Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّÙ‡ُ yang Kaffah.

💞 Kamu pilihan Allah 💞 6 - 10

💞 Menikah Dengan Ustadz 💞
Part 6 by Resi Oktariani

Sebuah mobil berwarna merah menyala terparkir di depan sebuah Boutiqe. Seorang gadis cantik dengan pakaian muslimahnya turun dari mobil tersebut. Kakinya melangkah masuk kedalam Butiqe tersebut.

Siapa lagi kalau bukan Nabila.

"Kamu urus semuanya ya." ucap pemilik butiqe.
Matanya tak sengaja menatap Nabila.
"Nabila!!!" teriaknya berlari menghampiri sang empu.
"Eriska."
Muach ... Muach ...
Mereka berpelukan dan berciuman lewat tempelan pipi.
"Waw, setelah jadi istri ustadz tampilannya jadi berubah."
Nabila mengerutkan dahinya. "Lo tahu dari mana?"
"Dari mama lo."
"Ceritain ke gue dong awal mulanya." pinta Eriska.
"Oke, tapi nggak disini."

Kendaraan lalu lalang melewati daerah ini. Tidak begitu ramai namun masih membuat bising. Dua wanita ini menyeruput teh hangat yang dibuat oleh sang pemilik Butiqe.
Saat ini Nabila dan Eriska sedang duduk di balkon Butiqe.
"Jadi gitu ceritanya." ucap Nabila.
"Oh, gitu. Nggak nyangka gue sama Syella. Bisa nikung lo dari belakang."
"Gue juga nggak nyangka. Padahal kita berdua udah temenan dari kecil."
"Sabar ya."

Eriska mengusap punggung Nabila. Ia bisa melihat kesedihan saat melihat mata Nabila.
"Em, oh ya. Gimana keluarga suami lo, Baik?" Tanya Eriska.
"Mereka baik kok, baik semua. Gue malah lebih nyaman sama keluarga suami gue dari pada sama keluarga gue sendiri." tutur Nabila.
Eriska mengangguk. Ia tahu bahwa teman SMAnya itu memiliki hubungan yang tidak baik terhadap keluarganya sendiri.
"Oh ya bil, tawaran kerja di LA di terima atau di tolak? Impian lo banget kan bisa jadi Chef terkenal."
"Mmm ... "
Nabila mengetuk-ngetuk meja yang ada di hadapannya. Mengingat bibir pinggirannya.
"Kayaknya ... Gue tolak aja deh."
Eriska mengerutkan dahinya. "kenapa?"
"Lo tahu kan gue berada di dalam ruang lingkup seperti apa."
"Lo nggak nyesel nolak tawaran itu. Itukan peluang besar." kata Eriska.
"Gue sebenarnya bingung ka. Gue punya suami ustadz. Dia ngajar jadi guru di pesantren. Mana mungkin gue tetep ambil tawaran itu, dan pergi ninggalin dia. Sedangkan dia dan keluarganya baik banget sama gue." ucap Nabila.
"Oke deh kalau itu udah jadi keputusan lo. Gue dukung. Selanjutnya apa, lo mau balik ke pekerjaan lama lo di restoran Diamond bintang lima itu atau nganggur jadi ibu rumah tangga ngurusin suami dan juga anak."

Uhuk,
Nabila tersedak saat Eriska berucap demikian. Anak, ia belum kepikiran sampai begitu jauhnya.
"Lo kenapa bil, kaget gue bilang anak?"
"N ... Nggak."
"Ngelak lo." ucap Eriska

***
Nabila telah memegang beberapa tas belanja yang berisi pakaian.
"Makasih ya udah jadi temen curhat sekaligus udah mau pilihin baju-baju gamis ini." ucap Nabila mengangkat kedua tangannya.
"Iya sama-sama. Santai aja kali. Kalau butuh temen curhat datang aja lagi, mau belanja baju lagi atau mau buat baju dateng lagi aja."
"Siap bos ku." jeda sebentar. "oke kalau gitu gue pulang duluan ya. Udah siang ni." ucap Nabila
"Oke, hati-hati di jalan ya, jangan lupa ucapan gue yang di balkon tadi." goda Eriska.
Pipi Nabila berubah menjadi panas dan seperti sedang memerah karena malu jika teringat ucapan Eriska.
"Ah elo apaan sih ka. Udah ah gue pulang aja bye." ucapnya kemudian berlalu.
Eriska cekikikan kecil saat melihat wajah temannya itu.
"Dasar."
Nabila menghidupkan mesin mobilnya. Ia berkaca di kaca yang tergantung di dalam mobil.
"Ck, pipiku kenapa merah gini sih."
Setelah berkaca ia melenggang pergi meninggalkan Butiqe itu.
Di sepanjang jalan Nabila masih teringat akan ucapan Eriska. Wanita berbadan dua itu benar-benar membuyarkan fokus Nabila.
Beberapa menit yang lalu ...
"Jangan ngomongin anak dulu kenapa sih." ucap Nabila.
"Loh kenapa, Ada yang salah. Jangan nunda-nunda loh bil. Nggak baik. Inget umur."
"Baru 28."
"Suami lo emang umurnya berapa?" tanya Eriska.
"Nggak tahu."
"Tanya dong Nabila."

Fokus Nabila kini kembali ke jalanan ini. Ia memarkirkan mobilnya di Kedai Donat. Ia ingin membeli beberapa donat untuk keluarga dan Sebagai camilannya.
"Mbak, saya pesen Donat, rasanya kayak biasa. 10 lusin."
"Baik mbak."
Nabila memainkan ponselnya sembari menunggu pesanannya sampai.
"Sayang yang kayak itu aja. Lucu deh kalau buat kue pernikahan kita." ucap seorang wanita.
Suara itu begitu familiar di telinga Nabila. Ia mendongak dan melihat siapa yang ada di sampingnya.
"Rio, syella?" ucapnya.
Kedua orang yang bergandengan itu melihat kearah samping mereka. Sedikit terkejut dan langsung melepaskan tangan mereka yang bergandengan.
"Nabila." cicit mereka berdua secara bergantian.
Nabila hanya melemparkan senyum sinisnya. Hatinya merasa sakit saat melihat semua itu.
"Ini mbak pesanannya."
"Oh, iya. Ini uangnya. Taruh aja di mobil saya. Nggak di kunci."
Setelah mengambil pesanannya Nabila langsung pergi dari hadapan mereka berdua. Buliran bening air mata ingin terjatuh dari matanya namun ia tahan.
"Nabila tunggu." ucap Rio menahan tangan Nabila.
"Lepasin gue." ucap Nabila memberontak.
"Kamu kenapa jadi kasar gini sih beybe."
"Lo bilang apa? Beybe. Nggak salah denger gue? Bukannya lo udah ada cewek baru." ucap Nabila sinis.

Selang beberapa detik Syella keluar, ia berdiri di samping Rio. Nabila tertawa sumbang saat melihat syella.
"O ya, pas di dalem tadi gue denger lo berdua mau Nikah ya, selamet deh kalau gitu. Oh iya, Gue juga mau berterima kasih sama kalian karna kalian berdua pernah jadi orang yang berarti di hidup gue." Ucap Nabila
Tangis tak bisa di bendung lagi. Air mata itu berhasil lolos dari bendungan nya.
"Makasih ya yo, karena lo udah jadi cinta pertama gue. Sudah menjadi pewarna dalam kanvas gue yang tak berwarna. Dan lo Sye, gue juga mau berterima kasih sama lo. makasih, karena sudah pernah jadi sahabat terbaik gue. Tapi itu dulu, sekarang nggak."

Mereka berdua hanya menunduk. Menyesali perbuatan mereka.
"Gue pergi dulu. Sekali lagi, Te-ri-ma Ka-sih. "
Tangis Nabila pecah saat ia berada di dalam mobilnya. Kehadiran mereka menyakiti hati Nabila. Harusnya dulu ia tak terlena dengan ucapan manis dari Rio. Ia menyeka air matanya dengan kasar. Mencoba untuk tegar.

***
"Assalamualaikum, Nabila." panggil Nuga.
"Wa'alaikumsalam. Duh anak Ummi sekarang pulangnya nggak manggil Ummi lagi ya." ledek Ummi.
"Eh Ummi." ucapnya bersaliman.
"Nabila mana?" tanya Nuga kembali.
"Ummi pulang tadi, Nabila nggak ada di rumah."
"Belum pulang berarti." batinnya.
"Assalamualaikum" ucap Nabila.
"Wa'alaikumsalam."
Nabila langsung masuk kedalam kamar tanpa melihat Ummi dan Nuga yang sedang berdiri.
"Ga, Nabila kenapa lagi?" tanya Ummi.
"Nuga juga nggak tahu Mi. Nuga susul kekamar dulu ya." ucapnya.
Saat masuk ke kamar, ia melihat Nabila yang tengkurap. Tubuhnya bergetar seperti orang yang sedang menangis.
"Nabila, kamu kenapa?" tanya Nuga.

Ia berjalan mendekat kearah Nabila. Duduk di samping tubuh Nabila yang sedang terbaring.
"Nabila, kamu kenapa nang__"
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya. Nabila telah memeluk tubuh Nuga. Membenamkan kepalanya di dada suaminya itu. Nuga diam, membiarkan bajunya basah karena air mata dari Nabila.
"Kamu kenapa lagi bil?" tanya Nuga.
"Kamu kenapa nangis lagi?" tanya Nuga kembali.
Nabila menjauhkan wajahnya dari posisi awal itu. Ia menunduk sembari menghapus air mata dan ingusnya.
"Aku habis ketemu sama rio dan syella." ucap Nabila.
"Rio, Syella, Siapa mereka Nabila ?" tanya Nuga.
"Rio ... Dia mantan pacar aku dan Syella mantan sahabat aku." jawab Nabila.
"Mereka mau menikah. Tega banget tahu nggak. Mereka nggak inget sama aku apa. Nggak punya perasaan." sambung Nabila.

"Jadi mereka yang ngebuat istri aku nangis?" tanya Nuga sembari menyeka air mata Nabila.
Nabila mendongak menghadap kearah wajah Nuga.
"Air mata kamu terlalu berharga Nabila. Jangan kamu keluarkan untuk orang-orang seperti mereka."
Nuga memberikan senyuman kepada Nabila. "Tapi mereka jahat banget. Di sini aku masih sakit hati sama mereka berdua. Dan mereka dua ... "
Nabila tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. Ia larut dalam tangisnya.
"Nabila, itu urusan mereka. Lagi pula kamu sudah menikah dengan saya. Kenapa harus menangisi laki-laki seperti dia."

"Tapi dia cinta pertama aku Mas Nuga!! Aku nggak rela, nggak secepat itu untuk mengelupain dia." ucap Nabila dengan nada agak tinggi.
"Dia memang cinta pertama kamu tapi dia bukan cinta terakhir kamu."
"Kamu nggak akan ngerti mas. Kamu nggak pernah ngerasainnya. Aku masih sayang sama dia tapi dia dengan tega selingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku benci dia tapi aku juga masih sayang dan cinta sama dia." ucap Nabila dengan tangisannya.
Perih, sakit, sesak, itu perasaan yang dialami oleh Nuga. Sebagai suami ia merasa tersinggung oleh kalimat yang keluar dari bibir Nabila.
"Kamu berani bilang kalimat itu di depan suami kamu. Sadar Nabila, orang yang ada di hadapan kamu ini adalah suami kamu."
"Kita menikah atas kesalah pahaman mas. Bukan atas dasar saling cinta!"
"Aku sudah pernah bilang sama kamu, jangan pernah ungkit masalah kenapa kita harus menikah!" ucap Nuga dengan Nada tinggi.
"Kalau kamu menyesal harusnya pada malam pernikahan kita, kamu bicara. Jelaskan kepada semua orang kalau itu semua hanyalah salah faham." sambung Nuga.

Nabila terdiam mendengar ucapan itu. Bibirnya tergetar saat mendengar suara bentakan dari Nuga.
"Saya sudah berusaha untuk membuka hati, melupakan semuanya demi kamu. Tapi sekarang lihatlah diri kamu, menyedihkan. Maaf jika kamu menyesal karena pernikahan kita ini"
Setelah mengucapkan itu Nuga keluar dari kamar meninggalkan Nabila sendiri di dalam kamarnya.
Nabila kalut dan larut dalam kesedihan. Semua menjadi serba salah. Di sisi lain ia masih mencintai pria yang sudah menyakitinya dan di sisi lain ia teringat bahwa dirinya sudah memiliki suami dan sekarang telah menjadi seorang istri.

Bersambung ...

-----


💞 Menikah dengan Ustadz 💞
Part 7

Suasana di meja makan ini begitu berbeda. Ada aura perang dingin di tempat ini. Nuga dan Nabila tak saling berbicara melirik pun tidak. Ummi dan Abi bahkan bisa merasakannya.
"Nuga pergi ke masjid dulu bi, mi." Ucap Nuga setelah menghabiskan makanannya.
"Cepet banget ga, biasanya juga nunggu Adzan kamu baru pergi." ucap Ummi.
"Nuga ngejer pahalanya mi. Nuga pergi dulu. Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
Nabila memejamkan matanya. Mungkin Nuga marah kepada dirinya karena kejadian tadi siang. Tapi kan bukan salahnya juga. Ini tentang perasaannya.

***
Aku duduk di atas kasur ini. Jangan mengira bahwa aku sedang menunggu mas Nuga. Aku sedang memikirkan sesuatu sembari melihat momen yang tertangkap oleh kamera Ponselku.
Ku hapus satu persatu poto itu. Aku muak dan aku benci. Terlalu banyak fotoku bersama Rio saat liburan tahun baru di New Zealand.
Cklek!
Kulihat Mas Nuga memasuki kamar ini. Hanya sebentar lalu ku buang wajahku agar tak melihat dirinya. Aku merasa ada pergeseran dari sampingku.
"Aku mau tidur diluar."
Hanya kalimat itu yang aku dengar. Aku tak berani untuk melihat wajahnya. Tapi ada bagusnya jika mas Nuga tidur diluar. Setidaknya aku bisa menangis dengan sepuasnya malam ini.

Semenjak kejadian di siang itu aku dan Mas Nuga tak pernah bertegur sapa. Ia juga lebih memilih tidur di depan TV. Ada kalanya aku melihat ia meringkuk karena kedinginan.
Malam ini kerongkonganku terasa sangat kering. Aku berjalan keluar kamar menuju kearah dapur.
Saat membuka pintu kamar tak sengaja aku melihat Mas Nuga sedang bermain dengan laptop nya. Sejenak ia juga menatapku dengan tatapan seperti orang yang tertangkap basah karena sedang melakukan sesuatu yang ilegal.
"Aku mau ambil minum." ucapku
"Ya si ... Silakan,"

***
Malam ini seperti biasa aku akan tidur di ruang depan. Sudah tiga hari aku begini karena percuma tidur satu kamar dengan orang yang jelas-jelas tak menginginkan pernikahan ini terjadi. Sekarang sudah jam 23.00. Aku masih sibuk dengan laptopku. Mengisi formulir untuk mendaftar menjadi Dosen di salah satu kampus Islam.

Saat sedang mengisis fomulir, sebuah pesan melalui Email masuk. Aku beralih akun untuk membukanya dan ternyata itu dari Halimah. Seseorang yang pernah mengisi ruang di hatiku.

From : Halimah Agbiafreanensya.
Too : Anugrah Nur Hasan.
Assalamualaikum Nuga.
Maaf jika aku menganggumu. Mungkin di indonesia saat ini sedang malam.
Nuga, untuk pertama kalinya aku mengirimkanmu sebuah surat lewat Email. Aku mengumpulkan keberanian untuk menulis semua ini.
Tahun depan aku akan menyelesaikan S2 ku. Dan mungkin nanti akan di sibukkan dengan berbagai hal. Nuga, in syaa Allah setelah aku mendapatkan gelar sarjanaku. Aku akan pulang ke indonesia. Dan aku harap kamu bisa menemui Abah untuk mememintaku menjadi pendampingmu. Seperti permintaanmu sebelum aku berangkat ke Mesir.

Mungkin hanya itu yang ingin aku ucapkan kepadamu Nuga. Terima kasih telah menunggu.
Wassalamua'laikum warahmatullahi wabarakatuh.

Aku tercekat saat membacanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Halimah, andai kamu tahu bahwa aku telah beristri. Aku kalut bagaimana Jika Nabila tahu.
Cklek.
Aku tersontak kaget tatkala pintu kamar itu terbuka. Di sana ada Nabila dengan mata sembabnya memegang teko air minum.
"Aku mau ambil minum." Ucapnya.
"Ya si ... Silakan." ucapku gugup.
Ia melenggang menuju kearah dapur. Aku terus melihatnya hingga pungunggnya menghilang dari pandanganku.

***
Mentari pagi menyapa. Semua orang melakukan aktifitas sehari-harinya kecuali Nabila. Kerjaannya hanya duduk diam sembari memakan donat yang ia beli tempo hari.
Ia juga sedang mengotak-atik ponselnya. Bosan yang saat ini iya rasakan.
"Hallo ka, bisa tolong gue nggak ya?"
"Mau minta tolong apa Bil."
"Gue mau buka cafe ni. Cariin tempat yang strategis dong nanti gue jemput lo di Butiqe."
"Oke, gue tunggu."
Nabila pergi dari rumah tanpa memberitahu siapapun. Sudah jam 20. 50 malam namun ia tak kunjung pulang kerumah.
"Kamu telfon dong ga istri kamu." pinta Ummi khawatir.
"Udah Ummi, tapi nggak di angkatnya. Udalah palingan juga nanti pulang sendiri." sahutnya acuh.
"Nuga, Abi tidak pernah mengajarimu untuk melepaskan tanggung jawab begitu. Apapun masalahnya seharusnya kamu tetap memegang tanggung jawab sebagai seorang suami." Ucap Abi.
"Maksud Abi?" tanya Nuga.

"Abi sama Ummi tahu kalau kamu punya masalah dengan Nabila. Sudah tiga hari kamu tidur di luar, kalian juga tak saling bicara. Abi kan sudah pernah bilang kalau kamu harus tetap bisa menerima Nabila, walapaun dengan berat hati." ucap Abi.
"Nuga udah menerima Nabila bi. Tapi Nabila yang belum menerima Nuga. Dia masih cinta sama mantan pacarnya."
"Dan kamu menyelesaikan masalah ini dengan menjauhinya?"
Nuga diam. Tak mampu menjawab pertanyaan dari Abinya. Ummi pun tidak ikut campur dalam masalah ini. Ia membiarkan suaminya memberikan penjelasan kepada anak laki-laki nya itu.
"Tidak Nuga. Buatlah Nabila mencintai kamu. Karena kamu adalah orang yang pantas untuk dia cintai. Kamu suaminya, berikan kelembutan dan kasih sayang."

"Assalamualaikum." Ucap Nabila
"Wa'alaikumsalam." jawab mereka bertiga.
Nuga langsung menghampiri Nabila yang masih berada di ambang pintu.
"Kamu dari mana, kenapa telpon aku nggak di angkat?"
"Batre aku habis. Jadi aku nggak tahu kalau Mas Nuga telpon."
"Kamu bikin Ummi khawatir bil. Sudah makan belum?" tanya Ummi
"Udah mi, tadi udah makan di luar sama temen aku."
"Temen atau mantan pacar kamu?" sindir Nuga.
"Apaan sih kok pertanyaannya kayak gitu banget. Nggak guna tahu nggak. Abi, Ummi, Nabila masuk ke kamar dulu." Ucap Nabila yang langsung masuk kedalam kamar dengan wajah Bete nya.
"Tu, Abi sama Ummi lihat kan. Nggak ada sopan-sopannya sama suami sendiri."
Setelah mengucapkan itu Nuga ikut masuk kedalam kamarnya menyusul Nabila.
"Mas, sifat Nuga kok kayak Bapak ya?" tanya Ummi.
"Mas juga ngerasa gitu dek. Keras."
Nuga melihat Nabila melepaskan jilbabnya.
"Dari mana aja. Pergi nggak bilang ke siapa-siapa, semua orang khawatir sama kamu."
"Bukan urusan Mas Nuga juga."

Nuga menyengkal pergelangan tangan Nabila agar berbalik kearahnya.
"Kamu bilang bukan urusan saya. Kamu itu sudah jadi istri saya. Kalau mau keluar rumah harus minta izin sama saya!!"
"Ribet banget sih. Bokap sama nyokap gue aja nggak seribet lo!!"
"Kamu bilang apa tadi? Saya kan sudah pernah bilang jangan panggil lo gue." ucap Nuga semakin memperkuat cengkalannya.
"Aw, sakit. Lepasin tangan gue nggak." ucap Nabila sembari memberonta.
Nuga masih dikuasai amarah dan egonya. Ia tak terima jika Nabila tidak menghormatinya sebagai seorang suami. Dia juga tak mengindahkan rintihan kesakitan dari Nabila.
"Ah," teriak Nuga saat tangannya di gigit oleh Nabila.
"Dasar cowok kasar. Gue kira lo adalah malaikat yang dikirim tuhan. Ternyata gue salah, lo nggak jauh beda sama Bokap gue. Kasar!"
"Saya kasar supaya kamu tahu dimana posisi kamu."
Nabila menggelengkan kepalanya.
"Cerai in gue. Gue nggak mau hidup di dalam hubungan yang terpaksa." ucapnya.

Nuga terdiam mendengar kalimat yang keluar dari mulut Nabila. Dua kali ia mendengar kalimat itu. Ia tak ingin rumah tangganya hancur.
"Atagfirullah." ucap Nuga.
Nabila hendak keluar kamar namun tangan Nuga menahan pintu itu agar tak terbuka. Bahkan ia mengunci dan menyimpan kunci itu.
"Sini in kuncinya." pinta Nabila.
"Nggak, kamu nggak boleh keluar dari kamar ini." ucap Nuga mengunci tubuh Nabila.
Jarak mereka berdua begitu dekat. Mungkin detak jantung pun bisa terdengar dari telinga mereka masing-masing.
"Kamu tahu, semua masalah ini terjadi karena ucapan kamu waktu itu. Kamu pernah bilang kalau kamu masih cinta sama mantan pacar kamu kan. Apa aku sebagai suami kamu tidak berhak untuk cemburu sama istrinya?"

Nabila diam menundukkan pandangannya. Mencoba untuk mengatur detak jantung yang kian detik kian kencang.
"Aku mohon sama kamu jangan bilang kata itu lagi. Aku tidak suka mendengarnya."
Nabila mendongak menatap bola mata Nuga.
"Kata yang mana? Kata Cerai?" tanya Nabila.
Mata Nabila membulat begitu hebat saat tangan Nuga tiba-tiba membekab mulut Nabila.
"Jangan bilang kalimat itu lagi. Aku minta maaf karena akhir-akhir ini dikuasai oleh amarah dan ego."
Nabila mendorong tubuh Nuga menjauh. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Sekarang kamu sadar, kamu udah inget. Maaf ustadz Nuga, aku nggak bisa menjalankan hubungan karena terpaksa."

Nuga mendekat. Membalik tubuh Nabila agar menghadapnya.
"Aku nggak mau rumah tangga kita berantakan, aku nggak mau rumah tangga kita berakhir. Nabila kamu juga harus ngerti bahwa kamu sudah menjadi istri saya. Saya nggak akan pernah menceraikan kamu. Sampai akhir hayat saya nanti. Jodoh tidak akan pernah tertukar Nabila."
"Tapi percuma kalau hati aku milik orang lain dan kamu juga."
"Ma ... Maksud ... Maksudya?"
Nuga berkeringat dingin. Apa Nabila tahu jika Halimah telah mengirimkan E-mail kepada dirinya.
"Ya, cewek yang di Mesir. Nggak bakal secepat itu kan kamu melupakannya. Sama kayak aku. Jadi biar kan aku pergi."
"Nabila, dengarkan saya dulu."
"Nggak mau"
"Nabila tunggu."
Terjadi adu cekcok dan tahan menahan hingga terjadi pula kisah dimana hanya mereka berdua dan Allah yang tahu.

***
"Nuga, Nabila masih tidur?"
"I ... Iya mi. Masih tidur. Mungkin masih capek." ucap Nuga gugup.
Saat ini Mereka sekeluarga sedang memakan sarapannya.
"Nabila." panggil Ummi.
"Iya mi."
"Kamu kenapa kok jalannya ngengkang?" tanya Ummi.
"Mm ... "
Nabila melirik kearah Nuga dan saat melihat Nuga langsung menundukkan pandangannya.
"Ng ... Nggak apa-apa mi. Udah ya, Nabila mau mandi dulu."
Semua melihat Nabila menuju kekamar mandi dengan langkah tertatih seperti orang yang habis lahiran.

"Mm Nuga nanti pergi akhiran aja mi, bi. Mau ngomong sesuatu sama Nabila."
"Ya udah. Inget ga, beri kelembutan dan kasih sayang agar hatinya luluh." pesan Abi.
"Iya bi" ucapnya.
~entah nanti apa yang akan terjadi bi.~ batinnya.
Nuga menunggu Nabila keluar dari kamar mandi. Ia berdiri tepat di samping pintu kamar mandi itu.
Cklek!!

"Astagfirullah." ucap Nabila kaget.
Nuga tersenyum memandangi Nabila. Nabila dengan cemberut memberikan sebuah kertas.
"Kamu yang tulis tata cara mandi wajib itu?" tanyanya
"Hm."
"Aku benci sama kamu. Kalau aku Hamil gimana?" tanya Nabila sedikit merengek.
"Hamil juga kan ada suami."
"Ya tapi belum siap."
Nuga bisa melihat wajah Nabila bak tomat rebus, sangat merah. Ia mengacak-ngacak ubun-ubun Nabila yang terbalut hijab.
"Nggak langsung jadi juga kali bila."
Nabila hanya diam tak menyahuti ucapan Nuga.
"Maaf ya. Aku ke bablasan tadi malam."
Nabila mempererat pegangannya pada handuk yang ada di tangannya. pipinya terasa panas. Bahkan menatap Nuga pun ia tak sanggup.

"Aku pergi dulu. Kalau masih sakit jangan kemana-mana. Di rumah aja. Ini perintah. Istri harus mematuhi perintah suami. Anggep aja ini sebagai ibadah karena telah mematuhi suami."
Cup!

Satu ciuman mendarat di keningnya. Nabila diam seperti patung. Tak bergerak sedikitpun. Darahnya terasa berdesir dengan cepat begitu pula dengan detak jantungnya.
"Aku ke sekolah dulu. Assalamualaikum."
"Wa ... Wa'alaikumsalam."
~Aku tidak tahu dia lelaki seperti apa. Kadang bertingkah kasar, kadang seperti malaikat pelindung dan kadang bertingkah begitu manis~ batinnya.
"Ah, Nabila. Jangan berfikir yang tidak-tidak. Pokoknya aku masih benci sama dia." ucapnya.
Bersambung ....

-----


💞Menikah Dengan Ustadz 💞
Part 8

Nabila sedang memasak nasi goreng cumi di dapur Ummi. Bukan untuk makan siangnya karena sekarang masih pukul 10.10 pagi.
"Hmmmm, aromanya wangi banget. Jadi nggak sabar buat makannya." Ucapnya mencium aroma Nasi goreng buatannya.
Ia meniriskan masakannya di atas piring. Membawanya keatas meja makan untuk di santap.
"Wah ... Yummy, delicious. Bakal aku masukin ke resep baru buat Cafeku Nanti." Ucapnya.
Drett ... Drett ...
"Hallo."
"Hallo bil. Gue udah nemuin tempat yang cocok dan strategis. Harganya bisa Nego."
"Dimana?"
"Nanti gue share loc tempatnya. "
"Oke, gue mau makan dulu setelah itu baru jemput lo."
"Nggak usah. Gue mau check up kandungan dulu. Nanti kita ketemuan di lokasinya aja."
"Ya udah. Oke kalau gitu."

Nabila mematikan ponselnya. Dengan cepat ia memakan makanannya itu dan bersiap-siap untuk pergi.
"Nabila." panggil Nuga.
"Mas Nuga. Ngapain pulang, bukannya ini masih jam 10 an ya?"
"Mau lihat kamu."
"Ih, apaan sih. Nggak usah khawatir gitu lagi. Aku baik-baik aja."
Nuga melihat Nabila dari atas sampai bawah. Tampilannya tampak begitu rapi.
"Kenapa?" tanya Nabila heran.
"Mau kemana?"
"Mau pergi keluar ada janji sama temen." Hening sejenak. " aku tadi mau ngasih tahu kamu kok mas. serius," ucap Nabila.
"Aku ikut. Kamu tunggu disini."
"Mas Nuga," menyengkal tangan Nuga. " Mas Nuga nggak ngajar anak-anak santri?"
"Nggak. Saya izin ada keperluan di luar. Berhubung kamu mau keluar juga. Jadi, kita barengan aja."
Setelah mengucapkan itu, Nuga masuk kedalam kamar mengambil kunci Motornya.
"Yuk," ajaknya ketika sudah di luar kamar.
Mereka keluar dari rumah. Nuga berjalan mendekat kearah motor dan Nabila berjalan mendekat ke arah mobilnya.
"Loh Mas Nuga nya mana?" tanya Nabila di dalam mobil.
"Nabila kemana ini?" tanya Nuga pula.
Nabila keluar dari mobilnya saat melihat Nuga naik motor sedangkan Nuga melepaskan helmnya saat melihat Nabila keluar dari dalam Mobilnya.
"Ngapain naik motor?" tanya Nabila.
"Ya ini kan motor aku."
"Naik mobil aja napa?" tanya Nabila kembali.
"Naik motor lebih enak, cepet, bisa nyalip mobil, dan nggak terjebak macet."
"Aku nggak mau ah kalau naik motor. Panas, bau asep, terus nanti kan duduknya ngangkang." Ucap Nabila mengecilkan suaranya di kalimat terakhir.
"Emang kenapa, ada masalah?" tanya Nuga.

~ini beneran nggak tahu apa pura-pura nggak tahu sih~ batin Nabila.
"Anu ... Kalau duduk ngangkang itu ... "
Nuga masih memasang wajah bingungnya. Tak mengerti maksud Nabila.
"Ck, nggak ngerti juga?" Nuga menggeleng. " yang tadi malam itu loh," ucap Nabila dengan pipi meronanya.
Saat mendengar kalimat itu Nuga langsung mengerti.
"Oke, kita naik mobil. Kuncinya mana?" tanya Nuga.
Nabila memberikan kunci mobil itu kepada Nuga tanpa memandang.
Sudah lewat 20 menit mereka menyusuri jalanan ini. Keadaan di dalam mobil ini benar-benar begitu sepi. Nuga fokus kearah jalanan dan Nabila fokus pada ponselnya.
"Kamu mau ketemu sama siapa?" tanya Nuga membuka percakapan.
"Temen aku, namanya Eriska."
"Mau ngapain?"
"Rencana sih aku mau buka Cafe gitu buat kumpul anak-anak muda yang hobby nongkrong."
Hening sejenak, Nabila menolehkan kepalanya kearah Nuga. "Kemarin aku pergi sama dia kok. Bukan ketemu mantan." ucap Nabila.

Nuga melirik kearah Nabila. " oya, kenapa kamu nggak bilang?"
"Yang keburu marah siapa?" tanya Nabila.
Nuga diam tak enak. Kemarin ia terlalu emosi dan telah shoudzon dengan Nabila.
"Hm, kita sama jalan ya?" tanya Nuga mengalihkan pembicaraan.
Nabila menoleh. "Nggak tahu, ni aku pasang Gps." Ucap Nabila. "Aku mau kesini." menunjuk arah yang ada di ponselnya.
"Oh, arah kita sama dong. Tapi aku mau kesini." tunjuknya.
"Ini kan halaman Universitas islam Negeri."
"Iya."
"Mau ngapain?"
"Wawancara. Aku ngelamar kerja disana."
"Ohhh."
"Doain ya semoga wawancara nya berjalan dengan lancar dan aku bisa di terima ngajar di Universitas itu," ucap Nuga.

"Kenapa minta aku doain. Minta doain Ummi sama Abi aja. Kan lebih manjur." jawab Nabila.
"Udah, tapi doa Ummi dan Abi itu doa minta kesuksesan buat anaknya. Sedangkan kamu beda, kamu istri aku. Sukses suami itu tergantung sama doa istri. Jadi, doain ya."
"Oke. Aku bakal doain."
"Ya Allah, semoga suamiku yang bernama Anugrah Nur Hasan wawancaranya lancar. Bisa di terima dan selalu sukses. Aamiin"
"Aamiin." sahut Nuga.

Sudah dua jam mereka melewati perjalanan. Jarak yang sangat jauh dari pondok pesantren tempat mereka tinggal. Dan sekarang roda mobil itu berhenti berguling. Ia terparkir di depan kampus.
"Aku pergi dulu ya. Kamu bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut." pesan Nuga.
"Nanti kamu pulangnya gimana?" tanya Nabila.
"Gampang, gojek kan ada."
Nuga keluar dari mobil begitu pula dengan Nabila. Mereka bertemu di depan mobil.
"Aku pergi dulu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Mas Nuga tunggu."
Nuga berbalik menghadap kearah Nabila saat namanya di panggil.
"Nanti aku jemput. Kamu tunggu aja."

***
"Oke jadi kita deal ya pak." ucap Nabila.
"Iya tentu. Nanti saya akan urus surat menyuratnya.
Nabila menjabat tangan sang pemilik Cafe yang lama. Bukan menyewa, ia membelinya beserta isi dan lahannya. Eriska bahkan geleng kepala melihat kenekatan dari temannya ini.
"Lo yakin bil, uang 6,4 M. Itu nggak sedikit loh. " Ucap Eriska saat sang pemilik cafe lama sudah pergi.
"Ya kalau gue nggak yakin kenapa gue deal ke Bapaknya. Itu udah lebih dari cukup kali." jawab Nabila.
"Ya kalau nyewakan lebih murah."
"Tapi kan punya orang. Kalau punya kita sendirikan terserah kita. Soal biaya, dari dulu bokap sama nyokap udah sering transfer uang ke rekening gue. Terus duit hasil kerja keras gue selama ini juga udah lebih dari cukup. Jadi lo nggak usah khawatir."
Eriska menghela nafasnya. " iya deh yang anaknya konglomerat yang hartanya nggak akan habis sampai tujuh turunan bahkan lebih."
"Ck, mulai deh."
Nabila melihat jam tangannya. Sudah pukul 14.09. Mungkin Nuga sudah selesai wawancaranya.
"Pulang naik apa ka?"
"Tu ... " tunjuknya kearah mobil yang mendekat kearah mereka.
Seorang pria keluar dari mobil itu diiringi dengan anak perempuan kecil.
Nabila sejenak bertegur sapa dengan pria itu yang tak lain adalah Rifki, suami dari eriska. Kedua insan yang menikah karena saling mencinta. Berbeda dengan dirinya.

Setelah kepergian keluarga kecil itu. Nabila melajukan mobilnya menuju Universitas. Siapa tahu Nuga sudah menunggu di sana. Butuh waktu setengah jam menuju kesana.
Tin ... Tin ...
Nabila membunyikan klakson dari dari mobil saat ia melihat Nuga yang baru keluar dari kampus tersebut. Ia masuk kedalam mobil tersebut.
"Udah lama Nunggu ?" tanya Nuga.
"Nggak kok. Baru aja nyampe. Gimana, di terima?" tanya Nabila.
"Belum. Yang ngelamar tadi lumayan banyak sih. Ada 4 termasuk saya. Nanti malam akan di kabarkan lagi dari pihak kampus nya."
Nabila memegang kemudi mobil itu. Sepanjang perjalanan seperti biasa, hanya diam. Sudah lewat satu setengah jam. Rute yang sangat jauh dari rumah keduanya.
Allahu Akbar Allahu Akbar.
"Nanti kita mampir ke Masjid dulu ya, kita shalat Ashar dulu."
"Kenapa nggak dirumah aja?"
"Perjalanan ke rumah masih satu setengah jam lagi. Dan shalat tidak boleh di tunda-tunda."
Nabila hanya diam. Ketika suami Ustadz nya ini telah berbicara ia seperti kena ceramah .
"Kamu tahu, shalat Ashar itu memiliki keistimewaan sama seperti shalat subuh."
"Emang ke istimewaan shalat Ashar dan subuh apa?" tanya Nabila yang tak tahu.
"Keistimewaan nya adalah, pertama.
A
malan yang mengantarkan ke surga. Ada beberapa hadist yang menjelaskannya, yang pertama.
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635).

Yang kedua, “Barangsiapa mengerjakan shalat pada dua waktu dingin (shubuh dan ashar), maka dia akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari no. 540 dan Muslim no. 1005)

Dan yang ketiga, dari surat Al-baqarah, juz 2 ayat 238, yang artinya. “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.”
"Shalat wustha" dalam ayat ini adalah shalat ashar. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi perang Ahzab,
“Mereka (kaum kafir Quraisy) telah menyibukkan kita dari shalat wustha, (yaitu) shalat ashar.

2. Tidak melaksanakan shalat Ashar akan terhapus amalannya dan seolah-olah telah kehilangan keluarga dan hartanya
“Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya” (HR. Bukhari no. 594).
“Orang yang terlewat (tidak mengerjakan) shalat ashar, seolah-olah dia telah kehilangan keluarga dan hartanya.” HR. Bukhari no. 552 dan Muslim no. 200, 626.

Nabila terhenyak mendengar ucapan itu. Apa karena itu, ia merasakan seperti kehilangan keluarganya.

Yang ketiga, Pembeda diri dari orang munafik.
Dalam hadist Riwayat Muslim no 662. Menerangkan “Itulah shalatnya orang munafik, (yaitu)duduk mengamati matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk setan (yaitu ketika hampir tenggelam, pent.), dia pun berdiri (untuk mengerjakan shalat ashar) empat raka’at (secara cepat) seperti patukan ayam. Dia tidak berdzikir untuk mengingat Allah, kecuali hanya sedikit saja.”

4. Shalat yang disaksikan oleh malaikat
“Para malaikat malam dan malaikat siang silih berganti mendatangi kalian. Dan mereka berkumpul saat shalat subuh dan ashar. Kemudian malaikat yang menjaga kalian naik ke atas hingga Allah Ta’ala bertanya kepada mereka -dan Allah lebih mengetahui keadaan mereka (para hamba-Nya)-, “Dalam keadaan bagaimana kalian tinggalkan hamba-hambaKu?” Para malaikat menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang mendirikan shalat. Begitu juga saat kami mendatangi mereka, mereka sedang mendirikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 555 dan Muslim no. 632).

Nabila mendengarkan penuturan dari ucapan Nuga. Banyak penyesalan karena selama ini ia tak pernah shalat. Tak pernah menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim. Tapi, laki-laki yang ada di sampingnya ini lah yang membuatnya shalat kembali.

Sekitar 20 menit mereka tiba di sebuah masjid dengan warna putih berdominasi dengan warna silver. Keduanya berpisah saat hendak mengambil air wudhu.

Saat wajahnya terkena air wudhu Nabila merasakan ada yang berbeda di hatinya. Mungkinkah ini karena perkataan Nuga di dalam Mobil atau karena ia telah mendapatkan hidayah pada saat Ashar ini.
Keduanya melaksanakan shalat tidak berjama'ah. Karena sudah ketinggalan berjama'ah.

Dahi itu menyatu dengan sajadah, buliran air mata mengalir. Untuk pertama kalinya Nabila menangis. Harinya tersentuh. Mungkinkah para malaikat menyaksikan shalat nya atau dia membedakan diri dari orang-orang munafik atau Amal ibadah nya atau ia merindukan keluarganya.
Setelah mengucapkan salam, Nabila berdoa. Berdoa dengan tangis dalam diamnya. Yang ia harapkan adalah agar keluarganya menjadi seperti dulu. Begitu sempurna, saling mencintai dan penuh kasih sayang. Tak ada lagi pertengkaran antara Papa dan Mamanya.
***

Nuga memasang sepatunya sembari menunggu Nabila. Ia merasakan ada yang duduk di sampingnya. Dan ternyata itu adalah Nabila dengan wajah seperti habis menangis.
"Kamu kenapa nangis lagi?" tanya Nuga menatap Nabila.
"Apa saya berbuat salah sama kamu." sambung Nuga.

Nabila menggeleng, ia malah tersenyum manis kearah Nuga. Bahkan dengan berani Nabila mengambil tangan Nuga yang ada diatas pahanya dan menggenggamnya. Badannya sedikit membungkuk dan mendekat.
"Mas Nuga, di depan masjid ini. Di bawah langit yang hampir menjingga, dan di bawah sinar matahari. Serta Allah menjadi saksinya. Aku meminta, agar kamu mau membimbingku. Selalu membimbingku di jalan Allah."

Nuga ternganga mendengar ucapan dari Nabila. Apa ini nyata. Nabila yang keras kepala itu, apa benar ini dia. Apa yang terjadi kepada dirinya setelah melaksanakan shalat di Masjid ini.
"Mas, mau ya." pinta Nabila.
Nuga membasahi bibirnya dengan lidahnya. Menimbang, apakah ini benar-benar Nabila. Sebegitukah doanya cepat di kabulkan oleh Allah.
Baru saja, baru saja ia berdoa agar Nabila mendapatkan hidayah, menjadi makmum Shalihanya. Secepat itulah Allah mengabulkannya.

"Mas ... " panggil Nabila.
"Jadi gimana, mau?" tanya Nabila kembali.
"Kamu serius?"
"Iya aku serius. Mimbing aku Mas Anugrah Nur Hasan."
Nuga tersenyum dengan bahagia. "Aku siap, tapi ada syaratnya."
Nabila melepaskan genggamannya, sedikit menjauh dan memandangi Nuga dengan tatapan curiga.
"Syaratnya apaan, jangan nganeh-nganeh ya." Ucap Nabila.
"Iya. Nggak aneh-aneh kok."
"Apa syaratnya?"
"Jangan pernah ucap kata cerai lagi di hadapan aku. Kamu ngerti."
"Oke" jawabnya tampa ragu.

BERSAMBUNG .....

-------

💞 Menikah dengan Ustadz 💞
Part 9

"Mengajarimu adalah suatu kewajiban bagiku. Ikuti langkahku, bersama kita raih jannah Allah"
~ANUGRAH NUR HASAN~
***

Sesuai dengan permintaan Nabila tadi sore. Malam ini Nuga mulai membimbingnya. Setelah melaksanakan shalat Isya di Masjid Ia langsung bergegas untuk pulang.
"Tsa." Ucap Nuga.
"Ta."
"Bukan ta Nabila tapi Tsa. Ujung lidahnya di gigit sedikit. Kalau ta kan di gigitnya banyak." Ucap Nuga.
"Susah ah." keluh Nabila.
Saat ini ia sedang belajar menyebut huruf hijaiyah di bimbing oleh Nuga. Maklum, karena dari kecil orang tuanya tak pernah memasukannya ke TPA untuk belajar mengaji dan malah sering mengajak jalan-jalan keluar Negeri.

"Kita buat peraturannya aja. Kalau kamu salah kamu kena hukuman."
"Ya Allah, kenapa harus pake Hukuman sih." protes Nabila.
"Ya harus la Nabila. Para santri aja kalau nggak nyetor hafalannya bakal kena hukuman. Mereka bakal berdiri di depan kelas sambil megang hafalannya. "
"Hmmm." manarik nafas dalam. "Jadi ceritanya mau samain aku dengan para santri mu?" tanyanya.
"Aku kan istri kamu Mas Nuga. Masa tega sih di kasih hukuman berdiri." sambung Nabila.
"Siapa bilang kamu di hukum berdiri kalau nggak bisa?"
"Lah terus apaan dong hukumannya?"
"Karena kamu istri aku, jadi hukumannya ada dua pilihan untuk kamu. Milih di cium atau di cubit hidungnya?"
"Ya lebih milih di cubit hidungnya lah dari pada di cium." ucapnya melirik kesana dan kemari.
"Kenapa nggak milih di cium?" tanya Nuga jahil.
"Enggak usah ambil kesempatan dari kesalahan orang lain deh."
"Kesempatan apaan coba. Kan udah SAH," ucap Nuga mempertegas ujung kalimatnya.
"Ck, nggak usah di bahas terlalu dalam ah. Ayo belajar lagi." ajak Nabila.

Nuga tersenyum mendengar ajakan Nabila. Jelas sekali jika Nabila merasa malu. Mereka mulai belajar kembali.
"Ha. " Ucap Nabila.
"Lebih di perhalus lagi bacaannya."
"Ha." ulang Nabila dan Nuga mengangguk.
"Kho." ucap Nuga.
"Ho."
Nuga mencubit hidung Nabila dengan lembut.
"Kho Nabila bukan ho." jeda sebentar. "Kita ulang lagi. Kho, "
"Ho."
Dan lagi-lagi, hidung Nabila menjadi sasarannya.
"Mmmm, sakit tahu."
"Makanya bacanya tu yang bener." Ucap Nuga.
"Susah."
"Makanya di coba terus. Kho, dalam pengucapannya ambil dari pangkal kerongkongan."
"Ho." Ucap Nabila.
"Kho Nabila. Kayak kita mau buang dahak gitu. Khhhhhh kho."
"Khhhhh ho."
"Kurang sempurna, sekarang coba lagi."
"Ho."
Kali ini bukan hidung Nabila yang menjadi sasaran tapi kedua pipinya. Nuga mencubit nya dengan gemas.
"Aduh duh ... Sakit Mas!!" teriak Nabila.
Teriakan Nabila begitu keras. Bahkan Ummi dan Abi yang sedang duduk di depan televisi bisa mendengarnya.
"Nabila di apa in anak kita itu Mas?" tanya Ummi.
"Kamu sih, gemesin banget." samar-samar suara Nuga terdengar.

Abi pura-pura tidak mendengar ia bahkan masih asyik memakan Donat belian dari menantunya dan meminum secangkir kopi.
"Awas aja ya kalau sampe salah lagi aku cium kamu." ancam Nuga.
"Ihh, dapet semua kamu. Udah hidung aku kena cubit, pipi pula, dan sekarang mau cium." protes Nabila.
"Nggak dapet semua kok. Kalau malam kemarin iya, aku dapet semua." ucap Nuga dengan senyum manisnya.
Nabila memanyunkan bibirnya. Wajahnya begitu asam. Kesal dengan ucapan Nuga.
"Udah sekarang kita belajar lagi. Awali dengan kalimat Khhhhhho dulu sebagai pemula."
Nabila menurut, ia mengikuti ucapan Nuga. Awal permulaan yang bagus karena Nabila hampir bisa mengucapakan huruf hijaiyah kho dengan sempurna. Meski pelan dalam pengucapan dan kadang-kadang ia sempat kesal sendiri juga namun Nuga masih setia dan sabar mengajari istrinya ini.
"Sekarang lebih cepat ya. Kho," ucap Nuga.
"Khho."
"Lebih cepat lagi."
"Kkkkkhooo."
"Kenapa nambah panjang Nabila?" tanya Nuga.
"Kan cuma pemanasan doang."
"Bisa aja ngelesnya. Sekarang ucapkan lagi."
Nabila menarik nafas dalamnya, mengambil ancang-ancang agar tak salah mengucapkannya.
"Kho, huek ..."

Suara indahnya berubah menjadi suara orang muntah. Mungkin karena keseringan mengucapkan huruf kho itu.
"Mas, tu kan. Menantu kita kok sampe muntah." tanya Ummi yang masih merasa di luar kamar Nuga.
"Dek, wis toh ... " tegur Abi.
"Hampir bener Nabila. Kenapa malah muntah?" tanya Nuga yang suaranya terdengar dari balik pintu.
"Susah tahu. Dari tadi kamu nyuruh ngulang lagi, ngulang lagi. Aku kan jadi capek." protes Nabila.
Ummi membulatkan matanya mendengar ucapan Nabila yang samar-samar namun bisa di dengar. Tak sepatutnya obrolan mereka terdengar sampai keluar kamar.
"Dek, jangan di dengerin. Cuek aja kita." ucap Abi.
"Ya tapi kan ... "
"Shutt ... "
Cklek.
Suara pintu itu terbuka. Nampak Nabila yang keluar dengan masih mukenahnya yang rapi. Ia sedikit terkejut karena ada Ummi dan Abi yang duduk di situ.
"Kok pake mukena ya Mas?" bisik Ummi heran.
"Mana aku tahu."
"Eh ada Abi sama Ummi. Lagi nonton ya. Lanjutkan. " Ucap Nabila.
"Mau kemana bil?"
"Mau kebelakang. Haus." jawabnya dengan mengelus kerongkongannya.
"Oh ya sudah silahkan."

***
"Susah tahu. Dari tadi kamu nyuruh ngulang lagi, ngulang lagi. Capek tahu." protes Nabila.
Aku tersenyum saat ia mengeluarkan kalimat protes. Ketika membuatnya menjadi marah, aku merasa ada daya tarik tersendiri yang ia tampilkan dari wajahnya.
"Ya udah kita istirahat dulu. 5 menit tapi ya," ucapku.
Aku melihat mengehala nafas. ia berdiri dari atas sajadah yang kamu duduki.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Haus, mau minum. Laper, mau makan. Lima menit kan. " jawabnya sedikit cemberut.

Aku tersenyum. Ingin sekali rasanya mencubit pipinya itu. Sorot mataku menangkap tubuhnya meninggalkan kamar ini tanpa membuka mukenahnya.
Ini sudah lewat dari lima menit namun Nabila juga tak kunjung datang. Aku berniat ingin menyusulnya namun saat membuka pintu kamar ternyata di sana ada Ummi dan juga Abi. Yang duduk di kursi yang menghadap kearah kamar kami. Maklum, rumah ini tak terlalu besar sehingga ruang tamu dan kamarku berdekatan.
"Eh ada Ummi sama Abi." ucapku ramah.

Abi tersenyum sedang Ummi, wanita yang melahirkanku itu menatapku dengan tatapan intens.
"Ummi kenapa, kok natep Nuga kayak gitu."
"Ummi cuma mau ngingetin, kalau suami istri lagi di dalem kamar. Jeritan, pekikan sama keluhannya jangan sampai kedengeran sama orang lain, jangan sampai keluar kamar suaranya. Dosa kalian yang nanggung loh."

Aku sedikit bingung dengan ucapan Ummi, maksudnya apa coba. Sedikit aku mengingat. Pekikan, jeritan, dan keluhan. Apa mungkin suara Nabila tadi terdengar sampai keluar kamar. Ah, jangan-jangan Ummi mikir yang enggak-enggak lagi.
"Hahahhaa " tawaku pecah saat memikirkan itu semua. Sementara Ummi, ia kelihatan kebingungan.
"Kamu kenapa ketawa?"
"Maksud Ummi itu suaranya Nabila ya?" yang aku memastikan.
"Menurut kamu?" aku hanya diam mendengar Ummi berucap demikian.
"Ummi tadi nggak sengaja denger Nabila bilang gini. Aduh duh, sakit mas. Terus tadi bilang juga, kamu sih maksa suruh gulang lagi,gulang lagi. Aku kan capek. Dan tadi Nabila sampe muntah. Kamu apaan istri kamu Nuga. Ya Allah. Abi aja sampe denger kan bi" Ucap Ummi dengan raut wajah sedih dan khawatir.
"Loh, kok Abi di bawa - bawa toh mi?" tanya Abi dan Ummi membalas dengan kedipan mata kearah Abi.
"Ummi sayang, jangan khawatir ya. Nuga cuma ngajari Nabila ngaji kok."
"Hm?!" ucap Ummi spontan menoleh kearahku.
"Ngajarin Nabila ngaji?" tanya Ummi.

Aku mengangguk sebagai jawabannya. "Tadi dia muntah karena keseringan nyebut huruf kho. Terus yang dia bilang sakit itu karena pipinya Nuga cubit Ummi."
Bisa kulihat wajah Ummi yang berubah menjadi malu. Ummi, Ummi. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kalau pun aku melakukan nya dengan Nabila, tak kan kubiarkan suara Nabila sampai terdengar keluar kamar. Tak kan ku biarkan dia terkena dosa.
"Hm, Mas Nuga ngapain di luar?"
Aku menoleh kearah sumber suara. Dan itu adalah Nabila yang berdiri di ambang pintu kearah dapur dengan satu kotak Donat dan sebotol minuman di tangannya.
"Udah lewat lima menit." Ucapku menunjukkan kearah jam dinding.
Ia menoleh kearah jam dinding itu.
"Cuma telat 5 menit kok. Ya udah yuk belajar lagi." ajaknya.
"Ya udah, kamu duluan aja masuknya." Ucapku.
"Oke," ucapnya. " Ummi Abi, Nabila masuk dulu ya." sambungnya.
"Ya, silakan nak." sahut Abi.

Aku menatap Nabila masuk kedalam kamar dan telah duduk diatas sajadah itu lagi.
"Abi, Ummi. Nuga mau ngajari Nabila lagi ya." ucapku dengan nada lembut.
"Iya, lanjutkan nak." Ucap Abi semangat sembari melirik Ummi.
"Mi, jangan Shoudzon ya. In syaa Allah Nuga jaga Nabila biar suaranya nggak keluar kamar lagi." Ucapku.
"Tu dek, dengerin kata anaknya." ucap Abi kepada Ummi yang tak sengaja tertangkap oleh indra pendengaranku.

***
Nuga kembali duduk di hadapan Nabila yang asyik memakan Donat itu. Ia menggelengkan kepalanya.
"Enggak kenyang-kenyang?" tanya Nuga.
Nabila menggeleng. "Makan donat, nggak akan ada kenyangnya. Enak banget tahu. Nanti kan masih butuh tenaga buat belajar." Ucapnya.
"Botol minum sebesar ini buat apa?" tanya Nuga kembali.
Nabila berhenti mengunyah Donatnya itu. "Ck, pertanyaan macam apa itu." ucapnya kesal.
"Kalau seandainya kamu udah capek nggak usah di terusin aja deh. Kita sambung besok." Ucap Nuga.
"Beneran?" Nuga mengangguk. "Alhamdulillah." Ucapnya semangat.
"Tapi kalau besok sampai nggak bisa awas aja ya."
"Iya, iya. Gampang lah. Nanti belajar sama Marwah aja kalau nggak sama Ummi." ucapnya.
Di sela-sela perbincangan mereka. Ponsel Nuga berdering.
"Siapa?" tanya Nabila.
"Pihak kampus."
Setelah mengucapkan itu. Nuga mengangkat panggilan tersebut. Nabila memperhatikan wajah Nuga. Ekspresi wajah Nuga menampakkan sebuah senyuman dan berubah menjadi lemas, senyum lagi dan lemas lagi.

Nabila meletakkan donatnya kedalam kotak itu kembali. Tangannya ia masukkan kedalam mukenah. Ia memejamkan matanya. Mulutnya komat-kamit, entah apa yang ia pinta kepada Allah.
"Nabila." panggil Nuga.
Matanya terbuka satu. "Ya?" tanyanya.
"Ngapain?"
"Berdoa."
"Doa apa?"
"Biar kamu di terima."

Nuga tersenyum. Lebih tepatnya tersenyum terpaksa. Ia menelungkupkan tangan Nabila dan di genggamnya tangan itu.
"Makasih ya sudah mau berdoa buat aku."
Nabila tersenyum. "Iya, sama-sama. Kan kewajiban aku." Ucapnya.
"Gimana, di terima?" tanya Nabila.
"Rezeki aku bukan di situ." jawab Nuga dengan senyum.
"Di tolak?"
Nuga melepaskan pegangan tangannya. "Kan saingannya banyak."
Nabila memegang pundak Nuga dan mengelusnya.
"Jangan sedih. Kan masih ngajar di pesantren." Ucapnya memberikan semangat.
Nuga memberikan senyumnya. Nabila menatap kotak donatnya.
"A, sekarang Mas Nuga makan donat sama aku aja."
"Aku, kurang suka sama donat."
"Kurang suka bukan berarti nggak suka kan. Ayo di makan donatnya. " Ucapnya menyodorkan satu Donat ke depan mulut Nuga.
"Masa nolak di suapi sama istrinya."

Nuga kembali tersenyum. perlahan ia membuka mulutnya dan memakan donat itu. Bahkan Nabila memakan bekas gigitan dari Nuga.
"Kamu mau makan bekas gigitan aku?" tanya Nuga.
"Mau. Emang kenapa? Ada yang salah."
"Nggak."
"Ya udah kalau nggak masalah. Ni, aaa."
Nuga membuka mulutnya kembali. Malam ini sepertinya mereka berdua akan tidur dengan perut kenyang akibat memakan donat. Bahkan Nuga yang tak begitu suka dengan Donat kini mulai menyukainya. Mungkin karena makan dan disuapi oleh Nabila.
"Lusa, temenin aku pulang ya. Mau ambil boneka."
"Boleh, sekalian aja nginep di rumah papa dan mama."
"Nggak usah." ucap Nabila spontan.
"Kenapa?" tanya Nuga.
Nabila tak menjawab. Ia tak ingin jika nanti Nuga melihat Papa dan Mama bertengkar.
"Kita nginep aja ya. Udah seminggu kita Nikah tapi aku belum nginep di rumah mertuaku."
"Bukannya Mas Nuga ngajar?"
"Lusakan hari kamis. Besoknya jum'at. Sekolah kan libur jadi nggak ada masalah."
"Ya udah kalau gitu kita nginep tapi cuma satu malam saja." pinta Nabila.
"Iya."
________________________________________________
Terima kasih sudah setia membaca cerita MDU dan maaf tak bisa NEXT KILAT.
kelu part selanjutnya. Wah, pokoknya wah banget. Bakal banyak derai air mata Nabila.
Jazakumullah ya khairan ya.


-------

💞 Menikah Dengan Ustadz 💞
Part 10

Saat ini aku sedang merapikan pakaianku dan Mas Nuga. Masing-masing hanya satu pasang. Ku lihat Jarum jam telah menunjukkan pukul 13.59. Sebentar lagi jam pulang sekolah.
Jujur, sebenarnya aku enggan untuk menginap di rumah kedua orangtua ku. Aku takut jika Mas Nuga akan melihat pertengkaran mereka. Tapi, karena jarak rumah dan pesantren cukup jauh serta permintaan dari Mas Nuga untuk menginap, terpaksa aku melakukannya.

Setelah berkemas, aku memainkan ponsel ku, membuka Instagram dengan nama akun @NabilaNuga_NN_SAH. Lucu ya namanya. Enggak tahu kenapa saat mau buat akun baru keinget sama Mas Nuga gitu. Saat membuka Instagram yang baru kubuat 3 hari yang lalu itu, Followernya sudah menginjak angka 234k. Wow cepat sekali, mungkin karena postinganku tentang Cafe baru, atau tentang poto cincin pernikahan atau karena aku seorang chef sekaligus penikmat kuliner atau mungkin, karena aku seorang anak dari CEO perusahaan besar.
Cklek !!

Suara pintu itu terbuka, di sana nampak seseorang dengan baju kokoh putih dan celana dasar berwarna hitam mendekat kearahku. Wajahnya sungguh kelihat sangat tak bersemangat.
"Mas." tegurku sembari bersaliman dengan dirinya.
"Bil, udah di siapin semua keperluannya? " tanya Mas Nuga.

"Udah. Tinggal berangkat aja. Mas Nuga kalau mau mandi ya mandi aja dulu. Biar nampak lebih segar nanti. " Ucapku.
Ia bergegas mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu. Setelah selesai mandi, aku dan Mas Nuga langsung pamit kepada Abi dan Ummi takut nanti datangnya kemalaman.
Kali ini suasana di dalam mobilku tak seperti biasanya. Kali ini kami berdua saling berbincang mungkin bisa di bilang curhat antara istri dan suami. Meskipun tubuhnya nampak lelah namun bisa kulihat kalau ia menutupinya dengan terus bercerita dan tersenyum. Tersenyum, aku suka melihatnya tersenyum, begitu manis jika di pandang.

"Oh ya bil, kamu yakin kalau mau beli itu cafe? " tanyanya.
Aku mengerutkan dahiku. "Emang kenapa nanya kayak gitu? " tanyaku balik.
"Ya gimana ya, jaraknya sama pesantren kan jauh. Tiga jam kan baru sampe. Ya aku takut aja semisalnya kamu harus bolak-balik sendiri. Pastikan capek banget. " Ucapnya.
Aku menghela nafas. "Mas Nuga enggak usah khawatir. Pokoknya nanti sekitar jam 5 sore cafenya aku tutup. Jadi malamnya bisa buat Mas Nuga. " jawabku.
Saat aku melihat wajahnya, sepertinya dia gugup. Ada apa ya?
"Yakin malamnya buat aku? " tanya nya.
"Yakin. Kan siang kerja kalau malamnya kasih waktu buat suami. Kamu kan nanti juga harus kayak gitu Mas. Kita berdua harus pinter bagi waktu."

Aku melihat ia tersenyum. Apa ada yang salah dengan ucapanku.
Secerca cahaya matahari sebentar lagi akan menghilang. Sudah senja, ternyata sudah 4 jam lebih kami menempuh jalanan yang padat ini. Sebentar lagi akan masuk waktu magrib, benar dugaanku.
"Masih jauh nggak sih bil? "tanya Mas Nuga.
"Bentar lagi. Belok kanan, lurus, belok kiri, lurus lagi nanti ada pagar besar. Nah di sana kompleks perumahan nya. " jelasku.
"Magriban di jalan dong kita. " Ucap Mas Nuga.
"iya. "

Seperti ucapan Mas Nuga tadi, kita berdua magriban di jalan. Ia melaksakan shalat magrib di Masjid yang jaraknya tak begitu jauh dari kompleks perumahan sedangkan aku sendiri bermain ponsel Karena sedang tanggal merah. Huh, tanggal merah. Aku bersyukur Karena aku tak telat, jujur aku belum siap jika harus memiliki anak. Aku jadi ingat kejadian beberapa menit yang lalu.
"Enggak shalat bil? " tanya Mas Nuga.
"Lagi tanggal merah Mas. "
"Lagi libur? " tanyanya.
"Iya. "
"Wah berarti kurang manjur dong yang waktu itu. "godanya.
"Mas Nuga. " tegurku mencubit lengannya.

Aku tersenyum sendiri saat mengingatnya hingga kudengar suara pintu mobil terbuka, itu Mas Nuga. Aku suka melihat rambutnya yang basah karena Air.
"Yuk lanjut jalan lagi. "
"Yuk. "
Kami melanjutkan perjalanan kami, hingga mobil kami masuk kedalaman sebuah kompleks perumahan. Ban mobil itu berhenti di depan sebuah rumah. Rumah siapa lagi kalau bukan rumah Mama dan Papa.
"Ini rumah Papa? " tanya Mas Nuga.
"Iya. "
"Besar sekali, mewah lagi. Aku jadi malu kalau di tanya Papa udah punya rumah sendiri atau belum. " Ucap Mas Nuga.
"Enggak usah malu. Aku juga kan enggak ngeluh."

Gerbang di buka. Di sana ada pak Darto, satpam rumah ku. Setelah mobil terparkir aku mengajak Mas Nuga masuk kedalam rumah.
Saat membuka pintu aku dan Mas Nuga terkejut. Semua pelayan yang ada di rumah ini berbaris di sisi kiri dan kanan menyambut kedatanganku. Sungguh, ini sangat berlebihan.
"Nabila. "
Aku melihat Mama dengan pakaian ala rumahan menghampiriku dan ia memelukku. Aku terkejut bukan main, Mama memelukku. Sedangkan di sisi belakang Mama, Papa masih tetap sama, dengan tampilan Casualnya. Memakai kemeja lengkap dengan tuxcedo. Bisa kutebak jika ia baru saja pulang kerja.
"Ma, " Ucap Mas Nuga mengambil tangan Mama dan Menciumnya.
Begitu pula ia melakukannya dengan Papa. "Pa. "
"Oke, kita langsung ke ruang makan aja ya. Kalian pasti laper kan?" ucap Mama.
"Enggak taruh tasnya dulu? " tanya Mas Nuga.

"Kan ada pelayan, tinggal suruh aja. Yuk. " Ucap Mama.
Mas Nuga menghadap kearahku, aku mengisyaratkan kata iya dengan memejamkan mata ku sejenak.
Kami berjalan menuju meja makan. Aku sangat takjub saat melihat semua ini. Aku dan Mas Nuga benar - benar di jamu dengan mewah. Mama dan Papa pun terlihat akrab.
"Mama seneng akhirnya kalian bisa main kerumah Mama dan Papa. " Ucap Mama.
"Oh ya ga, pekerjaan kamu itu sebagai pengajar di pondok pesantren ya? " Tanya Papa.
"Iya pa. "
"Penghasilan nya sebulan berapa? " Tanya Papa kembali.
"Pa, apaan sih kok nanya penghasilan. " tegur Mama.
"Loh memangnya kenapa, Papa kan harus tahu perbulannya Nabila pegang uang berapa nanti. Papa nggak mau kalau Nabila kekurangan uang dan nanti ia jadi orang miskin. "

Ucapan Papa itu sungguh terdengar begitu panas di telingaku. Aku melirik Mas Nuga yang nampak diam tak selera memakan makanan yang ada di atas piringnya.
"Kalian sekarang tinggal dimana? Berdua atau masih numpang sama orang tua? "
"Untuk saat ini masih tinggal sama orang tua saya pa. " Jawab Mas Nuga.
"Oh, belum sanggup beli rumah dan biaya berdua?"
Jujur, saat ini aku sudah sangat kesal dengan ucapan Papa. Sangat kesal.
"Oh iya saya lupa, penghasilan jadi guru tu nggak seberapa kan. Ha ha"
Fixs, Papa sengaja mempermalukan Mas Nuga.
"Aku bahagia menikah dengan Mas Nuga. " Ucapku di sela-sela perbincangan itu.
"Walaupun kita masih numpang dan penghasilan Mas Nuga tak seberapa. " sambungku.
Mungkin saat ini semua orang melihat kearahku. Aku berlaga cuek dan meneruskan memakan makanan ku.

"Bahagia? Ha ha ha, Nabila, Nabila. Kamu Nikah sama Nuga juga karena perbuatan mesum kalian kan. Bikin malu keluarga saja kamu. Harusnya kamu tu nyadar, gara-gara perbuatan kamu. Keluarga Rio memutuskan kerjasamanya keperusahaan kita. Kamu tahu kan Keluarga Dinata itu keluarga terpandang, mereka masih ada di atas kita. "
Otakku mungkin sudah mendidih dan dadaku terasa bergemuru mendengar ucapan Papa, aku selalu di pojokkan.

"Papa bisa nggak sih nggak usah selalu mojokin aku. Aku Nikah sama Mas Nuga karena kesalah pahaman. Itu nggak akan terjadi jika Papa enggak berantem sama Mama dan si Rio, laki-laki yang Papa puji itu nggak selingkuh sama Syella."
"Rio selingkuh? " Tanya Mama.
"Iya Ma. Aku benci sama dia. Dan asal Papa dan Mama tahu, aku nggak niat menginap di rumah ini. Mas Nuga yang minta biar nginep disini. Berharap bisa di sambut mertuanya dengan baik. " Ucap ku melirik Mas Nuga yang diam seribu bahasa.

Aku melihat ia menunduk, rahangnya mengeras dan sendok yang ia pegang di genggam erat. Apa dia sedang menahan amarahnya.
"Nafsu makan aku hilang. Aku sama Mas Nuga mau ke kamar dulu. Mau istirahat. Makasih buat makan malam nya. "
Aku mengenggam tangan Mas Nuga untuk pergi menuju kamarku. ternayata bukan pertengkaran Mama dan Papa yang di dengar dan dilihat Mas Nuga tapi pertengkaran ku dan Papa.
"Tu, apa aku bilang. Harusnya kamu nggak usah kerja juga. Didik anak aja. Jadi gitu kan anaknya. Melawan. "
Samar-samar aku mendengar Papa memarahi Mama. Huh, mungkin Mas Nuga juga mendengarnya.

***
Nabila berdiri membelakangi Nuga, saat ini mereka telah sampai di dalam kamar Nabila. Nabila membalikkan badannya menghadap Kearah Nuga.
"Mas Aku minta maaf soal__"
"Aku yang harusnya minta Maaf sama kamu Nabila. Aku hanya bisa diam saat kamu membela aku tadi. "
"Kamu tadi lagi menahan amarah kan?" tanya Nabila.
Nuga diam, bagaimana Nabila tahu jika ia sedang menahan amarahnya.
"Diam artinya iya Mas. " memegang tangan Nuga. "Makasih karena sudah mau menahan amarahmu di depan orang tuaku. " Ucap Nabila.

Nuga hanya tersenyum dan membalas genggaman tangan Nabila. Ada satu pertanyaan yang menyelil di hari kecilnya. Ingin bertanga tapi ragu. Bagaimana jika Nabila menjawab dengan jawaban yang tak dia inginkan.
"Bil, aku boleh bertanya sesuatu sama kamu? " tanya Nuga.
"Boleh, mau nanya apa? "
"Apa kamu benar - benar bahagia menikah dengan aku? "
"Iya, aku bahagia. Kenapa sih nanya kayak gitu? " jawab dan tanya Nabila kembali.
"Aku kan belum ngasih kamu apa-apa dan lagi, pernikahannya kita baru berjalan seminggu, tentang perdebatan yang di awal-awal menikah juga. Aku rasa__"
"Pasti karena omongan Papa tadi kan. " tebak Nabila.

"Mas aku ini Nabila, apa yang aku katakan itu ya benar apa adanya. Lagian kan kamu sudah mau membimbing aku. Apa kamu masih mau bilang kalau kamu belum kasih apa-apa. " sambungnya.
Nuga diam mendengar ucapan Nabila. "Untuk uang, aku akan terima berapa pun uang yang kamu kasih. "

Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Nabila, Nuga membelai pipi Nabila dengan lembut.
"Aku boleh nanya satu lagi nggak? "
Nabila mengangguk. "Boleh." Jawab Nabila.
Mungkinkah Nuga bertanya seperti itu karena pertengkarannya tadi dengan Papanya.
"Apa kamu pernah merasa menyesal menikah dengan aku?"
Nabila sedikit tertawa. "Ck, pertanyaan kamu tu aneh banget sih Mas. "
"Nabila, aku serius loh nanyanya. "
"Pernah." ucap Nabila sedikit Kessler.
Nuga menundukan pandangannya. Harusnya ia sudah tahu jawabannya.
"Tapi, itu di awal pernikahan kita." sambung Nabila.
"Kalau Sekarang? "

"Udah enggak. Mas, kalau aku menyesal Nikah sama kamu. Aku nggak akan berikan harta paling berharga dari diriku untuk kamu. Seutuhnya aku sudah menjadi milik kamu. "
Nuga diam. Bingung harus berkata apa lagi. Dan benar, ia telah merenggut apa yang paling berharga dari diri Nabila.
"Kalau seandainya waktu itu aku enggak khilaf dan enggak ambil hak aku. Apa kamu juga enggak akan menyesal?" Tanya Nuga kembali.
"Mas Nuga, udah dong. Mas Nuga mau berantem juga sama aku."
"Enggak Nabila, aku kan cuma nanya doang sama kamu. Kok jadi marah sih. "
"Pertanyaan kamu tu yang buat aku marah."
"Ya udah aku minta maaf."
"Ya udah di maafin."
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Suara adzan telah berkumandang, memanggil seluruh umat muslim untuk mengerjakan kewajibannya.
"Aku pergi ke masjid dulu ya, mau shalat isya. "
"Iya."
Nuga menjulurkan tangannya untuk di cium oleh Nabila.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam"
________________________________________________
Bersambung.


-------


💞 Menikah Dengan Ustadz 💞
Sambungannya part 10
***

Matahari mulai menampakkan sinarnya. Nuga menikmati suasana seperti ini, ia berjalan sendiri menyusuri jalanan kompleks ini. Dengan mengenakan sarung dan baju kokoh.
Saat masuk kedalam rumah, samar-samar ia mendengar suara ribut di dalam rumah itu.
"Kamu tu ya, selalu mikir yang enggak-enggak. "
"Gimana aku enggak mikir yang enggak - enggak, ini kamu belanja buat siapa? Pasti ada wanita lain kan. "
"Udah ya aku capek selalu kamu tuduh. Lebih baik aku pergi kerja."
"Alasan. Sudahlah Frans, aku tahu. Kamu mau menemui wanita itu di apartement yang kamu belikan kan? "
"kalau iya kenapa?! Masalah buat kamu. "

Kalimat yang sangat menyohok, menusuk di relung hati yang paling dalam. Setelah mengucapkan itu, suaminya itu pergi meninggalkan nya sendiri tanpa berkata apa-apa lagi.
Nuga bersembunyi dari balik tembok agar tak kelihatan oleh Fran yang akan keluar dari rumah.
Ia melihat ibu mertuanya menangis, apakah seperti ini setiap harinya. Apakah Nabila mendengar perdebatan kedua orang tuanya di pagi-pagi buta ini.
"Nuga. "
Nuga terkejut saat namanya di panggil, ternyata itu ibu mertuanya yang sudah berdiri di samping nya.
"Ma. "
"Nuga, kamu. Sejak kapan ada disini, apa kamu denger semuanya? "
"Maaf Ma, Nuga ... Nuga enggak sengaja denger. " jawabnya.
Marta, ibu mertuanya itu menarik nafas dalam. "Maaf ya, pagi-pagi begini kamu malah denger keributan," ucapnya.
Nuga tersenyum tak enak seraya mengangguk.
"Nuga, ikut Mama yuk. Ada yang mau Mama bicarakan sama kamu. "
"Oke ma. "

***
Sinar mentari telah menyelinap masuk dari sela-sela gorden namun Nabila masih terlelap dalam tidur. Beruntung saat ini ia sedang libur shalat. coba kalau tidak, pasti Nuga akan menganggunya sampai ia bangun.
Druutt ... Druttt ...
Suara ponselnya berbunyi, membangunkan sang empunya.
"Hallo ka, lo ngapain pagi-pagi gini nelpon gue?"
"Pagi, pagi dari mana. Ini udah jam sembilan pinter. "
Nabila mengerjibkan matanya dan melihat kearah jam wekernya.
"Oh iya udah jam sembilan. By the way lo nelpon gue kenapa? "
"Lo udah tahu belum. "
"Apaan? "
"Tadi gue kan ke rumah sakit biasa sih cek kandungan. Terus ketemu sama Syella dan Rio. "
Nabila membuka matanya sempurnah saat mendengar kabar ini. Ia mendudukkan badannya dari tidur.
"Mereka berdua kerumah sakit, Ngapain?"
"Gue bakal kasih tahu tapi jngan kaget ya. "
"Iya. "
"Syella ngecek kandungan. "
"Apa? "
"Kaget kan lo. Gue aja kaget bil. Mereka berdua kan belum Nikah. Kok bisa ya. "

Nabila diam. Ia memang pernah melihat Rio dan syella melakukannya di apartement milik Rio, kejadiannya seminggu yang lalu tepat pada hari dimana ia dan Nuga di nikahkan.
"Mana gue tahu. Itu urusan mereka," jawab Nabila.
"Iya sih. Ya udah deh bil, gue cuma mau ngasih tahu itu aja. Dan katanya seminggu lagi mereka bakalan nikah. "
"Oh gitu. Ya bagus dong. Berarti Rio tanggung jawab sama perbuatannya."
"Iya, Eh udah dulu ya bil, suami gue manggil tu. See you baybe. "
"See you too Bumil"
Nabila mengusap wajahnya, rasanya ingin menangis saat tahu semua ini. Jatuh cinta kemudian patah hati begitu sakit.
Ia berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju arah bawah. Keadaan rumah ini seperti biasanya, pasti Mama dan Papanya sudah pergi bekerja. Tapi, dimana Mas Nuga nya. Tidak mungkin jika Nuga pergi juga.
"Sarapan non. "
"Ya boleh. "
Ia di layani oleh beberapa pelayan dirumahnya. Memakan sarapan paginya.
"Mama sama Papa udah berangkat kerja? " tanyanya.
"Kalau Tuan besar sudah. Kalau Nyonya lagi ngobrol berdua sama Den Nuga. "
Nabila memberhentikan gerakan tangannya. "ngobrol sama Mas Nuga."
"Iya Non. "
"Dimana? "
"Taman belakang. "

Setelah menghabiskan makanannya, Nabila menuju kearah Taman belakang rumahnya. Tak terlalu besar Karena berdampingan dengan kolam renang.
Samar-samar iya mendengar Mamanya mengucapkan sesuatu.
"Jaga Nabila ya ga. mama merasa sudah gagal menjadi seorang ibu yang baik buat Nabila. "
"Mas Nuga, Ma. " Ucapnya.
"Nabila. " Ucap Nuga
"bil. " Ucap Mama.
"Mas Nuga sama Mama pada ngomongin apa sih? "
"Kamu tanya sama suami kamu aja ya. Mama mau ngantor dulu. Udah siang. "
Mamanya telah pergi dan sekarang tinggal Nuga. Ia mendekat kearah Nuga dan duduk di samping Nuga.
"Ngobrol apa sama mama?"
"Ngobrol sesuatu. "
"Sesuatunya apa?"
"Ya pokoknya sesuatu deh bil. Rahasia. "
"Ck. Kenapa main rahasiaan sih. "

Nuga hanya tersenyum dan mengacak-ngacak ubun-ubun Nabila dengan lembut.
"Kalau lagi marah gitu tambah cantik deh. "
"Udah deh. Nggak usah muji-muji segala. Dari lahir juga emang udah cantik. " Ucap Nabila.
"Iya deh yang cantik, Calon Ibu dari anak-anak aku nanti. "
Saat mendengar Nuga berbicara seperti itu rasanya Nabila ingin sekali tersenyum, tersipu kah dengan ucapan dari Nuga.
"Enggak usah ngegombal. Enggak bagus tahu nggak. "
"Itu kenyataan bukan gombalan. "
Nuga merangkul bahu Nabila yang duduk di sampingnya. Mau ekpresi apalagi kalau bukan senyuman. Di tambah dengan rangkulan erat Nuga pada Nabila agar tak menjauh dan lepas dari pelukannya.
'Saya akan mencintai kamu, di dunia mau pun di akhirat Nabila Nisa Apriliya' batin Nuga.

Next?