kosong.
"Aisyah ...."
Aksa bangkit mendekat pada Aisyah yang masih mengatur nafasnya yang cepat.
"Untuk apa datang ke India dan menemuiku kalau hanya untuk meninggalkanku kembali?"
"Masih bolehkah aku tinggal dan menghalalkanmu untukku?"
Aisyah mengganguk, air matanya sudah tidak dapat dibendung lagi.

tamat.