#Istri_Pilihan
-----
#part16 Malam Pertama dengan Botol Pengakuan
author : Wahyuni
POV Bila
***
Aku melepas kepergiannya dengan senyuman. Tapi entah kenapa jauh di sudut hati kecil ini, aku tak ingin dia pergi. Kejadian tadi di mobil yang mendebarkan, disambut musibah yang menimpa di lift, semua terasa bagaikan mimpi.
Jujur, aku butuh Mas Wafi di sampingku.
"Mas ...." Kupanggil namanya lirih. Selirih rasa rindu yang perlahan merambati dada ini.
***
Mas Azzam masuk ke ruangan bersama seorang dokter spesialis lainnya juga beberapa perawat. Aku berdiri di kaki ranjang, sementara mama mertua berdiri di dekat Mbak Salsa.
"Bagaimana keadaannya hari ini, Mbak?"
Mas Azzam menyapa Mbak Salsa ramah. Aku melirik sekilas lalu membuang wajah, saat tiba-tiba pandanganku dan Mas Azzam bertemu pada satu titik.
"Alhamdulillah sehat, Dok."
"Kita langsung ke ruangan CT-Scan, ya?" ucapnya lagi.
Mbak Salsa mengangguk. Kulihat ada rona cemas yang terpancar dari wajah wanita itu, pasti ini menjadi pemeriksaan yang paling mendebarkan baginya.
Detik berikutnya Mbak Salsa mulai di dorong keluar kamar. Aku mengikuti di belakang, sementara mama terus berada di samping. Kami sampai pada sebuah ruangan besar. Dua orang perawat membuka pintu kokoh yang menutupi ruangan itu.
"Nah, sampai sini saja mengantarnya. Keluarga silahkan menunggu di ruangan sebelah, ya?"
Perintah salah perawat yang berdiri di hadapan kami. Mas Azzam dan dokter yang mendampingi berjalan memasuki ruangan pemindai. Kehadiran Mbak Salsa kini disambut oleh lelaki berjas putih selutut yang berada di dalam ruangan.
Mama melepas genggaman tangan Mbak Salsa. Sejenak mengelus puncak kepala wanita itu. Kulihat Mama menitikkan air mata, mungkin ia sangat takut akan diagnose yang nantinya muncul setelah proses peninjauan ini selesai.
Selanjutnya, mama berjalan menuju ruangan yang ditunjuk oleh perawat tadi, sementara aku masih di sini. Sebelum pintu kamar pemindaian ditutup, aku menghampiri perawat.
"Maaf Mas, saya ingin berbicara dengan pasien itu sebentar," pintaku pada mereka.
"Silahkan Mbak, tapi jangan lama, ya?"
Kuanggukkan kepala. Lalu segera mendekati Mbak Salsa. "Mbak ...."
Mbak Salsa menoleh saat mendengarku memanggil namanya. Kulihat matanya basah.
"Insya Allah nggak papa, Mbak. Tetap tenang dan jangan lupa Bismillah ya, Mbak. Lailahaillallah anta Subhanaka Inni Kuntum Minadzallimin. Bila bantu doa supaya mbak diberikan kesehatan lahir bathin."
Mbak Salsa mengangguk sembari tersenyum. Lalu perlahan pintu kokoh itu pun tertutup. Aku menyeka sebulir kristal yang tiba-tiba lolos dari pelupuk mata. Yang kutahu, kalau sudah begini-begini, pasti penyakitnya serius. Tapi semoga pengetahuanku yang tak seberapa ini salah.
Kulangkahkan kaki keluar dari lorong itu. Aku tak ikut menunggu bersama mama, rasanya sangat risih berada satu ruangan dengan Mas Azzam. Kujejakkan kaki menuju ruang tunggu. Menurutku disini lebih tenang daripada di dalam. Setidaknya aku berjauhan darinya.
***
Aku melipat mukena setelah selesai melaksanakan shalat Ashar berjamaah di mushalla rumah sakit. Lalu dengan sigap berjalan keluar dari ruangan yang tampak ramai oleh manusia-manusia yang datang untuk memenuhi undangan Allah.
Meninggalkan sejenak dunia yang fana ini untuk bertemu dengan pemilik seluruh alam. Ashar adalah waktu dimana pintu syurga tengah dibuka lebar-lebar, aku terus melantunkan doa. Doa untuk Mbak Salsa juga untukku dan suamiku tercinta.
Rasanya sudah tak sabar untuk bertemu dengannya. Seharian ini, pikiranku hanya dipenuhi nama Mas Wafi. Beginilah wanita, sesiapa lelaki pertama yang berhasil menyentuh hatinya, maka seumur hidup dia akan sulit untuk melupakan sosok pertama itu.
Alhamdulillah, lelaki yang menyentuh hatiku adalah suamiku sendiri, jadi aku bebas memikirkannya seumur hidupku. Sungguh sia-sia hidup seorang gadis jika hatinya telah ternodai banyak lelaki yang belum tentu kelak akan menjadi imamnya. Saya yakin, yang membaca cerbung ini, adalah wanita-wanita tangguh, yang tak mudah dibujuk syaitan untuk menemaninya kelak di alam barzah maupun diakhirat. Insya Allah, kelak kita semua akan dipertemukan Allah dalam surganya.. Aamiinn...
Aku kembali ke ruang rawatan Mbak Salsa. Beliau nampak tertidur, sepertinya karena pengaruh obat-obatan.
Menunggu Mas Wafi dengan perasaan berdebar ternyata memang melelahkan. Sesuatu yang sangat sulit kugambarkan. Mama mertua beberapa kali melempar pertanyaan, tapi sungguh aku tak konsentrasi mendengarnya. Pikiranku hanya dipenuhi akan bayang Mas Wafi, Mas Wafi.
Tak lama, pintu kamar diketuk, Mas Wafi masuk sembari mengucap salam. Senyumku merekah menyambut kedatangannya. Huh, dasar pak dosgan (dosen ganteng), katanya akan pulang siang ini, ternyata sore baru kelihatan. Rindu tauk! Kata hatiku. Hihihi....
Kusambut uluran tangannya, lalu menciumi dengan takzim. Mas Wafi mengelus kepalaku lembut.
"Maaf ya, Mas nggak bisa pulang tadi siang," katanya dengan wajah memelas.
"Iya nggak papa, Mas. Tadi Papa datang kok bawain kami makanan."
"Iya, tadi Mas yang hubungi Papa," ucapnya sambil menyalami Mama.
"Salsa gimana, Ma?" tanya Mas Wafi sambil dusuk di sofa. Kuambil segelas air mineral lalu ikut duduk di samping lelaki itu.
"Tadi sudah selesai di CT-Scan, tapi hasilnya nunggu besok," jawab Mama singkat.
"Diminum, Mas."
Mas Wafi tersenyum sambil meraih gelas pemberianku. "Mudah-mudahan hasilnya normal, nggak ada masalah apapun."
"Aamiinn ...."
Aku dan mama mertua menjawab berbarengan.
"Ajak Bila pulang, Fi. Kasihan dari semalam Bila nggak tidur nyenyak," ucap mama mertua membuatku sedikit kaget.
Mas Wafi melirik ke arahku, kutundukkan pandangan. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat kejadian tadi pagi.
"Bauk, Ma. Kita pulang sekarang, ya."
Kuanggukkan kepala dengan cepat. Ya Allah, apa yang akan terjadi pada kami malam ini? Hanya kebaikan yang hamba harap.
***
Pov Wafi
Kami sampai di rumah sebelum azan magrib berkumandang. Senja yang indah, aku kini bersama wanita halalku akan melaksanakan shalat magrib berjamaah. Nikmatnya punya istri. Meski makmumku hanya dia seorang, tapi pahala yang kudapat berlipat-lipat ganda. Masya Allah.
Setelah shalat, kami duduk berhadapan, menyambung tadarus hingga shalat isya. Setiap satu kali 'ain, kami bergantian membacakan ayat selanjutnya. Aku terus memandang wajahnya saat ia tengah khusuk bertadarus. Suaranya bagus. Allah benar-benar telah mengirimku seorang bidadari syurga. Alhamdulillah...
Usai shalat Isya berjamaah, kami keluar kamar menuju ruang makan. Kali ini aku tak meminta makanan lainnya. Aku hanya ingin bersantai-santai romantis dengannya. Kamipun menyantap makan malam yang sudah disediakan Bibik. Malam ini aku berharap pada Allah, tak satu orang pun menjadi penghalangku untuk menyempurnakan tugas sebagai suami. Insya Allah, Ijinkan ya Allah.
Sedari tadi pagi aku sudah menanti waktu ini. Tapi sebagai lelaki sejati, aku tak ingin terlihat seperti musafir di tengah gurun pasir, begitu ketemu telaga, langsung pengen nyemplung. Pasti Bila akan bersembunyi, atau sekurang-kurangnya berpura-pura tidur.
Aku Awafi, akan kubuat suasana yang tak pernah ia sadari bahwa itu adalah caraku merebut hatinya.
***
Kami masuk berbarengan ke dalam kamar. Kuajak Bila duduk lesehan di atas karpet berbulu. Lalu berjalan mendekati lemari untuk mengambil sebuah botol yang sudah kuisi dengan beberapa gulungan kertas. Hampir setengah hari aku memikirkan ide konyol ini di kampus. Bahkan demi botol ini, aku urungkan niatku pulang lebih awal.
"Bila, Mas mau ajak kamu main permainan special," kataku bersemangat.
Dia menoleh penuh penasaran.
"Permainan apa, Mas?"
Kutunjuk botol yang ada di tanganku kini. "Ini namanya botol pengakuan. Kamu lihat, gulungan kertas yang ada di dalam botol ini? Semuanya bertuliskan sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur. Satu jawaban untuk satu pertanyaan."
Kedua bola mata Bila semakin terbuka lebar. Sepertinya ini akan menjadi malam yang seru. Kupilih duduk di hadapan gadis itu. Ia tampak gugup, tangannya memperbaiki jilbab yang memang sudah bagus.
"Mas kocok duluan, ya!" Kukerlingkan mata ke arahnya, dia mengangguk. Kali ini ekspresi wajah Bila terbaca jelas olehku, karena memang tak ada cadar yang menutup wajahnya.
Kuaduk-aduk botol minuman itu, lalu membalikkan hingga keluar dari lubang kecil botol sebuah gulungan kertas. Aku menariknya perlahan, lalu memberikannya kepada Bila.
"Kamu yang tanya."
Bila meraihnya dan mulai membacakan tulisan yang ada di kertas itu.
"Apa makanan favoritmu?" Bila bertanya sambil tersenyum, sepertinya dia mulai tertarik pada permainan ini.
"Gudeg."
Gadis itu kembali tersenyum, "Bila baru tahu jika Mas Wafi suka Gudeg," katanya sambil melipat kembali kertas yang ada di tangan.
"Besok pagi masakin ya, Mas jadi pengen," ucapku dengan raut memelas. Gadis itu tersenyum hangat.
"Emang Mas mau makan kalau rasanya nggak sedap?"
"Kalau kamu yang masak, semua Mas makan."
Seketika dia menunduk, ah pasti dia tersanjung karena pujianku. Hihihi...
"Sekarang giliran kamu." Kuserahkan botol padanya. Ia mengaduk-aduk lalu mengeluarkan selembar kertas. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia menyerahkan lembaran itu padaku.
"Ehm!"
Sengaja aku tak langsung membacakannya, ini pertanyaan paling antimainstream yang pernah ada.
"Pernah jatuh cinta?"
Bila tersenyum. "Pernah."
"Sama siapa?"
"Lho, satu pertanyaan satu jawaban 'kan Mas?"
Jiah, kugaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Aku lupa menuliskan pertanyaan, 'siapa orang yang pertama kali kamu cintai.'
Ck.. Ck..
"Mas kocok lagi!"
Kukeluarkan selembar kertas dan menyerahkan pada Bila. Dia membaca.
"Siapa orang yang paling kamu sayangi?"
Aku meliriknya sambil memutar-mutar bola mata.
"Mama Farah."
Bila tercengang, sepertinya dia belum mengenal ibu kandungku. Kubuka dompet, lalu mengeluarkan sebuah foto yang kuselipkan di bawah foto pernikahan kami.
"Ini Mama Farah, Mama kandung Mas. Beliau meninggal saat Mas berusia lima tahun."
Bila meraih foto di tanganku.
"Maaf, Mas. Bila ...."
"Nggak papa, 'kan yang nulis semua pertanyaan ini, Mas sendiri?" jawabku mencoba menetralisir keadaan yang tiba-tiba berubah mellow.
"Ayo, giliran kamu sekarang."
Bila kembali meraih botol di tanganku dan mulai mengocok. Dia mengeluarkan selembar kertas, lalu ...
Curang, dia mengintip isinya!
"Bila ... sini kertasnya. Nggak boleh curang lho."
Dia menatapku ragu. Reflek, tangannya melempar kertas itu ke arah lain. Secepat kilat aku bangkit dan berjalan ke arah lemparannya. Tapi, siapa sangka Bila juga berlari dan lebih dulu memungut kertas itu kembali.
"Jangan Mas, kocok lain aja, ya? Bila masukkan lagi kertas ini ke dalam botolnya, ya Mas?" pintanya sambil melangkah mundur. Ingin menjauh.
Takkan kubiarkan kecurangan berlaku, Bila harus menyerahkan kertas itu padaku. Pertanyaan yang mana sih yang dia dapat, kenapa sampai segitunya ia tak ingin aku bertanya.
"Sini Bila, kasih sama Mas?" Aku mulai nekat. Kuulurkan tangan sambil melangkah mendekat. Mataku tertuju pada ranjang di belakang istriku itu. Dua langkah lagi ia mundur, tubuhnya akan tersungkur ke atas kasur empuk.
Hah, aku semakin mendekatkan tubuh, sekalian saja biar dia jatuh. Jadi tidak bisa menghindar lagi.
Tap!
Tubuh Bila terjerembab di atas ranjang. Aku tersenyum. Kali ini dia pasti akan menyerahkan kertas itu. Tapi aku salah. Dia tetap tak mau mengalah, sedikit kepayahan Bila membalikkan badan untuk berusaha bangkit. Sigap, kutahan tangannya hingga ia terjatuh kembali di atas kasur.
Senyumku menyeringai. Mungkin kelihatan seperti serigala kelaparan.
"Mana kertasnya, Bila?" ucapku untuk kesekian kalinya.
Aku menaikkan tubuhku ke atas ranjang, kuletakkan kedua tangan mengapit tubuhnya. Sementara wajahku semakin dekat pada wajahnya. Usaha Bila benar-benar 'keukeuh'. Ia menyembunyikan kedua tangannya di balik badan.
'Mari kita lihat, siapa yang lebih berkuasa.'
Aku kembali menyeringai sambil memasukkan tanganku ke belakang badannya. Kuselipkan jemari tanganku diantara jemari tangannya.
Dapat!
Kusunggingkan selarik senyuman saat benda itu berpindah ke tanganku. Dia hanya menghela napas. Kuangkat wajahku, bertopang dengan kedua kaki terlipat di samping kedua pahanya. Perlahan, aku membuka kertas itu lalu mulai membaca huruf-huruf yang kutulis indah diatasnya.
"Selain aku, siapa yang pernah mendekatimu?"
Dia terdiam. Pandangannya seketika tunduk.
"Kok nggak dijawab?"
Kusentuh dagunya agar ia mau menatap mataku.
"Mas Azzam."
Kuhela napas panjang. Jadi benar kata Azzam tadi siang. Lalu, aku harus bagaimana?
"Apa yang kamu rasakan sekarang padanya?" Mungkin hanya itu yang perlu kuketahui saat ini. Selebihnya, hanya pada Allah aku meminta kebaikan.
"Tidak ada dalam pertanyaan, Mas?" ucapnya menyindirku.
"Ini Mas yang tanyakan Bila, Mas butuh jawaban darimu?"
Bila menatap mataku yang tengah membidiknya tajam. Sepertinya, saking serius, kami bahkan tak menyadari posisi kami saat itu.
"Bila tak pernah menyukainya, Mas ...."
Aku terhenyak, tapi secercah rasa bahagia perlahan mulai menjalari dada.
"Lalu, Mas kah yang kamu sukai?"
Sejenak hening. Aku ingin dia cepat membuka suara, rasanya tak sabar ingin mendengar Bila mengakui perasaannya. Jika benar aku orang yang ia sukai, maka kupastikan mulai malam ini hingga seterusnya, aku akan mengabdikan hidupku untuknya. Dia, hanya dia seorang!
"Bila ...."
Kupanggil namanya lirih.
"Iya, Mas. Maslah lelaki yang Bila cintai ...," jawabnya sambil kembali menunduk.
Masya Allah ... kukecup keningnya haru. Baru kali ini tubuhku bergetar mendengar pengakuan cinta dari seorang gadis. Ya, Karena dia adalah istriku.
Tak ada yang mengaba-aba, mulutku sukses membacakan doa bersenggama. Kukecup kembali keningnya usai doa itu terlafaz. Mataku yang tak lagi berjarak dengan gadis itu kini malah khusuk memperhatikan mulutnya, yang juga tak kalah berkomat kamit membaca doa.
Entah siapa yang memulai, kedua bibir kamipun saling bertemu. Lalu, tak perlu lagi kujelaskan, apa yang terjadi selanjutnya. Takut yang jomlo pada menghayal.. Huahahaha...
Malam ini menjadi malam kesaksian kami, atas kesabaran dan niat kami untuk saling menjaga diri. Hingga cinta kami bersatu dalam ikatan halal yang diridhai Allah. Subhanallah, tidak ada yang dapat menandingi nikmatnya penyatuan raga dua kekasih halal, malaikat bertakbir menyebut kebesaran Illahi.
Malam ini, aku telah menyempurnakannya sebagai seorang istri. Sampai kapanpun, hanya dia yang bertahta di dalam sini.
"Aku mencintaimu istriku ...."
***
Bismillah
Assalamualaikum teman-teman, ini adalah ending termanis versi grup ya. Jika ditanya apakah cerita ini masih berlanjut, saya jawab masih.
Tapi beberapa part lagi itu saya tambahan bumbu penyedap berupa rasa penasaran tingkat tinggi. Saya tidak tahu harus berkata apa, ingin menganjurkan teman-teman terus membaca takut salah, ingin melarangpun, salah besar. Tapi mohon pengertian, jika suatu waktu part itu berhenti dalam keadaan menggantung, please saya jangan dibully ya..
Maafkan keterbatasan ini..
author : Wahyuni
POV Bila
***
Aku melepas kepergiannya dengan senyuman. Tapi entah kenapa jauh di sudut hati kecil ini, aku tak ingin dia pergi. Kejadian tadi di mobil yang mendebarkan, disambut musibah yang menimpa di lift, semua terasa bagaikan mimpi.
Jujur, aku butuh Mas Wafi di sampingku.
"Mas ...." Kupanggil namanya lirih. Selirih rasa rindu yang perlahan merambati dada ini.
***
Mas Azzam masuk ke ruangan bersama seorang dokter spesialis lainnya juga beberapa perawat. Aku berdiri di kaki ranjang, sementara mama mertua berdiri di dekat Mbak Salsa.
"Bagaimana keadaannya hari ini, Mbak?"
Mas Azzam menyapa Mbak Salsa ramah. Aku melirik sekilas lalu membuang wajah, saat tiba-tiba pandanganku dan Mas Azzam bertemu pada satu titik.
"Alhamdulillah sehat, Dok."
"Kita langsung ke ruangan CT-Scan, ya?" ucapnya lagi.
Mbak Salsa mengangguk. Kulihat ada rona cemas yang terpancar dari wajah wanita itu, pasti ini menjadi pemeriksaan yang paling mendebarkan baginya.
Detik berikutnya Mbak Salsa mulai di dorong keluar kamar. Aku mengikuti di belakang, sementara mama terus berada di samping. Kami sampai pada sebuah ruangan besar. Dua orang perawat membuka pintu kokoh yang menutupi ruangan itu.
"Nah, sampai sini saja mengantarnya. Keluarga silahkan menunggu di ruangan sebelah, ya?"
Perintah salah perawat yang berdiri di hadapan kami. Mas Azzam dan dokter yang mendampingi berjalan memasuki ruangan pemindai. Kehadiran Mbak Salsa kini disambut oleh lelaki berjas putih selutut yang berada di dalam ruangan.
Mama melepas genggaman tangan Mbak Salsa. Sejenak mengelus puncak kepala wanita itu. Kulihat Mama menitikkan air mata, mungkin ia sangat takut akan diagnose yang nantinya muncul setelah proses peninjauan ini selesai.
Selanjutnya, mama berjalan menuju ruangan yang ditunjuk oleh perawat tadi, sementara aku masih di sini. Sebelum pintu kamar pemindaian ditutup, aku menghampiri perawat.
"Maaf Mas, saya ingin berbicara dengan pasien itu sebentar," pintaku pada mereka.
"Silahkan Mbak, tapi jangan lama, ya?"
Kuanggukkan kepala. Lalu segera mendekati Mbak Salsa. "Mbak ...."
Mbak Salsa menoleh saat mendengarku memanggil namanya. Kulihat matanya basah.
"Insya Allah nggak papa, Mbak. Tetap tenang dan jangan lupa Bismillah ya, Mbak. Lailahaillallah anta Subhanaka Inni Kuntum Minadzallimin. Bila bantu doa supaya mbak diberikan kesehatan lahir bathin."
Mbak Salsa mengangguk sembari tersenyum. Lalu perlahan pintu kokoh itu pun tertutup. Aku menyeka sebulir kristal yang tiba-tiba lolos dari pelupuk mata. Yang kutahu, kalau sudah begini-begini, pasti penyakitnya serius. Tapi semoga pengetahuanku yang tak seberapa ini salah.
Kulangkahkan kaki keluar dari lorong itu. Aku tak ikut menunggu bersama mama, rasanya sangat risih berada satu ruangan dengan Mas Azzam. Kujejakkan kaki menuju ruang tunggu. Menurutku disini lebih tenang daripada di dalam. Setidaknya aku berjauhan darinya.
***
Aku melipat mukena setelah selesai melaksanakan shalat Ashar berjamaah di mushalla rumah sakit. Lalu dengan sigap berjalan keluar dari ruangan yang tampak ramai oleh manusia-manusia yang datang untuk memenuhi undangan Allah.
Meninggalkan sejenak dunia yang fana ini untuk bertemu dengan pemilik seluruh alam. Ashar adalah waktu dimana pintu syurga tengah dibuka lebar-lebar, aku terus melantunkan doa. Doa untuk Mbak Salsa juga untukku dan suamiku tercinta.
Rasanya sudah tak sabar untuk bertemu dengannya. Seharian ini, pikiranku hanya dipenuhi nama Mas Wafi. Beginilah wanita, sesiapa lelaki pertama yang berhasil menyentuh hatinya, maka seumur hidup dia akan sulit untuk melupakan sosok pertama itu.
Alhamdulillah, lelaki yang menyentuh hatiku adalah suamiku sendiri, jadi aku bebas memikirkannya seumur hidupku. Sungguh sia-sia hidup seorang gadis jika hatinya telah ternodai banyak lelaki yang belum tentu kelak akan menjadi imamnya. Saya yakin, yang membaca cerbung ini, adalah wanita-wanita tangguh, yang tak mudah dibujuk syaitan untuk menemaninya kelak di alam barzah maupun diakhirat. Insya Allah, kelak kita semua akan dipertemukan Allah dalam surganya.. Aamiinn...
Aku kembali ke ruang rawatan Mbak Salsa. Beliau nampak tertidur, sepertinya karena pengaruh obat-obatan.
Menunggu Mas Wafi dengan perasaan berdebar ternyata memang melelahkan. Sesuatu yang sangat sulit kugambarkan. Mama mertua beberapa kali melempar pertanyaan, tapi sungguh aku tak konsentrasi mendengarnya. Pikiranku hanya dipenuhi akan bayang Mas Wafi, Mas Wafi.
Tak lama, pintu kamar diketuk, Mas Wafi masuk sembari mengucap salam. Senyumku merekah menyambut kedatangannya. Huh, dasar pak dosgan (dosen ganteng), katanya akan pulang siang ini, ternyata sore baru kelihatan. Rindu tauk! Kata hatiku. Hihihi....
Kusambut uluran tangannya, lalu menciumi dengan takzim. Mas Wafi mengelus kepalaku lembut.
"Maaf ya, Mas nggak bisa pulang tadi siang," katanya dengan wajah memelas.
"Iya nggak papa, Mas. Tadi Papa datang kok bawain kami makanan."
"Iya, tadi Mas yang hubungi Papa," ucapnya sambil menyalami Mama.
"Salsa gimana, Ma?" tanya Mas Wafi sambil dusuk di sofa. Kuambil segelas air mineral lalu ikut duduk di samping lelaki itu.
"Tadi sudah selesai di CT-Scan, tapi hasilnya nunggu besok," jawab Mama singkat.
"Diminum, Mas."
Mas Wafi tersenyum sambil meraih gelas pemberianku. "Mudah-mudahan hasilnya normal, nggak ada masalah apapun."
"Aamiinn ...."
Aku dan mama mertua menjawab berbarengan.
"Ajak Bila pulang, Fi. Kasihan dari semalam Bila nggak tidur nyenyak," ucap mama mertua membuatku sedikit kaget.
Mas Wafi melirik ke arahku, kutundukkan pandangan. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat kejadian tadi pagi.
"Bauk, Ma. Kita pulang sekarang, ya."
Kuanggukkan kepala dengan cepat. Ya Allah, apa yang akan terjadi pada kami malam ini? Hanya kebaikan yang hamba harap.
***
Pov Wafi
Kami sampai di rumah sebelum azan magrib berkumandang. Senja yang indah, aku kini bersama wanita halalku akan melaksanakan shalat magrib berjamaah. Nikmatnya punya istri. Meski makmumku hanya dia seorang, tapi pahala yang kudapat berlipat-lipat ganda. Masya Allah.
Setelah shalat, kami duduk berhadapan, menyambung tadarus hingga shalat isya. Setiap satu kali 'ain, kami bergantian membacakan ayat selanjutnya. Aku terus memandang wajahnya saat ia tengah khusuk bertadarus. Suaranya bagus. Allah benar-benar telah mengirimku seorang bidadari syurga. Alhamdulillah...
Usai shalat Isya berjamaah, kami keluar kamar menuju ruang makan. Kali ini aku tak meminta makanan lainnya. Aku hanya ingin bersantai-santai romantis dengannya. Kamipun menyantap makan malam yang sudah disediakan Bibik. Malam ini aku berharap pada Allah, tak satu orang pun menjadi penghalangku untuk menyempurnakan tugas sebagai suami. Insya Allah, Ijinkan ya Allah.
Sedari tadi pagi aku sudah menanti waktu ini. Tapi sebagai lelaki sejati, aku tak ingin terlihat seperti musafir di tengah gurun pasir, begitu ketemu telaga, langsung pengen nyemplung. Pasti Bila akan bersembunyi, atau sekurang-kurangnya berpura-pura tidur.
Aku Awafi, akan kubuat suasana yang tak pernah ia sadari bahwa itu adalah caraku merebut hatinya.
***
Kami masuk berbarengan ke dalam kamar. Kuajak Bila duduk lesehan di atas karpet berbulu. Lalu berjalan mendekati lemari untuk mengambil sebuah botol yang sudah kuisi dengan beberapa gulungan kertas. Hampir setengah hari aku memikirkan ide konyol ini di kampus. Bahkan demi botol ini, aku urungkan niatku pulang lebih awal.
"Bila, Mas mau ajak kamu main permainan special," kataku bersemangat.
Dia menoleh penuh penasaran.
"Permainan apa, Mas?"
Kutunjuk botol yang ada di tanganku kini. "Ini namanya botol pengakuan. Kamu lihat, gulungan kertas yang ada di dalam botol ini? Semuanya bertuliskan sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur. Satu jawaban untuk satu pertanyaan."
Kedua bola mata Bila semakin terbuka lebar. Sepertinya ini akan menjadi malam yang seru. Kupilih duduk di hadapan gadis itu. Ia tampak gugup, tangannya memperbaiki jilbab yang memang sudah bagus.
"Mas kocok duluan, ya!" Kukerlingkan mata ke arahnya, dia mengangguk. Kali ini ekspresi wajah Bila terbaca jelas olehku, karena memang tak ada cadar yang menutup wajahnya.
Kuaduk-aduk botol minuman itu, lalu membalikkan hingga keluar dari lubang kecil botol sebuah gulungan kertas. Aku menariknya perlahan, lalu memberikannya kepada Bila.
"Kamu yang tanya."
Bila meraihnya dan mulai membacakan tulisan yang ada di kertas itu.
"Apa makanan favoritmu?" Bila bertanya sambil tersenyum, sepertinya dia mulai tertarik pada permainan ini.
"Gudeg."
Gadis itu kembali tersenyum, "Bila baru tahu jika Mas Wafi suka Gudeg," katanya sambil melipat kembali kertas yang ada di tangan.
"Besok pagi masakin ya, Mas jadi pengen," ucapku dengan raut memelas. Gadis itu tersenyum hangat.
"Emang Mas mau makan kalau rasanya nggak sedap?"
"Kalau kamu yang masak, semua Mas makan."
Seketika dia menunduk, ah pasti dia tersanjung karena pujianku. Hihihi...
"Sekarang giliran kamu." Kuserahkan botol padanya. Ia mengaduk-aduk lalu mengeluarkan selembar kertas. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia menyerahkan lembaran itu padaku.
"Ehm!"
Sengaja aku tak langsung membacakannya, ini pertanyaan paling antimainstream yang pernah ada.
"Pernah jatuh cinta?"
Bila tersenyum. "Pernah."
"Sama siapa?"
"Lho, satu pertanyaan satu jawaban 'kan Mas?"
Jiah, kugaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Aku lupa menuliskan pertanyaan, 'siapa orang yang pertama kali kamu cintai.'
Ck.. Ck..
"Mas kocok lagi!"
Kukeluarkan selembar kertas dan menyerahkan pada Bila. Dia membaca.
"Siapa orang yang paling kamu sayangi?"
Aku meliriknya sambil memutar-mutar bola mata.
"Mama Farah."
Bila tercengang, sepertinya dia belum mengenal ibu kandungku. Kubuka dompet, lalu mengeluarkan sebuah foto yang kuselipkan di bawah foto pernikahan kami.
"Ini Mama Farah, Mama kandung Mas. Beliau meninggal saat Mas berusia lima tahun."
Bila meraih foto di tanganku.
"Maaf, Mas. Bila ...."
"Nggak papa, 'kan yang nulis semua pertanyaan ini, Mas sendiri?" jawabku mencoba menetralisir keadaan yang tiba-tiba berubah mellow.
"Ayo, giliran kamu sekarang."
Bila kembali meraih botol di tanganku dan mulai mengocok. Dia mengeluarkan selembar kertas, lalu ...
Curang, dia mengintip isinya!
"Bila ... sini kertasnya. Nggak boleh curang lho."
Dia menatapku ragu. Reflek, tangannya melempar kertas itu ke arah lain. Secepat kilat aku bangkit dan berjalan ke arah lemparannya. Tapi, siapa sangka Bila juga berlari dan lebih dulu memungut kertas itu kembali.
"Jangan Mas, kocok lain aja, ya? Bila masukkan lagi kertas ini ke dalam botolnya, ya Mas?" pintanya sambil melangkah mundur. Ingin menjauh.
Takkan kubiarkan kecurangan berlaku, Bila harus menyerahkan kertas itu padaku. Pertanyaan yang mana sih yang dia dapat, kenapa sampai segitunya ia tak ingin aku bertanya.
"Sini Bila, kasih sama Mas?" Aku mulai nekat. Kuulurkan tangan sambil melangkah mendekat. Mataku tertuju pada ranjang di belakang istriku itu. Dua langkah lagi ia mundur, tubuhnya akan tersungkur ke atas kasur empuk.
Hah, aku semakin mendekatkan tubuh, sekalian saja biar dia jatuh. Jadi tidak bisa menghindar lagi.
Tap!
Tubuh Bila terjerembab di atas ranjang. Aku tersenyum. Kali ini dia pasti akan menyerahkan kertas itu. Tapi aku salah. Dia tetap tak mau mengalah, sedikit kepayahan Bila membalikkan badan untuk berusaha bangkit. Sigap, kutahan tangannya hingga ia terjatuh kembali di atas kasur.
Senyumku menyeringai. Mungkin kelihatan seperti serigala kelaparan.
"Mana kertasnya, Bila?" ucapku untuk kesekian kalinya.
Aku menaikkan tubuhku ke atas ranjang, kuletakkan kedua tangan mengapit tubuhnya. Sementara wajahku semakin dekat pada wajahnya. Usaha Bila benar-benar 'keukeuh'. Ia menyembunyikan kedua tangannya di balik badan.
'Mari kita lihat, siapa yang lebih berkuasa.'
Aku kembali menyeringai sambil memasukkan tanganku ke belakang badannya. Kuselipkan jemari tanganku diantara jemari tangannya.
Dapat!
Kusunggingkan selarik senyuman saat benda itu berpindah ke tanganku. Dia hanya menghela napas. Kuangkat wajahku, bertopang dengan kedua kaki terlipat di samping kedua pahanya. Perlahan, aku membuka kertas itu lalu mulai membaca huruf-huruf yang kutulis indah diatasnya.
"Selain aku, siapa yang pernah mendekatimu?"
Dia terdiam. Pandangannya seketika tunduk.
"Kok nggak dijawab?"
Kusentuh dagunya agar ia mau menatap mataku.
"Mas Azzam."
Kuhela napas panjang. Jadi benar kata Azzam tadi siang. Lalu, aku harus bagaimana?
"Apa yang kamu rasakan sekarang padanya?" Mungkin hanya itu yang perlu kuketahui saat ini. Selebihnya, hanya pada Allah aku meminta kebaikan.
"Tidak ada dalam pertanyaan, Mas?" ucapnya menyindirku.
"Ini Mas yang tanyakan Bila, Mas butuh jawaban darimu?"
Bila menatap mataku yang tengah membidiknya tajam. Sepertinya, saking serius, kami bahkan tak menyadari posisi kami saat itu.
"Bila tak pernah menyukainya, Mas ...."
Aku terhenyak, tapi secercah rasa bahagia perlahan mulai menjalari dada.
"Lalu, Mas kah yang kamu sukai?"
Sejenak hening. Aku ingin dia cepat membuka suara, rasanya tak sabar ingin mendengar Bila mengakui perasaannya. Jika benar aku orang yang ia sukai, maka kupastikan mulai malam ini hingga seterusnya, aku akan mengabdikan hidupku untuknya. Dia, hanya dia seorang!
"Bila ...."
Kupanggil namanya lirih.
"Iya, Mas. Maslah lelaki yang Bila cintai ...," jawabnya sambil kembali menunduk.
Masya Allah ... kukecup keningnya haru. Baru kali ini tubuhku bergetar mendengar pengakuan cinta dari seorang gadis. Ya, Karena dia adalah istriku.
Tak ada yang mengaba-aba, mulutku sukses membacakan doa bersenggama. Kukecup kembali keningnya usai doa itu terlafaz. Mataku yang tak lagi berjarak dengan gadis itu kini malah khusuk memperhatikan mulutnya, yang juga tak kalah berkomat kamit membaca doa.
Entah siapa yang memulai, kedua bibir kamipun saling bertemu. Lalu, tak perlu lagi kujelaskan, apa yang terjadi selanjutnya. Takut yang jomlo pada menghayal.. Huahahaha...
Malam ini menjadi malam kesaksian kami, atas kesabaran dan niat kami untuk saling menjaga diri. Hingga cinta kami bersatu dalam ikatan halal yang diridhai Allah. Subhanallah, tidak ada yang dapat menandingi nikmatnya penyatuan raga dua kekasih halal, malaikat bertakbir menyebut kebesaran Illahi.
Malam ini, aku telah menyempurnakannya sebagai seorang istri. Sampai kapanpun, hanya dia yang bertahta di dalam sini.
"Aku mencintaimu istriku ...."
***
Bismillah
Assalamualaikum teman-teman, ini adalah ending termanis versi grup ya. Jika ditanya apakah cerita ini masih berlanjut, saya jawab masih.
Tapi beberapa part lagi itu saya tambahan bumbu penyedap berupa rasa penasaran tingkat tinggi. Saya tidak tahu harus berkata apa, ingin menganjurkan teman-teman terus membaca takut salah, ingin melarangpun, salah besar. Tapi mohon pengertian, jika suatu waktu part itu berhenti dalam keadaan menggantung, please saya jangan dibully ya..
Maafkan keterbatasan ini..
-----
#Istri_Pilihan
#Part17 Rahasia Salsa
Pov Bila
Dear suami ....
Aku hanyalah wanita biasa, tak cantik, apalagi pintar. Namun ku selalu mencoba memuliakanmu, dimanapun dirimu berada.
Jika kau membenciku, aku tetap takkan merubah rasa dalam mencintaimu.
Jika kau menyakitiku, aku tetap berbaik sangka padamu.
Jika kau membuatku menangis, aku tetap akan menjadi mata air untukmu.
Dear suami, aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Cinta tulus karena Allah.
Bimbing aku jika menyalahi, nasihat aku Bila tersalah.
Cintakah aku ... sayangi aku hanya karena-Nya.
'Radha Zanjabila'
***
"Makasih ya, Sayang," ucap Mas Wafi setelah kami sukses mereguk nikmatnya kebersamaan di secawan madu.
Senyum merekah indah di wajah tampannya. Mata beningnya menatapku dalam. Sementara aku, hanya bisa membalas menatapnya dengan tersipu malu.
'Sayang, benarkah dia memanggilku sayang!'
"Untuk apa, Mas?" tanyaku sambil mengangkat kedua alis.
"Karena kamu sudah menjaga diri, dan memberikan yang terbaik untuk Mas."
Alhamdulillah, tersanjungnya hati ini dengan ucapan terima kasih yang Mas Wafi lontarkan. Tidak sia-sia aku menjaga diri. Selama ini bukan aku tak punya rasa cinta, apalagi suka. Tentu aku pernah merasakannya, karena Allah memang menitipkan rasa itu pada tiap-tiap makhluknya. Tapi semua itu sekuat tenaga kutahan. Karena aku, hanya ingin memberikan cintaku untuk lelaki bertanggung jawab. Lelaki yang tak suka mengumbar kata cinta, namun mengikat dengan jalan yang sah.
Lima jemari tangan kanan Mas Wafi kini mengusap pucuk kepalaku. Rasanya begitu menenangkan. Aku bak ratu ia perlakukan malam ini, semoga selamanya begini Mas.
Kutarik napas sejenak. "Mas, saya menjaga diri karena Allah. Syukran, bonusnya Allah titip tulang rusuk saya pada Mas Wafi."
Lelaki itu menatapku syahdu. Ucapanku, pasti membuat Mas Wafi merasa dirinya adalah salah satu lelaki beruntung di dunia ini. Kubaca aura wajahnya dalam-dalam, ia tampak begitu bahagia. Akupun demikian, Mas.
"I Love you," ucapnya diantara tarikan napas dan degup jantung yang jelas kudengar. Karena saat ini aku memang berada di dalam apitan lengan kirinya.
"Love you too, Mas."
Lelakiku tersenyum. Senyuman yang mengantarkan mata elangnya untuk terpejam. Rangkulan jemari tangan kanan Mas Wafi yang sedari tadi mengapit tubuhku pun kini terasa merenggang.
Mas Wafiku sudah terlelap. Dengkuran halus terdengar, beberapa saat setelah matanya terpejam sempurna. Tinggallah aku disini, dengan bola mata yang masih membelalak.
Beberapa waktu aku bergeming, masih asik menatap wajah tampan di hadapanku. Kusentuh matanya, hidungnya, bibirnya, aku tersenyum mengingat semua yang sudah terjadi tadi. Saat tengah asyiknya menikmati keindahan yang Allah anugerahkan pada lelakiku, tiba-tiba ponsel Mas Wafi bergetar. Kuangkat tangan Mas Wafi yang melingkari tubuhku. Pelan aku bergerak tak ingin membuat matanya yang baru saja terpejam harus membuka kembali.
Getar penanda dering pertama berhenti, kini ponsel Mas Wafi kembali bergetar. Kukenakan pakaian dengan lengkap, lalu sedikit tergesa menuruni ranjang dan menggapai benda pipih itu.
Tampak di layar ponsel, dua panggilan tak terjawab dari Mama.
'Ada apa ya, kenapa tiba-tiba Mama nelpon malam-malam begini?'
Saat pikiranku tengah berkelana mencari jawaban, tiba-tiba di luar terdengar seru mobil papa mertua. Aku berjalan mendekati jendela kamar, ternyata benar itu papa.
'Kemana Papa malam-malam begini, apa ada hubungannya dengan telpon Mama?'
Tak lama, ponsel Mas Wafi kembali bergetar. Tampak di kamar sebuah pesan whatsapp. Ada baiknya aku buka, supaya tahu apa yang sedang terjadi, jangan-jangan ini tentang Mbak Salsa.
"Fi, Salsa nggak sadarkan diri. Tadi dia sempat meronta saat tiba-tiba saja nyeri hebat terasa di kepala. Sekarang sudah di ruang ICU."
"Astaghfirullah, Mbak Salsa.'
Saat itu perasaanku campur aduk, jika melihat Mas Wafi yang baru saja memejamkan matanya, sungguh aku tak tega membangunkan. Tapi, mengingat ini adalah pesan penting. Sungguh kejam jika aku mengabaikannya begitu saja.
'Mungkin lebih baik, aku mensucikan diri terlebih dahulu.'
Sekiranya hanya sepuluh menit aku di kamar mandi. Setelah selesai, kudekati suamiku. Ide untuk tidak membangunkannya terkalahkan oleh bisikan kebaikan. Mbak Salsa sedang koma, tidak ada yang lebih penting selain kehadiran kami sekarang ke rumah sakit.
"Mas ...."
Kusentuh bahunya. Jangankan bangun, bereaksi pun tidak. Kugerakkan tangan mengelus pipi. Mas Wafi membuka matanya dengan perlahan.
Dia tersenyum menyambut kehadiranku yang pasti masih serupa bayangan.
"Mas ...."
Kupanggil lagi namanya.
"Iya, Sayang."
"Maaf, Mas. Bila sebenarnya nggak tega membangunkan Mas, tapi ini masalah penting, Mas."
Dia kembali tersenyum, matanya masih dipenuhi guratan merah.
"Kenapa, Sayang?" Tangannya kini mengelus pipiku.
"Mbak Salsa, Mas ... beliau masuk ICU karena koma."
***
Malam semakin naik memanjat, rembulan penuh sempurna. Udara dingin mulai menusuk kulit. Desau angin menambah kesyahduan malam, membuat setiap mata yang terbuka ingin terlelap. Lalu tenggelam dalam mimpi indah yang panjang.
Harusnya kami masih di dalam kamar, mereguk indahnya kebersamaan setelah bekerja keras tadi. Tapi nyatanya, sekarang kami kembali berada di dalam mobil, dengan perasaan khawatir memenuhi rongga pikiran. Untung Mas Wafi masih menggenggam jemari tanganku, setidaknya biarlah tubuh ini yang merasa kedingin, asal hati tetap hangat karena terus bersentuhan dengannya.
Lima belas menit perjalanan, kami sampai di rumah sakit. Dengan tangan yang saling menggenggam, langkah kami berbarengan menuju lantai dua, ruangan ICU. Beberapa langkah lagi sampai ke ruangan itu, kami justru menemukan papa keluar dengan seorang dokter, juga Mas Azzam. Tiba-tiba aku merasa, genggaman tanganku semakin erat. Kulirik Mas Wafi penasaran, ternyata matanya menatap sosok itu, yang kini berjalan mendekati kami.
"Kalian di sini?"
Papa menyapa ketika melihat kami terpaku dalam berdiri.
"Ya, Pa. Salsa gimana?"
"Sudah sadar, hanya masih belum stabil. Kami mau ke ruangan Azzam. Kamu mau ikut?"
Mas Wafi menoleh ke arahku, "kamu masuk dulu, ya. Mas ikut Papa sebentar."
Kujawab permintaan Mas Wafi dengan anggukan. Lalu, suamiku dan beberapa lelaki itu kembali menaiki lift untuk sampai di lantai satu. Kuhela napas panjang, ya Allah ada apa dengan hati ini. Kenapa seolah-seolah aku sangat tidak ingin semua ini terjadi. Astaghfirullah.
Kulangkahkan kaki memasuki ruang ICU. Setelah bertanya pada suster dimana Mbak Salsa berada, aku kembali berjalan ke bed yang di tunjuk oleh perawat itu. Dalam ruangan ini terdapat lima bed, yang satu dengan lainnya dipisahkan oleh kain bersekat lebar dan tebal.
Saat hendak menyibak tirai. Langkahku terhenti karena mendengar percakapan Mama dan Mbak Salsa.
"Sakit sekali, Ma ...."
Serasa ada yang menusuk jantungku saat mendengar lirihan suara Mbak Salsa. Ya Allah...
"Dimana yang sakit Anakku?" tanya Mama lirih, seperti sedang menahan tangis.
Mbak Salsa kini malah terisak.
"Jangan menangis Sayang, tidak ada masalah yang tidak Allah kasih jalan keluarnya ...."
Mbak Salsa makin terisak. "Termasuk masalah hati, Ma?"
Aku menarik napas dalam. Pasti ini ada hubungannya dengan Mas Wafi. Ya Allah, keluarlah kami dari lingkaran hitam ini.
"Kamu hanya perlu ikhlas, Sa. Dia bukan jodohmu ...."
'Dia? Mas Wafikah?'
"Seberapa ikhlas , Ma. Jika keikhlasan itu bisa diukur, sudah habis ukurannya untuk Salsa mengikhlaskan Mas Wafi. Tapi nggak ada yang bisa mengukur 'kan, Ma?"
'Astaghfirullah, jadi benar Mas Wafi.' Kupejamkan mata sambil melebarkan dada, pasti ini akan menjadi kenyataan yang pahit seumur hidupku.
"Sayang, jika kamu sudah ikhlas, harusnya kamu belajar untuk melupakannya."
'Umi ... aku butuh lengan Umi untuk bersandar, tapi aku sendiri disini, Mi ...'
'Nggak semudah itu, Ma. Menghapus sebuah ingatan nggak semudah menghapus jejak kaki di gurun pasir ...."
'Ya Allah ... sebegitu cintakah kamu Mbak pada Mas Wafi. Bahkan mungkin cintaku nggak sedalam itu. Aku harus bagaimana, Mbak?'
"Ma, selama hidup, apa pernah Mama tahu, jika tak sedetikpun Salsa merasakan kebahagian yang bertahan lama? Papa pergi saat aku masih sangat kecil, Ma. Lalu Mama hadirkan Papa Habib yang tak pernah menyayangiku, bahkan tega menjauhkanku darimu, Mama kandungku sendiri. Lalu, Papa juga tega memisahkanku dengan Mas Wafi. Sebenarnya, apa salah Salsa, Ma? Hingga Allah menguji Salsa dengan begitu banyak ujian?"
"Istighfar Sayang, kamu harus tenang. Kamu itu sedang sakit, jangan memikirkan hal-hal tidak baik."
"Ma, semua ini selalu ada dalam pikiranku. Dari kecil hingga sekarang. Andai bisa memilih, aku akan memilih amnesia, Ma. Dengan begitu, Salsa bisa melupakan semuanya, termasuk Mama!"
Aku menekan dadaku. Sakit yang dirasakan Mbak Salsa seolah bisa kurasakan juga.
Mama semakin menahan suaranya. "Istighfar, Sa ...."
Batinku serasa terkoyak-koyak mendengar kenyataan hidup Mbak Salsa. Katakan Mbak, apa yang bisa kulakukan untuk mengobati kepedihanmu? Tapi tolong, jangan minta Mas Wafi.
"Ma, akankah Allah mengabulkan satu permintaanku, permintaan yang sedari dulu terus menerus aku panjatkan?"
Hening. Mama terdiam, dan aku, mungkin tak ada yang pernah membuat napasku setercekat ini. Kutarik napas dalam-dalam, sambil mempersiapkan hati untuk mendengar keinginan Mbak Salsa.
"Insya Allah, Nak. Pasti Allah akan mengabulkan doa hambanya yang tulus!"
"Aku ingin menjadi istri kedua Mas Wafi, Ma."
Kukatup seketika mulutku yang tiba-tiba bergetar. Ya Allah, haruskah aku membagi cinta dengannya?
Tak lagi mampu mendengar, tubuhku justru berbalik dan mengambil langkah keluar ruangan.
"Mbak Salsa, aku ... tak sanggup dimadu, Mbak."
Kuusap kelopak mata berulang kali, aku akan pergi menemui Mas Wafi, dan menceritakan apa yang aku dengar barusan. Mas Wafi harus berjanji padaku, bahwa apapun kenyataan yang akan terjadi di depan. Dia tidak boleh menjadikanku yang kedua.
Kupercepat langkah menuju lift. Dengan jantung yang bertabuh kuat, juga napas yang tak bisa kuatur lagi, sampailah aku di depan ruangan Mas Azzam. Rasanya benar-benar tak sabar ingin berbicara pada Mas Wafi. Aku ingin tahu, bagaimana pendapatnya jika ia tahu apa keinginan Mbak Salsa.
Aku memilih duduk di kursi tunggu di samping ruangan dokter. Tiba-tiba seorang perawat keluar dari ruangan itu. Di tangannya ada sebuah status pasien.
Dia berjalan cepat, ke sisi kiri. Pasti yang ada di tangannya adalah status Mbak Salsa. Lebih baik kutanyakan pada perawat itu tentang penyakit Mbak Salsa. Kenapa sampai kejang-kejang, juga koma sejenak.
"Mas, boleh saya tanya sesuatu?"
Lelaki itu menoleh. "Mau nanya apa, Mbak?"
"Itu status pasien bernama Salsabila, ya?"
"Oh ini, iya benar."
"Saya adik iparnya. Boleh saya tau, sebenarnya kakak Ipar saya itu sakit apa?"
Lelaki itu mengernyitkan dahi. "Benar kamu adik iparnya?"
"Iya, yang di dalam ruangan Dokter Azzam, salah satunya suami saya."
"Oh begitu. Pasien bernama Salsa terkena tumor otak ganas Astrositoma, Mbak."
"Apa? Tumor otak ganas?"
Ya Allah, ini nyata atau mimpi? Bisakah aku meminta padaMu, ya Rabb? Ubahlah semua takdir ini?
Kaki yang tadi kuniatkan untuk menunggu Mas Wafi kini malah terasa kaku, tulang belulang seakan terlepas dari persendian. Separah itukah penyakit yang diderira Mbak Salsa? Jika selama hidup ia terus mengalami tekanan, haruskah ia menerima kenyataan jika penyakit paling menyakitkan justru Allah timpakan lagi padanya.
Ya Rabb, hamba yakin akan ketetapan-Mu, tidak ada satupun penyakit yang Engkau beri kepada hamba-Mu melainkan untuk menghapus dosa-dosanya. Tapi, bisakah ya Allah kumemohon, ubahlah tulisan yang ada pada kolom diagnose, atau setidaknya jadikan prediksi dokter itu sebagai suatu diagnose yang salah. Hanya kepada-Mu hamba memohon, dan meminta pertolongan. Kabulkan ya Allah.
Mencoba mendamaikan perasaan, kucoba untuk sejenak duduk di sebuah kursi panjang yang berhadapan ke taman. Taman dimana sehari yang lalu kami bertiga menggunakan tempat itu sebagai latar untuk mengabadikan foto bersama. Selintas pikiranku diajak berpikir keras, apakah ini maksud foto bertiga itu, aku, Mas Wafi dan Mbak Salsa? Bahwa suatu saat, kami akan berada di dalam satu rumah?
'Astaghfirullah ya Allah, haruskan aku menawarkannya? Atau berpura-pura tak pernah mendengarkan pembicaraan Mbak Salsa tadi. Aku harus bagaimana?'
"Seorang istri nggak baik duduk sendiri di taman, apalagi ini sudah sangat larut."
Aku terhenyak, suara itu?
"Mas Azzam?"
Lelaki itu tersenyum ke arahku.
"Maaf, Mas. Saya sedang menunggu Mas Wafi," ucapku gemetar. Entah, rasanya aku sangat tak ingin bertemu dengannya lagi. Aku harus menjauhi Mas Azzam, apalagi setelah pengakuanku tadi pada Mas Wafi.
"Awafi sudah kembali tadi sama Papanya, baru aja. Mungkin dia nggak ngeliat kamu di sini, ya?"
Tak kujawab lagi pertanyaannya, kupasang langkah seribu hendak meninggalkan tempat ini. Tapi kenyataan tak berpihak padaku. Aku menginjak gamisku sendiri.
'Ya Salam, pasti ini akan menjadi bom yang akan meletakkan diriku seketika.'
"Hati-hati ....!" jeritan Mas Azzam tak mampu membuatku tetap berdiri tegak.
Aku tersungkur.
Spontan, Mas Azzam menahan tubuhku yang hampir terjerembab ke lantai.
'Ya Allah, kenapa begini?'
Aku segera menjauhkan tubuhku dari lengan Mas Azzam, kenapa ya Allah? Kenapa aku harus jatuh?
Rasanya benar-benar menyesakkan.
"Maaf, ya."
Aku menunduk, secepat kilat aku berlari meninggalkannya. Harusnya, tadi aku nggak kemari! Kusapu mata yang mulai basah, sebenarnya aku menangis untuk apa, apa karena Mas Azzam menyentuhnku tanpa sengaja itu, atau karena mbak Salsa?
***
#Istri_Pilihan
#Part18 Diagnose Salsa
Pov Wafi
***
Dear istri
Haruskah aku meminta maaf, bahwa aku telah mencintaimu?
Aku tahu, karena cintaku kamu menderita.
Bisakah kau memahami, bahwa membahagiakanmu adalah tujuanku?
Kau suruh aku menutup mataku, tapi aku tetap bisa melihatmu.
Kau tutup kedua telingaku, tapi suaramu terus terdengar.
Untuk apa kau minta aku melabuhkan perahuku di dermaga lain, sementara kamu lah dermaga terindahku.
Dear istri,
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, cinta tulus karena Illahi Rabbi.
Tinggallah lebih lama duhai pelipur laraku, akan kubuat kau bahagia seumur hidupmu.
'Awafi'
***
Aku mengepal tanganku, ketika melihat Azzam memegang kedua lengan Bila. Walaupun itu terjadi tanpa disengaja, tetap saja aku cemburu!
Kulindungi tubuhku di balik tembok, penasaran juga apa yang akan dilakukan Bila setelah Azzam menyelamatkannya barusan. Ternyata dia berlari!
Alhamdulillah, kukira dia akan melakukan hal sebaliknya, berterima kasih ala gadis-gadis kebanyakan. Untungnya dia bukan tipe wanita begitu. Namun, tetap saja, cemburu terlanjur merampas akal sehatku.
Setelah Bila menaiki lift, kukeluarkan tubuh dari balik tembok. Segera kupanggil Azzam yang kelihatannya hendak meninggalkan rumah sakit ini.
"Zam!"
Azzam menoleh.
"Wafi, sejak kapan antum di situ?" tanyanya gugup. Pasti dia khawatir jika aku melihat kejadian yang baru saja terjadi.
"Baru aja," kucoba menutupi kenyataan, "kunci mobil ana ketinggalan di ruangan antum."
"Oh, baik, akan ana ambilkan."
Ya, Allah membuatku meninggalkan kunci itu, supaya aku tahu, bahwa ada hati yang masih menaruh harap pada wanitaku.
***
Rumah sakit tampak sepi, hanya beberapa manusia yang lalu lalang di koridor. Harusnya ini memang menjadi waktu tidur terbaik. Tapi nyatanya aku dan Bila di sini. Tadinya mata ini begitu mengantuk, tapi kenyataan yang terpampang di depan membuat harapanku untuk tertidur pulas menghilang seketika.
"Astrositoma, benarkah Salsa mengalami penyakit mematikan itu?"
Rasanya aku tak ingin percaya, tapi dokter tidak mungkin salah mendiagnosa. Apalagi tes penunjang sudah dilakukan. Bahkan besok dokter sudah menjadwalkan pembedahan untuk pengangkatan tumor serta tes biopsi.
Ya Allah, kasihan sekali adik tiriku itu. Mungkin tak ada yang bisa kulakukan, mendukungnya pun hanya sekedar saja. Karena aku tak ingin menyakiti hati Bila, istriku. Bagaimanapun kondisi Salsa, aku tak boleh terlalu peduli. Semoga Salsa bisa segera sembuh melalui jalan operasi dan kemoterapi sesuai yang direncanakan dokter.
Aku kembali ke lantai atas. Tampak Bila duduk seorang diri di kursi tunggu depan ruangan ICU. Kedekati dia. Bila bangkit untuk menyambutku.
"Mas," sebutnya lirih. Aku hanya menatap tanpa menjawab. Melihatnya, rasa cemburu kembali menari-nari.
Kuhempaskan tubuh di atas kursi, sambil mengacak-acak rambut seperti orang frustasi.
"Gimana Mas, hasilnya? Mbak Salsa sakit apa?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
Ah, Salsa? Bukan itu hal utama yang ingin aku bahas dengannya, tapi kejadian tadi. Aku nggak bisa berbohong tentang perasaanku, dia harus tau jika aku sedang cemburu!
"Tadi ngapain sama Azzam di taman?"
Dia tersentak. "Mas lihat, ya?"
Aku menoleh ke arahnya sambil menarik napas. "Jangan gitu lagi, ya? Lain kali kalau jalan hati-hati."
"Iya, maaf, Mas," ucapnya lirih. Ah, rasanya aku sangat tidak bijaksana mencemburuinya, padahal jelas itu kecelakaan. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa dia ada di taman?
"Tadi Mas 'kan minta kamu menunggu di kamar, kenapa ke taman? Nggak baik sendirian begitu diluaran, ini 'kan udah larut?"
Dia bergeming, tak menjawab.
"Ada yang mau kamu sampaikan sama Mas, atau sama Azzam?"
Dia terperanjak, matanya menatapku seketika. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tapi apa?
Aku menaikkan kedua alis sambil memajukan bibir bawah, menanti dia menjawab. Namun, dia malah membuang pandangan.
"Ooo, jadi benar pengen ketemuan sama Azzam ceritanya?"
Dia mencubit lenganku.
"Aww ...."
Aku menjerit pelan, detik berikutnya dia tersenyum sambil mengelus lenganku yang tadinya dia cubiti.
"Bila cari Mas Wafi, buka Mas Azzam ...."
"Benar? Emang mau ngomong apa?" Tanyaku sambil membawa tangannya ke pangkuanku. Perlahan, rasa cemburu mulai sirna.
"Ini, tentang Mbak Salsa, Mas ...," ucapnya lirih.
"Hmm, Salsa kenapa?"
Bila bergeming. Pandangannya nanar ke depan.
"Lho kok diam, katanya ada yang mau dibicarakan tentang Salsa?"
"Sebenarnya Mbak Salsa sakit apa, Mas?" tanyanya gugup.
Kualihkan pandangan menatap jejeran bangku kosong di depan. Jika mengingat Salsa, ada yang terasa amat sakit di dada ini. Bila menggenggam telapak tanganku. Terasa sedikit menenangkan.
"Salsa mengidap tumor otak ganas."
Bila menghela napas, hal sama yang tengah aku lakukan saat ini. Sesaat waktu terasa berhenti berputar. Hening, hanya suara desahan napas yang terdengar.
"Sebenarnya Bila sudah tau Mas," dia menarik napas sejenak, akupun ikut menoleh, "Bila boleh tanya sesuatu lagi, nggak?"
Tatapanku semakin dalam, hendak mencari tahu apa gerangan hal lain yang ingin ia tanyakan.
"Kamu mau nanya apa sama Mas?"
Bila kembali bergeming sejenak, kemudian...
"Apa Mas Wafi masih mencintai Mbak Salsa?"
Aku tersentak, kaget dengan pertanyaannya di tengah gemelut kondisi seperti saat ini. Kutatap wajah istriku itu, sekilas. Lalu kembali meluruskan pandangan.
"Kok nanya itu lagi sih, nggak cukup yang tadi di kamar sebagai pembuktian?"
Bila mengelus lenganku lagi. "Bila mau jawaban langsung dari mulut Mas Wafi," ucapnya setengah merengek.
Kuhadiahkan untuknya sebuah senyuman.
"Nggak Sayang, Mas cuma mencintai kamu seorang," jawabku tegas.
"Bagaimana jika Mbak Salsa masih sangat mengharapkan Mas Wafi?"
Kurangkul pinggangnya dengan sebelah tangan. Bila tergelak. Wanita ... wanita, kenapa begitu suka mengurus perasaan orang lain.
"Emang kamu mau jika Mbakmu itu masih menyimpan rasa sama Mas?"
Dia menggeleng.
"Lalu, kenapa nanya begitu?"
Hening, dia tak menjawab.
"Berhentilah memikirkan masalah yang sudah berlalu. Sekarang yang penting bukan tentang perasaan, tapi bagaimana cara agar Mbakmu itu bisa menerima kenyataan akan penyakit yang menimpanya. Dan bagaimana agar dia setuju untuk dilakukan semua tindakan bagi pengobatannya."
Bila menunduk.
"Udah, masuk yuk. Kita temui Salsa," ucapku sambil mengamit tangannya.
***
Sayup kudengar azan berkumandang di mushalla rumah sakit. Gemelut yang terjadi semalam, saat Dokter menyampaikan diagnose serta tindakan pengangkatan tumor yang langsung dilaksanakan hari ini, membuat kami semua kehilangan setengah ruh.
Salsa menangis tersedu, Mama dan istriku juga ikut-ikutan menangis. Andai aku dan papa juga wanita, mungkin kami pun sama berlinangnya. Kenyataan ini memang tak pernah ada dalam bayangan siapapun. Salsa yang periang, cerewet, ternyata harus menerima kenyataan jika sekarang tubuhnya tengah digerogoti sebuah penyakit mematikan.
Sungguh tak pernah terbayangkan akan seperti ini akhirnya.
Kuangkat kepala yang terbaring di atas pangkuan istriku. Kami menginap di rumah sakit, di kamar rawatan Salsa sebelumnya. Bila masih tertidur sambil menyandarkan tubuh ke sofa. Bagaimana bisa aku tertidur sampai pagi di pangkuannya, yang kuingat kami baru saja duduk beristirahat di sofa, sesaat setelah Salsa diberi suntikan penenang. Lalu, semua gelap, aku tak ingat apa-apa lagi.
"Mas," ucap Bila sambil meluruskan kaki. Ternyata gerakanku membangunkannya.
"Emm ... maaf ya, pasti kakimu kebas. Semalaman menyangga kepala Mas," ucapku sambil memijat pelan kedua pahanya. Dia kelihatan risih, mungkin geli.
"Nggak kok, Mas."
Pendalihannya terpatahkan, dia kesulitan bangun. Kutahan lengannya, "istirahat sebentar lagi, nunggu kebasnya hilang."
Dia tersenyum, manisnya istriku. Terima kasih Allah, Engkau hadirkan ia sebagai pelipur hati. Melihatnya, semua masalah seakan terangkat. Hilang semua kegundahan, semoga kebersamaan ini selamanya ya Rabb.
***
Semua persiapan operasi telah disiapkan oleh tim medis. Sedari tadi Salsa mengunci mulutnya. Mama yang terlihat begitu khawatir terus saja mengajak bicara, namun hanya ditanggapi dengan kata 'ya' atau 'tidak'.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Kukeluarkan benda pipih itu dari saku celana.
Satu pesan dari istriku. Lho kok? Segera kubuka.
[Mas kenapa diam daritadi, tanyain sesuatu donk sama Mbak Salsa?]
Aku melirik ke atasnya, tersenyum. Dia membalas tatapanku sambil memainkan tangannya menekan-nekan tombol hape. Sebenarnya, aku bukan mau menyombongkan diri, tentu aku khawatir dan mau tau keadaan Salsa. Aku hanya takut wanitaku itu cemburu, terlebih setelah pertanyaan yang dia ajukan tadi malam. Tapi, kenapa dia justru memintaku berbasa basi pada Salsa, tidakkah ia cemburu?
Kubalas pesannya.
[Yang ingin Mas tanyakan udah ditanya semua sama Mama]
Dia tampak mengetik pesan kembali.
[Tapikan beda penanya beda reaksi, Mas. Ayuk Mas tanyain, siapa tahu jika Mas yang nanya, Mbak Salsa mau bicara.]
Kuhela napas, istriku itu, aneh. Kuacuhkan pesannya. Tapi sebuah pesan masuk kembali.
[Please ....]
Aku menggeleng. Dia menangkupkan kedua tangannya. Kalau sudah begini, aku harus bagaimana?
Baiklah. Kudekati Salsa. Bila duduk di bagian kepala sebelah kiri, sementara mama di sebelah kanan.
"Sa, daritadi diam terus. Mama nanya ini itu kok cuma dijawab ya, nggak."
Semua orang kini melirik ke atasku. Termasuk Bila, kedua matanya menyipit, pertanda ia sedang tersenyum bahagia.
"Salsa nggak enak tenggorokan, Mas," jawabnya sambil menunduk. Sebuah kalimat yang kurasa cukup dinanti banyak orang.
"Sabar ya, sebentar lagi semuanya akan segera membaik. Yang penting, terus langitkan doa demi kesembuhanmu. Ingat, ada Allah tempat berbagi segala rasa, sakit, senang, susah bahagia, Allah-lah pemilik segala rasa itu."
Salsa terdiam, pelupuk matanya basah. Allah, aku tak sanggup melihatnya begini...
Mama berjalan keluar ruangan, diikuti Papa. Aku tahu, Mama pasti akan menangis kencang di luar sana.
Tinggalkan kami bertiga di ruangan ini. Aku, Salsa dan Bila. Salsa semakin terisak, air matanya tumpah bak hujan deras yang mengguyur bumi. Kutahan langkahku, tak ingin bergerak walau satu langkah. Menyadariku yang mematung dalam berdiri, Bila melangkah mendekati Salsa. Ia menggenggam jemari wanita itu sambil berbisik.
"Mbak yang kuat, ya. Insya Allah pasti sembuh. Kami senantiasa mendoakan Mbak."
Salsa tak menjawab, air matanya tak berhenti mengalir. Entah apa yang menggerakkan tanganku untuk mengambil selembar tissue yang terletak di atas nakas. Lalu tanpa sadar kuarahkan ke wajah Salsa. Menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis itu. Tentu bukan alasan cinta, karena rasa itu kini telah ada yang memiliki. Mungkin serupa sayang.
Salsa terlonjak. Tangisnya terhenti seketika.
"Sudah, jangan menangis ya. Selama ini, yang Mas tahu, kamu wanita yang kuat. Jadikan semua cobaan yang Allah beri sebagai suatu bentuk muhasabah diri. Allah tak pernah mencoba seorang hamba, melebihi batas kemampuannya."
Salsa menarik napas, kini tissue di tanganku kuberi padanya. Pandanganku malah diajak melirik wanita lainnya yang bersama kami di ruangan ini. Bila. Apa kabar dirinya?
Ya Salam, dia menunduk sambil memilin ujung khimar. Kelakuanku ini, apa sudah keterlaluan?
***
Bersambung ya...
------
#Part17 Rahasia Salsa
Pov Bila
Dear suami ....
Aku hanyalah wanita biasa, tak cantik, apalagi pintar. Namun ku selalu mencoba memuliakanmu, dimanapun dirimu berada.
Jika kau membenciku, aku tetap takkan merubah rasa dalam mencintaimu.
Jika kau menyakitiku, aku tetap berbaik sangka padamu.
Jika kau membuatku menangis, aku tetap akan menjadi mata air untukmu.
Dear suami, aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Cinta tulus karena Allah.
Bimbing aku jika menyalahi, nasihat aku Bila tersalah.
Cintakah aku ... sayangi aku hanya karena-Nya.
'Radha Zanjabila'
***
"Makasih ya, Sayang," ucap Mas Wafi setelah kami sukses mereguk nikmatnya kebersamaan di secawan madu.
Senyum merekah indah di wajah tampannya. Mata beningnya menatapku dalam. Sementara aku, hanya bisa membalas menatapnya dengan tersipu malu.
'Sayang, benarkah dia memanggilku sayang!'
"Untuk apa, Mas?" tanyaku sambil mengangkat kedua alis.
"Karena kamu sudah menjaga diri, dan memberikan yang terbaik untuk Mas."
Alhamdulillah, tersanjungnya hati ini dengan ucapan terima kasih yang Mas Wafi lontarkan. Tidak sia-sia aku menjaga diri. Selama ini bukan aku tak punya rasa cinta, apalagi suka. Tentu aku pernah merasakannya, karena Allah memang menitipkan rasa itu pada tiap-tiap makhluknya. Tapi semua itu sekuat tenaga kutahan. Karena aku, hanya ingin memberikan cintaku untuk lelaki bertanggung jawab. Lelaki yang tak suka mengumbar kata cinta, namun mengikat dengan jalan yang sah.
Lima jemari tangan kanan Mas Wafi kini mengusap pucuk kepalaku. Rasanya begitu menenangkan. Aku bak ratu ia perlakukan malam ini, semoga selamanya begini Mas.
Kutarik napas sejenak. "Mas, saya menjaga diri karena Allah. Syukran, bonusnya Allah titip tulang rusuk saya pada Mas Wafi."
Lelaki itu menatapku syahdu. Ucapanku, pasti membuat Mas Wafi merasa dirinya adalah salah satu lelaki beruntung di dunia ini. Kubaca aura wajahnya dalam-dalam, ia tampak begitu bahagia. Akupun demikian, Mas.
"I Love you," ucapnya diantara tarikan napas dan degup jantung yang jelas kudengar. Karena saat ini aku memang berada di dalam apitan lengan kirinya.
"Love you too, Mas."
Lelakiku tersenyum. Senyuman yang mengantarkan mata elangnya untuk terpejam. Rangkulan jemari tangan kanan Mas Wafi yang sedari tadi mengapit tubuhku pun kini terasa merenggang.
Mas Wafiku sudah terlelap. Dengkuran halus terdengar, beberapa saat setelah matanya terpejam sempurna. Tinggallah aku disini, dengan bola mata yang masih membelalak.
Beberapa waktu aku bergeming, masih asik menatap wajah tampan di hadapanku. Kusentuh matanya, hidungnya, bibirnya, aku tersenyum mengingat semua yang sudah terjadi tadi. Saat tengah asyiknya menikmati keindahan yang Allah anugerahkan pada lelakiku, tiba-tiba ponsel Mas Wafi bergetar. Kuangkat tangan Mas Wafi yang melingkari tubuhku. Pelan aku bergerak tak ingin membuat matanya yang baru saja terpejam harus membuka kembali.
Getar penanda dering pertama berhenti, kini ponsel Mas Wafi kembali bergetar. Kukenakan pakaian dengan lengkap, lalu sedikit tergesa menuruni ranjang dan menggapai benda pipih itu.
Tampak di layar ponsel, dua panggilan tak terjawab dari Mama.
'Ada apa ya, kenapa tiba-tiba Mama nelpon malam-malam begini?'
Saat pikiranku tengah berkelana mencari jawaban, tiba-tiba di luar terdengar seru mobil papa mertua. Aku berjalan mendekati jendela kamar, ternyata benar itu papa.
'Kemana Papa malam-malam begini, apa ada hubungannya dengan telpon Mama?'
Tak lama, ponsel Mas Wafi kembali bergetar. Tampak di kamar sebuah pesan whatsapp. Ada baiknya aku buka, supaya tahu apa yang sedang terjadi, jangan-jangan ini tentang Mbak Salsa.
"Fi, Salsa nggak sadarkan diri. Tadi dia sempat meronta saat tiba-tiba saja nyeri hebat terasa di kepala. Sekarang sudah di ruang ICU."
"Astaghfirullah, Mbak Salsa.'
Saat itu perasaanku campur aduk, jika melihat Mas Wafi yang baru saja memejamkan matanya, sungguh aku tak tega membangunkan. Tapi, mengingat ini adalah pesan penting. Sungguh kejam jika aku mengabaikannya begitu saja.
'Mungkin lebih baik, aku mensucikan diri terlebih dahulu.'
Sekiranya hanya sepuluh menit aku di kamar mandi. Setelah selesai, kudekati suamiku. Ide untuk tidak membangunkannya terkalahkan oleh bisikan kebaikan. Mbak Salsa sedang koma, tidak ada yang lebih penting selain kehadiran kami sekarang ke rumah sakit.
"Mas ...."
Kusentuh bahunya. Jangankan bangun, bereaksi pun tidak. Kugerakkan tangan mengelus pipi. Mas Wafi membuka matanya dengan perlahan.
Dia tersenyum menyambut kehadiranku yang pasti masih serupa bayangan.
"Mas ...."
Kupanggil lagi namanya.
"Iya, Sayang."
"Maaf, Mas. Bila sebenarnya nggak tega membangunkan Mas, tapi ini masalah penting, Mas."
Dia kembali tersenyum, matanya masih dipenuhi guratan merah.
"Kenapa, Sayang?" Tangannya kini mengelus pipiku.
"Mbak Salsa, Mas ... beliau masuk ICU karena koma."
***
Malam semakin naik memanjat, rembulan penuh sempurna. Udara dingin mulai menusuk kulit. Desau angin menambah kesyahduan malam, membuat setiap mata yang terbuka ingin terlelap. Lalu tenggelam dalam mimpi indah yang panjang.
Harusnya kami masih di dalam kamar, mereguk indahnya kebersamaan setelah bekerja keras tadi. Tapi nyatanya, sekarang kami kembali berada di dalam mobil, dengan perasaan khawatir memenuhi rongga pikiran. Untung Mas Wafi masih menggenggam jemari tanganku, setidaknya biarlah tubuh ini yang merasa kedingin, asal hati tetap hangat karena terus bersentuhan dengannya.
Lima belas menit perjalanan, kami sampai di rumah sakit. Dengan tangan yang saling menggenggam, langkah kami berbarengan menuju lantai dua, ruangan ICU. Beberapa langkah lagi sampai ke ruangan itu, kami justru menemukan papa keluar dengan seorang dokter, juga Mas Azzam. Tiba-tiba aku merasa, genggaman tanganku semakin erat. Kulirik Mas Wafi penasaran, ternyata matanya menatap sosok itu, yang kini berjalan mendekati kami.
"Kalian di sini?"
Papa menyapa ketika melihat kami terpaku dalam berdiri.
"Ya, Pa. Salsa gimana?"
"Sudah sadar, hanya masih belum stabil. Kami mau ke ruangan Azzam. Kamu mau ikut?"
Mas Wafi menoleh ke arahku, "kamu masuk dulu, ya. Mas ikut Papa sebentar."
Kujawab permintaan Mas Wafi dengan anggukan. Lalu, suamiku dan beberapa lelaki itu kembali menaiki lift untuk sampai di lantai satu. Kuhela napas panjang, ya Allah ada apa dengan hati ini. Kenapa seolah-seolah aku sangat tidak ingin semua ini terjadi. Astaghfirullah.
Kulangkahkan kaki memasuki ruang ICU. Setelah bertanya pada suster dimana Mbak Salsa berada, aku kembali berjalan ke bed yang di tunjuk oleh perawat itu. Dalam ruangan ini terdapat lima bed, yang satu dengan lainnya dipisahkan oleh kain bersekat lebar dan tebal.
Saat hendak menyibak tirai. Langkahku terhenti karena mendengar percakapan Mama dan Mbak Salsa.
"Sakit sekali, Ma ...."
Serasa ada yang menusuk jantungku saat mendengar lirihan suara Mbak Salsa. Ya Allah...
"Dimana yang sakit Anakku?" tanya Mama lirih, seperti sedang menahan tangis.
Mbak Salsa kini malah terisak.
"Jangan menangis Sayang, tidak ada masalah yang tidak Allah kasih jalan keluarnya ...."
Mbak Salsa makin terisak. "Termasuk masalah hati, Ma?"
Aku menarik napas dalam. Pasti ini ada hubungannya dengan Mas Wafi. Ya Allah, keluarlah kami dari lingkaran hitam ini.
"Kamu hanya perlu ikhlas, Sa. Dia bukan jodohmu ...."
'Dia? Mas Wafikah?'
"Seberapa ikhlas , Ma. Jika keikhlasan itu bisa diukur, sudah habis ukurannya untuk Salsa mengikhlaskan Mas Wafi. Tapi nggak ada yang bisa mengukur 'kan, Ma?"
'Astaghfirullah, jadi benar Mas Wafi.' Kupejamkan mata sambil melebarkan dada, pasti ini akan menjadi kenyataan yang pahit seumur hidupku.
"Sayang, jika kamu sudah ikhlas, harusnya kamu belajar untuk melupakannya."
'Umi ... aku butuh lengan Umi untuk bersandar, tapi aku sendiri disini, Mi ...'
'Nggak semudah itu, Ma. Menghapus sebuah ingatan nggak semudah menghapus jejak kaki di gurun pasir ...."
'Ya Allah ... sebegitu cintakah kamu Mbak pada Mas Wafi. Bahkan mungkin cintaku nggak sedalam itu. Aku harus bagaimana, Mbak?'
"Ma, selama hidup, apa pernah Mama tahu, jika tak sedetikpun Salsa merasakan kebahagian yang bertahan lama? Papa pergi saat aku masih sangat kecil, Ma. Lalu Mama hadirkan Papa Habib yang tak pernah menyayangiku, bahkan tega menjauhkanku darimu, Mama kandungku sendiri. Lalu, Papa juga tega memisahkanku dengan Mas Wafi. Sebenarnya, apa salah Salsa, Ma? Hingga Allah menguji Salsa dengan begitu banyak ujian?"
"Istighfar Sayang, kamu harus tenang. Kamu itu sedang sakit, jangan memikirkan hal-hal tidak baik."
"Ma, semua ini selalu ada dalam pikiranku. Dari kecil hingga sekarang. Andai bisa memilih, aku akan memilih amnesia, Ma. Dengan begitu, Salsa bisa melupakan semuanya, termasuk Mama!"
Aku menekan dadaku. Sakit yang dirasakan Mbak Salsa seolah bisa kurasakan juga.
Mama semakin menahan suaranya. "Istighfar, Sa ...."
Batinku serasa terkoyak-koyak mendengar kenyataan hidup Mbak Salsa. Katakan Mbak, apa yang bisa kulakukan untuk mengobati kepedihanmu? Tapi tolong, jangan minta Mas Wafi.
"Ma, akankah Allah mengabulkan satu permintaanku, permintaan yang sedari dulu terus menerus aku panjatkan?"
Hening. Mama terdiam, dan aku, mungkin tak ada yang pernah membuat napasku setercekat ini. Kutarik napas dalam-dalam, sambil mempersiapkan hati untuk mendengar keinginan Mbak Salsa.
"Insya Allah, Nak. Pasti Allah akan mengabulkan doa hambanya yang tulus!"
"Aku ingin menjadi istri kedua Mas Wafi, Ma."
Kukatup seketika mulutku yang tiba-tiba bergetar. Ya Allah, haruskah aku membagi cinta dengannya?
Tak lagi mampu mendengar, tubuhku justru berbalik dan mengambil langkah keluar ruangan.
"Mbak Salsa, aku ... tak sanggup dimadu, Mbak."
Kuusap kelopak mata berulang kali, aku akan pergi menemui Mas Wafi, dan menceritakan apa yang aku dengar barusan. Mas Wafi harus berjanji padaku, bahwa apapun kenyataan yang akan terjadi di depan. Dia tidak boleh menjadikanku yang kedua.
Kupercepat langkah menuju lift. Dengan jantung yang bertabuh kuat, juga napas yang tak bisa kuatur lagi, sampailah aku di depan ruangan Mas Azzam. Rasanya benar-benar tak sabar ingin berbicara pada Mas Wafi. Aku ingin tahu, bagaimana pendapatnya jika ia tahu apa keinginan Mbak Salsa.
Aku memilih duduk di kursi tunggu di samping ruangan dokter. Tiba-tiba seorang perawat keluar dari ruangan itu. Di tangannya ada sebuah status pasien.
Dia berjalan cepat, ke sisi kiri. Pasti yang ada di tangannya adalah status Mbak Salsa. Lebih baik kutanyakan pada perawat itu tentang penyakit Mbak Salsa. Kenapa sampai kejang-kejang, juga koma sejenak.
"Mas, boleh saya tanya sesuatu?"
Lelaki itu menoleh. "Mau nanya apa, Mbak?"
"Itu status pasien bernama Salsabila, ya?"
"Oh ini, iya benar."
"Saya adik iparnya. Boleh saya tau, sebenarnya kakak Ipar saya itu sakit apa?"
Lelaki itu mengernyitkan dahi. "Benar kamu adik iparnya?"
"Iya, yang di dalam ruangan Dokter Azzam, salah satunya suami saya."
"Oh begitu. Pasien bernama Salsa terkena tumor otak ganas Astrositoma, Mbak."
"Apa? Tumor otak ganas?"
Ya Allah, ini nyata atau mimpi? Bisakah aku meminta padaMu, ya Rabb? Ubahlah semua takdir ini?
Kaki yang tadi kuniatkan untuk menunggu Mas Wafi kini malah terasa kaku, tulang belulang seakan terlepas dari persendian. Separah itukah penyakit yang diderira Mbak Salsa? Jika selama hidup ia terus mengalami tekanan, haruskah ia menerima kenyataan jika penyakit paling menyakitkan justru Allah timpakan lagi padanya.
Ya Rabb, hamba yakin akan ketetapan-Mu, tidak ada satupun penyakit yang Engkau beri kepada hamba-Mu melainkan untuk menghapus dosa-dosanya. Tapi, bisakah ya Allah kumemohon, ubahlah tulisan yang ada pada kolom diagnose, atau setidaknya jadikan prediksi dokter itu sebagai suatu diagnose yang salah. Hanya kepada-Mu hamba memohon, dan meminta pertolongan. Kabulkan ya Allah.
Mencoba mendamaikan perasaan, kucoba untuk sejenak duduk di sebuah kursi panjang yang berhadapan ke taman. Taman dimana sehari yang lalu kami bertiga menggunakan tempat itu sebagai latar untuk mengabadikan foto bersama. Selintas pikiranku diajak berpikir keras, apakah ini maksud foto bertiga itu, aku, Mas Wafi dan Mbak Salsa? Bahwa suatu saat, kami akan berada di dalam satu rumah?
'Astaghfirullah ya Allah, haruskan aku menawarkannya? Atau berpura-pura tak pernah mendengarkan pembicaraan Mbak Salsa tadi. Aku harus bagaimana?'
"Seorang istri nggak baik duduk sendiri di taman, apalagi ini sudah sangat larut."
Aku terhenyak, suara itu?
"Mas Azzam?"
Lelaki itu tersenyum ke arahku.
"Maaf, Mas. Saya sedang menunggu Mas Wafi," ucapku gemetar. Entah, rasanya aku sangat tak ingin bertemu dengannya lagi. Aku harus menjauhi Mas Azzam, apalagi setelah pengakuanku tadi pada Mas Wafi.
"Awafi sudah kembali tadi sama Papanya, baru aja. Mungkin dia nggak ngeliat kamu di sini, ya?"
Tak kujawab lagi pertanyaannya, kupasang langkah seribu hendak meninggalkan tempat ini. Tapi kenyataan tak berpihak padaku. Aku menginjak gamisku sendiri.
'Ya Salam, pasti ini akan menjadi bom yang akan meletakkan diriku seketika.'
"Hati-hati ....!" jeritan Mas Azzam tak mampu membuatku tetap berdiri tegak.
Aku tersungkur.
Spontan, Mas Azzam menahan tubuhku yang hampir terjerembab ke lantai.
'Ya Allah, kenapa begini?'
Aku segera menjauhkan tubuhku dari lengan Mas Azzam, kenapa ya Allah? Kenapa aku harus jatuh?
Rasanya benar-benar menyesakkan.
"Maaf, ya."
Aku menunduk, secepat kilat aku berlari meninggalkannya. Harusnya, tadi aku nggak kemari! Kusapu mata yang mulai basah, sebenarnya aku menangis untuk apa, apa karena Mas Azzam menyentuhnku tanpa sengaja itu, atau karena mbak Salsa?
***
#Istri_Pilihan
#Part18 Diagnose Salsa
Pov Wafi
***
Dear istri
Haruskah aku meminta maaf, bahwa aku telah mencintaimu?
Aku tahu, karena cintaku kamu menderita.
Bisakah kau memahami, bahwa membahagiakanmu adalah tujuanku?
Kau suruh aku menutup mataku, tapi aku tetap bisa melihatmu.
Kau tutup kedua telingaku, tapi suaramu terus terdengar.
Untuk apa kau minta aku melabuhkan perahuku di dermaga lain, sementara kamu lah dermaga terindahku.
Dear istri,
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, cinta tulus karena Illahi Rabbi.
Tinggallah lebih lama duhai pelipur laraku, akan kubuat kau bahagia seumur hidupmu.
'Awafi'
***
Aku mengepal tanganku, ketika melihat Azzam memegang kedua lengan Bila. Walaupun itu terjadi tanpa disengaja, tetap saja aku cemburu!
Kulindungi tubuhku di balik tembok, penasaran juga apa yang akan dilakukan Bila setelah Azzam menyelamatkannya barusan. Ternyata dia berlari!
Alhamdulillah, kukira dia akan melakukan hal sebaliknya, berterima kasih ala gadis-gadis kebanyakan. Untungnya dia bukan tipe wanita begitu. Namun, tetap saja, cemburu terlanjur merampas akal sehatku.
Setelah Bila menaiki lift, kukeluarkan tubuh dari balik tembok. Segera kupanggil Azzam yang kelihatannya hendak meninggalkan rumah sakit ini.
"Zam!"
Azzam menoleh.
"Wafi, sejak kapan antum di situ?" tanyanya gugup. Pasti dia khawatir jika aku melihat kejadian yang baru saja terjadi.
"Baru aja," kucoba menutupi kenyataan, "kunci mobil ana ketinggalan di ruangan antum."
"Oh, baik, akan ana ambilkan."
Ya, Allah membuatku meninggalkan kunci itu, supaya aku tahu, bahwa ada hati yang masih menaruh harap pada wanitaku.
***
Rumah sakit tampak sepi, hanya beberapa manusia yang lalu lalang di koridor. Harusnya ini memang menjadi waktu tidur terbaik. Tapi nyatanya aku dan Bila di sini. Tadinya mata ini begitu mengantuk, tapi kenyataan yang terpampang di depan membuat harapanku untuk tertidur pulas menghilang seketika.
"Astrositoma, benarkah Salsa mengalami penyakit mematikan itu?"
Rasanya aku tak ingin percaya, tapi dokter tidak mungkin salah mendiagnosa. Apalagi tes penunjang sudah dilakukan. Bahkan besok dokter sudah menjadwalkan pembedahan untuk pengangkatan tumor serta tes biopsi.
Ya Allah, kasihan sekali adik tiriku itu. Mungkin tak ada yang bisa kulakukan, mendukungnya pun hanya sekedar saja. Karena aku tak ingin menyakiti hati Bila, istriku. Bagaimanapun kondisi Salsa, aku tak boleh terlalu peduli. Semoga Salsa bisa segera sembuh melalui jalan operasi dan kemoterapi sesuai yang direncanakan dokter.
Aku kembali ke lantai atas. Tampak Bila duduk seorang diri di kursi tunggu depan ruangan ICU. Kedekati dia. Bila bangkit untuk menyambutku.
"Mas," sebutnya lirih. Aku hanya menatap tanpa menjawab. Melihatnya, rasa cemburu kembali menari-nari.
Kuhempaskan tubuh di atas kursi, sambil mengacak-acak rambut seperti orang frustasi.
"Gimana Mas, hasilnya? Mbak Salsa sakit apa?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
Ah, Salsa? Bukan itu hal utama yang ingin aku bahas dengannya, tapi kejadian tadi. Aku nggak bisa berbohong tentang perasaanku, dia harus tau jika aku sedang cemburu!
"Tadi ngapain sama Azzam di taman?"
Dia tersentak. "Mas lihat, ya?"
Aku menoleh ke arahnya sambil menarik napas. "Jangan gitu lagi, ya? Lain kali kalau jalan hati-hati."
"Iya, maaf, Mas," ucapnya lirih. Ah, rasanya aku sangat tidak bijaksana mencemburuinya, padahal jelas itu kecelakaan. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa dia ada di taman?
"Tadi Mas 'kan minta kamu menunggu di kamar, kenapa ke taman? Nggak baik sendirian begitu diluaran, ini 'kan udah larut?"
Dia bergeming, tak menjawab.
"Ada yang mau kamu sampaikan sama Mas, atau sama Azzam?"
Dia terperanjak, matanya menatapku seketika. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tapi apa?
Aku menaikkan kedua alis sambil memajukan bibir bawah, menanti dia menjawab. Namun, dia malah membuang pandangan.
"Ooo, jadi benar pengen ketemuan sama Azzam ceritanya?"
Dia mencubit lenganku.
"Aww ...."
Aku menjerit pelan, detik berikutnya dia tersenyum sambil mengelus lenganku yang tadinya dia cubiti.
"Bila cari Mas Wafi, buka Mas Azzam ...."
"Benar? Emang mau ngomong apa?" Tanyaku sambil membawa tangannya ke pangkuanku. Perlahan, rasa cemburu mulai sirna.
"Ini, tentang Mbak Salsa, Mas ...," ucapnya lirih.
"Hmm, Salsa kenapa?"
Bila bergeming. Pandangannya nanar ke depan.
"Lho kok diam, katanya ada yang mau dibicarakan tentang Salsa?"
"Sebenarnya Mbak Salsa sakit apa, Mas?" tanyanya gugup.
Kualihkan pandangan menatap jejeran bangku kosong di depan. Jika mengingat Salsa, ada yang terasa amat sakit di dada ini. Bila menggenggam telapak tanganku. Terasa sedikit menenangkan.
"Salsa mengidap tumor otak ganas."
Bila menghela napas, hal sama yang tengah aku lakukan saat ini. Sesaat waktu terasa berhenti berputar. Hening, hanya suara desahan napas yang terdengar.
"Sebenarnya Bila sudah tau Mas," dia menarik napas sejenak, akupun ikut menoleh, "Bila boleh tanya sesuatu lagi, nggak?"
Tatapanku semakin dalam, hendak mencari tahu apa gerangan hal lain yang ingin ia tanyakan.
"Kamu mau nanya apa sama Mas?"
Bila kembali bergeming sejenak, kemudian...
"Apa Mas Wafi masih mencintai Mbak Salsa?"
Aku tersentak, kaget dengan pertanyaannya di tengah gemelut kondisi seperti saat ini. Kutatap wajah istriku itu, sekilas. Lalu kembali meluruskan pandangan.
"Kok nanya itu lagi sih, nggak cukup yang tadi di kamar sebagai pembuktian?"
Bila mengelus lenganku lagi. "Bila mau jawaban langsung dari mulut Mas Wafi," ucapnya setengah merengek.
Kuhadiahkan untuknya sebuah senyuman.
"Nggak Sayang, Mas cuma mencintai kamu seorang," jawabku tegas.
"Bagaimana jika Mbak Salsa masih sangat mengharapkan Mas Wafi?"
Kurangkul pinggangnya dengan sebelah tangan. Bila tergelak. Wanita ... wanita, kenapa begitu suka mengurus perasaan orang lain.
"Emang kamu mau jika Mbakmu itu masih menyimpan rasa sama Mas?"
Dia menggeleng.
"Lalu, kenapa nanya begitu?"
Hening, dia tak menjawab.
"Berhentilah memikirkan masalah yang sudah berlalu. Sekarang yang penting bukan tentang perasaan, tapi bagaimana cara agar Mbakmu itu bisa menerima kenyataan akan penyakit yang menimpanya. Dan bagaimana agar dia setuju untuk dilakukan semua tindakan bagi pengobatannya."
Bila menunduk.
"Udah, masuk yuk. Kita temui Salsa," ucapku sambil mengamit tangannya.
***
Sayup kudengar azan berkumandang di mushalla rumah sakit. Gemelut yang terjadi semalam, saat Dokter menyampaikan diagnose serta tindakan pengangkatan tumor yang langsung dilaksanakan hari ini, membuat kami semua kehilangan setengah ruh.
Salsa menangis tersedu, Mama dan istriku juga ikut-ikutan menangis. Andai aku dan papa juga wanita, mungkin kami pun sama berlinangnya. Kenyataan ini memang tak pernah ada dalam bayangan siapapun. Salsa yang periang, cerewet, ternyata harus menerima kenyataan jika sekarang tubuhnya tengah digerogoti sebuah penyakit mematikan.
Sungguh tak pernah terbayangkan akan seperti ini akhirnya.
Kuangkat kepala yang terbaring di atas pangkuan istriku. Kami menginap di rumah sakit, di kamar rawatan Salsa sebelumnya. Bila masih tertidur sambil menyandarkan tubuh ke sofa. Bagaimana bisa aku tertidur sampai pagi di pangkuannya, yang kuingat kami baru saja duduk beristirahat di sofa, sesaat setelah Salsa diberi suntikan penenang. Lalu, semua gelap, aku tak ingat apa-apa lagi.
"Mas," ucap Bila sambil meluruskan kaki. Ternyata gerakanku membangunkannya.
"Emm ... maaf ya, pasti kakimu kebas. Semalaman menyangga kepala Mas," ucapku sambil memijat pelan kedua pahanya. Dia kelihatan risih, mungkin geli.
"Nggak kok, Mas."
Pendalihannya terpatahkan, dia kesulitan bangun. Kutahan lengannya, "istirahat sebentar lagi, nunggu kebasnya hilang."
Dia tersenyum, manisnya istriku. Terima kasih Allah, Engkau hadirkan ia sebagai pelipur hati. Melihatnya, semua masalah seakan terangkat. Hilang semua kegundahan, semoga kebersamaan ini selamanya ya Rabb.
***
Semua persiapan operasi telah disiapkan oleh tim medis. Sedari tadi Salsa mengunci mulutnya. Mama yang terlihat begitu khawatir terus saja mengajak bicara, namun hanya ditanggapi dengan kata 'ya' atau 'tidak'.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Kukeluarkan benda pipih itu dari saku celana.
Satu pesan dari istriku. Lho kok? Segera kubuka.
[Mas kenapa diam daritadi, tanyain sesuatu donk sama Mbak Salsa?]
Aku melirik ke atasnya, tersenyum. Dia membalas tatapanku sambil memainkan tangannya menekan-nekan tombol hape. Sebenarnya, aku bukan mau menyombongkan diri, tentu aku khawatir dan mau tau keadaan Salsa. Aku hanya takut wanitaku itu cemburu, terlebih setelah pertanyaan yang dia ajukan tadi malam. Tapi, kenapa dia justru memintaku berbasa basi pada Salsa, tidakkah ia cemburu?
Kubalas pesannya.
[Yang ingin Mas tanyakan udah ditanya semua sama Mama]
Dia tampak mengetik pesan kembali.
[Tapikan beda penanya beda reaksi, Mas. Ayuk Mas tanyain, siapa tahu jika Mas yang nanya, Mbak Salsa mau bicara.]
Kuhela napas, istriku itu, aneh. Kuacuhkan pesannya. Tapi sebuah pesan masuk kembali.
[Please ....]
Aku menggeleng. Dia menangkupkan kedua tangannya. Kalau sudah begini, aku harus bagaimana?
Baiklah. Kudekati Salsa. Bila duduk di bagian kepala sebelah kiri, sementara mama di sebelah kanan.
"Sa, daritadi diam terus. Mama nanya ini itu kok cuma dijawab ya, nggak."
Semua orang kini melirik ke atasku. Termasuk Bila, kedua matanya menyipit, pertanda ia sedang tersenyum bahagia.
"Salsa nggak enak tenggorokan, Mas," jawabnya sambil menunduk. Sebuah kalimat yang kurasa cukup dinanti banyak orang.
"Sabar ya, sebentar lagi semuanya akan segera membaik. Yang penting, terus langitkan doa demi kesembuhanmu. Ingat, ada Allah tempat berbagi segala rasa, sakit, senang, susah bahagia, Allah-lah pemilik segala rasa itu."
Salsa terdiam, pelupuk matanya basah. Allah, aku tak sanggup melihatnya begini...
Mama berjalan keluar ruangan, diikuti Papa. Aku tahu, Mama pasti akan menangis kencang di luar sana.
Tinggalkan kami bertiga di ruangan ini. Aku, Salsa dan Bila. Salsa semakin terisak, air matanya tumpah bak hujan deras yang mengguyur bumi. Kutahan langkahku, tak ingin bergerak walau satu langkah. Menyadariku yang mematung dalam berdiri, Bila melangkah mendekati Salsa. Ia menggenggam jemari wanita itu sambil berbisik.
"Mbak yang kuat, ya. Insya Allah pasti sembuh. Kami senantiasa mendoakan Mbak."
Salsa tak menjawab, air matanya tak berhenti mengalir. Entah apa yang menggerakkan tanganku untuk mengambil selembar tissue yang terletak di atas nakas. Lalu tanpa sadar kuarahkan ke wajah Salsa. Menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis itu. Tentu bukan alasan cinta, karena rasa itu kini telah ada yang memiliki. Mungkin serupa sayang.
Salsa terlonjak. Tangisnya terhenti seketika.
"Sudah, jangan menangis ya. Selama ini, yang Mas tahu, kamu wanita yang kuat. Jadikan semua cobaan yang Allah beri sebagai suatu bentuk muhasabah diri. Allah tak pernah mencoba seorang hamba, melebihi batas kemampuannya."
Salsa menarik napas, kini tissue di tanganku kuberi padanya. Pandanganku malah diajak melirik wanita lainnya yang bersama kami di ruangan ini. Bila. Apa kabar dirinya?
Ya Salam, dia menunduk sambil memilin ujung khimar. Kelakuanku ini, apa sudah keterlaluan?
***
Bersambung ya...
------
#Istri_Pilihan
#Part 19 Permintaan Untuk di Madu
***
Pov bila
'Aku tahu akan seperti ini rasanya, tapi demi kamu Mbak, aku akan sedikit berkorban.'
***
Dari semalam Mbak Salsa terus menangis, saat tahu diagnose penyakit yang kini menimpanya. Bahkan dokter terpaksa menyuntikkan penenang, agar ia bisa tertidur. Karena esok adalah hari penting untuk pengobatannya.
Pagi ini pun sama, dia terus mengunci mulut. Mbak Salsa mengacuhkan pertanyaan semua orang, rasanya aku tak tega. Sementara aku tahu, di ruangan ini ada seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman. Suamiku. Namun, karena aku, lelaki itu pun begitu menjaga jarak.
Jika setelahnya aku harus merasakan cemburu, semua adalah salahku sendiri. Aku yang meminta Mas Wafi untuk menyapa Mbak Salsa. Lalu, doble perih harus kurasakan, saat tiba-tiba Mas Wafi mengambil selembar tissue lalu mengusap air mata di wajah Mbak Salsa.
Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa hanya aku wanita yang ia cintai. Agar rasa cemburu di dada segera sirna. Tapi, ya beginilah wanita. Sekuat apapun usahanya, tetap tak mampu jika harus melihat suaminya memberi perhatian pada wanita lain. Ah, egosinya aku.
Kutundukkan pandangan sambil memutar-mutar ujung khimar. Baru begini saja, aku sudah tak tahan lalu bagaimana jika pada akhirnya, seseorang memintaku mengikhlaskan suamiku, apakah aku akan menangis seumur hidup.
Berkelebat pikiran di benak, namun seketika hilang, saat tiba-tiba, Mas Wafi menyentuh jemari tanganku. Seakan ia mengerti jika istrinya ini tengah dilanda gemuruh hebat di dada. Kuangkat wajah, mencari pembenaran cinta pada sorot matanya. Ia menatapku pilu. Pasti perasaannya sama kacau dengan yang kurasakan saat ini.
'Katakan padaku Mas, aku harus bagaimana? Apakah aku harus membagi cintamu?'
***
Sepinya pengunjung di depan ruang operasi membuat suasana semakin mencekam. Sudah empat jam lebih Mbak Salsa di dalam ruangan itu, belum ada satu orangpun yang keluar untuk sekada memberitahu 'berapa lama lagi operasinya akan berlangsung'.
Mama yang paling terlihat cemas, sementara papa duduk di sampingnya sambil sesekali mengelus punggung sang istri. Aku duduk di hadapan mereka. Sambil menunggu Mas Wafi shalat dhuha, kudegungkan bacaan doa Al-Matsurat. Sebuah doa yang selalu kubaca di pagi dan sore hari, sambil mengharap agar Allah menyempurnakan nikmatnya padaku.
Lima belas menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Mama dan papa segera bangkit. Tampak Mas Azzam keluar dari ruangan sambil membuka masker yang menutupi wajah. Di tubuhnya, setelan hijau khas ruang operasi masih membalut.
Mas Azzam mendekati mama dan papa.
"Bagaimana, Dok, operasinya?" tanya papa dengan raut cemas.
Mas Azzam tak langsung menjawab, justru melirik ke arahku yang masih duduk di kursi tunggu. Kutundukkan kembali pandangan yang terlanjur basah tengah menatapnya.
"Maaf sudah menunggu lama. Operasinya sudah selesi Buk, Pak. Tapi Salsa belum sadarkan diri. Dia juga banyak kehilangan darah, jadi kemungkinan sesaat lagi akan langsung ditransfusi darah. Jika sudah melewati masa observasi, pasien akan didorong ke kamar."
"Astaghfirullah, Salsa Pa ...."
"Tenang Ma ...."
"Ibu jangan khawatir, Insya Allah sembilan puluh persen operasinya sudah berhasil. Tinggal kita serahkan yang sepuluh persennya lagi sama Allah ya, Buk. Permisi, saya tinggal sebentar," pamit Mas Azzam pada papa dan mama. Sebelum beranjak, dia kembali menoleh ke arahku. Kali ini aku tak lagi menunduk, kubalas senyumannya dengan anggukan kepala. Mewakili rasa terima kasih.
'Mbak Salsa ...,' lirihku pelan. Semoga dia baik-baik saja.
***
Sudah satu jam Mbak Salsa berada di kamar ini. Beliau masih tak sadarkan diri. Sekarang, mahkotanya telah tiada. Saat hendak operasi, tim medis telah mencukur semua rambut Mbak Salsa. Mama sengaja memakaikan khimar untuk menutupi, alih-alih takut jika nanti Mbak Salsa bangun dan terkejut melihat rambut indahnya kini sudah tiada lagi.
Kini, semua fungsi tubuh Mbak Salsa diambil alih oleh mesin. Untuk bernapas, beliau menggunakan respirator yang di tanam hingga ke beranda paru-paru. Jantung dan ginjalnya juga difungsikan dengan bantuan alat medis. Sungguh, jika melihat beliau sekarang. Rasanya air mata ini berderai tak tertahankan.
Sejenak aku merenungi nasib. Sembilan belas tahun aku hidup di dunia, berdiri dan berjalan sudah ada yang menggerakkan. Mata terpejam dan terbuka sudah ada yang mengatur, menarik dan membuang napas juga sudah ada yang koordinasi. Sungguh, sempurna ciptakan Allah. Lalu, jika beliau ingin mengambilnya kembali, apa yang bisa dilakukan manusia. Bantuan alat dari luar? Seberapa hebat? Hanya membantu mempertahankan jantungnya tetap berdetak? Apa bisa kita membangunkan seseorang dari koma, atau menghentikan ajal yang hendak menjemput?
'Nikmat mana lagi yang hendak kita dustakan?'
Allah, terima kasih untuk kesehatan yang telah Engkau limpahkan pada kami, jaga kesehatan mata kami, pendengaran kami, gerak kami, jaga waktu istrirahat kami, waktu Ibadah kami. Sesungguhnya kami ini hamba-Mu yang dzalim. Ampuni kami setiap saat ya Rabb.
***
Sudah lima hari Mbak Salsa koma. Selama lima hari ini, aku bergantian menjaga Mbak Salsa dengan mama. Jika ada yang bertanya apakah aku menyesal karena berbulan madu di rumah sakit.
Nggak!
Sedikitpun aku tak menyesal, karena sumber bahagiaku, Allah takdirkan selalu bersama. Ya, aku tak sendiri menjaga Mbak Salsa, ada Mas Wafi yang senantiasa menemani. Malah yang kurasa, hubungan kami kini semakin dekat.
Bulan madu tidak harus jalan-jalan, atau menghabiskan waktu siang malam demi memuaskan kebutuhan biologis. Bahkan duduk di antara banyaknya orang sakitpun bisa mendatangkan kenikmatan.
Kami mempergunakan setiap waktu untuk saling mengungkapkan perasaan. Saat duduk berdua, dia bertanya tentang apa-apa yang kusukai dan tidak kusukai. Akupun begitu. Tapi ada satu yang begitu sangat kutakuti, aku sangat takut kehilangan sosok bersahaja ini. Akankah selama ia jadi milikku seorang?
"Kangen ...."
Dia berbisik perlahan di telingaku saat aku tengah mengupas mangga untuknya. Seketika bulu kudukku berdiri roma. Ini bisikan siapa sih, hantu? Hihihi... Sudah lima hari Mas Wafi puasa. Biarin ah.
Kusodorkan belahan mangga ke mulutnya. "Ini obat kangen, Mas."
Dia menggeleng, "pulang, yok?"
Aku membelalakkan mata.
"Yok ...."
Dia memelas sambil mengelus lenganku. Persis seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim.
"Mbak Salsa sendirian Mas?"
"Mas sewa perawat khusus buat menjaga Mbak Salsa, ya?"
Aku mengerling, kucubit lengannya pelan. Dia merintih. Siang bolong ngomong-ngomong kangen. Dasar suami!
Benar seperti ungkapan Umar Bin Khatab, ra, 'seorang suami seharusnya bisa tampil di hadapan istri layaknya seorang bocah. Akan tetapi ketika sang istri membutuhkan, ia harus tampil layaknya seorang lelaki perkasa.
Mas Wafi, sekarang tengah menjadi bocah. Hihihi, tapi aku suka.
Tiba-tiba, mesin pendeteksi jantung Mbak Salsa, berbunyi tak normal. Ritme jantungnya bergerak cepat. Kami tersentak, Mas Wafi yang tadinya tengah bergelendot di pundakku mendadak berdiri.
"Salsa kenapa?" tanyanya bingung.
"Panggilkan dokter, Mas ...," jeritku setengah menangis.
Gegabah, Mas Wafi menekan telpon panggilan dan meminta perawat segera ke ruangan.
***
"Pasien koma itu, bisa bereaksi terhadap apapun. Tindakan yang kita berikan, akan ditanggapi dengan berbagai bentuk. Bisa gerakan, atau perubahan dari kerja tubuhnya yang dapat kita baca melalui mesin-mesin ini." Mas Azzam memberi penjelasan sambil menunjuk alat-alat yang terpasang pada tubuh Mbak Salsa.
"Reaksi yang sangat kita harapkan adalah kesadaran. Dan itu bisa kita lakukan dengan rangsangan."
"Rangsangan?"
"Iya Fi, antum bisa meminta istri antum atau siapa saja untuk menceritakan hal-hal indah yang pasien pernah alami selama hidupnya. Karena, hal itu dapat mendorong reaksi pada pasien koma."
Sesaat kami terdiam. Aku melirik Mas Wafi, mana pernah aku punya pengalaman indah bersama Mbak Salsa. Tapi kalau Mas Wafi sendiri, pasti mereka punya kisah indah berdua. Sepertinya, sesaat lagi, akan ada cobaan besar untukku.
"Siapa saja boleh 'kan Dok, melakukannya?" Mama bertanya dengan raut cemas.
"Tentu boleh, yang jelas ceritakan hal-hal menarik, yang indah-indah. Semua kisah boleh. Hal itupun dilakukan secara teratur. Setelahnya kita tinggal menunggu hasil, sambil berdoa."
Hening. Semua saling pandangan.
"Aduh, Wafi harus ke kampus dulu, Ma. Lupa, kalau hari ini ada jam mengajar. Zam, makasih banget ya. Aku pamit duluan."
Aneh, Mas Wafi kesambet apa, sih?
Kuantar lelaki itu ke luar ruangan.
"Kok nggak bilang-bilang Mas ada jam mengajar?" tanyaku padanya saat kami sudah di luar ruangan.
"Mas lupa, Sayang," jawabnya sambil mengelus kepalaku. Kuciumi tangan Mas wafi sebelum melepas kepergiannya.
"Apakah kamu menghindar Mas, karena tentu, kamu punya banyak kisah indah bersama Mbak Salsa. Jika memang benar kamu sengaja pergi untuk hal itu, terima kasih Mas. I Love you."
***
Aku baru saja selesai shalat ashar di Mushalla. Hari ini terasa berbeda, papa dan mama ikut menjaga Mbak Salsa, padahal hari ini jatahku dan Mas Wafi.
Kulangkahkan kaki menuruni tangga Mushalla, tapi nahas. Aku tersungkur ke bawah.
"Astaghfirullah!"
Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini? Melihatku terjatuh, seorang wanita yang hendak memasuki Mushalla, berusaha membantu.
"Hati-hati, Neng," katanya pelan. Aku mengangguk sembari tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Selanjutnya kulangkahkan kaki kembali mengitari koridor hingga sampai ke depan pintu rawatan. Kugerakkan tangan perlahan membuka gagang pintu, sedikit. Mendadak usahaku terhenti.
"Sebelum koma, Salsa punya satu permintaan yang terlanjur Mama setujui."
Deg!
Kututup kembali pintu rawatan, tapi menyisakan sedikit celah untukku bisa mendengar percakapan mereka.
"Permintaan apa, Ma?" Terdengar suara papa lirih.
"Salsa mau Wafi menikahinya."
'Astaghfirullah, Ma ....' Kukatup mulut mendengar penuturan yang baru saja terlintas dari mulut mama. Bibirku bergetar, serasa napas tertahan di tenggorokan. Aku tak sanggup mendengarkannya lagi.
Tapi, rasa ingin tahuku begitu besar. Apa pendapat papa? Jika papapun menyetujui, kupastikan pernikahan ini akan hancur. Aku tidak sanggup dimadu!
"Apa, Ma? Menikahi Salsa? Apa Mama udah nggak waras, Wafi baru saja menikah, masak disuruh nikah lagi, permintaan konyol!"
"Pa ... Salsa sangat mencintai Wafi, hanya Mama yang tahu, bagaimana hancur hatinya ketika Papa justru menikahkan Wafi dengan gadis lain. Tolong Papa setujui permintaan Mama ini, bukankah makruh saja boleh dilakukan manusia, Pa? Apalagi mereka yang tidak sedarah, Allah tidak mengharamkan jika keduanya ingin membina rumah tangga!"
"Papa sudah pernah membahas ini. Sekali Papa bilang tidak, tidak!"
Brukkk!
"Astaghfirullah, Bila!"
Aku terjatuh ke lantai saat Papa tiba-tiba menarik pintu.
"Kamu nggak papa?"
Aku bangkit dan merapikan gamisku. Kuseka bulir bening yang tiba-tiba berderai. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja, sedang masalah besar tengah menantiku menghampirinya.
"Nggak, Pa."
'Bohong, aku berbohong pada papa.'
"Bila? Kamu mendengar apa yang kami bicarakan tadi?" seru mama di balik pintu.
Kutarik napas dalam. "Bila dengar, Ma?"
Mama nampak menghela napas. Seperti menyesal jika ternyata aku sudah mendengarkannya. Kenapa harus dirahasiakan? Jika ini sebuah permintaan, bukankah aku harus mendengar?
"Maaf, Sayang. Mama hanya, tidak sanggup melihat Salsa terbujur kaku seumur hidupnya, Nak ...," ucapnya sambil terisak.
"Ma ...."
Kusentuh tangannya, tapi mama justru berlari kencang meninggalkanku.
"Papa susul Mama dulu, ya?"
Kini, papa pun pergi. Tinggal aku. Mereka meninggalkanku dengan beban seberat dunia dan langit. Adakah yang lebih berat dari keduanya?
Dari celah pintu yang terbuka, aku dapat melihat Mbak Salsa masih terbaring. Pucat. Berbagai alat terpasang di tubuhnya
"Inikah yang kamu mau Mbak?"
***
Bersambung lagi.. Maaf ya kebanyakan PHP..hihihi.. Jika waktu senggang, segera saya selesaikan part berikutnya..
-----
#Part 19 Permintaan Untuk di Madu
***
Pov bila
'Aku tahu akan seperti ini rasanya, tapi demi kamu Mbak, aku akan sedikit berkorban.'
***
Dari semalam Mbak Salsa terus menangis, saat tahu diagnose penyakit yang kini menimpanya. Bahkan dokter terpaksa menyuntikkan penenang, agar ia bisa tertidur. Karena esok adalah hari penting untuk pengobatannya.
Pagi ini pun sama, dia terus mengunci mulut. Mbak Salsa mengacuhkan pertanyaan semua orang, rasanya aku tak tega. Sementara aku tahu, di ruangan ini ada seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman. Suamiku. Namun, karena aku, lelaki itu pun begitu menjaga jarak.
Jika setelahnya aku harus merasakan cemburu, semua adalah salahku sendiri. Aku yang meminta Mas Wafi untuk menyapa Mbak Salsa. Lalu, doble perih harus kurasakan, saat tiba-tiba Mas Wafi mengambil selembar tissue lalu mengusap air mata di wajah Mbak Salsa.
Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa hanya aku wanita yang ia cintai. Agar rasa cemburu di dada segera sirna. Tapi, ya beginilah wanita. Sekuat apapun usahanya, tetap tak mampu jika harus melihat suaminya memberi perhatian pada wanita lain. Ah, egosinya aku.
Kutundukkan pandangan sambil memutar-mutar ujung khimar. Baru begini saja, aku sudah tak tahan lalu bagaimana jika pada akhirnya, seseorang memintaku mengikhlaskan suamiku, apakah aku akan menangis seumur hidup.
Berkelebat pikiran di benak, namun seketika hilang, saat tiba-tiba, Mas Wafi menyentuh jemari tanganku. Seakan ia mengerti jika istrinya ini tengah dilanda gemuruh hebat di dada. Kuangkat wajah, mencari pembenaran cinta pada sorot matanya. Ia menatapku pilu. Pasti perasaannya sama kacau dengan yang kurasakan saat ini.
'Katakan padaku Mas, aku harus bagaimana? Apakah aku harus membagi cintamu?'
***
Sepinya pengunjung di depan ruang operasi membuat suasana semakin mencekam. Sudah empat jam lebih Mbak Salsa di dalam ruangan itu, belum ada satu orangpun yang keluar untuk sekada memberitahu 'berapa lama lagi operasinya akan berlangsung'.
Mama yang paling terlihat cemas, sementara papa duduk di sampingnya sambil sesekali mengelus punggung sang istri. Aku duduk di hadapan mereka. Sambil menunggu Mas Wafi shalat dhuha, kudegungkan bacaan doa Al-Matsurat. Sebuah doa yang selalu kubaca di pagi dan sore hari, sambil mengharap agar Allah menyempurnakan nikmatnya padaku.
Lima belas menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Mama dan papa segera bangkit. Tampak Mas Azzam keluar dari ruangan sambil membuka masker yang menutupi wajah. Di tubuhnya, setelan hijau khas ruang operasi masih membalut.
Mas Azzam mendekati mama dan papa.
"Bagaimana, Dok, operasinya?" tanya papa dengan raut cemas.
Mas Azzam tak langsung menjawab, justru melirik ke arahku yang masih duduk di kursi tunggu. Kutundukkan kembali pandangan yang terlanjur basah tengah menatapnya.
"Maaf sudah menunggu lama. Operasinya sudah selesi Buk, Pak. Tapi Salsa belum sadarkan diri. Dia juga banyak kehilangan darah, jadi kemungkinan sesaat lagi akan langsung ditransfusi darah. Jika sudah melewati masa observasi, pasien akan didorong ke kamar."
"Astaghfirullah, Salsa Pa ...."
"Tenang Ma ...."
"Ibu jangan khawatir, Insya Allah sembilan puluh persen operasinya sudah berhasil. Tinggal kita serahkan yang sepuluh persennya lagi sama Allah ya, Buk. Permisi, saya tinggal sebentar," pamit Mas Azzam pada papa dan mama. Sebelum beranjak, dia kembali menoleh ke arahku. Kali ini aku tak lagi menunduk, kubalas senyumannya dengan anggukan kepala. Mewakili rasa terima kasih.
'Mbak Salsa ...,' lirihku pelan. Semoga dia baik-baik saja.
***
Sudah satu jam Mbak Salsa berada di kamar ini. Beliau masih tak sadarkan diri. Sekarang, mahkotanya telah tiada. Saat hendak operasi, tim medis telah mencukur semua rambut Mbak Salsa. Mama sengaja memakaikan khimar untuk menutupi, alih-alih takut jika nanti Mbak Salsa bangun dan terkejut melihat rambut indahnya kini sudah tiada lagi.
Kini, semua fungsi tubuh Mbak Salsa diambil alih oleh mesin. Untuk bernapas, beliau menggunakan respirator yang di tanam hingga ke beranda paru-paru. Jantung dan ginjalnya juga difungsikan dengan bantuan alat medis. Sungguh, jika melihat beliau sekarang. Rasanya air mata ini berderai tak tertahankan.
Sejenak aku merenungi nasib. Sembilan belas tahun aku hidup di dunia, berdiri dan berjalan sudah ada yang menggerakkan. Mata terpejam dan terbuka sudah ada yang mengatur, menarik dan membuang napas juga sudah ada yang koordinasi. Sungguh, sempurna ciptakan Allah. Lalu, jika beliau ingin mengambilnya kembali, apa yang bisa dilakukan manusia. Bantuan alat dari luar? Seberapa hebat? Hanya membantu mempertahankan jantungnya tetap berdetak? Apa bisa kita membangunkan seseorang dari koma, atau menghentikan ajal yang hendak menjemput?
'Nikmat mana lagi yang hendak kita dustakan?'
Allah, terima kasih untuk kesehatan yang telah Engkau limpahkan pada kami, jaga kesehatan mata kami, pendengaran kami, gerak kami, jaga waktu istrirahat kami, waktu Ibadah kami. Sesungguhnya kami ini hamba-Mu yang dzalim. Ampuni kami setiap saat ya Rabb.
***
Sudah lima hari Mbak Salsa koma. Selama lima hari ini, aku bergantian menjaga Mbak Salsa dengan mama. Jika ada yang bertanya apakah aku menyesal karena berbulan madu di rumah sakit.
Nggak!
Sedikitpun aku tak menyesal, karena sumber bahagiaku, Allah takdirkan selalu bersama. Ya, aku tak sendiri menjaga Mbak Salsa, ada Mas Wafi yang senantiasa menemani. Malah yang kurasa, hubungan kami kini semakin dekat.
Bulan madu tidak harus jalan-jalan, atau menghabiskan waktu siang malam demi memuaskan kebutuhan biologis. Bahkan duduk di antara banyaknya orang sakitpun bisa mendatangkan kenikmatan.
Kami mempergunakan setiap waktu untuk saling mengungkapkan perasaan. Saat duduk berdua, dia bertanya tentang apa-apa yang kusukai dan tidak kusukai. Akupun begitu. Tapi ada satu yang begitu sangat kutakuti, aku sangat takut kehilangan sosok bersahaja ini. Akankah selama ia jadi milikku seorang?
"Kangen ...."
Dia berbisik perlahan di telingaku saat aku tengah mengupas mangga untuknya. Seketika bulu kudukku berdiri roma. Ini bisikan siapa sih, hantu? Hihihi... Sudah lima hari Mas Wafi puasa. Biarin ah.
Kusodorkan belahan mangga ke mulutnya. "Ini obat kangen, Mas."
Dia menggeleng, "pulang, yok?"
Aku membelalakkan mata.
"Yok ...."
Dia memelas sambil mengelus lenganku. Persis seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim.
"Mbak Salsa sendirian Mas?"
"Mas sewa perawat khusus buat menjaga Mbak Salsa, ya?"
Aku mengerling, kucubit lengannya pelan. Dia merintih. Siang bolong ngomong-ngomong kangen. Dasar suami!
Benar seperti ungkapan Umar Bin Khatab, ra, 'seorang suami seharusnya bisa tampil di hadapan istri layaknya seorang bocah. Akan tetapi ketika sang istri membutuhkan, ia harus tampil layaknya seorang lelaki perkasa.
Mas Wafi, sekarang tengah menjadi bocah. Hihihi, tapi aku suka.
Tiba-tiba, mesin pendeteksi jantung Mbak Salsa, berbunyi tak normal. Ritme jantungnya bergerak cepat. Kami tersentak, Mas Wafi yang tadinya tengah bergelendot di pundakku mendadak berdiri.
"Salsa kenapa?" tanyanya bingung.
"Panggilkan dokter, Mas ...," jeritku setengah menangis.
Gegabah, Mas Wafi menekan telpon panggilan dan meminta perawat segera ke ruangan.
***
"Pasien koma itu, bisa bereaksi terhadap apapun. Tindakan yang kita berikan, akan ditanggapi dengan berbagai bentuk. Bisa gerakan, atau perubahan dari kerja tubuhnya yang dapat kita baca melalui mesin-mesin ini." Mas Azzam memberi penjelasan sambil menunjuk alat-alat yang terpasang pada tubuh Mbak Salsa.
"Reaksi yang sangat kita harapkan adalah kesadaran. Dan itu bisa kita lakukan dengan rangsangan."
"Rangsangan?"
"Iya Fi, antum bisa meminta istri antum atau siapa saja untuk menceritakan hal-hal indah yang pasien pernah alami selama hidupnya. Karena, hal itu dapat mendorong reaksi pada pasien koma."
Sesaat kami terdiam. Aku melirik Mas Wafi, mana pernah aku punya pengalaman indah bersama Mbak Salsa. Tapi kalau Mas Wafi sendiri, pasti mereka punya kisah indah berdua. Sepertinya, sesaat lagi, akan ada cobaan besar untukku.
"Siapa saja boleh 'kan Dok, melakukannya?" Mama bertanya dengan raut cemas.
"Tentu boleh, yang jelas ceritakan hal-hal menarik, yang indah-indah. Semua kisah boleh. Hal itupun dilakukan secara teratur. Setelahnya kita tinggal menunggu hasil, sambil berdoa."
Hening. Semua saling pandangan.
"Aduh, Wafi harus ke kampus dulu, Ma. Lupa, kalau hari ini ada jam mengajar. Zam, makasih banget ya. Aku pamit duluan."
Aneh, Mas Wafi kesambet apa, sih?
Kuantar lelaki itu ke luar ruangan.
"Kok nggak bilang-bilang Mas ada jam mengajar?" tanyaku padanya saat kami sudah di luar ruangan.
"Mas lupa, Sayang," jawabnya sambil mengelus kepalaku. Kuciumi tangan Mas wafi sebelum melepas kepergiannya.
"Apakah kamu menghindar Mas, karena tentu, kamu punya banyak kisah indah bersama Mbak Salsa. Jika memang benar kamu sengaja pergi untuk hal itu, terima kasih Mas. I Love you."
***
Aku baru saja selesai shalat ashar di Mushalla. Hari ini terasa berbeda, papa dan mama ikut menjaga Mbak Salsa, padahal hari ini jatahku dan Mas Wafi.
Kulangkahkan kaki menuruni tangga Mushalla, tapi nahas. Aku tersungkur ke bawah.
"Astaghfirullah!"
Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini? Melihatku terjatuh, seorang wanita yang hendak memasuki Mushalla, berusaha membantu.
"Hati-hati, Neng," katanya pelan. Aku mengangguk sembari tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Selanjutnya kulangkahkan kaki kembali mengitari koridor hingga sampai ke depan pintu rawatan. Kugerakkan tangan perlahan membuka gagang pintu, sedikit. Mendadak usahaku terhenti.
"Sebelum koma, Salsa punya satu permintaan yang terlanjur Mama setujui."
Deg!
Kututup kembali pintu rawatan, tapi menyisakan sedikit celah untukku bisa mendengar percakapan mereka.
"Permintaan apa, Ma?" Terdengar suara papa lirih.
"Salsa mau Wafi menikahinya."
'Astaghfirullah, Ma ....' Kukatup mulut mendengar penuturan yang baru saja terlintas dari mulut mama. Bibirku bergetar, serasa napas tertahan di tenggorokan. Aku tak sanggup mendengarkannya lagi.
Tapi, rasa ingin tahuku begitu besar. Apa pendapat papa? Jika papapun menyetujui, kupastikan pernikahan ini akan hancur. Aku tidak sanggup dimadu!
"Apa, Ma? Menikahi Salsa? Apa Mama udah nggak waras, Wafi baru saja menikah, masak disuruh nikah lagi, permintaan konyol!"
"Pa ... Salsa sangat mencintai Wafi, hanya Mama yang tahu, bagaimana hancur hatinya ketika Papa justru menikahkan Wafi dengan gadis lain. Tolong Papa setujui permintaan Mama ini, bukankah makruh saja boleh dilakukan manusia, Pa? Apalagi mereka yang tidak sedarah, Allah tidak mengharamkan jika keduanya ingin membina rumah tangga!"
"Papa sudah pernah membahas ini. Sekali Papa bilang tidak, tidak!"
Brukkk!
"Astaghfirullah, Bila!"
Aku terjatuh ke lantai saat Papa tiba-tiba menarik pintu.
"Kamu nggak papa?"
Aku bangkit dan merapikan gamisku. Kuseka bulir bening yang tiba-tiba berderai. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja, sedang masalah besar tengah menantiku menghampirinya.
"Nggak, Pa."
'Bohong, aku berbohong pada papa.'
"Bila? Kamu mendengar apa yang kami bicarakan tadi?" seru mama di balik pintu.
Kutarik napas dalam. "Bila dengar, Ma?"
Mama nampak menghela napas. Seperti menyesal jika ternyata aku sudah mendengarkannya. Kenapa harus dirahasiakan? Jika ini sebuah permintaan, bukankah aku harus mendengar?
"Maaf, Sayang. Mama hanya, tidak sanggup melihat Salsa terbujur kaku seumur hidupnya, Nak ...," ucapnya sambil terisak.
"Ma ...."
Kusentuh tangannya, tapi mama justru berlari kencang meninggalkanku.
"Papa susul Mama dulu, ya?"
Kini, papa pun pergi. Tinggal aku. Mereka meninggalkanku dengan beban seberat dunia dan langit. Adakah yang lebih berat dari keduanya?
Dari celah pintu yang terbuka, aku dapat melihat Mbak Salsa masih terbaring. Pucat. Berbagai alat terpasang di tubuhnya
"Inikah yang kamu mau Mbak?"
***
Bersambung lagi.. Maaf ya kebanyakan PHP..hihihi.. Jika waktu senggang, segera saya selesaikan part berikutnya..
-----
#Istri_Pilihan
#Part20. Hanya Kamu Istriku
POV WAFI
"Poligami itu sunnah, jika kehadirannya membawa ketenangan. Namun berubah haram jika saling menyakiti dan melukai. Mbak Salsa pasti akan sadar, karena hidup mati seseorang sudah Allah tetaplah jauh sebelum kita dilahirkan. Jika satu wanita saja sudah membuat kami para lelaki bahagia, buat apa ada wanita lain yang hanya mempersulit kami menggapai syurga?"
Awafi.
***
Bulatin mentari berwarna kuning bercampur semburat jingga tampak di ufuk barat. Senja kembali datang. Sudah tujuh senja kulewati dengan status baru melekat pada diri ini.
Suami!
Rasanya tak sabar pulang dari tempat kerja, karena kutahu sekarang kepulanganku sudah ada yang menanti. Sebenarnya hari ini tidak ada jam kerja, tapi entah kenapa tadi aku terpaksa berbohong di hadapan semua orang. Mungkin Bila menjadi alasannya.
Kusempatkan diri mampir di sebuah toko bunga, membeli sebuket tulip merah lalu mampir di swalayan membeli coklat. Ini adalah hadiah pertamaku untuk Bila.
Sampai di rumah sakit, tepat saat azan magrib berkumandang. Kugerakkan langkah ke Mesjid terlebih dahulu, baru setelahnya menjemput istri tercinta.
Kubuka pintu rawatan perlahan, Bila tampak duduk sambil membaca sebuah mushaf kecil.
"Assalamualaikum."
Bila menoleh dan bangkit mendekatiku.
"Waalaikum salam. Mas, sudah pulang? Udah shalat magrib, Mas?" tanyanya sambil meletakkan punggung tanganku di kepalanya yang terbungkus mukena.
"Sudah tadi di Mesjid. Mama sama Papa kemana? Malam ini jatah mereka 'kan?"
"Tadi ke Mushalla barengan, Mas."
"Yaudah kita tunggu sebentar, ya."
Bila mengangguk, memberiku segelas air mineral lalu meminta ijin kembali melanjutkan mengaji. Tak berapa lama, papa dan mama kembali. Aku langsung mengajak Bila berpamitan pada mereka. Tak sabar pengen nyerahin bunga dan cokelat, gimana ya reaksinya?
***
Seperti biasa, kami sampai di rumah setelah pelaksanaan shalat isya di Mesjid. Tidak ada yang berbeda, kecuali satu, tadi papa sempat memanggil Bila dan berbicara empat mata. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan, bikin penasaran.
Setelah shalat berjamaah, kami menyantap makan malam bersama. Tiba-tiba perutku mules luar biasa. Ah, merusak suasana romantis. Kutinggalkan Bila yang masih sibuk membereskan meja makan. Bunga dan coklat juga pasti sudah lelah menungguku menyerahkannya. Huh!
Mungkin sekitar lima belas menit aku berada di kamar mandi. Segera aku bergegas keluar, kasihan jika Bila menungguku terlalu lama.
Setelah membuka pintu, ternyata ... Bila sudah tertidur. Gagal deh acara penyerahan bunga!
Kudekati tubuhnya yang terbaring kaku.
'Kasihan sekali istri sholehahku ini, pasti lelah karena seharian di rumah sakit. Harusnya coklat dan bunga bisa memulihkan lelahnga, tapi, dia terlalu cepat tidur ...."
Kukecup kening Bila perlahan, lalu merebahkan tubuh di sisinya. Ingin memeluk tubuh bak biola itu, tapi takut ia terbangun. Akhirnya, kubalikkan tubuh ke sisi yang berbeda. Kalau sudah begini, tidak ada lain yang kurasa, kecuali ... rindu.
Tepat pukul lima subuh aku terbangun, kulihat ke samping, tempat tidur Bila sudah kosong. Pasti dia tengah memasak.
Kugerakkan tubuh keluar kamar, ternyata benar Bila ada di dapur bersana Bik Nem. Aroma nangka muda bercampur daun salam menguar hingga ke tempatku berdiri. Ah, jadi kepingin sarapan bersamanya.
***
"Alhamdulillah, enak ...," pujiku pada Bila setelah menghabiskan sepiring nasi gudeg.
Dia tersenyum, tapi tak banyak bicara. Saat tadi shalat subuh berjamaah pun, dia kebanyakan diam. Apakah tidur semalaman nggak membuat lelahnya hilang. Kami kembali ke kamar.
Bila mengambil kemeja kerjaku di lemari, lalu membantu memakainya. Sekarang aku kelihatan seperti anak kecil. Dia mengancingi satu persatu anak kancing, tapi matanya hanya fokus pada dadaku. Tanpa menoleh, sedang biasa dia selalu menantang pandang. Sebenarnya dia kenapa?
Kuletakkan minyak rambut ke tangannya. Lalu dia mengusap pelan di kepalaku, masih tak berbicara. Ah, kenapa dia terus diam?
Tak tahan dengan sikapnya, pergelangan tangan Bila yang tengah sibuk menyusuri rambutku kini ada dalam genggaman.
Dia menoleh.
"Kenapa daritadi diam terus?" tanyaku sambil menatap matanya. Dia bergeming.
"Kamu masih lelah?" tanyaku lagi.
Dia menggeleng, lalu kembali menunduk.
"Lalu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan sama, Mas."
"Iya, Mas." Bila kini mengangkat wajahnya.
"Kamu mau ngomong apa sih, ayuk ngomong aja ...."
Sejenak dia kembali bergeming.
"Lho kok diam lagi? "
"Tapi Mas janji ya, bakalan menurutinya?"
'Menuruti? Emang dia mau nanya apa coba?'
Kini giliranku yang terdiam. Entah kenapa tiba-tiba perasaanku terasa nggak enak.
"Katakan dulu, nanti Mas pertimbangkan," jawabku tak ingin mengumbar janji padanya.
"Nggak, Mas. Mas kudu janji dulu bakalan nuruti, baru nanti Bila sampaikan!"
Uh, istriku ini ngeyel benar. Jika tak kupikirkan pagi ini ada jam mengajar, sudah kulepas kembali kemeja yang ia pakaikan.
"Iya, Mas nuruti jika permintaannya nggak macam-macam. Ayo sekarang bilang?" desakku padanya.
Bila terlihat menarik napas sejenak. "Mas ... Bila minta, Mas Wafi menikahi Mbak Salsa!"
Mataku membelalak seketika. "Menikah? Kok? Astaghfirullah Bila ... Kamu nggak lagi bercanda 'kan?"
Dia menelan saliva. "Bila serius, Mas. Siapa tahu, jika Mas menikahinya, Mbak Salsa bisa sadarkan diri."
Kepencet ujung hidungnya, dia meringis.
"Emang kamu mau dimadu? Nanti kalau Mas lebih peduli sama Salsa gimana, 'kan Salsa sedang sakit? Apa kamu nggak cemburu?" godaku padanya. Sejujurnya, mana mungkin aku menuruti permintaan konyol itu, baru menikah udah disuruh poligami.
"Insya Allah Bila siap, Mas," jawabnya membuat mataku semakin membulat. Aku tercengang.
"Benar kamu nggak cemburu?"
"Ngapunten, Insya Allah nggak Mas."
Kusentuh kedua pipinya dengan telapak tangan, lalu mengarahkan wajahnya yang tetunduk untuk menatapku. "Benar nggak cemburu?" ulangku.
Mataku dan matanya bersiborok. Kutegaskan pandangan, ia harus mempertanggung jawabkan ucapannya barusan.
Tapi, bibir Bila bergetar. Genangan air mulai memenuhi pelupuk mata. Dia menangis.
'Ya Allah ....'
Kubenamkan wajahnya dalam dadaku.
"Sayang, kita hidup di dunia nyata, bukan di film. Kamu pasti kebanyakan baca komentar netizen ini. Kita tak perlu mencetak kisah yang sama dengan kisah di film Ayat-Ayat Cinta, kita punya kisah sendiri, yang akan dicatat dalam novel Mak Wahyuni. Hihihi .... "
Dia terisak.
'Astaghfirullah, aku salah bicara.'
"Tapi dokter membenarkan, Mas. Pasien koma bisa sadar jika diberikan rangsangan kebahagiaan?"
"Lalu menurut kamu, cuma Mas sumber kebahagian Salsa?"
Dia mengangguk, aku menghela napas.
"Kamu percaya sama Allah 'kan?"
Bila semakin terisak, kueratkan pelukan.
"Tapi ini ikhtiar, Mas."
"Ikhtiar bisa dengan banyak cara, kalau poligami, Mas nggak mampu. Ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan dalam poligami, yaitu keadilan. Dan Mas takut, jika tak mampu berlaku adil nantinya."
"Tapi Bila nggak akan menuntut Mas dihari akhir, jika ternyata Mas lebih condong pada Mbak Salsa?"
Kurenggangkan pelukan, istriku ini sudah terlalu banyak bicara. Akan kubuat mulutnya diam.
.........??*+@!=*'"::"#$@+*,.......
Bibirnya bergetar, ia menahan tangis. Kecupan di bibir yang kuberikan sepertinya sedang tak ia inginkan. Apakah harus kulakukan yang lebih dari itu?
Baiklah, kita coba!
Kuangkat tubuhnya ke atas ranjang. Dia memejamkan mata sambil merangkul pundakku. Alhamdulillah, apanyangvaku lakukan, dia tak menolak.
Fix, jika ada yang mencariku, hari ini aku nggak masuk kerja. 😝
***
Setelah shalat dhuhur, pihak kampus menghubungiku. Ada rapat penting yang harus dihadiri oleh seluruh dosen. Dengan berat kutinggalkan lagi istri tercinta ini yang masih dalam tahap galau tingkat tinggi. Sebenarnya aku takut jika dia ke rumah sakit, lalu kembali bertemu Salsa. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir dia akan menuntutku menikahi Salsa seperti yang sudah dia lakukan tadi.
Wanita ... wanita, pikirannya pendek sekali. Itu kenapa kita dan pasangan diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Memiliki dua karakter berbeda yang khas. Jika wanita cenderung mengendepankan perasaan saat menghadapi persoalan. Maka pria memiliki kecenderungan memainkan logika.
Mungkin Bila hanya berpikir setelah aku menikahi Salsa, dia akan sadar. Lalu permasalahan selesai. Padahal justru, ini adalah awal permasalahan. Seberapa adil sih seorang manusia itu, bahkan Allah saja sudah menyebutkan dalam Firman-Nya Quran surat An Nisa ayat 129 : "Dan sekali-kali kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dan aku tidak mau menjadi seseorang yang dibangkitkan di Padang Mahsyar nanti dalam keadaan miring sebelah, hanya karena tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istriku. Astaghfirullah, sampai kapanpun, aku hanya akan menjadi suami untuk Bila seorang.
***
Kini, kami sudah berada kembali di rumah sakit. Kulepas kepergiannya dengan mengucapkan sebuah nasihat, "Sayang, poligami itu sunnah, jika kehadirannya membawa ketenangan. Namun berubah haram jika saling menyakiti dan melukai. Mbak Salsa pasti akan sadar, karena hidup mati seseorang sudah Allah tetaplah jauh sebelum kita dilahirkan. Jika satu wanita saja sudah membuat kami para lelaki bahagia, buat apa ada wanita lain yang hanya mempersulit kami menggapai syurga?"
Bila tergugu. Kukecup kening wanita itu. Semoga kata-kataku akan melekat di hati dan tertanam kuat ke dalam pola pikirnya.
Bonus,
Pov Bila.
Mas Wafi kembali ke rumah sakit sesaat setelah aku melaksanakan shalat magrib. Kusambut kedatangannya, menciumi telapak tangan lalu mengangkat segelas air mineral untuk ia minum sebagai pelepas dahaga.
Melihat Mas Wafi, rasanya aku ingin menangis kembali. Padahal tadi pagi, air mata ini telah kubiarkan berderai layaknya hujan yang membasahi bumi. Seolah belum cukup, kini langit terlihat kembali mendung, akankah hujan kembali turun?
'Mas, dari mana aku harus memulainya, agar engkau tau masalah ini? Aku tak mampu memendamnya seorang diri ....'
Kutarik napas dalam-dalam sambil mentartilkan bacaan Quran dengan suara yang sangat lirih. Tak berapa lama, mama dan papa kembali dari shalat magrib berjamaah. Mas Wafi segera meminta ijin pamit pulang.
Mama dan papa kembali bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa tadi pagi. Sementara aku, aku memang duduk tenang, tapi peperangan hebat tengah terjadi di dalam hati. Bahkan jika diumpamakan, lebih hebat dari perang badar yang dimenangkan oleh ummat Muslim.
Kuikuti langkah Mas Wafi meninggalkan ruangan. Namun, papa memanggilku kembali ke ruangan, hanya aku. Sementara Mas Wafi menunggu di luar.
"Papa sama Mama minta maaf soal tadi pagi. Papa harap kamu tidak menganggapnya serius."
Aku menoleh melihat mama yang juga menatap ke arahku. Saat pandangan kami bertemu, mama segera menunduk.
"Jangan sampaikan apapun pada Wafi. Papa tidak ingin pernikahan kalian goyah hanya karena keinginan Mamamu yang konyol itu. Ingatlah, Salsa akan tetap sadar, sekalipun tanpa Wafi. Karena yang mengendalikan semuanya adalah Allah."
Bibirku bergetar menahan tangis. Begitu mulianya hati lelaki yang kini sudah menjadi papa mertuaku itu.
'Tapi Pa, sesuatu yang sudah terlanjur kuketahui, tidak mudah terhapus tanpa ada jalan penyelesaiannya. Maaf jika nanti aku melanggar permintaanmu.'
Kami sampai di rumah selepas shalat isya berjamaah di mesjid. Mas Wafi mengimami shalatku. Lalu kami beranjak untuk menikmati makan malam.
Sedari tadi aku hanya diam, bahkan saat Mas Wafi mengirimkan pesan rindunya dengan menggenggam tanganku, aku hanya tersenyum tanpa berkata-kata.
Rasanya mulut ini seperti ada yang mengunci. Dan kunci untuk membukanya hanya ada satu. Jujur perihal tadi pagi.
Aku mulai hendak membuka mulut, saat kami selesai menyantap makanan, tapi mendadak Mas Wafi minta ijin ke kamar mandi.
Astaghfirullah, sebaiknya aku bagaimana?
Setelah membereskan meja makan, kulangkahkan kaki ke kamar. Hampir lima belas menit aku menunggunya. Saat pintu kamar mandi terbuka, reflek tubuhku rebah di atas ranjang.
Kututup mata erat-erat. Sepertinya aku belum siap untuk jujur.
Kudengar langkah Mas Wafi mendekati ranjang. Tak lama, sebuah kecupan mendarat di keningku. Kecupan yang begitu menenangkan. Akankah aku ikhlas membaginya dengan wanita lain?
Bibirku hendak bergetar, sekuat tenaga kutahan agar tak mengecohkannya. Mas Wafi kini ikut merebahkan diri di sampingku. Entah seperti apa posisinya. Aku tak berani berbalik. Tak lama dengkuran kecil terdengar. Suamiku telah terlelap. Tinggalkan aku di sini, kembali meratapi nasib yang terjadi.
Air mata jatuh bertetes membasahi bantal. Kudekap erat wajah dengan guling. Tak ingin tangisannya membangunkannya. Lelakiku.
***
Tepat pukul setengah lima subuh, aku terbangun. Aku sengaja memasak masakan favorit Mas Wafi. Pagi ini aku akan jujur. Tapi sebelum kejujuran itu kulakukan, Mas Wafi harus bahagia. Supaya apa yang kusampaikan nanti ditanggapinya dengan perasan bahagia pula.
"Alhamdulillah, enak ...," pujinya padaku setelah menghabiskan sepiring nasi gudeg. Aku menanggapinya dengan senyuman, tanpa banyak bicara. Seolah apa yang ingin kubicarakan tertahan. Mungkin karena kejujuran itu belum kutunaikan.
Kami kembali ke kamar. Aku bergegas mengambilkan kemejanya di dalam lemari. Saat kubuka lemari, nampak di mataku buket bunga lili merah, di bawahnya ada sebuah coklat tob*****. Mas Wafi meletakkannya di deretan baju paling atas. Kuraih bunga itu, ada secarik kertas bertuliskan 'I Love You Istriku'.
Dadaku terasa begitu perih. Tubuhku tiba-tiba menghangat, inikah yang ingin dia berikan padaku? Mungkin tadi malam, tapi aku justru ...
Kugigit bibir perlahan, sambil menarik napas dalam-dalam. Aku tak boleh goyah!
Kudekati Mas Wafi yang berdiri didepan meja rias. Kubuka kemeja di tangan lalu memakaikan padanya.
Satu persatu kupasangkan anak kancing. Mataku tak beralih, terus menatap dada kokohnya. Mungkin saja hari ini menjadi hari terakhirku mengakui, bahwa dada ini adalah milikku seorang.
'Astaghfirullah, aku terlalu mencintainya. Inikah ya Allah yang menjadi alasan Engkau mencoba ku dengan cobaan terberat ini?'
"Latahinnu Wala Tahzannu, Innallaha Maana. Jangan sedih Wahai hamba-Ku, karena Aku lebih banyak stok kebaikan dari pada apa yang kamu harapkan. Belum tentu apa yang kamu anggap baik, itu baik buatmu. Kenapa dia yang kamu inginkan pergi darimu, karena Aku (Allah) cemburu padamu."
'Ya Allah, jika cintaku padanya telah membuatmu cemburu, maka aku ikhlas membaginya dengan yang lain ....'
Mas Wafi meletakkan minyak rambut ke tanganku. Lalu kuusap pelan di kepalanya.
Tiba-tiba, mas Wafi menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat. Aku menoleh. Tatapannya begitu tegas. Aku bisa membaca ia pasti ia tak suka dengan sikap acuhku sedaritadi.
"Kenapa daritadi diam terus?" tanyanya sambil terus menatapku, "kamu masih lelah?"
Aku menggeleng, lalu kembali menunduk. Tak mampu berbicara walau sepatah katapun.
"Lalu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan sama, Mas," tanyanya lagi.
Kukumpulkan segenap keberanian.
"Iya, Mas," ucapku sedikit tertahan
"Kamu mau ngomong apa sih, ayuk ngomong aja ...."
Sejenak aku kembali bergeming.
"Lho kok diam lagi? "
"Tapi Mas janji ya, bakalan menurutinya?" pintaku memelas.
Kini giliran Mas Wafi yang terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Katakan dulu, nanti Mas pertimbangkan," jawabnya kemudian.
Aku bersikeras.
"Nggak, Mas. Mas kudu janji dulu bakalan nuruti, baru nanti Bila sampaikan!"
'Ya Allah, aku pasti sudah jadi istri durhaka. Maafkan Bila Mas.'
"Iya, Mas nuruti jika permintaannya nggak macam-macam. Ayo sekarang bilang?" desaknya padaku.
Kutarik napas sejenak. "Mas ... Bila minta, Mas Wafi menikahi Mbak Salsa!"
Mata Mas Wafi membelalak seketika.
"Menikah? Kok? Astaghfirullah Bila ... Kamu nggak lagi bercanda 'kan?"
'Bercanda, mana mungkin aku bercanda untuk masalah serius begini, Mas?'
Kutanggapi pertanyaan Mas Wafi. "Bila serius, Mas. Siapa tahu, jika Mas menikahinya, Mbak Salsa bisa sadarkan diri."
Dia memencet ujung hidungku, sakit.
"Emang kamu mau dimadu? Nanti kalau Mas lebih peduli sama Salsa gimana, 'kan Salsa sedang sakit? Apa kamu nggak akan cemburu?"
Hatiku remuk mendengarnya, padahal tadi aku sudah berjanji untuk ikhlas. Astaghfirullah ya Allah, bimbinglah langkah rapuh ini.
"Insya Allah Bila siap, Mas," jawabku lirih.
"Benar kamu nggak cemburu?" ulangnya kembali.
"Ngapunten, Insya Allah nggak Mas."
Aku tersentak, saat Mas Wafi memegang kedua pipinku dengan telapak tangan, lalu mengarahkan wajahku yang tetunduk untuk menatapnya. "Benar nggak cemburu?" Dia kembali mengulang dengan tegas.
Mata kami saling bersitatap. Aku tak mampu menatap bola jernih itu, rasanya ingin menangis kuat. Kutahan sekuat tenaga, tak ingin Mas Wafi tahu aku serapuh ini.
Tapi, Mas Wafi justru membenamkan wajahku dalam dadanya. Luruhlah air mataku. Sungguh, tak dapat lagi tertahankan.
"Sayang, kita hidup di dunia nyata, bukan di film. Kamu pasti kebanyakan baca komentar netizen ini. Kita tak perlu mencetak kisah yang sama dengan kisah di film Ayat-Ayat Cinta, kita punya kisah sendiri, yang akan dicatat dalam novel Mak Wahyuni. Hihihi .... "
Diantara isakan, kucoba menjawab ucapannya.
"Tapi dokter membenarkan, Mas. Pasien koma bisa sadar jika diberikan rangsangan kebahagiaan?"
"Lalu menurut kamu, cuma Mas sumber kebahagian Salsa?"
Aku terhenyak, benarkah mas engkau sangat menolak keinginanku ini?
"Kamu percaya sama Allah 'kan?"
Pertanyaannya itu, ya Allah ... apa aku salah ya Tuhanku?
"Tapi ini ikhtiar, Mas."
"Ikhtiar bisa dengan banyak cara Sayang, kalau poligami, Mas nggak mampu. Ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan dalam poligami, yaitu keadilan. Dan Mas takut, jika tak mampu berlaku adil nantinya."
"Tapi Bila nggak akan menuntut Mas dihari akhir, jika ternyata Mas lebih condong pada Mbak Salsa?"
Mendengar ucapanku, Mas Wafi merenggangkan pelukan. Aku sedikit ketakutan. Mungkinkah Mas Wafi marah?
Tapi ... Mataku membulat, napasku berhenti. Dia membungkam mulutku dengan bibirnya. Kututup rapat bibirku, menolak kecupannya. Namun, Mas Wafi justru megangkat tubuhku ke atas ranjang.
Pertemuan kedua, aku tak bisa menolak. Karena rindukupun sudah seluas samudera.
***
Setelah shalat dhuhur, Mas Wafi mendapat telpon penting dari pihak kampus. Akhirnya, disinilah aku saat ini. Di rumah sakit.
Mas Wafi mengantarku hingga di lantai tiga. Lalu kupandang kepergiannya. Ada rasa lega dan bahagia yang memenuhi dada, setelah sekian lama beban ini kependam seorang diri, kini seakan terangkat bagai panah yang melesat cepat dari busurnya. Kulangkahkan kaki yang terasa amat ringan.
"Mas Wafi ...." Kupanggil namanya lirih. Rasa cinta dan rinduku padanya semakin bertambah. Alhamdulillah, mencintai pasangan halal adalah ibadah. Setelah kebersamaan kami tadi, perlahan keinginanku untuk menolong mbak salsa mulai pudar.
Tiba-tiba, mataku bergerak cepat, diikuti jantung yang sontak berdenyut hebat. Beberapa perawat dan dokter berlarian ke ruangan Mbak Salsa.
Astaghfirullah, aku ikut mempercepat langkah.
'Ada apa dengan Mbak Salsa?'
Kubuka pintu. Mama dan papa berdiri di sudut kiri, Mbak Salsa?
Dokter memasang alat kejut jantung di tubuh Mbak Salsa.
Mataku beralih pada layar untuk memonitor denyut jantung mbak Salsa. Kenapa garisnya flat?
***
bersambung
#Part20. Hanya Kamu Istriku
POV WAFI
"Poligami itu sunnah, jika kehadirannya membawa ketenangan. Namun berubah haram jika saling menyakiti dan melukai. Mbak Salsa pasti akan sadar, karena hidup mati seseorang sudah Allah tetaplah jauh sebelum kita dilahirkan. Jika satu wanita saja sudah membuat kami para lelaki bahagia, buat apa ada wanita lain yang hanya mempersulit kami menggapai syurga?"
Awafi.
***
Bulatin mentari berwarna kuning bercampur semburat jingga tampak di ufuk barat. Senja kembali datang. Sudah tujuh senja kulewati dengan status baru melekat pada diri ini.
Suami!
Rasanya tak sabar pulang dari tempat kerja, karena kutahu sekarang kepulanganku sudah ada yang menanti. Sebenarnya hari ini tidak ada jam kerja, tapi entah kenapa tadi aku terpaksa berbohong di hadapan semua orang. Mungkin Bila menjadi alasannya.
Kusempatkan diri mampir di sebuah toko bunga, membeli sebuket tulip merah lalu mampir di swalayan membeli coklat. Ini adalah hadiah pertamaku untuk Bila.
Sampai di rumah sakit, tepat saat azan magrib berkumandang. Kugerakkan langkah ke Mesjid terlebih dahulu, baru setelahnya menjemput istri tercinta.
Kubuka pintu rawatan perlahan, Bila tampak duduk sambil membaca sebuah mushaf kecil.
"Assalamualaikum."
Bila menoleh dan bangkit mendekatiku.
"Waalaikum salam. Mas, sudah pulang? Udah shalat magrib, Mas?" tanyanya sambil meletakkan punggung tanganku di kepalanya yang terbungkus mukena.
"Sudah tadi di Mesjid. Mama sama Papa kemana? Malam ini jatah mereka 'kan?"
"Tadi ke Mushalla barengan, Mas."
"Yaudah kita tunggu sebentar, ya."
Bila mengangguk, memberiku segelas air mineral lalu meminta ijin kembali melanjutkan mengaji. Tak berapa lama, papa dan mama kembali. Aku langsung mengajak Bila berpamitan pada mereka. Tak sabar pengen nyerahin bunga dan cokelat, gimana ya reaksinya?
***
Seperti biasa, kami sampai di rumah setelah pelaksanaan shalat isya di Mesjid. Tidak ada yang berbeda, kecuali satu, tadi papa sempat memanggil Bila dan berbicara empat mata. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan, bikin penasaran.
Setelah shalat berjamaah, kami menyantap makan malam bersama. Tiba-tiba perutku mules luar biasa. Ah, merusak suasana romantis. Kutinggalkan Bila yang masih sibuk membereskan meja makan. Bunga dan coklat juga pasti sudah lelah menungguku menyerahkannya. Huh!
Mungkin sekitar lima belas menit aku berada di kamar mandi. Segera aku bergegas keluar, kasihan jika Bila menungguku terlalu lama.
Setelah membuka pintu, ternyata ... Bila sudah tertidur. Gagal deh acara penyerahan bunga!
Kudekati tubuhnya yang terbaring kaku.
'Kasihan sekali istri sholehahku ini, pasti lelah karena seharian di rumah sakit. Harusnya coklat dan bunga bisa memulihkan lelahnga, tapi, dia terlalu cepat tidur ...."
Kukecup kening Bila perlahan, lalu merebahkan tubuh di sisinya. Ingin memeluk tubuh bak biola itu, tapi takut ia terbangun. Akhirnya, kubalikkan tubuh ke sisi yang berbeda. Kalau sudah begini, tidak ada lain yang kurasa, kecuali ... rindu.
Tepat pukul lima subuh aku terbangun, kulihat ke samping, tempat tidur Bila sudah kosong. Pasti dia tengah memasak.
Kugerakkan tubuh keluar kamar, ternyata benar Bila ada di dapur bersana Bik Nem. Aroma nangka muda bercampur daun salam menguar hingga ke tempatku berdiri. Ah, jadi kepingin sarapan bersamanya.
***
"Alhamdulillah, enak ...," pujiku pada Bila setelah menghabiskan sepiring nasi gudeg.
Dia tersenyum, tapi tak banyak bicara. Saat tadi shalat subuh berjamaah pun, dia kebanyakan diam. Apakah tidur semalaman nggak membuat lelahnya hilang. Kami kembali ke kamar.
Bila mengambil kemeja kerjaku di lemari, lalu membantu memakainya. Sekarang aku kelihatan seperti anak kecil. Dia mengancingi satu persatu anak kancing, tapi matanya hanya fokus pada dadaku. Tanpa menoleh, sedang biasa dia selalu menantang pandang. Sebenarnya dia kenapa?
Kuletakkan minyak rambut ke tangannya. Lalu dia mengusap pelan di kepalaku, masih tak berbicara. Ah, kenapa dia terus diam?
Tak tahan dengan sikapnya, pergelangan tangan Bila yang tengah sibuk menyusuri rambutku kini ada dalam genggaman.
Dia menoleh.
"Kenapa daritadi diam terus?" tanyaku sambil menatap matanya. Dia bergeming.
"Kamu masih lelah?" tanyaku lagi.
Dia menggeleng, lalu kembali menunduk.
"Lalu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan sama, Mas."
"Iya, Mas." Bila kini mengangkat wajahnya.
"Kamu mau ngomong apa sih, ayuk ngomong aja ...."
Sejenak dia kembali bergeming.
"Lho kok diam lagi? "
"Tapi Mas janji ya, bakalan menurutinya?"
'Menuruti? Emang dia mau nanya apa coba?'
Kini giliranku yang terdiam. Entah kenapa tiba-tiba perasaanku terasa nggak enak.
"Katakan dulu, nanti Mas pertimbangkan," jawabku tak ingin mengumbar janji padanya.
"Nggak, Mas. Mas kudu janji dulu bakalan nuruti, baru nanti Bila sampaikan!"
Uh, istriku ini ngeyel benar. Jika tak kupikirkan pagi ini ada jam mengajar, sudah kulepas kembali kemeja yang ia pakaikan.
"Iya, Mas nuruti jika permintaannya nggak macam-macam. Ayo sekarang bilang?" desakku padanya.
Bila terlihat menarik napas sejenak. "Mas ... Bila minta, Mas Wafi menikahi Mbak Salsa!"
Mataku membelalak seketika. "Menikah? Kok? Astaghfirullah Bila ... Kamu nggak lagi bercanda 'kan?"
Dia menelan saliva. "Bila serius, Mas. Siapa tahu, jika Mas menikahinya, Mbak Salsa bisa sadarkan diri."
Kepencet ujung hidungnya, dia meringis.
"Emang kamu mau dimadu? Nanti kalau Mas lebih peduli sama Salsa gimana, 'kan Salsa sedang sakit? Apa kamu nggak cemburu?" godaku padanya. Sejujurnya, mana mungkin aku menuruti permintaan konyol itu, baru menikah udah disuruh poligami.
"Insya Allah Bila siap, Mas," jawabnya membuat mataku semakin membulat. Aku tercengang.
"Benar kamu nggak cemburu?"
"Ngapunten, Insya Allah nggak Mas."
Kusentuh kedua pipinya dengan telapak tangan, lalu mengarahkan wajahnya yang tetunduk untuk menatapku. "Benar nggak cemburu?" ulangku.
Mataku dan matanya bersiborok. Kutegaskan pandangan, ia harus mempertanggung jawabkan ucapannya barusan.
Tapi, bibir Bila bergetar. Genangan air mulai memenuhi pelupuk mata. Dia menangis.
'Ya Allah ....'
Kubenamkan wajahnya dalam dadaku.
"Sayang, kita hidup di dunia nyata, bukan di film. Kamu pasti kebanyakan baca komentar netizen ini. Kita tak perlu mencetak kisah yang sama dengan kisah di film Ayat-Ayat Cinta, kita punya kisah sendiri, yang akan dicatat dalam novel Mak Wahyuni. Hihihi .... "
Dia terisak.
'Astaghfirullah, aku salah bicara.'
"Tapi dokter membenarkan, Mas. Pasien koma bisa sadar jika diberikan rangsangan kebahagiaan?"
"Lalu menurut kamu, cuma Mas sumber kebahagian Salsa?"
Dia mengangguk, aku menghela napas.
"Kamu percaya sama Allah 'kan?"
Bila semakin terisak, kueratkan pelukan.
"Tapi ini ikhtiar, Mas."
"Ikhtiar bisa dengan banyak cara, kalau poligami, Mas nggak mampu. Ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan dalam poligami, yaitu keadilan. Dan Mas takut, jika tak mampu berlaku adil nantinya."
"Tapi Bila nggak akan menuntut Mas dihari akhir, jika ternyata Mas lebih condong pada Mbak Salsa?"
Kurenggangkan pelukan, istriku ini sudah terlalu banyak bicara. Akan kubuat mulutnya diam.
.........??*+@!=*'"::"#$@+*,.......
Bibirnya bergetar, ia menahan tangis. Kecupan di bibir yang kuberikan sepertinya sedang tak ia inginkan. Apakah harus kulakukan yang lebih dari itu?
Baiklah, kita coba!
Kuangkat tubuhnya ke atas ranjang. Dia memejamkan mata sambil merangkul pundakku. Alhamdulillah, apanyangvaku lakukan, dia tak menolak.
Fix, jika ada yang mencariku, hari ini aku nggak masuk kerja. 😝
***
Setelah shalat dhuhur, pihak kampus menghubungiku. Ada rapat penting yang harus dihadiri oleh seluruh dosen. Dengan berat kutinggalkan lagi istri tercinta ini yang masih dalam tahap galau tingkat tinggi. Sebenarnya aku takut jika dia ke rumah sakit, lalu kembali bertemu Salsa. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir dia akan menuntutku menikahi Salsa seperti yang sudah dia lakukan tadi.
Wanita ... wanita, pikirannya pendek sekali. Itu kenapa kita dan pasangan diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Memiliki dua karakter berbeda yang khas. Jika wanita cenderung mengendepankan perasaan saat menghadapi persoalan. Maka pria memiliki kecenderungan memainkan logika.
Mungkin Bila hanya berpikir setelah aku menikahi Salsa, dia akan sadar. Lalu permasalahan selesai. Padahal justru, ini adalah awal permasalahan. Seberapa adil sih seorang manusia itu, bahkan Allah saja sudah menyebutkan dalam Firman-Nya Quran surat An Nisa ayat 129 : "Dan sekali-kali kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dan aku tidak mau menjadi seseorang yang dibangkitkan di Padang Mahsyar nanti dalam keadaan miring sebelah, hanya karena tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istriku. Astaghfirullah, sampai kapanpun, aku hanya akan menjadi suami untuk Bila seorang.
***
Kini, kami sudah berada kembali di rumah sakit. Kulepas kepergiannya dengan mengucapkan sebuah nasihat, "Sayang, poligami itu sunnah, jika kehadirannya membawa ketenangan. Namun berubah haram jika saling menyakiti dan melukai. Mbak Salsa pasti akan sadar, karena hidup mati seseorang sudah Allah tetaplah jauh sebelum kita dilahirkan. Jika satu wanita saja sudah membuat kami para lelaki bahagia, buat apa ada wanita lain yang hanya mempersulit kami menggapai syurga?"
Bila tergugu. Kukecup kening wanita itu. Semoga kata-kataku akan melekat di hati dan tertanam kuat ke dalam pola pikirnya.
Bonus,
Pov Bila.
Mas Wafi kembali ke rumah sakit sesaat setelah aku melaksanakan shalat magrib. Kusambut kedatangannya, menciumi telapak tangan lalu mengangkat segelas air mineral untuk ia minum sebagai pelepas dahaga.
Melihat Mas Wafi, rasanya aku ingin menangis kembali. Padahal tadi pagi, air mata ini telah kubiarkan berderai layaknya hujan yang membasahi bumi. Seolah belum cukup, kini langit terlihat kembali mendung, akankah hujan kembali turun?
'Mas, dari mana aku harus memulainya, agar engkau tau masalah ini? Aku tak mampu memendamnya seorang diri ....'
Kutarik napas dalam-dalam sambil mentartilkan bacaan Quran dengan suara yang sangat lirih. Tak berapa lama, mama dan papa kembali dari shalat magrib berjamaah. Mas Wafi segera meminta ijin pamit pulang.
Mama dan papa kembali bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa tadi pagi. Sementara aku, aku memang duduk tenang, tapi peperangan hebat tengah terjadi di dalam hati. Bahkan jika diumpamakan, lebih hebat dari perang badar yang dimenangkan oleh ummat Muslim.
Kuikuti langkah Mas Wafi meninggalkan ruangan. Namun, papa memanggilku kembali ke ruangan, hanya aku. Sementara Mas Wafi menunggu di luar.
"Papa sama Mama minta maaf soal tadi pagi. Papa harap kamu tidak menganggapnya serius."
Aku menoleh melihat mama yang juga menatap ke arahku. Saat pandangan kami bertemu, mama segera menunduk.
"Jangan sampaikan apapun pada Wafi. Papa tidak ingin pernikahan kalian goyah hanya karena keinginan Mamamu yang konyol itu. Ingatlah, Salsa akan tetap sadar, sekalipun tanpa Wafi. Karena yang mengendalikan semuanya adalah Allah."
Bibirku bergetar menahan tangis. Begitu mulianya hati lelaki yang kini sudah menjadi papa mertuaku itu.
'Tapi Pa, sesuatu yang sudah terlanjur kuketahui, tidak mudah terhapus tanpa ada jalan penyelesaiannya. Maaf jika nanti aku melanggar permintaanmu.'
Kami sampai di rumah selepas shalat isya berjamaah di mesjid. Mas Wafi mengimami shalatku. Lalu kami beranjak untuk menikmati makan malam.
Sedari tadi aku hanya diam, bahkan saat Mas Wafi mengirimkan pesan rindunya dengan menggenggam tanganku, aku hanya tersenyum tanpa berkata-kata.
Rasanya mulut ini seperti ada yang mengunci. Dan kunci untuk membukanya hanya ada satu. Jujur perihal tadi pagi.
Aku mulai hendak membuka mulut, saat kami selesai menyantap makanan, tapi mendadak Mas Wafi minta ijin ke kamar mandi.
Astaghfirullah, sebaiknya aku bagaimana?
Setelah membereskan meja makan, kulangkahkan kaki ke kamar. Hampir lima belas menit aku menunggunya. Saat pintu kamar mandi terbuka, reflek tubuhku rebah di atas ranjang.
Kututup mata erat-erat. Sepertinya aku belum siap untuk jujur.
Kudengar langkah Mas Wafi mendekati ranjang. Tak lama, sebuah kecupan mendarat di keningku. Kecupan yang begitu menenangkan. Akankah aku ikhlas membaginya dengan wanita lain?
Bibirku hendak bergetar, sekuat tenaga kutahan agar tak mengecohkannya. Mas Wafi kini ikut merebahkan diri di sampingku. Entah seperti apa posisinya. Aku tak berani berbalik. Tak lama dengkuran kecil terdengar. Suamiku telah terlelap. Tinggalkan aku di sini, kembali meratapi nasib yang terjadi.
Air mata jatuh bertetes membasahi bantal. Kudekap erat wajah dengan guling. Tak ingin tangisannya membangunkannya. Lelakiku.
***
Tepat pukul setengah lima subuh, aku terbangun. Aku sengaja memasak masakan favorit Mas Wafi. Pagi ini aku akan jujur. Tapi sebelum kejujuran itu kulakukan, Mas Wafi harus bahagia. Supaya apa yang kusampaikan nanti ditanggapinya dengan perasan bahagia pula.
"Alhamdulillah, enak ...," pujinya padaku setelah menghabiskan sepiring nasi gudeg. Aku menanggapinya dengan senyuman, tanpa banyak bicara. Seolah apa yang ingin kubicarakan tertahan. Mungkin karena kejujuran itu belum kutunaikan.
Kami kembali ke kamar. Aku bergegas mengambilkan kemejanya di dalam lemari. Saat kubuka lemari, nampak di mataku buket bunga lili merah, di bawahnya ada sebuah coklat tob*****. Mas Wafi meletakkannya di deretan baju paling atas. Kuraih bunga itu, ada secarik kertas bertuliskan 'I Love You Istriku'.
Dadaku terasa begitu perih. Tubuhku tiba-tiba menghangat, inikah yang ingin dia berikan padaku? Mungkin tadi malam, tapi aku justru ...
Kugigit bibir perlahan, sambil menarik napas dalam-dalam. Aku tak boleh goyah!
Kudekati Mas Wafi yang berdiri didepan meja rias. Kubuka kemeja di tangan lalu memakaikan padanya.
Satu persatu kupasangkan anak kancing. Mataku tak beralih, terus menatap dada kokohnya. Mungkin saja hari ini menjadi hari terakhirku mengakui, bahwa dada ini adalah milikku seorang.
'Astaghfirullah, aku terlalu mencintainya. Inikah ya Allah yang menjadi alasan Engkau mencoba ku dengan cobaan terberat ini?'
"Latahinnu Wala Tahzannu, Innallaha Maana. Jangan sedih Wahai hamba-Ku, karena Aku lebih banyak stok kebaikan dari pada apa yang kamu harapkan. Belum tentu apa yang kamu anggap baik, itu baik buatmu. Kenapa dia yang kamu inginkan pergi darimu, karena Aku (Allah) cemburu padamu."
'Ya Allah, jika cintaku padanya telah membuatmu cemburu, maka aku ikhlas membaginya dengan yang lain ....'
Mas Wafi meletakkan minyak rambut ke tanganku. Lalu kuusap pelan di kepalanya.
Tiba-tiba, mas Wafi menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat. Aku menoleh. Tatapannya begitu tegas. Aku bisa membaca ia pasti ia tak suka dengan sikap acuhku sedaritadi.
"Kenapa daritadi diam terus?" tanyanya sambil terus menatapku, "kamu masih lelah?"
Aku menggeleng, lalu kembali menunduk. Tak mampu berbicara walau sepatah katapun.
"Lalu kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan sama, Mas," tanyanya lagi.
Kukumpulkan segenap keberanian.
"Iya, Mas," ucapku sedikit tertahan
"Kamu mau ngomong apa sih, ayuk ngomong aja ...."
Sejenak aku kembali bergeming.
"Lho kok diam lagi? "
"Tapi Mas janji ya, bakalan menurutinya?" pintaku memelas.
Kini giliran Mas Wafi yang terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Katakan dulu, nanti Mas pertimbangkan," jawabnya kemudian.
Aku bersikeras.
"Nggak, Mas. Mas kudu janji dulu bakalan nuruti, baru nanti Bila sampaikan!"
'Ya Allah, aku pasti sudah jadi istri durhaka. Maafkan Bila Mas.'
"Iya, Mas nuruti jika permintaannya nggak macam-macam. Ayo sekarang bilang?" desaknya padaku.
Kutarik napas sejenak. "Mas ... Bila minta, Mas Wafi menikahi Mbak Salsa!"
Mata Mas Wafi membelalak seketika.
"Menikah? Kok? Astaghfirullah Bila ... Kamu nggak lagi bercanda 'kan?"
'Bercanda, mana mungkin aku bercanda untuk masalah serius begini, Mas?'
Kutanggapi pertanyaan Mas Wafi. "Bila serius, Mas. Siapa tahu, jika Mas menikahinya, Mbak Salsa bisa sadarkan diri."
Dia memencet ujung hidungku, sakit.
"Emang kamu mau dimadu? Nanti kalau Mas lebih peduli sama Salsa gimana, 'kan Salsa sedang sakit? Apa kamu nggak akan cemburu?"
Hatiku remuk mendengarnya, padahal tadi aku sudah berjanji untuk ikhlas. Astaghfirullah ya Allah, bimbinglah langkah rapuh ini.
"Insya Allah Bila siap, Mas," jawabku lirih.
"Benar kamu nggak cemburu?" ulangnya kembali.
"Ngapunten, Insya Allah nggak Mas."
Aku tersentak, saat Mas Wafi memegang kedua pipinku dengan telapak tangan, lalu mengarahkan wajahku yang tetunduk untuk menatapnya. "Benar nggak cemburu?" Dia kembali mengulang dengan tegas.
Mata kami saling bersitatap. Aku tak mampu menatap bola jernih itu, rasanya ingin menangis kuat. Kutahan sekuat tenaga, tak ingin Mas Wafi tahu aku serapuh ini.
Tapi, Mas Wafi justru membenamkan wajahku dalam dadanya. Luruhlah air mataku. Sungguh, tak dapat lagi tertahankan.
"Sayang, kita hidup di dunia nyata, bukan di film. Kamu pasti kebanyakan baca komentar netizen ini. Kita tak perlu mencetak kisah yang sama dengan kisah di film Ayat-Ayat Cinta, kita punya kisah sendiri, yang akan dicatat dalam novel Mak Wahyuni. Hihihi .... "
Diantara isakan, kucoba menjawab ucapannya.
"Tapi dokter membenarkan, Mas. Pasien koma bisa sadar jika diberikan rangsangan kebahagiaan?"
"Lalu menurut kamu, cuma Mas sumber kebahagian Salsa?"
Aku terhenyak, benarkah mas engkau sangat menolak keinginanku ini?
"Kamu percaya sama Allah 'kan?"
Pertanyaannya itu, ya Allah ... apa aku salah ya Tuhanku?
"Tapi ini ikhtiar, Mas."
"Ikhtiar bisa dengan banyak cara Sayang, kalau poligami, Mas nggak mampu. Ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan dalam poligami, yaitu keadilan. Dan Mas takut, jika tak mampu berlaku adil nantinya."
"Tapi Bila nggak akan menuntut Mas dihari akhir, jika ternyata Mas lebih condong pada Mbak Salsa?"
Mendengar ucapanku, Mas Wafi merenggangkan pelukan. Aku sedikit ketakutan. Mungkinkah Mas Wafi marah?
Tapi ... Mataku membulat, napasku berhenti. Dia membungkam mulutku dengan bibirnya. Kututup rapat bibirku, menolak kecupannya. Namun, Mas Wafi justru megangkat tubuhku ke atas ranjang.
Pertemuan kedua, aku tak bisa menolak. Karena rindukupun sudah seluas samudera.
***
Setelah shalat dhuhur, Mas Wafi mendapat telpon penting dari pihak kampus. Akhirnya, disinilah aku saat ini. Di rumah sakit.
Mas Wafi mengantarku hingga di lantai tiga. Lalu kupandang kepergiannya. Ada rasa lega dan bahagia yang memenuhi dada, setelah sekian lama beban ini kependam seorang diri, kini seakan terangkat bagai panah yang melesat cepat dari busurnya. Kulangkahkan kaki yang terasa amat ringan.
"Mas Wafi ...." Kupanggil namanya lirih. Rasa cinta dan rinduku padanya semakin bertambah. Alhamdulillah, mencintai pasangan halal adalah ibadah. Setelah kebersamaan kami tadi, perlahan keinginanku untuk menolong mbak salsa mulai pudar.
Tiba-tiba, mataku bergerak cepat, diikuti jantung yang sontak berdenyut hebat. Beberapa perawat dan dokter berlarian ke ruangan Mbak Salsa.
Astaghfirullah, aku ikut mempercepat langkah.
'Ada apa dengan Mbak Salsa?'
Kubuka pintu. Mama dan papa berdiri di sudut kiri, Mbak Salsa?
Dokter memasang alat kejut jantung di tubuh Mbak Salsa.
Mataku beralih pada layar untuk memonitor denyut jantung mbak Salsa. Kenapa garisnya flat?
***
bersambung