Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

Istri Pilihan 21 - 23 - tamat

#Istri_Pilihan
#Part 21 a. Diagnose Salsa
Pov Wafi by Wahyuni
***


Dear istri
Haruskah aku meminta maaf, bahwa aku telah mencintaimu?
Aku tahu, karena cintaku kamu menderita.
Bisakah kau memahami, bahwa membahagiakanmu adalah tujuanku?
Kau suruh aku menutup mataku, tapi aku tetap bisa melihatmu.
Kau tutup kedua telingaku, tapi suaramu terus terdengar.
Untuk apa kau minta aku melabuhkan perahuku di dermaga lain, sementara kamu lah dermaga terindahku.

Dear istri,
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, cinta tulus karena Illahi Rabbi.
Tinggallah lebih lama duhai pelipur laraku, akan kubuat kau bahagia seumur hidupmu.
'Awafi'
***

Aku mengepal tanganku, ketika melihat Azzam memegang kedua lengan Bila. Walaupun itu terjadi tanpa disengaja, tetap saja aku cemburu!

Kulindungi tubuhku di balik tembok, penasaran juga apa yang akan dilakukan Bila setelah Azzam menyelamatkannya barusan. Ternyata dia berlari!

Alhamdulillah, kukira dia akan melakukan hal sebaliknya, berterima kasih ala gadis-gadis kebanyakan. Untungnya dia bukan tipe wanita begitu. Namun, tetap saja, cemburu terlanjur merampas akal sehatku.
Setelah Bila menaiki lift, kukeluarkan tubuh dari balik tembok. Segera kupanggil Azzam yang kelihatannya hendak meninggalkan rumah sakit ini.
"Zam!"
Azzam menoleh.
"Wafi, sejak kapan antum di situ?" tanyanya gugup. Pasti dia khawatir jika aku melihat kejadian yang baru saja terjadi.
"Baru aja," kucoba menutupi kenyataan, "kunci mobil ana ketinggalan di ruangan antum."
"Oh, baik, akan ana ambilkan."
Ya, Allah membuatku meninggalkan kunci itu, supaya aku tahu, bahwa ada hati yang masih menaruh harap pada wanitaku.

***
Rumah sakit tampak sepi, hanya beberapa manusia yang lalu lalang di koridor. Harusnya ini memang menjadi waktu tidur terbaik. Tapi nyatanya aku dan Bila di sini. Tadinya mata ini begitu mengantuk, tapi kenyataan yang terpampang di depan membuat harapanku untuk tertidur pulas menghilang seketika.
"Astrositoma, benarkah Salsa mengalami penyakit mematikan itu?"
Rasanya aku tak ingin percaya, tapi dokter tidak mungkin salah mendiagnosa. Apalagi tes penunjang sudah dilakukan. Bahkan besok dokter sudah menjadwalkan pembedahan untuk pengangkatan tumor serta tes biopsi.
Ya Allah, kasihan sekali adik tiriku itu. Mungkin tak ada yang bisa kulakukan, mendukungnya pun hanya sekedar saja. Karena aku tak ingin menyakiti hati Bila, istriku. Bagaimanapun kondisi Salsa, aku tak boleh terlalu peduli. Semoga Salsa bisa segera sembuh melalui jalan operasi dan kemoterapi sesuai yang direncanakan dokter.

Aku kembali ke lantai atas. Tampak Bila duduk seorang diri di kursi tunggu depan ruangan ICU. Kedekati dia. Bila bangkit untuk menyambutku.
"Mas," sebutnya lirih. Aku hanya menatap tanpa menjawab. Melihatnya, rasa cemburu kembali menari-nari.
Kuhempaskan tubuh di atas kursi, sambil mengacak-acak rambut seperti orang frustasi.
"Gimana Mas, hasilnya? Mbak Salsa sakit apa?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
Ah, Salsa? Bukan itu hal utama yang ingin aku bahas dengannya, tapi kejadian tadi. Aku nggak bisa berbohong tentang perasaanku, dia harus tau jika aku sedang cemburu!
"Tadi ngapain sama Azzam di taman?"
Dia tersentak. "Mas lihat, ya?"
Aku menoleh ke arahnya sambil menarik napas. "Jangan gitu lagi, ya? Lain kali kalau jalan hati-hati."
"Iya, maaf, Mas," ucapnya lirih. Ah, rasanya aku sangat tidak bijaksana mencemburuinya, padahal jelas itu kecelakaan. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa dia ada di taman?

"Tadi Mas 'kan minta kamu menunggu di kamar, kenapa ke taman? Nggak baik sendirian begitu diluaran, ini 'kan udah larut?"
Dia bergeming, tak menjawab.
"Ada yang mau kamu sampaikan sama Mas, atau sama Azzam?"

Dia terperanjak, matanya menatapku seketika. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tapi apa?
Aku menaikkan kedua alis sambil memajukan bibir bawah, menanti dia menjawab. Namun, dia malah membuang pandangan.
"Ooo, jadi benar pengen ketemuan sama Azzam ceritanya?"
Dia mencubit lenganku.
"Aww ...."
Aku menjerit pelan, detik berikutnya dia tersenyum sambil mengelus lenganku yang tadinya dia cubiti.
"Bila cari Mas Wafi, bukan Mas Azzam ...."
"Benar? Emang mau ngomong apa?" Tanyaku sambil membawa tangannya ke pangkuanku. Perlahan, rasa cemburu mulai sirna.
"Ini, tentang Mbak Salsa, Mas ...," ucapnya lirih.
"Hmm, Salsa kenapa?"
Bila bergeming. Pandangannya nanar ke depan.
"Lho kok diam, katanya ada yang mau dibicarakan tentang Salsa?"
"Sebenarnya Mbak Salsa sakit apa, Mas?" tanyanya gugup.

Kualihkan pandangan menatap jejeran bangku kosong di depan. Jika mengingat Salsa, ada yang terasa amat sakit di dada ini. Bila menggenggam telapak tanganku. Terasa sedikit menenangkan.
"Salsa mengidap tumor otak ganas."
Bila menghela napas, hal sama yang tengah aku lakukan saat ini. Sesaat waktu terasa berhenti berputar. Hening, hanya suara desahan napas yang terdengar.
"Sebenarnya Bila sudah tau Mas," dia menarik napas sejenak, akupun ikut menoleh, "Bila boleh tanya sesuatu lagi, nggak?"

Tatapanku semakin dalam, hendak mencari tahu apa gerangan hal lain yang ingin ia tanyakan.
"Kamu mau nanya apa sama Mas?"
Bila kembali bergeming sejenak, kemudian...
"Apa Mas Wafi masih mencintai Mbak Salsa?"
Aku tersentak, kaget dengan pertanyaannya di tengah gemelut kondisi seperti saat ini. Kutatap wajah istriku itu, sekilas. Lalu kembali meluruskan pandangan.
"Kok nanya itu lagi sih, nggak cukup yang tadi di kamar sebagai pembuktian?"
Bila mengelus lenganku lagi. "Bila mau jawaban langsung dari mulut Mas Wafi," ucapnya setengah merengek.
Kuhadiahkan untuknya sebuah senyuman.

"Nggak Sayang, Mas cuma mencintai kamu seorang," jawabku tegas.
"Bagaimana jika Mbak Salsa masih sangat mengharapkan Mas Wafi?"
Kurangkul pinggangnya dengan sebelah tangan. Bila tergelak. Wanita ... wanita, kenapa begitu suka mengurus perasaan orang lain.
"Emang kamu mau jika Mbakmu itu masih menyimpan rasa sama Mas?"
Dia menggeleng.
"Lalu, kenapa nanya begitu?"
Hening, dia tak menjawab.
"Berhentilah memikirkan masalah yang sudah berlalu. Sekarang yang penting bukan tentang perasaan, tapi bagaimana cara agar Mbakmu itu bisa menerima kenyataan akan penyakit yang menimpanya. Dan bagaimana agar dia setuju untuk dilakukan semua tindakan bagi pengobatannya."
Bila menunduk.
"Udah, masuk yuk. Kita temui Salsa," ucapku sambil mengamit tangannya.

***
Sayup kudengar azan berkumandang di mushalla rumah sakit. Gemelut yang terjadi semalam, saat Dokter menyampaikan diagnose serta tindakan pengangkatan tumor yang langsung dilaksanakan hari ini, membuat kami semua kehilangan setengah ruh.

Salsa menangis tersedu, Mama dan istriku juga ikut-ikutan menangis. Andai aku dan papa juga wanita, mungkin kami pun sama berlinangnya. Kenyataan ini memang tak pernah ada dalam bayangan siapapun. Salsa yang periang, cerewet, ternyata harus menerima kenyataan jika sekarang tubuhnya tengah digerogoti sebuah penyakit mematikan.
Sungguh tak pernah terbayangkan akan seperti ini akhirnya.

Kuangkat kepala yang terbaring di atas pangkuan istriku. Kami menginap di rumah sakit, di kamar rawatan Salsa sebelumnya. Bila masih tertidur sambil menyandarkan tubuh ke sofa. Bagaimana bisa aku tertidur sampai pagi di pangkuannya, yang kuingat kami baru saja duduk beristirahat di sofa, sesaat setelah Salsa diberi suntikan penenang. Lalu, semua gelap, aku tak ingat apa-apa lagi.
"Mas," ucap Bila sambil meluruskan kaki. Ternyata gerakanku membangunkannya.
"Emm ... maaf ya, pasti kakimu kebas. Semalaman menyangga kepala Mas," ucapku sambil memijat pelan kedua pahanya. Dia kelihatan risih, mungkin geli.
"Nggak kok, Mas."
Pendalihannya terpatahkan, dia kesulitan bangun. Kutahan lengannya, "istirahat sebentar lagi, nunggu kebasnya hilang."
Dia tersenyum, manisnya istriku. Terima kasih Allah, Engkau hadirkan ia sebagai pelipur hati. Melihatnya, semua masalah seakan terangkat. Hilang semua kegundahan, semoga kebersamaan ini selamanya ya Rabb.

***
Semua persiapan operasi telah disiapkan oleh tim medis. Sedari tadi Salsa mengunci mulutnya. Mama yang terlihat begitu khawatir terus saja mengajak bicara, namun hanya ditanggapi dengan kata 'ya' atau 'tidak'.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Kukeluarkan benda pipih itu dari saku celana.
Satu pesan dari istriku. Lho kok? Segera kubuka.
[Mas kenapa diam daritadi, tanyain sesuatu donk sama Mbak Salsa?]
Aku melirik ke atasnya, tersenyum. Dia membalas tatapanku sambil memainkan tangannya menekan-nekan tombol hape. Sebenarnya, aku bukan mau menyombongkan diri, tentu aku khawatir dan mau tau keadaan Salsa. Aku hanya takut wanitaku itu cemburu, terlebih setelah pertanyaan yang dia ajukan tadi malam. Tapi, kenapa dia justru memintaku berbasa basi pada Salsa, tidakkah ia cemburu?
Kubalas pesannya.

[Yang ingin Mas tanyakan udah ditanya semua sama Mama]
Dia tampak mengetik pesan kembali.
[Tapikan beda penanya beda reaksi, Mas. Ayuk Mas tanyain, siapa tahu jika Mas yang nanya, Mbak Salsa mau bicara.]
Kuhela napas, istriku itu, aneh. Kuacuhkan pesannya. Tapi sebuah pesan masuk kembali.
[Please ....]
Aku menggeleng. Dia menangkupkan kedua tangannya. Kalau sudah begini, aku harus bagaimana?
Baiklah. Kudekati Salsa. Bila duduk di bagian kepala sebelah kiri, sementara mama di sebelah kanan.
"Sa, daritadi diam terus. Mama nanya ini itu kok cuma dijawab ya, nggak."
Semua orang kini melirik ke atasku. Termasuk Bila, kedua matanya menyipit, pertanda ia sedang tersenyum bahagia.

"Salsa nggak enak tenggorokan, Mas," jawabnya sambil menunduk. Sebuah kalimat yang kurasa cukup dinanti banyak orang.
"Sabar ya, sebentar lagi semuanya akan segera membaik. Yang penting, terus langitkan doa demi kesembuhanmu. Ingat, ada Allah tempat berbagi segala rasa, sakit, senang, susah bahagia, Allah-lah pemilik segala rasa itu."
Salsa terdiam, pelupuk matanya basah. Allah, aku tak sanggup melihatnya begini...
Mama berjalan keluar ruangan, diikuti Papa. Aku tahu, Mama pasti akan menangis kencang di luar sana.
Tinggalkan kami bertiga di ruangan ini. Aku, Salsa dan Bila. Salsa semakin terisak, air matanya tumpah bak hujan deras yang mengguyur bumi. Kutahan langkahku, tak ingin bergerak walau satu langkah. Menyadariku yang mematung dalam berdiri, Bila melangkah mendekati Salsa. Ia menggenggam jemari wanita itu sambil berbisik.

"Mbak yang kuat, ya. Insya Allah pasti sembuh. Kami senantiasa mendoakan Mbak."
Salsa tak menjawab, air matanya tak berhenti mengalir. Entah apa yang menggerakkan tanganku untuk mengambil selembar tissue yang terletak di atas nakas. Lalu tanpa sadar kuarahkan ke wajah Salsa. Menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis itu. Tentu bukan alasan cinta, karena rasa itu kini telah ada yang memiliki. Mungkin serupa sayang.
Salsa terlonjak. Tangisnya terhenti seketika.

"Sudah, jangan menangis ya. Selama ini, yang Mas tahu, kamu wanita yang kuat. Jadikan semua cobaan yang Allah beri sebagai suatu bentuk muhasabah diri. Allah tak pernah mencoba seorang hamba, melebihi batas kemampuannya."

Salsa menarik napas, kini tissue di tanganku kuberi padanya. Pandanganku malah diajak melirik wanita lainnya yang bersama kami di ruangan ini. Bila. Apa kabar dirinya?
Ya Salam, dia menunduk sambil memilin ujung khimar. Kelakuanku ini, apa sudah keterlaluan?
***
Bersambung ya...


-------


#Istri_Pilihan
#Part21 b Permintaan Untuk di Madu
***
Pov bila

'Aku tahu akan seperti ini rasanya, tapi demi kamu Mbak, aku akan sedikit berkorban.'
***
Dari semalam Mbak Salsa terus menangis, saat tahu diagnose penyakit yang kini menimpanya. Bahkan dokter terpaksa menyuntikkan penenang, agar ia bisa tertidur. Karena esok adalah hari penting untuk pengobatannya.

Pagi ini pun sama, dia terus mengunci mulut. Mbak Salsa mengacuhkan pertanyaan semua orang, rasanya aku tak tega. Sementara aku tahu, di ruangan ini ada seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman. Suamiku. Namun, karena aku, lelaki itu pun begitu menjaga jarak.
Jika setelahnya aku harus merasakan cemburu, semua adalah salahku sendiri. Aku yang meminta Mas Wafi untuk menyapa Mbak Salsa. Lalu, double perih harus kurasakan, saat tiba-tiba Mas Wafi mengambil selembar tissue lalu mengusap air mata di wajah Mbak Salsa.

Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa hanya aku wanita yang ia cintai. Agar rasa cemburu di dada segera sirna. Tapi, ya beginilah wanita. Sekuat apapun usahanya, tetap tak mampu jika harus melihat suaminya memberi perhatian pada wanita lain. Ah, egosinya aku.

Kutundukkan pandangan sambil memutar-mutar ujung khimar. Baru begini saja, aku sudah tak tahan lalu bagaimana jika pada akhirnya, seseorang memintaku mengikhlaskan suamiku, apakah aku akan menangis seumur hidup.

Berkelebat pikiran di benak, namun seketika hilang, saat tiba-tiba, Mas Wafi menyentuh jemari tanganku. Seakan ia mengerti jika istrinya ini tengah dilanda gemuruh hebat di dada. Kuangkat wajah, mencari pembenaran cinta pada sorot matanya. Ia menatapku pilu. Pasti perasaannya sama kacau dengan yang kurasakan saat ini.
'Katakan padaku Mas, aku harus bagaimana? Apakah aku harus membagi cintamu?'

***
Sepinya pengunjung di depan ruang operasi membuat suasana semakin mencekam. Sudah empat jam lebih Mbak Salsa di dalam ruangan itu, belum ada satu orangpun yang keluar untuk sekadar memberitahu 'berapa lama lagi operasinya akan berlangsung'.
Mama yang paling terlihat cemas, sementara papa duduk di sampingnya sambil sesekali mengelus punggung sang istri. Aku duduk di hadapan mereka. Sambil menunggu Mas Wafi shalat dhuha, kudegungkan bacaan doa Al-Matsurat. Sebuah doa yang selalu kubaca di pagi dan sore hari, sambil mengharap agar Allah menyempurnakan nikmatnya padaku.

Lima belas menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Mama dan papa segera bangkit. Tampak Mas Azzam keluar dari ruangan sambil membuka masker yang menutupi wajah. Di tubuhnya, setelan hijau khas ruang operasi masih membalut.
Mas Azzam mendekati mama dan papa.
"Bagaimana, Dok, operasinya?" tanya papa dengan raut cemas.
Mas Azzam tak langsung menjawab, justru melirik ke arahku yang masih duduk di kursi tunggu. Kutundukkan kembali pandangan yang terlanjur basah tengah menatapnya.

"Maaf sudah menunggu lama. Operasinya sudah selesai Buk, Pak. Tapi Salsa belum sadarkan diri. Dia juga banyak kehilangan darah, jadi kemungkinan sesaat lagi akan langsung ditransfusi darah. Jika sudah melewati masa observasi, pasien akan didorong ke kamar."
"Astaghfirullah, Salsa Pa ...."
"Tenang Ma ...."
"Ibu jangan khawatir, Insya Allah sembilan puluh persen operasinya sudah berhasil. Tinggal kita serahkan yang sepuluh persennya lagi sama Allah ya, Buk. Permisi, saya tinggal sebentar," pamit Mas Azzam pada papa dan mama. Sebelum beranjak, dia kembali menoleh ke arahku. Kali ini aku tak lagi menunduk, kubalas senyumannya dengan anggukan kepala. Mewakili rasa terima kasih.
'Mbak Salsa ...,' lirihku pelan. Semoga dia baik-baik saja.

***
Sudah satu jam Mbak Salsa berada di kamar ini. Beliau masih tak sadarkan diri. Sekarang, mahkotanya telah tiada. Saat hendak operasi, tim medis telah mencukur semua rambut Mbak Salsa. Mama sengaja memakaikan khimar untuk menutupi, alih-alih takut jika nanti Mbak Salsa bangun dan terkejut melihat rambut indahnya kini sudah tiada lagi.
Kini, semua fungsi tubuh Mbak Salsa diambil alih oleh mesin. Untuk bernapas, beliau menggunakan respirator yang di tanam hingga ke beranda paru-paru. Jantung dan ginjalnya juga difungsikan dengan bantuan alat medis. Sungguh, jika melihat beliau sekarang. Rasanya air mata ini berderai tak tertahankan.

Sejenak aku merenungi nasib. Sembilan belas tahun aku hidup di dunia, berdiri dan berjalan sudah ada yang menggerakkan. Mata terpejam dan terbuka sudah ada yang mengatur, menarik dan membuang napas juga sudah ada yang koordinasi. Sungguh, sempurna ciptakan Allah. Lalu, jika beliau ingin mengambilnya kembali, apa yang bisa dilakukan manusia. Bantuan alat dari luar? Seberapa hebat? Hanya membantu mempertahankan jantungnya tetap berdetak? Apa bisa kita membangunkan seseorang dari koma, atau menghentikan ajal yang hendak menjemput?
'Nikmat mana lagi yang hendak kita dustakan?'
Allah, terima kasih untuk kesehatan yang telah Engkau limpahkan pada kami, jaga kesehatan mata kami, pendengaran kami, gerak kami, jaga waktu istrirahat kami, waktu Ibadah kami. Sesungguhnya kami ini hamba-Mu yang dzalim. Ampuni kami setiap saat ya Rabb.

***
Sudah lima hari Mbak Salsa koma. Selama lima hari ini, aku bergantian menjaga Mbak Salsa dengan mama. Jika ada yang bertanya apakah aku menyesal karena berbulan madu di rumah sakit.
Nggak!

Sedikitpun aku tak menyesal, karena sumber bahagiaku, Allah takdirkan selalu bersama. Ya, aku tak sendiri menjaga Mbak Salsa, ada Mas Wafi yang senantiasa menemani. Malah yang kurasa, hubungan kami kini semakin dekat.

Bulan madu tidak harus jalan-jalan, atau menghabiskan waktu siang malam demi memuaskan kebutuhan biologis. Bahkan duduk di antara banyaknya orang sakitpun bisa mendatangkan kenikmatan.

Kami mempergunakan setiap waktu untuk saling mengungkapkan perasaan. Saat duduk berdua, dia bertanya tentang apa-apa yang kusukai dan tidak kusukai. Akupun begitu. Tapi ada satu yang begitu sangat kutakuti, aku sangat takut kehilangan sosok bersahaja ini. Akankah selama ia jadi milikku seorang?
"Kangen ...."
Dia berbisik perlahan di telingaku saat aku tengah mengupas mangga untuknya. Seketika bulu kudukku berdiri roma. Ini bisikan siapa sih, hantu? Hihihi... Sudah lima hari Mas Wafi puasa. Biarin ah.

Kusodorkan belahan mangga ke mulutnya. "Ini obat kangen, Mas."
Dia menggeleng, "pulang, yok?"
Aku membelalakkan mata.
"Yok ...."
Dia memelas sambil mengelus lenganku. Persis seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim.
"Mbak Salsa sendirian Mas?"
"Mas sewa perawat khusus buat menjaga Mbak Salsa, ya?"
Aku mengerling, kucubit lengannya pelan. Dia merintih. Siang bolong ngomong-ngomong kangen. Dasar suami!

Benar seperti ungkapan Umar Bin Khatab, ra, 'seorang suami seharusnya bisa tampil di hadapan istri layaknya seorang bocah. Akan tetapi ketika sang istri membutuhkan, ia harus tampil layaknya seorang lelaki perkasa.
Mas Wafi, sekarang tengah menjadi bocah. Hihihi, tapi aku suka.
Tiba-tiba, mesin pendeteksi jantung Mbak Salsa, berbunyi tak normal. Ritme jantungnya bergerak cepat. Kami tersentak, Mas Wafi yang tadinya tengah bergelendot di pundakku mendadak berdiri.
"Salsa kenapa?" tanyanya bingung.
"Panggilkan dokter, Mas ...," jeritku setengah menangis.
Gegabah, Mas Wafi menekan telpon panggilan dan meminta perawat segera ke ruangan.

***
"Pasien koma itu, bisa bereaksi terhadap apapun. Tindakan yang kita berikan, akan ditanggapi dengan berbagai bentuk. Bisa gerakan, atau perubahan dari kerja tubuhnya yang dapat kita baca melalui mesin-mesin ini." Mas Azzam memberi penjelasan sambil menunjuk alat-alat yang terpasang pada tubuh Mbak Salsa.
"Reaksi yang sangat kita harapkan adalah kesadaran. Dan itu bisa kita lakukan dengan rangsangan."
"Rangsangan?"
"Iya Fi, antum bisa meminta istri antum atau siapa saja untuk menceritakan hal-hal indah yang pasien pernah alami selama hidupnya. Karena, hal itu dapat mendorong reaksi pada pasien koma."
Sesaat kami terdiam. Aku melirik Mas Wafi, mana pernah aku punya pengalaman indah bersama Mbak Salsa. Tapi kalau Mas Wafi sendiri, pasti mereka punya kisah indah berdua. Sepertinya, sesaat lagi, akan ada cobaan besar untukku.

"Siapa saja boleh 'kan Dok, melakukannya?" Mama bertanya dengan raut cemas.
"Tentu boleh, yang jelas ceritakan hal-hal menarik, yang indah-indah. Semua kisah boleh. Hal itupun dilakukan secara teratur. Setelahnya kita tinggal menunggu hasil, sambil berdoa."
Hening. Semua saling pandangan.
"Aduh, Wafi harus ke kampus dulu, Ma. Lupa, kalau hari ini ada jam mengajar. Zam, makasih banget ya. Aku pamit duluan."
Aneh, Mas Wafi kesambet apa, sih?
Kuantar lelaki itu ke luar ruangan.
"Kok nggak bilang-bilang Mas ada jam mengajar?" tanyaku padanya saat kami sudah di luar ruangan.
"Mas lupa, Sayang," jawabnya sambil mengelus kepalaku. Kuciumi tangan Mas wafi sebelum melepas kepergiannya.
"Apakah kamu menghindar Mas, karena tentu, kamu punya banyak kisah indah bersama Mbak Salsa. Jika memang benar kamu sengaja pergi untuk hal itu, terima kasih Mas. I Love you."

***
Aku baru saja selesai shalat ashar di Mushalla. Hari ini terasa berbeda, papa dan mama ikut menjaga Mbak Salsa, padahal hari ini jatahku dan Mas Wafi.
Kulangkahkan kaki menuruni tangga Mushalla, tapi nahas. Aku tersungkur ke bawah.
"Astaghfirullah!"
Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini? Melihatku terjatuh, seorang wanita yang hendak memasuki Mushalla, berusaha membantu.
"Hati-hati, Neng," katanya pelan. Aku mengangguk sembari tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Selanjutnya kulangkahkan kaki kembali mengitari koridor hingga sampai ke depan pintu rawatan. Kugerakkan tangan perlahan membuka gagang pintu, sedikit. Mendadak usahaku terhenti.
"Sebelum koma, Salsa punya satu permintaan yang terlanjur Mama setujui."
Deg!
Kututup kembali pintu rawatan, tapi menyisakan sedikit celah untukku bisa mendengar percakapan mereka.
"Permintaan apa, Ma?" Terdengar suara papa lirih.
"Salsa mau Wafi menikahinya."
'Astaghfirullah, Ma ....' Kukatup mulut mendengar penuturan yang baru saja terlintas dari mulut mama. Bibirku bergetar, serasa napas tertahan di tenggorokan. Aku tak sanggup mendengarkannya lagi.
Tapi, rasa ingin tahuku begitu besar. Apa pendapat papa? Jika papapun menyetujui, kupastikan pernikahan ini akan hancur. Aku tidak sanggup dimadu!
"Apa, Ma? Menikahi Salsa? Apa Mama udah nggak waras, Wafi baru saja menikah, masak disuruh nikah lagi, permintaan konyol!"
"Pa ... Salsa sangat mencintai Wafi, hanya Mama yang tahu, bagaimana hancur hatinya ketika Papa justru menikahkan Wafi dengan gadis lain. Tolong Papa setujui permintaan Mama ini, bukankah makruh saja boleh dilakukan manusia, Pa? Apalagi mereka yang tidak sedarah, Allah tidak mengharamkan jika keduanya ingin membina rumah tangga!"
"Papa sudah pernah membahas ini. Sekali Papa bilang tidak, tidak!"
Brukkk!
"Astaghfirullah, Bila!"
Aku terjatuh ke lantai saat Papa tiba-tiba menarik pintu.
"Kamu nggak papa?"
Aku bangkit dan merapikan gamisku. Kuseka bulir bening yang tiba-tiba berderai. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja, sedang masalah besar tengah menantiku menghampirinya.
"Nggak, Pa."
'Bohong, aku berbohong pada papa.'
"Bila? Kamu mendengar apa yang kami bicarakan tadi?" seru mama di balik pintu.
Kutarik napas dalam. "Bila dengar, Ma?"
Mama nampak menghela napas. Seperti menyesal jika ternyata aku sudah mendengarkannya. Kenapa harus dirahasiakan? Jika ini sebuah permintaan, bukankah aku harus mendengar?
"Maaf, Sayang. Mama hanya, tidak sanggup melihat Salsa terbujur kaku seumur hidupnya, Nak ...," ucapnya sambil terisak.
"Ma ...."
Kusentuh tangannya, tapi mama justru berlari kencang meninggalkanku.
"Papa susul Mama dulu, ya?"
Kini, papa pun pergi. Tinggal aku. Mereka meninggalkanku dengan beban seberat dunia dan langit. Adakah yang lebih berat dari keduanya?
Dari celah pintu yang terbuka, aku dapat melihat Mbak Salsa masih terbaring. Pucat. Berbagai alat terpasang di tubuhnya
"Inikah yang kamu mau Mbak?"

***
Bersambung lagi.. Maaf ya kebanyakan PHP..hihihi.. Jika waktu senggang, segera saya selesaikan part berikutnya..
Oya cerbung ini Judulnya Istri pilihan, sekali lagi, bukan istri-istri pilihan. Bisa dibedakan 'kan teman-teman. Semoga nggak sedih2 amatnya bacanya..hihihi..


-----


#Istri_Pilihan
#Part23. Hanya Kamu Istriku
POV WAFI

"Poligami itu sunnah, jika kehadirannya membawa ketenangan. Namun berubah haram jika saling menyakiti dan melukai. Mbak Salsa pasti akan sadar, karena hidup mati seseorang sudah Allah tetaplah jauh sebelum kita dilahirkan. Jika satu wanita saja sudah membuat kami para lelaki bahagia, buat apa ada wanita lain yang hanya mempersulit kami menggapai syurga?"
Awafi.
***

Bulatin mentari berwarna kuning bercampur semburat jingga tampak di ufuk barat. Senja kembali datang. Sudah tujuh senja kulewati dengan status baru melekat pada diri ini.
Suami!
Rasanya tak sabar pulang dari tempat kerja, karena kutahu sekarang kepulanganku sudah ada yang menanti. Sebenarnya hari ini tidak ada jam kerja, tapi entah kenapa tadi aku terpaksa berbohong di hadapan semua orang. Mungkin Bila menjadi alasannya.

Kusempatkan diri mampir di sebuah toko bunga, membeli sebuket tulip merah lalu mampir di swalayan membeli coklat. Ini adalah hadiah pertamaku untuk Bila.
Sampai di rumah sakit, tepat saat azan magrib berkumandang. Kugerakkan langkah ke Mesjid terlebih dahulu, baru setelahnya menjemput istri tercinta.
Kubuka pintu rawatan perlahan, Bila tampak duduk sambil membaca sebuah mushaf kecil.

"Assalamualaikum."
Bila menoleh dan bangkit mendekatiku.
"Waalaikum salam. Mas, sudah pulang? Udah shalat magrib, Mas?" tanyanya sambil meletakkan punggung tanganku di kepalanya yang terbungkus mukena.
"Sudah tadi di Mesjid. Mama sama Papa kemana? Malam ini jatah mereka 'kan?"
"Tadi ke Mushalla barengan, Mas."
"Yaudah kita tunggu sebentar, ya."
Bila mengangguk, memberiku segelas air mineral lalu meminta ijin kembali melanjutkan mengaji. Tak berapa lama, papa dan mama kembali. Aku langsung mengajak Bila berpamitan pada mereka. Tak sabar pengen nyerahin bunga dan cokelat, gimana ya reaksinya?

***
Seperti biasa, kami sampai di rumah setelah pelaksanaan shalat isya di Mesjid. Tidak ada yang berbeda, kecuali satu, tadi papa sempat memanggil Bila dan berbicara empat mata. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan, bikin penasaran.
Setelah shalat berjamaah, kami menyantap makan malam bersama. Tiba-tiba perutku mules luar biasa. Ah, merusak suasana romantis. Kutinggalkan Bila yang masih sibuk membereskan meja makan. Bunga dan coklat juga pasti sudah lelah menungguku menyerahkannya. Huh!
Mungkin sekitar lima belas menit aku berada di kamar mandi. Segera aku bergegas keluar, kasihan jika Bila menungguku terlalu lama.

Setelah membuka pintu, ternyata ... Bila sudah tertidur. Gagal deh acara penyerahan bunga!
Kudekati tubuhnya yang terbaring kaku.
'Kasihan sekali istri sholehahku ini, pasti lelah karena seharian di rumah sakit. Harusnya coklat dan bunga bisa memulihkan lelahnga, tapi, dia terlalu cepat tidur ...."
Kukecup kening Bila perlahan, lalu merebahkan tubuh di sisinya. Ingin memeluk tubuh bak biola itu, tapi takut ia terbangun. Akhirnya, kubalikkan tubuh ke sisi yang berbeda. Kalau sudah begini, tidak ada lain yang kurasa, kecuali ... rindu.

Tepat pukul lima subuh aku terbangun, kulihat ke samping, tempat tidur Bila sudah kosong. Pasti dia tengah memasak.
Kugerakkan tubuh keluar kamar, ternyata benar Bila ada di dapur bersana Bik Nem. Aroma nangka muda bercampur daun salam menguar hingga ke tempatku berdiri. Ah, jadi kepingin sarapan bersamanya.

***
"Alhamdulillah, enak ...," pujiku pada Bila setelah menghabiskan sepiring nasi gudeg.
Dia tersenyum, tapi tak banyak bicara. Saat tadi shalat subuh berjamaah pun, dia kebanyakan diam. Apakah tidur semalaman nggak membuat lelahnya hilang. Kami kembali ke kamar.

Bila mengambil kemeja kerjaku di lemari, lalu membantu memakainya. Sekarang aku kelihatan seperti anak kecil. Dia mengancingi satu persatu anak kancing, tapi matanya hanya fokus pada dadaku. Tanpa menoleh, sedang biasa dia selalu menantang pandang. Sebenarnya dia kenapa?
Kuletakkan minyak rambut ke tangannya. Lalu dia mengusap pelan di kepalaku, masih tak berbicara. Ah, kenapa dia terus diam?

Tak tahan dengan sikapnya, pergelangan tangan Bila yang tengah sibuk menyusuri rambutku kini ada dalam genggaman.
Dia menoleh.
"Kenapa daritadi diam terus?" tanyaku sambil menatap matanya. Dia bergeming.
"Kamu masih lelah?" tanyaku lagi.
Dia menggeleng, lalu kembali menunduk.
"Lalu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan sama, Mas."
"Iya, Mas." Bila kini mengangkat wajahnya.
"Kamu mau ngomong apa sih, ayuk ngomong aja ...."
Sejenak dia kembali bergeming.
"Lho kok diam lagi? "
"Tapi Mas janji ya, bakalan menurutinya?"
'Menuruti? Emang dia mau nanya apa coba?'
Kini giliranku yang terdiam. Entah kenapa tiba-tiba perasaanku terasa nggak enak.

"Katakan dulu, nanti Mas pertimbangkan," jawabku tak ingin mengumbar janji padanya.
"Nggak, Mas. Mas kudu janji dulu bakalan nuruti, baru nanti Bila sampaikan!"
Uh, istriku ini ngeyel benar. Jika tak kupikirkan pagi ini ada jam mengajar, sudah kulepas kembali kemeja yang ia pakaikan.
"Iya, Mas nuruti jika permintaannya nggak macam-macam. Ayo sekarang bilang?" desakku padanya.
Bila terlihat menarik napas sejenak. "Mas ... Bila minta, Mas Wafi menikahi Mbak Salsa!"

Mataku membelalak seketika. "Menikah? Kok? Astaghfirullah Bila ... Kamu nggak lagi bercanda 'kan?"
Dia menelan saliva. "Bila serius, Mas. Siapa tahu, jika Mas menikahinya, Mbak Salsa bisa sadarkan diri."
Kepencet ujung hidungnya, dia meringis.

"Emang kamu mau dimadu? Nanti kalau Mas lebih peduli sama Salsa gimana, 'kan Salsa sedang sakit? Apa kamu nggak cemburu?" godaku padanya. Sejujurnya, mana mungkin aku menuruti permintaan konyol itu, baru menikah udah disuruh poligami.
"Insya Allah Bila siap, Mas," jawabnya membuat mataku semakin membulat. Aku tercengang.
"Benar kamu nggak cemburu?"
"Ngapunten, Insya Allah nggak Mas."

Kusentuh kedua pipinya dengan telapak tangan, lalu mengarahkan wajahnya yang tetunduk untuk menatapku. "Benar nggak cemburu?" ulangku.

Mataku dan matanya bersiborok. Kutegaskan pandangan, ia harus mempertanggung jawabkan ucapannya barusan.
Tapi, bibir Bila bergetar. Genangan air mulai memenuhi pelupuk mata. Dia menangis.
'Ya Allah ....'
Kubenamkan wajahnya dalam dadaku.

"Sayang, kita hidup di dunia nyata, bukan di film. Kamu pasti kebanyakan baca komentar netizen ini. Kita tak perlu mencetak kisah yang sama dengan kisah di film Ayat-Ayat Cinta, kita punya kisah sendiri, yang akan dicatat dalam novel Mak Wahyuni. Hihihi .... "
Dia terisak.
'Astaghfirullah, aku salah bicara.'
"Tapi dokter membenarkan, Mas. Pasien koma bisa sadar jika diberikan rangsangan kebahagiaan?"
"Lalu menurut kamu, cuma Mas sumber kebahagian Salsa?"
Dia mengangguk, aku menghela napas.
"Kamu percaya sama Allah 'kan?"
Bila semakin terisak, kueratkan pelukan.
"Tapi ini ikhtiar, Mas."
"Ikhtiar bisa dengan banyak cara, kalau poligami, Mas nggak mampu. Ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan dalam poligami, yaitu keadilan. Dan Mas takut, jika tak mampu berlaku adil nantinya."

"Tapi Bila nggak akan menuntut Mas dihari akhir, jika ternyata Mas lebih condong pada Mbak Salsa?"
Kurenggangkan pelukan, istriku ini sudah terlalu banyak bicara. Akan kubuat mulutnya diam.
.........??*+@!=*'"::"#$@+*,.......
Bibirnya bergetar, ia menahan tangis. Kecupan di bibir yang kuberikan sepertinya sedang tak ia inginkan. Apakah harus kulakukan yang lebih dari itu?
Baiklah, kita coba!
Kuangkat tubuhnya ke atas ranjang. Dia memejamkan mata sambil merangkul pundakku. Alhamdulillah, apa yang kulakukan, dia tak menolak.
Fix, jika ada yang mencariku, hari ini aku nggak masuk kerja. 😝

***
Setelah shalat dhuhur, pihak kampus menghubungiku. Ada rapat penting yang harus dihadiri oleh seluruh dosen. Dengan berat kutinggalkan lagi istri tercinta ini yang masih dalam tahap galau tingkat tinggi. Sebenarnya aku takut jika dia ke rumah sakit, lalu kembali bertemu Salsa. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir dia akan menuntutku menikahi Salsa seperti yang sudah dia lakukan tadi.
Wanita ... wanita, pikirannya pendek sekali. Itu kenapa kita dan pasangan diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Memiliki dua karakter berbeda yang khas. Jika wanita cenderung mengendepankan perasaan saat menghadapi persoalan. Maka pria memiliki kecenderungan memainkan logika.

Mungkin Bila hanya berpikir setelah aku menikahi Salsa, dia akan sadar. Lalu permasalahan selesai. Padahal justru, ini adalah awal permasalahan. Seberapa adil sih seorang manusia itu, bahkan Allah saja sudah menyebutkan dalam Firman-Nya Quran surat An Nisa ayat 129 : "Dan sekali-kali kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dan aku tidak mau menjadi seseorang yang dibangkitkan di Padang Mahsyar nanti dalam keadaan miring sebelah, hanya karena tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istriku. Astaghfirullah, sampai kapanpun, aku hanya akan menjadi suami untuk Bila seorang.

***
Kini, kami sudah berada kembali di rumah sakit. Kulepas kepergiannya dengan mengucapkan sebuah nasihat, "Sayang, poligami itu sunnah, jika kehadirannya membawa ketenangan. Namun berubah haram jika saling menyakiti dan melukai. Mbak Salsa pasti akan sadar, karena hidup mati seseorang sudah Allah tetaplah jauh sebelum kita dilahirkan. Jika satu wanita saja sudah membuat kami para lelaki bahagia, buat apa ada wanita lain yang hanya mempersulit kami menggapai syurga?"
Bila tergugu. Kukecup kening wanita itu. Semoga kata-kataku akan melekat di hati dan tertanam kuat ke dalam pola pikirnya.

Bonus,
Pov Bila.
Mas Wafi kembali ke rumah sakit sesaat setelah aku melaksanakan shalat magrib. Kusambut kedatangannya, menciumi telapak tangan lalu mengangkat segelas air mineral untuk ia minum sebagai pelepas dahaga.
Melihat Mas Wafi, rasanya aku ingin menangis kembali. Padahal tadi pagi, air mata ini telah kubiarkan berderai layaknya hujan yang membasahi bumi. Seolah belum cukup, kini langit terlihat kembali mendung, akankah hujan kembali turun?
'Mas, dari mana aku harus memulainya, agar engkau tau masalah ini? Aku tak mampu memendamnya seorang diri ....'
Kutarik napas dalam-dalam sambil mentartilkan bacaan Quran dengan suara yang sangat lirih. Tak berapa lama, mama dan papa kembali dari shalat magrib berjamaah. Mas Wafi segera meminta ijin pamit pulang.

Mama dan papa kembali bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa tadi pagi. Sementara aku, aku memang duduk tenang, tapi peperangan hebat tengah terjadi di dalam hati. Bahkan jika diumpamakan, lebih hebat dari perang badar yang dimenangkan oleh ummat Muslim.
Kuikuti langkah Mas Wafi meninggalkan ruangan. Namun, papa memanggilku kembali ke ruangan, hanya aku. Sementara Mas Wafi menunggu di luar.

"Papa sama Mama minta maaf soal tadi pagi. Papa harap kamu tidak menganggapnya serius."
Aku menoleh melihat mama yang juga menatap ke arahku. Saat pandangan kami bertemu, mama segera menunduk.
"Jangan sampaikan apapun pada Wafi. Papa tidak ingin pernikahan kalian goyah hanya karena keinginan Mamamu yang konyol itu. Ingatlah, Salsa akan tetap sadar, sekalipun tanpa Wafi. Karena yang mengendalikan semuanya adalah Allah."

Bibirku bergetar menahan tangis. Begitu mulianya hati lelaki yang kini sudah menjadi papa mertuaku itu.
'Tapi Pa, sesuatu yang sudah terlanjur kuketahui, tidak mudah terhapus tanpa ada jalan penyelesaiannya. Maaf jika nanti aku melanggar permintaanmu.'
Kami sampai di rumah selepas shalat isya berjamaah di mesjid. Mas Wafi mengimami shalatku. Lalu kami beranjak untuk menikmati makan malam.
Sedari tadi aku hanya diam, bahkan saat Mas Wafi mengirimkan pesan rindunya dengan menggenggam tanganku, aku hanya tersenyum tanpa berkata-kata.
Rasanya mulut ini seperti ada yang mengunci. Dan kunci untuk membukanya hanya ada satu. Jujur perihal tadi pagi.
Aku mulai hendak membuka mulut, saat kami selesai menyantap makanan, tapi mendadak Mas Wafi minta ijin ke kamar mandi.
Astaghfirullah, sebaiknya aku bagaimana?

Setelah membereskan meja makan, kulangkahkan kaki ke kamar. Hampir lima belas menit aku menunggunya. Saat pintu kamar mandi terbuka, reflek tubuhku rebah di atas ranjang.
Kututup mata erat-erat. Sepertinya aku belum siap untuk jujur.
Kudengar langkah Mas Wafi mendekati ranjang. Tak lama, sebuah kecupan mendarat di keningku. Kecupan yang begitu menenangkan. Akankah aku ikhlas membaginya dengan wanita lain?
Bibirku hendak bergetar, sekuat tenaga kutahan agar tak mengecohkannya. Mas Wafi kini ikut merebahkan diri di sampingku. Entah seperti apa posisinya. Aku tak berani berbalik. Tak lama dengkuran kecil terdengar. Suamiku telah terlelap. Tinggalkan aku di sini, kembali meratapi nasib yang terjadi.
Air mata jatuh bertetes membasahi bantal. Kudekap erat wajah dengan guling. Tak ingin tangisannya membangunkannya. Lelakiku.

***
Tepat pukul setengah lima subuh, aku terbangun. Aku sengaja memasak masakan favorit Mas Wafi. Pagi ini aku akan jujur. Tapi sebelum kejujuran itu kulakukan, Mas Wafi harus bahagia. Supaya apa yang kusampaikan nanti ditanggapinya dengan perasan bahagia pula.

"Alhamdulillah, enak ...," pujinya padaku setelah menghabiskan sepiring nasi gudeg. Aku menanggapinya dengan senyuman, tanpa banyak bicara. Seolah apa yang ingin kubicarakan tertahan. Mungkin karena kejujuran itu belum kutunaikan.
Kami kembali ke kamar. Aku bergegas mengambilkan kemejanya di dalam lemari. Saat kubuka lemari, nampak di mataku buket bunga lili merah, di bawahnya ada sebuah coklat tob*****. Mas Wafi meletakkannya di deretan baju paling atas. Kuraih bunga itu, ada secarik kertas bertuliskan 'I Love You Istriku'.

Dadaku terasa begitu perih. Tubuhku tiba-tiba menghangat, inikah yang ingin dia berikan padaku? Mungkin tadi malam, tapi aku justru ...
Kugigit bibir perlahan, sambil menarik napas dalam-dalam. Aku tak boleh goyah!
Kudekati Mas Wafi yang berdiri didepan meja rias. Kubuka kemeja di tangan lalu memakaikan padanya.

Satu persatu kupasangkan anak kancing. Mataku tak beralih, terus menatap dada kokohnya. Mungkin saja hari ini menjadi hari terakhirku mengakui, bahwa dada ini adalah milikku seorang.
'Astaghfirullah, aku terlalu mencintainya. Inikah ya Allah yang menjadi alasan Engkau mencoba ku dengan cobaan terberat ini?'
"Latahinnu Wala Tahzannu, Innallaha Maana. Jangan sedih Wahai hamba-Ku, karena Aku lebih banyak stok kebaikan dari pada apa yang kamu harapkan. Belum tentu apa yang kamu anggap baik, itu baik buatmu. Kenapa dia yang kamu inginkan pergi darimu, karena Aku (Allah) cemburu padamu."

'Ya Allah, jika cintaku padanya telah membuatmu cemburu, maka aku ikhlas membaginya dengan yang lain ....'

Mas Wafi meletakkan minyak rambut ke tanganku. Lalu kuusap pelan di kepalanya.
Tiba-tiba, mas Wafi menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat. Aku menoleh. Tatapannya begitu tegas. Aku bisa membaca ia pasti ia tak suka dengan sikap acuhku sedaritadi.
"Kenapa daritadi diam terus?" tanyanya sambil terus menatapku, "kamu masih lelah?"
Aku menggeleng, lalu kembali menunduk. Tak mampu berbicara walau sepatah katapun.
"Lalu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan sama, Mas," tanyanya lagi.
Kukumpulkan segenap keberanian.
"Iya, Mas," ucapku sedikit tertahan
"Kamu mau ngomong apa sih, ayuk ngomong aja ...."
Sejenak aku kembali bergeming.
"Lho kok diam lagi? "
"Tapi Mas janji ya, bakalan menurutinya?" pintaku memelas.
Kini giliran Mas Wafi yang terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Katakan dulu, nanti Mas pertimbangkan," jawabnya kemudian.
Aku bersikeras.
"Nggak, Mas. Mas kudu janji dulu bakalan nuruti, baru nanti Bila sampaikan!"
'Ya Allah, aku pasti sudah jadi istri durhaka. Maafkan Bila Mas.'
"Iya, Mas nuruti jika permintaannya nggak macam-macam. Ayo sekarang bilang?" desaknya padaku.
Kutarik napas sejenak. "Mas ... Bila minta, Mas Wafi menikahi Mbak Salsa!"
Mata Mas Wafi membelalak seketika.
"Menikah? Kok? Astaghfirullah Bila ... Kamu nggak lagi bercanda 'kan?"
'Bercanda, mana mungkin aku bercanda untuk masalah serius begini, Mas?'
Kutanggapi pertanyaan Mas Wafi. "Bila serius, Mas. Siapa tahu, jika Mas menikahinya, Mbak Salsa bisa sadarkan diri."
Dia memencet ujung hidungku, sakit.
"Emang kamu mau dimadu? Nanti kalau Mas lebih peduli sama Salsa gimana, 'kan Salsa sedang sakit? Apa kamu nggak akan cemburu?"
Hatiku remuk mendengarnya, padahal tadi aku sudah berjanji untuk ikhlas. Astaghfirullah ya Allah, bimbinglah langkah rapuh ini.
"Insya Allah Bila siap, Mas," jawabku lirih.
"Benar kamu nggak cemburu?" ulangnya kembali.
"Ngapunten, Insya Allah nggak Mas."
Aku tersentak, saat Mas Wafi memegang kedua pipinku dengan telapak tangan, lalu mengarahkan wajahku yang tetunduk untuk menatapnya. "Benar nggak cemburu?" Dia kembali mengulang dengan tegas.

Mata kami saling bersitatap. Aku tak mampu menatap bola jernih itu, rasanya ingin menangis kuat. Kutahan sekuat tenaga, tak ingin Mas Wafi tahu aku serapuh ini.
Tapi, Mas Wafi justru membenamkan wajahku dalam dadanya. Luruhlah air mataku. Sungguh, tak dapat lagi tertahankan.
"Sayang, kita hidup di dunia nyata, bukan di film. Kamu pasti kebanyakan baca komentar netizen ini. Kita tak perlu mencetak kisah yang sama dengan kisah di film Ayat-Ayat Cinta, kita punya kisah sendiri, yang akan dicatat dalam novel Mak Wahyuni. Hihihi .... "
Diantara isakan, kucoba menjawab ucapannya.
"Tapi dokter membenarkan, Mas. Pasien koma bisa sadar jika diberikan rangsangan kebahagiaan?"
"Lalu menurut kamu, cuma Mas sumber kebahagian Salsa?"
Aku terhenyak, benarkah mas engkau sangat menolak keinginanku ini?
"Kamu percaya sama Allah 'kan?"
Pertanyaannya itu, ya Allah ... apa aku salah ya Tuhanku?
"Tapi ini ikhtiar, Mas."

"Ikhtiar bisa dengan banyak cara Sayang, kalau poligami, Mas nggak mampu. Ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan dalam poligami, yaitu keadilan. Dan Mas takut, jika tak mampu berlaku adil nantinya."
"Tapi Bila nggak akan menuntut Mas dihari akhir, jika ternyata Mas lebih condong pada Mbak Salsa?"
Mendengar ucapanku, Mas Wafi merenggangkan pelukan. Aku sedikit ketakutan. Mungkinkah Mas Wafi marah?
Tapi ... Mataku membulat, napasku berhenti. Dia membungkam mulutku dengan bibirnya. Kututup rapat bibirku, menolak kecupannya. Namun, Mas Wafi justru mengangkat tubuhku ke atas ranjang.
Pertemuan kedua, aku tak bisa menolak. Karena rindukupun sudah seluas samudera.

***
Setelah shalat dhuhur, Mas Wafi mendapat telpon penting dari pihak kampus. Akhirnya, disinilah aku saat ini. Di rumah sakit.
Mas Wafi mengantarku hingga di lantai tiga. Lalu kupandang kepergiannya. Ada rasa lega dan bahagia yang memenuhi dada, setelah sekian lama beban ini kependam seorang diri, kini seakan terangkat bagai panah yang melesat cepat dari busurnya. Kulangkahkan kaki yang terasa amat ringan.
"Mas Wafi ...." Kupanggil namanya lirih. Rasa cinta dan rinduku padanya semakin bertambah. Alhamdulillah, mencintai pasangan halal adalah ibadah. Setelah kebersamaan kami tadi, perlahan keinginanku untuk menolong mbak salsa mulai pudar.

Tiba-tiba, mataku bergerak cepat, diikuti jantung yang sontak berdenyut hebat. Beberapa perawat dan dokter berlarian ke ruangan Mbak Salsa.
Astaghfirullah, aku ikut mempercepat langkah.
'Ada apa dengan Mbak Salsa?'
Kubuka pintu. Mama dan papa berdiri di sudut kiri, Mbak Salsa?
Dokter memasang alat kejut jantung di tubuh Mbak Salsa.
Mataku beralih pada layar untuk memonitor denyut jantung mbak Salsa. Kenapa garisnya flat?

***



#Istri_Pilihan
#part22 a Aku Akan Pergi
***

POV BILA

"Berkali-kali kau suruh aku pergi, tapi aku tetap tinggal. Bagaimana mungkin aku menjauh darimu, sedang kamu setara dengan embusan napasku." Awafi. 

***
Suasana amat mencekam. Bunyi 'Piiippp' yang terdengar dari monitor pendeteksi denyut jantung semakin menambah kekalutan. Jantungku berdenyut hebat saat mata ini tiba-tiba menangkap adanya lepas tangan pihak medis. Ya, dokter meletakkan kembali alat kejut jantung.
"Kenapa dokter menyerah?" batinku bertanya keras. Kualihkan pandangan menatap papa dan mama yang berdiri di sudut kiri.
'Kenapa mama juga diam?'
Namun, detik berikutnya, salah satu perawat tampak menyuntikkan sesuatu ke dalam selang infus. Sementara dokter yang tadinya hendak melakukan tindakan kejut jantung justru kini melakukan sebuah gerakan, seumpama pijatan.
'Bismillah, ya Allah semoga apa yang dilakukan dokter berhasil!'
Satu detik, dua detik, garis di layar masih flat. Detik berikutnya ...
Tit ... Tit ... Tit ...
"Alhamdulillah ...."
Aku bersujud ke lantai. 'Terima kasih Allah.'
Gambaran garis naik turun kembali nampak di layar. Tindakan pijat jantung yang dilakukan dokter benar-benar berhasil.

"Alhamdulillah ...."
Semua serempak mengucap hamdalah. Tak terkecuali, aku. Perasaan lega kini terasa memenuhi dada. Terima kasih ya Allah, telah Kau beri Mbak Salsa keselamatan.
Kupandangi tubuh dan wajah wanita itu dari kejauhan. Badan beliau tampak kurus, sementara wajahnya pucat pasi. Perbedaan yang kentara saat pertama kali kami dipertemukan. Subhanallah, sungguh semua yang ada pada manusia hanya titipan semata.
Kecantikan, kekayaan, anak, pasangan, kendaraan, semua milik Allah. Kapanpun bisa jika Dia ingin mencabut nikmat itu pada manusia.

Bulir bening lolos setetes membasahi niqab hitam yang kukenakan. Kenapa dada ini terasa begitu sesak melihat keadaan Mbak Salsa?
'Pasti engkau amat kesakitan Mbak, apalagi, sakitmu tak dapat kau ungkapan pada kami ...."
Hatiku benar-benar tersayat. Sayatan tajam namun tak berdarah.
"Ibu, pasiennya sudah tidak apa-apa, ya."
"Alhamdulillah, terima kasih dokter," ucap Mama pada dokter sambil terisak.
"Kenapa bisa henti jantung tiba-tiba, Dok?" Kini giliran papa yang bertanya.
"Begini Pak, sesuai hasil biopsi, tumor yang diderita Salsa sudah menjalar ke beberapa belahan otak. Yang dioperasi kemarin hanya mengangkat sek induk saja. Namun, tidak seutuhnya. Jadi kemungkinan henti jantung yang disebabkan oleh tumor itu sendiri sangat besar. Kita hanya bisa berdoa, agar pasien bisa segera sadar dari koma, sehingga bisa dilakukan tindakan kemoterapi. Setidaknya, dengan kemo, harapan hidup bisa lebih meningkat."

Mama semakin terisak dalam rangkulan papa. Ini adalah berita yang sangat tidak ingin kupercaya kebenarannya.
'Tumor yang diderita Mbak Salsa bahkan sudah menjalar ke beberapa bagian otak? Lalu seberapa besar harapan hidupnya? Ya Allah ....'
Baru kemarin aku menaruh cemburu padanya, masih adakah kesempatan untukku meminta maaf?
Dengan lemah kubalikkan badan, keluar ruangan. Aku harus menenangkan diri sebelum bertemu papa dan mama. Kejadian hari ini, apakah harus kubiarkan begitu saja?
Tak berapa lama, tim medis terlihat meninggalkan ruang rawatan itu. Disusul papa.
"Bila, sejak kapan kamu di sini?"
Aku terlonjak, segera bangkit dari tempat duduk.
"Sejak tadi Pa, ketika Mbak Salsa kritis."

Papa tampak menghela napas. "Sekarang Salsa sudah baikan. Papa titip Mama ya, temeni sebentar. Papa belum dhuhuran."
Kuanggukkan kepala. Siap tidak siap, aku harus masuk. Mama membutuhkan tempat bersandar, harusnya bukan aku. Karena akupun butuh tempat bersandar. Mungkin sekarang, saatnya kami saling menyandarkan bahu.
Kulangkahkan kaki memasuki ruangan. Nampak di mata, mama duduk sambil membelai kening Mbak Salsa.
"Bila ...."
Mama memanggilku lirih. Tadi aku berjanji tidak akan menangis, tapi air mata ini?

***
[Maafkan sikap Mama kemarin, Bila. Mama begitu egois, harusnya Mama nggak lepas berucap seperti itu. Apa kamu marah sama Mama?]
[Nggak, Ma.]
[Benar Bila, makasih ya.]
Mama kembali menitikkan air mata.
[Sebelum koma, Salsa pernah cerita ke Mama, soal perasaannya. Mama sangat menyesal, Bila ....]
Suara mama bergetar, diiringi isakan yang begitu pilu. Kuelus tangannya, berusaha menguatkan. Mama kembali melanjutkan ucapan yang tadi terjeda.
[Jika bisa menukar, Mama ingin menukar kesadaran Mama dengan Mbakmu. Mama sangat menyesal, karena selama inI sering mengesampingkannya. Mama banyak menyakiti hati Salsa. Dia terluka semenjak kecil ....]

Kali ini, isakan mama semakin menyayat kalbuku. Kenyataannya, aku juga sangat menyayangi Umi. Wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Perasaan yang sama pun dicurahkan Umi untukku. Jika ada wanita yang rela mengorbankan nyawanya demi aku, itulah umi.
[Semua sudah terlambat Bila ... Mama bahkan belum sempat minta maaf pada Mbakmu.]
Mama menarik napas dalam sambil menyeka air mata.

[Jangan terputus asa, Ma. Hidup hanya Allah yang tahu. Mbak Salsa pasti akan sadar dan sembuh dari penyakitnya. Kita harus tawakkal.]
Mama mengangguk sambil memeluk tubuhku.
[Andai ada yang bisa Mama lakukan untuk kesembuhannya ....]
Aku menelan saliva, degup jantungku kembali terasa perih. Keinginan mama, mungkin tidak sulit, jika aku dan Mas Wafi mau berkorban. Bagaimana kita tau hasilnya, jika tidak mencoba.

Tapi pernikahan, bukankah pernikahan itu perjanjian suci? Pernikahan bukan tindakan coba-coba. Bukan perkara sebulan, dua bulan. Melainkan seumur hidup. Jika Mas Wafi tak menginginkannya, maka harusnya aku tak boleh memaksa.
Sejenak, kepalaku diajak berdebat. Satu sisi berbicara dengan sisi yang lain. Tak hanya sisi otak, impuls saraf pun bereaksi, diikuti jantung dan nadi yang berdetak kuat.
'Mungkin aku harus pergi. Bukankah mereka pernah memiliki rasa yang kuat? Aku yakin, hanya karena aku, Mas Wafi tak bisa menerima kembali Mbak Salsa. Jika aku tiada, pasti Mas Wafi bisa melakukannya.'

[Jangan menangis lagi, Ma. Mbak Salsa akan segera bangun dari komanya. Bila janji, akan melakukan apapun agar Mbak Salsa bisa sadar.]
Ucapan itu, keluar tanpa pikir panjang.
Mama mengeratkan pelukan, air matanya jatuh dipundakku. Hal yang sama tengah kulakukan, aku menjatuhkan bertetes-tetes air mata dipundaknya. Semoga sesaat lagi, air mata ini akan berganti senyum, Ma.

***
Aku terlonjak saat derit pintu kamar mandi terdengar. Segera kuusap bulir bening yang menganak sungai di pelupuk mata. Percakapan tadi siang dengan mama terus berputar kilas di dalam benak. Kapan semua ini akan berakhir? Allah, bantulah hamba-Mu agar bisa keluar dari masalah ini. Juga suami hamba, bantulah kami. Berilah kami kesempatan berbuat kebaikan kepada orang lain, tanpa merusak keutuhan rumah tangga kami.
.

Wajah Mas Wafi tampak berseri-seri, mukanya yang basah dengan air wudhu kelihatan begitu tampan. Akankah ketampanannya sesaat lagi redup jika mendengar satu saja permintaanku?
Mas Wafi berjalan mendekatiku. Ketika kami sudah berhadapan, Mas Wafi sedikit menunduk. Mensejajarkan kepalanya yang basah dengan bahuku. Kuusap mahkota itu dengan sebuah handuk kecil. Dia menoleh lalu mensenyumiku.
Kututup kegiatan mengeringkan rambutnya dengan menciumi puncak kepala Mas Wafi. Dia mengerling, lalu membalas menciumi pucuk kepalaku.
Sesaat hening, aku tengah mengumpulkan cukup keberanian untuk mengutarakan maksudku sesaat lagi.
Mas Wafi memakai baju tidur yang telah kusiapkan. Lalu dia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Aku masih berpura-pura membereskan lemari pakaian.
"Bila ...."
Ia memanggilku lembut.
Kuatur degup di dada, lalu berjalan mendekatinya. Jantungku berdetak hebat, seakan suara detakannya mampu di tanggap oleh indera pendengar.
Aku memilih duduk di bibir ranjang, tanganku mukai saling meremas satu sama lain.
"Mas ...."
"Lo, kok duduk di situ, ayo kemari?"
Tanpa bergerak, aku mulai membuka mulut.
"Mas, Bila minta untuk terakhir kalinya, nikahi Mbak Salsa."
Mas Wafi tersentak, dia bangkit mendekatiku.
"Kamu kenapa lagi?" tanyanya sambil memegang kedua pundakku.
"Tadi Mbak Salsa kritis, Mas. Dokter bahkan hampir melakukan kejut jantung. Mas, bukankah Mas pernah menyukai Mbak Salsa, lalu kenapa Mas menolak untuk menikahinya, padahal Bila bukan sekadar ijin Mas, malah sudah memohon?"
Mas Wafi terdiam, ia menatapku tajam. Dia hendak menciumi keningku tapi aku menahan gerakannya.

Netraku kini membalas tatapan matanya penuh harap. Namun, Mas Wafi melepas kedua tangannya. Tanpa berkata apapun, dia menghempas tubuh di atas ranjang, dengan posisi membelakangiku.
Aku terdiam. Kamar ini sekarang terasa seperti neraka. Kenapa Mas Wafi tak menjawab?
"Apa karena Bila Mas?"
Masih tak ada jawaban.
"Kalau begitu, ijinkan Bila pergi, agar Mas Wafi dapat berpikir jernih tentang permintaan saya ini ...." Suaraku mulai bergetar.
Mas Wafi masih bergeming. Air mataku kini mulai luruh, kusapu cepat dengan punggung tangan. Entah siapa yang berbisik di telinga ini, kaki yang tadi terasa kaku, kini tergerak.
Kudekati lemari, mengambil koper pakaian lalu mulai memasukkan satu persatu baju.
Mas Wafi melirik, tahu apa yang kulakukan, dia segera berlari mendekatiku.
"Kamu mau ngapain?" tanyanya sambil menghentikan gerakan tanganku.
"Biarkan Bila pergi, Mas. Supaya Mas bisa berpikir, kenapa Dyan mengapa Bila menyuruh Mas menikahi Mbak Salsa ...."
"Sayang, Mas udah pernah ngomong tentang ini, kenapa kamu membahasnya lagi?"
"Sekarang Bila nggak cuma sekadar membahas Mas, Bila memohon. Jika kehadiran Bila membuat Mas sulit untuk berpikir, maka Ijinkan Bila pergi!" sahutku sambil menatap matanya. Dia memejamkan mata sambil merapatkan geraham.
'Beginikah lelaki kalau sudah marah?'

"Bukan begini caranya Bila, kamu rela mempertaruhkan rumah tanggamu demi Salsa?" Suara Mas Wafi mulai meninggi. Serasa jantungku terhunus dengan belati tertajam. Kuabaikan. Aku kembali memasukkan pakaian.
Mas Wafi menarik napas dalam, mungkin ia kebingungan atau sedang menahan amarah. Tapi pikiranku seolah tak lagi ada di kepala, mungkin di dengkul. Akulah wanita yang telah mendurhakai suaminya.
'Maafkan aku, Mas ....'
Selesai!
Kugerakkan langkah mendekati pintu.
"Antarkan Bila ke rumah Abah, Mas ...."
"Bila ...."
Mas Wafi memanggilku lirih, kini serasa terkoyak dada ini.
"Mas nggak mau, biar Bila naik bus aja!"
"Astaghfirullah!" Mas Wafi terlihat menarik napas kembali, "iya, Mas ambil kunci mobil dulu sama ganti pakaian."
"Bila tunggu di bawah."
Kulangkahkan kaki menuruni tangga, Mas Wafi tak lagi mengganti pakaian, ia mengikutiku di belakang. Kuusap bulir bening yang kembali mengalir. Sebenarnya hatiku, hancur!
'Tapi, Aku tak boleh menangis.'
***

Perjalanan terasa begitu mengerikan, Mas Wafi tak konsentrasi membawa mobil. Beberapa kali ia hampir menabrak pagar pembatas jalan tol, dilain kesempatan. Ia hampir menyerempet kendaraan beroda dua.
Aku tetap duduk diam, tak ada satu katapun yang keluar, meski hati sejujurnya amat kalut.
Kami sampai di rumah Abah pukul dua belas malam. Pasti umi akan bingung dan bertanya. Biarlah di sana saja aku jelaskan.
Setelah memberhentikan mobil di depan pagar, Mas Wafi berusaha hendak menyentuh tanganku. Aku menariknya.
Kubuka pintu mobil lalu turun dengan cepat. Mas Wafi mengikuti dari belakang. Rumah tampak sepi, semua lampu mati, kecuali kamar Abah.
Tet ... Tet ....
"Assalamualaikum ...."
Tak ada jawaban.
Kutekan kembali bel sambil mengulang salam.
"Waalaikum salam ...."
'Umi.'
Perlahan, pintu muka dua itu terbuka, sebelah. Umi tampak disebaliknya.
"Bila?"
Umi memiringkan kepala, menatap sosok lain di belakangku.
"Wafi?"
***
Bersambung. Satu part lagi ya.. Tapi, ada ekstra part kok.

------


#Istri_Pilihan
#part 22 b. Sebaik-baik Jalan Keluar (end)

"Sesungguhnya wanita bukan diciptakan dari tulang kepala untuk memerintahmu, bukan pula dari tulang kaki untuk kau injak. Ia tercipta dari tulang rusuk, dekat dengan dada untuk kau lindungi, dekat dengan hati untuk kau cintai. Wanita, tercipta dari tulang yang bengkok, maka jika bersalah, luruskan ia dengan cara baik. Karena, jika kau memaksanya, engkau akan mematahkannya."

***
Kedatangan kami malam itu di kediaman Abah, disambut kaget oleh umi. Istriku segera meraih tangan wanita di hadapannya lalu mencium takzim. Lalu, giliranku menyalami ibu mertua.
"Silahkan masuk Nak Wafi. Pengantin baru malam-malam kemari ada hal pentingkah?" tanya umi sambil menyilahkanku duduk di sofa tamu. Bila mendahuluiku dengan duduk di sofa panjang. Kugerakkan kaki untuk duduk di sisinya.
"Oh, Umi panggilkan Abah dulu, ya. Kebetulan Abah sama Umi baru aja siap tahajuddan."
Wah, sudah setua mereka, masih tahajud bersama. Luar biasa. Insya Allah, akupun akan mengikuti jejak ibu dan ayah mertua ini.
"Sebentar, ya?"

Wanita itu pergi meninggalkan kami.
"Senang ya, lihat Abah sama Umi. Usia udah nggak muda lagi, tapi masih aja tahajuddan bersama."
Ucapanku membuat Bila menoleh.
"Kita bisa begitu nggak, ya?" tanyaku padanya. Kugerakkan kembali tangan menyentuh jemari tangannya yang terkulai di atas kedua paha.
Kali ini Bila tak lagi menarik.
"Mas akan pikirkan keinginanmu itu, tapi masalah ini jangan sampai ke telinga Abah dan Umi, ya? Kasihan, pasti mereka shock mendengarnya."
Bila menunduk. Kueratkan pegangan. Aku takut, dia menangis.

"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam, Abah."
Kujabat uluran tangan Abah. Beliau kembali menyilahkanku duduk. Sementara Bila, masih menunduk.
"Lho, ini ada apa gerangan, sampai anak menantu malam-malam begini datang berkunjung?"
Sesaat suasana hening, hanya suara jangkrik yang terdengar di luar.
"Bila katanya rindu sama Abah dan Umi."
Subhanallah, jadi juga aku berbohong. Tapi, demi...
Abah tertawa renyah.

"Dulu, Bila pernah nelpon Umi jam dua malam saat di pesantren. Cuma buat bilang rindu. Sekarang udah nikah, masih begini juga. Maafkan Abah ya, Nak Wafi. Kamu jadi capek-capek ngantarin malam-malam," tukas Abah sambil menutupi senyuman. Ah, mungkin karena piyama tidur ini. Astaghfirullah, lupa!

"Benar Bila, kamu merindukan Abah sama Umi?" Kini pandangan Abah beralih ke Bila.
Istriku itu gelagapan. Kurasa, dia jarang berbohong. Sebenarnya bagus, tapi ah, seorang suami tidak boleh membiarkan istrinya berbohong. Pun suami dilarang berbohong, demi benih yang kelak akan terlahir ke dunia. Tapi demi keutuhan rumah tangga, kurasa Allah akan mengijinkan.
"Benar Bah."

Abah melempar pandang ke arahku, pandangan yang dalam. Pasti Abah tak senang kelancangan ini.
"Hemm ... kalau benar begitu, biar besok Umimu yang ngasih siraman rohani," jawab Abah tegas.
Bila kembali menunduk, jemari tangannya terasa dingin. Baru begini saja istriku ini sudah ketakutan, bagaimana lagi jika ia jujur perihal keinginannya. Sudah pasti Abah langsung yang memberi siraman rohani.
"Ayo diminum dulu teh jahenya, biar badan hangat."
Umi kembali dari dapur dengan empat gelas minuman. Tanpa ragu, keseduh teh beraroma jahe itu. Jika tadi Abah yang menahan senyuman, sekarang gantian umi.
"Jika bukan karena kamu, Mas nggak akan mau mempermalukan diri dengan baju tidur ini di depan mertua."

***
Kamar ini, pernah aku dan Bila menempatinya, walau hanya sekejap. Rasanya, kembali berada disini seperti hendak mengulang malam pertama. Huh, andai kami tak berada dalam masalah ini ... Kupastikan malam ini ...
Bila menghidupkan pendingin ruangan, meski tak ada yang menempati, tapi sepertinya umi selalu membersihkan kamar ini.
"Jadi keingat pas pertama nikah, ya?"
Kucoba mengusir kekakuan. Bila hanya menoleh lalu memilih duduk di sampingku.
"Kenapa tadi Mas bohong sama Abah?" tanyanya tak menghirau ucapanku tadi.

Wanita ... wanita, dia bahkan nggak paham jika aku sengaja berbohong demi menjaga perasaannya. Mana ada orang tua yang senang mendengar kata poligami. Apalagi jika yang menjadi korban adalah anaknya. Meskipun permintaan itu datangnya dari anaknya juga. Tetap saja yang namanya orang tua akan menentang. Disini, aku tidak ingin ia semakin terpuruk.

'Diatas segalanya, Mas minta maaf sama kamu Bila. Nggak ada yang salah, ini semua takdir. Takdir yang membawa kita berada pada kondisi sulit begini. Semoga Allah memberi jalan keluar terbaik. Sesegerakan mungkin.'
"Mas, kasihan sama Abah, sama Umi. Coba kamu bayangan, kita datang tengah-tengah malam begini, bawa berita tentang pernikahan kedua. Apa nanti Abah nggak jantungan?"
Pertanyaanku membuat Bila seperti berpikir keras. Tanpa sadar ia menggigit ibu jari. Kudekati posisi duduk kami, lalu menyentuh jemari tangannya.
"Bila, dengarin Mas ya. Dalam membangun rumah tangan islami, suami istri harus pandai mengolah masalah tanpa melibatkan orang lain. Tapi jika masalahnya sangat besar dan tidak menemukan titik temu berdua, barulah kita libatkan pihak lain. Itu tujuannya adalah untuk menutup rapat aib rumah tangga."

Bila mengangkat wajahnya. "Sekarang Mas ingin tanya sekali lagi, apa harapan besarmu pada Mas?"
Dia terdiam. "Benar kamu ingin Mas menikahi Salsa?"
Jemari tangan Bila kembali terasa dingin. Dia masih bergeming. Ternyata, wanita selain menjadi makhluk paling berperasaan di dunia juga dilengkapi dengan tingkat keraguan yang tinggi. Aku pastikan sekarang istriku ini sedang dilanda keragu-raguan. Jika wanita adalah tempatnya ragu-ragu dan gegabah. Maka lelaki haruslah sebaliknya.

Lelaki tidak boleh gegabah, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa':19 yang artinya: "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka) bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
'Permintaan Bila, jika dia punya alasan yang kuat, aku akan mempertimbangkan keinginannya. Tapi aku perlu waktu dan harus berdiskusi dengan Allah.'

"Benar kamu sangat menginginkan Mas menikahi Salsa?" Kuulangi pertanyaan tadi.
Kini dia menggenggam tanganku. Ah, lagi-lagi aku merasa tak ingin berada pada situasi begini. Kubekap tubuhnya. Aku belum pernah menangis karena wanita, tapi malam ini, aku membuktikan bahwa ada kalanya lelaki juga bisa menitikkan air mata.
"Bila sayang sama Mama, Mas. Beliau sangat ingin Mbak Salsa sembuh," ucapnya terisak.
"Apa kamu nggak percaya sama takdir?"
Sejenak hening. Waktu seakan membebat mulutnya. Kurasakan dada Bila naik saat ia menarik napas. Ya, Dia sedang mempersiapkan hatinya untuk menjawab.
"Bila percaya, Mas."
"Lalu?"
"Kita belum mencoba, Mas?"

Aku menghela napas. Terkadang manusia merasa sakit karena pikirannya sendiri, merasa sulit karena mereka yang mempersulit diri sendiri.
"Kamu siap jika nanti keinginamu dikabulkan Allah?"
"Memang itu yang Bila harap Mas, demi Allah, Bila sedang belajar ikhlas Mas. Insya Allah, niat Bila ini bukan main-main."
Kueratkan pelukan.
"Akan Mas pikirkan."
"Jangan terlalu lama, Mas."
Kuurai pelukan, wanita ini, aku ....! Astaghfirullah!
"Mas ingin kita berbulan madu malam ini?"
Dia tersenyum, kuabaikan rasa sungkan yang tiba-tiba mendera. Dia istriku!
"Shalat sunah dulu ya, Mas?"
'Ya Salam, harusnya aku yang mengajaknya shalat sunah. Suami istri, bukankah keduanya bagai bumi dan matahari. Kita ada untuk saling mengingatkan.'

Jika ada yang mengaku pacaran untuk saling mengingatkan, it's bullshit! Mengingatkan dalam zina iya! Say no to pacaran ya adik-adik sholehah, say yes to jomblo penunggu khitbah! Alhamdulilkah, damainya Islam. 😊😊
Lelaki bertakwa adalah lelaki yang jika sedang senang, ia akan memuliakan istrinya, dan jika sedang marah ia tidak berbuat dzalim terhadapnya.'
Mari kita menjadi lelaki bertakwa.

***
Pagi ini amat sejuk. Suasana kota Bandung sangat berbeda dengan Jakarta. Aku masih meringkuk dalam selimut tebal. Tapi sentuhan lembut di bahuku membuat mata ini terbuka. Kutatap manik kecoklatan yang kini juga tengah menatapku. Ada sinar seperti rembulan di sana.
"Bangun Mas, sudah subuh. Barengan sama Abah ke Mesjid."
Kusambut kehadiran wanita itu dengan senyuman. Ingin kutarik tangannya, lalu kuajak bergulat lagi dalam selimut, tapi panggilan shalat lebih utama.
"Mas mau shalat di rumah aja, ngimamin kamu?"
"Jangan Mas, lelaki itu shalatnya di Mesjid. Ayo Mas mandi dulu, Bila udah siapkan air hangatnya."
Buru-buru dia bangkit meninggalkan ranjang, lalu memilih duduk di kursi rias. Hahaha, ada yang takut nampaknya. Sesaat, kebersamaan membuat aku melupakan perihal kemelut yang tengah mendera hubungan kami.

Kuhela napas panjang, sambil menata hati yang masih dipenuhi tunas-tunas rindu. Bukankah Allah memberi manusia cobaan agar kita semakin dekat padanya. Bukankah Allah memberi masalah agar kita meminta jalan keluar padanya. Harusnya kita bersyukur, bahwa Allah masih mencoba kita, bukan membiarkan hingga kita jauh dari-Nya. Asal manusia terus istiqamah dengan pilihannya, aku yakin, pasti Allah akan memilihkan jalan keluar terbaik.

***
Derap langkah kaki dan celoteh riang anak-anak yang hendak menuju sekolah, terdengar diantara percakapanku dengan Abah. Sudah lima belas menit kami duduk di kursi teras rumah, sambil membaca Koran.
"Abah tau, ada masalah serius diantara kalian. Anakku, ceritakanlah. Siapa tahu, Abah bisa memberi masukan untuk penyelesaiannya."
Aku terperanjak. Degup jantungku sedikit berdetak cepat. 'Mungkin ada baiknya aku jujur.'
"Bila meminta Wafi menikahi Salsa, Bah. Karena dia berpikir, dengan pernikahan itu, Salsa bisa sadar dari koma.

Abah tersenyum. Beliau tampak tenang. Sungguh reaksi yang berbeda dengan prediksiku.
"Dulu Abah sama Uminya Bila juga pernah begini. Waktu muda, Abah itu playboy kelas udang." Abah tertawa renyah, "tapi berubah saat bertemu Uminya Bila. Dia wanita terpelihara, cantik dan idaman para lelaki. Saat memutuskan untuk menikahi Umi, Abah sudah berjanji pada seorang gadis untuk melamarnya. Tapi mendadak Abah batalkan karena keinginan yang besar memperistri Uminya Bila."
Abah memberi jeda, aku menarik napas. Tak pernah tau jika masa muda Abah begitu.
"Pesta pernikahan Abah dengan Umi, gadis yang tadi sempat Abah janjiin nikah datang. Di hadapan Umi dia minta jadi istri kedua. Kalau Abah nggak mau, dia bakalan bunuh diri. Sebagai lelaki, jiwa tanggung jawab Abah keluar. Tapi Umi adalah wanita yang tegas. Dia turun dari pelaminan sambil menarik tangan wanita itu. Semua pada heboh. Untung Umi pergi ke belakang tabir, tapi tetap aja ada yang lihat aksinya."
"Aksi apa Bah?"
"Dia meminta pelayan untuk menyiapkan racun tikus, pisau, tali, juga silet."
Mataku membelalak. Senekat itukah uminya istriku?
"Umi memberi pilihan pada gadis itu, mau bunuh diri dengan cara apa? Umi akan membantu mendokumentasikan katanya. Biar ada kenang-kenangan. Hahaha.. Saat itu, gadis yang tadinya sangat ingin menjadi yang kedua di hidup Abah, tampak begitu kesal. Sambil maki-maki, dia pergi meninggalkan gedung resepsi pernikahan kami. Abah belajar banyak dari Umi, sampai Abah bisa seperti sekarang ini."

"Kamu kok senyum-senyum, Fi?"
"Maaf Bah, kisahnya, anu, lucu dan seru."
Abah ikut tersenyum. Lalu lanjut bercerita.
"Nah, jika Umi adalah sosok yang tegas, Bila adalah sebaliknya. Dia sangat penyayang, sering sekali mengalah bahkan untuk hal yang sangat ia inginkan sekalipun. Pernah dulu waktu dia Abah berikan sepeda baru, adiknya yang terpaut usia satu tahun juga Abah belikan sepeda baru, yang sama. Anehnya sampai di rumah, adik Bila justru mengamuk minta sepeda yang sudah dinaiki oleh Bila. Saat itu, dengan berlinang air mata Bila memberikan sepedanya buat Keisha.

Bila sering sekali berkorban, bahkan untuk pernikahannya dengan kamu. Waktu itu padahal Bila sangat ingin melanjutkan kuliah, tapi Abah malah memintanya menikah, dengan janji seperti yang Papa kamu sampaikan, kuliah setelah menikah. Untuk menyenangkan Abah, dia menurut. Dia terima lamaranmu, Fi. Papa harap, kamu bisa bijaksana dalam membimbingnya. Bukankah Allah sudah melebihkan lelaki satu derajat di atas wanita? Itu karena lelaki memiliki kewajiban membimbing wanita ke jalan yang diridhai Allah. Abah yakin, dengan Ilmu, Iman, dan kepemimpinanmu, kamu pasti akan melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini."
Kutarik napas dalam. Banyak hal yang bisa kusimpulkan dari ucapan Abah.
"Syukran, Bah. Insya Allah Wafi akan melakukan yang terbaik."

***
Aku baru saja keluar dari kamar mandi, saat Bila masuk ke kamar membawa segelas teh hangat.
"Kita pulang pagi ini, Mas?" tanyanya ragu.
"Mas aja, kamu tinggal di sini sementara waktu, ya?"
Dia terdiam, netranya menatapku tajam.
"Lho, kenapa Bila harus tinggal, Mas? Kita kemari bahkan nggak ijin sama Papa Mama?"
Kedua bibirku tertarik menjauh. Apa yang kuucapkan ini sudah kupikirkan sejak semalam.
"Biar Mas yang sampaikan sama mereka. Kamu di sini dulu, tenangkan diri."
"Bila nggak papa, Mas?"
"Bila, Mas perlu waktu untuk memikirkan keinginammu. Tapi selama itu pula, Mas ingin kamu disini. Kita sama-sama berpikir dalam kondisi yang tenang. Atau kamu mau kita membatalkannya saja?"
Dia terlonjak. "Jangan Mas. Baiklah, Bila akan tinggal di sini sementara waktu."
"Jika Mas sudah siap memenuhi keinginanmu itu, Mas akan datang menjemput."
Kukecup permukaan yang ranum itu dengan perlahan. Sambil kedua tangan merangkul tubuh Bila dengan erat. Rasanya, aku tak ingin waktu bergerak. Aku takut rindu padanya. Istriku.
"Ini adalah penjaga hati. Jika kamu rindu sama Mas, ingat saat-saat ini, ya."
Kecupanku kini berpindah ke keningnya. Dia terisak.
Andai ....! Ah!
Bila mengantarku hingga ke pintu mobil.
"Hati-hati, Mas."

Kuelus pipi sambil memandanginya, lama. Entah kapan hatiku bisa mantap, tapi aku ingin segera kembali.
'Tetunduk istriku, semoga masalah bukan untuk membuat kita lemah, tapi untuk menguatkan. Aku tidak tahu, apa yang sedang kamu fikirkan dengan pasti, namun percayalah dalam kekhawatiranku, ada doaku. Aku sedang tidak berada di dekatmu, namun percayalah dalam setiap langkahmu ada doaku. Aku akan mencintaimu, menyayangimu, mendoakanmu, bahkan dalam amarah paling pekat sekalipun.'

***

Ini adalah ending versi grup yang pernah saya janjikan dulu di part malam pertama dengan botol pengakuan. Sangat mengandung penasaran tingkat tinggi bukan ! 😊😊😀
Tapi, teman-teman jangan khawatir, saya bukan penggantung cerbung terbaik, hihihi.. Saya akan bagian part terakhir versi novel sebagai ekstra partnya.
Semoga kebijakan saya ini adalah yang terbaik untuk kita semua.
Oya satu lagi, pesan saya kepada teman-teman saat membaca cerbung siapapun, terutama cerbung saya pribadi, cuma satu! Baperan boleh, tapi jangan sampai memaki tokoh. Sejahat apapun penulis membuat tokohnya. Karena saat anda memaki tokoh dalam cerbung, anda sudah melakukan dua kesalahan. Satu! Menambah dosa anda sendiri, Dua! Menambah dosa kami karena telah menjadi alasan bertambahnya dosa anda.
Ingat, cerbung2 ini untuk menghibur, memotivasi, memberi manfaat, bukan menambah deretan dosa yang kelak harus kita pertanggung jawabkan sama-sama di padang mahsyar.
Alhamdulillah, maaf ya sudah marah-marah. Hihihi.. Habis, kemarin udah dibilangin jangan dibully Bila, masih juga ada yang nekad. Ngapunten.. Ngapunten.. Nggih..
Semoga Allah beri saya kesehatan hingga meluncurlah ekatra partnya.. Selamat menunggu..

-----


#Istri_Pilihan
#part 23. Akhir Kisahku (Ekstra Part)

Pov bila

Wanita, engkau memang bukanlah Asma Binti Umais, istri shalehah yang selalu berdandan menyambut suaminya pulang. Dengan lembut dan penuh khidmat membuka pakaian suami, lalu mengusap punggungnya dengan sehelai handuk basah. Lalu kau suguhkan makanan dan minuman terlezat yang engkau telah siapkan. Bahkan, setelah semua yang terbaik darimu kau persembahkan untuknya, kau julurkan sebuah sapu lidi kurma seraya berkata, 'wahai suamiku, jika ada kekurangan dari apa yang kulakukan untukmu hari ini, maka pukullah aku dengan sapu lidi ini.' Masya Allah, memang benar, kita bukanlah Asma. Tapi, kita bisa belajar menjadi Asma. Karena hakikatnya, tidak ada ketaatan seorang istri kepada suami, melainkan telah Allah janjikan surga untuknya.

***
Tiga tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa kini di hidupku sudah ada zuriyah suamiku yang hari ini tepat berusia dua tahun. Tak banyak yang berubah selain kualitas bahagia yang semakin jauh umur perkawinan kami, semakin dan semakin bertambah pula rasa itu membersamai.
Aku tersenyum menatap test pack bergaris dua yang subuh tadi sudah kulakukan. Tak sabar menanti kepulangannya.

Sambil menunggu suamiku sampai rumah, kulanjutkan kegiatan membersihkan rak buku yang ada di dalam kamar. Sudah tiga bulan tempat ini tak tersentuh. Saat tengah asik mengatur buku-buku tebal karya penulis-penulis ternama, nampak dimata sebuah amplop besar. Amplop yang mampu melempar ingatannku kembali ke saat-saat pertama menikah.
Kuraih benda berwarna putih yang di depannya bertuliskan alamat sebuah rumah sakit. Ini adalah hasil biopsi almarhumah Mbak Salsa. Sejenak rasa perih kembali merajai hati ini. Sudah lama berlalu, tapi tiap kali mengingatnya, aku tak henti ingin menangis.
Kubuka amplop besar itu, lalu di dalamnya ada sebuah amplop kecil yang di depannya bertuliskan namaku.

Dear Zanjabila
Assalamualaikum Adikku ...
Maaf Mbak hanya bisa mengirimkanmu sebuah surat. Sejujurnya, Mbak begitu merindukan kalian semua, terutama kamu dan Mas Wafi. Mbak sangat berharap, saat mata ini terbuka, kalian semua ada di hadapan Mbak. Tapi sayang, hanya ada Mama dan Papa. Mbak tidak tahu kalian berdua ada dimana?
Lalu, kemarin itu, saat pertama mata Mbak terbuka, Mbak terus memandangi Mama dan Papa, beribu tanya ingin Mbak tujukan tentang kamu dan Mas Wafi. Tapi Qadarullah, Allah telah mengambil nikmat suara yang Mbak punya. Mbak tidak mampu berinteraksi secara lisan dengan siapapun. Terbesit niat ingin menelpon kamu, tapi Mbak urungkan. Mbak tidak ingin membuat kalian resah dengan keadaan Mbak yang sudah bisu ini. Tapi Mbak tidak berputus asa, Mbak masih punya tangan yang sanggup Mbak perjuangan untuk menyampaikan sesuatu di hati ini padamu dan Mas Wafi.
Bila Adikku. Mbak bisa merasakan kehadiranmu dan Mas Wafi di sisi Mbak beberapa waktu yang lalu saat Mbak koma. Mbak tau, hanya gadis yang selalu qanaah yang mampu sepertimu. Kamu relakan waktumu demi Mbak. Seseorang yang bahkan baru beberapa hari kamu kenal. Maaf Adikku, jika karena Mbak, kamu kehilangan kesempatan berbulan madu bersama Mas Wafi. Maaf ...
Bila Adikku, Mbak juga ingin menyampaikan permintaan maaf padamu, beberapa hari sebelum operasi dan mengalami koma, Mbak sempat down. Hingga mengatakan pada Mama jika Mbak ingin dinikahi oleh Mas Wafi, sekalipun harus menjadi yang kedua. Maafkan Mbak Bila. 

Jujur, sampai detik ini, Mbak masih sangat mencintai Mas Wafi, tapi tak terlintas sedikitpun di hati Mbak untuk menjadi yang kedua. Yang Mbak katakan saat itu, murni karena Mbak sedang berada dalam tahap penyangkalan, seakan Mbak ingin mengingkari apa yang sudah menjadi takdir Mbak. Penyakit mematikan ini.
Tapi sekarang, Mbak sudah sangat ikhlas. Bahkan, jika Allah memberi satu permintaan yang akan dikabulkan. Mbak tidak minta sembuh, karena Mbak takut tidak qanaah dengan takdir Mbak ini. Mbak hanya ingin meminta dipanjangkan umur, hingga bisa bertemu denganmu dan meminta maaf secara langsung.
Adikku, jikapun keinginan Mbak tidak dikabulkan oleh Allah. Mbak pinta padamu, jika kau temui Mbak kelak dalam keadaan tak bernyawa, ciumlah kening Mbak. Tapi jika kamu menemui Mbak sudah berada di alam kubur, ciumlah batu nisan Mbak. Mbak anggap itu sebagai penerimaan maafmu buat kesalahan Mbak.
Kini Mbak merasa waktu Mbak sudah sangat dekat, Dik. Seluruh tubuh Mbak terasa begitu sakit. Kepala Mbak seperti dihantam batu besar berkali-kali. Entah kenapa obat yang disuntikkan tak juga manpu meredakan rasa sakitnya. Benarkah hanya kedatanganmu yang bisa meringankan rasa sakit ini? Jika benar, segeralah datang Adikku. Mbak sudah tidak kuat.
Salam sayang Mbakmu.
Farras Salsabila.

Aku terduduk lemas diatas kursi. Air mataku kembali berderai. Napasku benar-benar tertahan. Kejadian itu, sudah berlalu bertahun-tahun, tapi kenapa aku masih sangat menderita tiap kali mengingatnya?
'Khususan Ila Arwahi Farras Salsabila Alfatihah ...."
***

Udara terasa begitu menyejukkan, sepoi-sepoi angin penghujung hari di akhir bulan Februari ini berhembus perlahan. Aku baru saja selesai menyirami tanaman anggrek di taman belakang. Tiba-tiba dari depan terdengar bunyi klakson. Alhamdulillah, suamiku sudah pulang. Kutinggalkan kaktus dan tanaman Bugenvil yang tahan beberapa hari tanpa air.
Langkahku bergegas ke pintu masuk, di sana biasa aku menyambut kedatangannya. Meski tak seperti Asma binti Uwais, tapi aku replikanya di jaman modernisasi.
Kubuka pintu, suamiku menghentikan langkahnya saat melihatku tampil mempesona dalam balutan gamis berwarna coklat muda. Aku ingin sekali membahagiakannya sebelum mengabarkan test pack tadi pagi.

Lelakiku tersenyum dan berjalan mendekat. Tampannya ia dalam balutan kemeja putih dan celana katun berwarna hitam. Padahal, sudah setengah harian berlelah di luar rumah.
"Istri Mas cantik sekali. I love you," ucapnya sambil mengecup keningku.
Kuraih tangannya untuk menciumi takzim. Lalu beralih memegang tas kerjanya, kami masuk berbarengan ke dalam rumah. Sampai di kamar, seperti biasa, aku membantunya membuka pakaian. Sesekali dia usil, menahan tanganku lalu membuka kancing bajunya sendiri. Kubiarkan saja sambil menyiapkannya air untuk mandi. Saat aku kembali, dia malah tiduran dengan baju kotor.
Dasar bayi besar!

Akhirnya, aku lagi yang melanjutkan membuka kancing bajunya. Dia tersenyum puas. Kucubit lengannya sebagai pembalasan. Dan ia, Masya Allah senyumannya, mampu meluruhkan semua kesebalan di dalam dada.
Hari ini tidak biasa, suamiku selesai di kamar mandi begitu cepat. Lalu dengan cekatan memakai pakaian yang sudah kusiapkan. Aku baru saja meletakkan kopi panas saat tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat dari dalam tasnya.
"Apa itu Mas?" Tanyaku penasaran. Kulangkahkan kaki mendekatinya di meja kerja.
Dia menyeringai. "Taraaa ....!"
Kupandangi lembaran yang ia perlihatkan padaku.

'Formulir pendaftaran masuk Perguruan Tinggi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.'
Netraku membulat menatap kertas itu. Rasa bahagia seketika menyerbak memenuhi rongga dada, setelah sekian lama bersabar, akhirnya suamiku mau mendaftarkan diri ini pada kampus Islam terbaik di Jakarta.
Tapi, bagaimana dengan hasil test pack tadi pagi, jika suamiku tau. Mungkinkah ia tetap mengijinkanku melanjutkan kuliah?
"Lho, kok cemberut gitu, kamu udah nggak pengen lanjutin kuliah?"
Aku bergeming sesaat.
"Pengen, Mas."
"Jadi? Kamu nggak mau kuliah di kampus pilihan Mas ini, ya?"

Aku kembali bergeming, tentu saja aku sangat suka. Bahkan tiap tahun selama menikah, aku selalu berdoa agar segera diijabah Allah bisa segera merasakan duduk di bangku perkuliahan.
"Lalu, kenapa?"
Aku berjalan ke kamar mandi, hasil test pack sudah aku letakkan dalam kotak yang sedikit tersembunyi di tempat itu. Kesodorkan kotak tersebut pada lelakiku.
"Alhamdulillah ...."
Dia memegangi tanganku untuk kemudian mengecup kening sejenak.
"Kalau begini, kita undur aja ya, Sayang, pendaftaran kuliahnya?" tanyanya bersemangat.
Aku langsung memasang muka merajuk. Kupalingkan wajah sambil melipat kedua tangan.

"Jiah, ngambek! Emang adek nggak takut kuliah sambil hamil, nanti kalau melahirkan gimana? Kamu siap digodain sama teman-temanmu?" tanyanya sambil meraih bahuku.
Aku menepis tangan suamiku itu.
"Bilang aja Mas senang aku nggak jadi-jadi kuliah?"
"Hihihi ...."
Dia mengangkat tubuhku. Aku tersentak.
"Mau ngapain Mas?"
"Mau mendinginkan yang sedang panas?"
"Nggak ada yang panas, Mas. Turuni ah! Bila mau isi formulirnya."
"Ah itu gampang, nanti bisa!"
"Tapi, bolehkan, Mas? Nyambung kuliah lagi?"
"Iya, boleh. Nunggu jagoannya lahir dulu, ya?" rengeknya manja.
Aku melompat dari kedua tangannya. Dia tergelak. Kuambil amplop formulir pendaftaran kuliahmu beserta sebuah ballpoint.
"Mau kemana, yank?"
"Isi formulirnya!"
"Siapa yang bisa matiin kompor ini?"
"Air, Mas. Mas mandi lagi, ya?"
Sambil cengengesan aku berlari keluar kamar. Kulihat suamiku tersenyum. Inilah kami. Selalu penuh canda.
***

tamat versi kbm.