Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

💞Kamu pilihan Allah 💞 36 - 41 Selesai

💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 36 (Manusia Biasa ) by Resi Oktariani
'Kita bukanlah Malaikat dan bidadari yang tak pernah melakukan kesalahan. Kita adalah Manusia biasa, yang senantiasa melakukan kesalahan.'
~ Kamu Pilihan Allah~

 ***

Nabila menatap embun uapan air dingin yang berada digelasnya. Ia menopang kepalanya dengan tangan kanan. Menghela nafas begitu halus dan lembut, ia sedang memikirkan sesuatu.
Eriska, sahabatnya itu melihat Nabila yang duduk dihadapannya. Dari awal datang ke Cafe ini, Nabila hanya diam. Ia tak banyak bicara kepada Eriska. Oke, Eriska bukanlah anak ABG yang tidak tahu apa-apa. Ia adalah seorang istri sekaligus seorang ibu rumah tangga yang telah banyak mengalami promblematika dalam hubungan rumah tangga. Sehingga, ia mengambil kesimpulan bahwa sahabatnya itu pasti sedang mengalami masalah didalam rumah tangganya.
"Bil, lo kenapa sih. Dari tadi gue perhatiin diem aja." tanya Eriska.
"Enggak apa-apa. Gue cuma lagi mikir aja."
"Mikir apaan?"

Nabila menatap temannya itu. "Gue lagi mikir, kok hidup gue ini udah kayak drama sinetron aja."
"Ha? Drama sinetron apaan?" tanya Eriska sembari tertawa.
"Hahahha," Eriska menaikan satu alisnya karena bingung.
"Lo kenapa ketawa?" tanya Eriska.
"Lo inget enggak, waktu kecil gue kehilangan kakak gue gara-gara kecelakaan, Allah ngambil Kakak gue karena Allah lebih sayang sama kak Jihan. Terus, saat besar gue punya tunangan, dan tunangan gue malah diembat sama temen gue. Kemudian, Mama Papa cerai karena Papa nikah sama orang yang udah Mama gue anggap sebagai adeknya sendiri dan sekarang ..." Nabila mengangtungkan kalimatnya.
"Sekarang apa?"
"Sekarang, suami gue, sedang menjaga cewek yang dulu pernah dia janjiin buat dinikahi."
"What?!"
"Kenapa kaget?" tanya Nabila begitu santai.
"Kenapa kaget?" ucap Eriska mengulang kalimat Nabila. "Nabila, tadi lo bilang, suami lo lagi jaga cewek yang dulu pernah dia janjiin nikah. Lo enggak marah gitu suami lo deket sama cewek lain?"
"Ya awalnya gue marah. Marah banget. Apalagi pas tahu dia bohong ke gue."
"Dia bohong apa sama lo?!" tanya Eriska yang mulai emosi.
"Iya, dia bohong pas gue tanya dia ada dimana. Dia bilang, dia ada kerjaan di pesantren tapi ternyata, dia jagain cewek itu."
"Wah, parah-parah. Parah banget suami lo. Kok bisa-bisanya dia bohong. Bohong kan dosa, harusnya dia tahu."
"Hm, suami gue juga manusia biasa kali. Dia bisa melakukan kesalahan sama kayak laki-laki lainnya."
"Jadi, lo enggak marah gitu suami lo ngerawat, jengukin itu perempuan."
Nabila menggeleng, "Suami gue bilang, kalau dia ngelakuin itu semua karena dia merasa iba. Dia mau bertangung jawab atas semua perbuatannya."

Eriska masih tidak percaya dengan kebesaran hati Nabila. Nabila yang terbilang sangat sulit memaafkan sesuatu tiba-tiba saja berbuah menjadi seorang wanita yang luar biasa.
"Oke, gue tahu kalau gue kecewa banget sama dia. Tapi kan, dia mau berbuat baik sama orang lain."
"Tapi orang lain itu cewek yang pernah ngisi hati suami lo, Nabila." Eriska mulai kesal sendiri mendengar penuturan dari Nabila.
"Ya kan, niat suami gue ---"
"Apapun niatnya ya tetep salah, bil. Ini bisa jadi peluang besar buat itu perempuan. Bisa aja dia mengambil kesempatan ini buat dapetin suami lo. Jaman sekarang, bil. Musim pelakor kali," ucap Eriska memperingatkan.
Nabila sedikit memikir itu tapi ia tetap berfikir positif dengan semua yang terjadi.
Dengan senyuman Nabila berkata, "Gue percaya sama suami gue, Ka."
"Bil, bil. Modal percaya doang. Lo aja udah pernah dia bohongi." Eriska menyeruput minumannya, "Inget, bil. Suami lo itu laki-laki biasa, bukan seorang malaikat yang tidak memiliki nafsu dan yang tidak pernah berbuat salah. Bisa aja dia nanti khilaf. Ambil pelajaran yang sudah-sudah. Lihat Mama lo, dia baik tu sama istri kedua Papa lo. Bahkan, udah dianggap adik sendiri. Tapi apa balasannya?"
Nabila menengakkan posisi duduknya. Ada benarnya juga omongan dari Eriska. Dia memang mendukung Nuga jika ingin bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi ia tidak mau jika Nuga terjerumus oleh bujuk rayuan setan.
Astagfirullah, Nabila teringat sesuatu. Saat dia memergoki Nuga menjenguk Halimah, mereka hanya berdua didalam ruangan itu. Apa jangan-jangan selama ini. Ya Allah, Nabila tidak ingin bershoudzhon kepada Suaminya tapi melihat kenyataan kemarin. Tidak, jangan sampai. Jangan sampai nasibnya sama seperti sang Mama. Sudah cukup ia merasakan kehilangan seseorang yang ia sayangi.

"Nah, kepikiran kan sekarang," ucap Eriska. "Elo sih, kelewatan baik." sambungnya.
Eriska kembali menyeruput minuman yang ia pesan. Saat sedang menikmatinya, Nabila langsung berdiri dari tempat ia duduk. Membereskan semua barangnya.
"Eh mau kemana?" tanya Eriska.
"Gue mau kerumah sakit."
"Nah, bagus itu. Kasih tau deh sama tu cewek, jangan deket-deket sama suami orang."
"Gue enggam mau ketemu sama cewek itu kok."
"Lah terus, ngapain situ tadi bilang mau kerumah sakit?" tanya Eriska bingung.
"Gue mau lihat adek gue. Kemaren dia kecelakaan."
"Adek, adek yang mane?" Eriska bertanya karena sejauh yang ia tahu, Nabila itu adalah anak bungsu dari keluarga Fran.
"Anak Mama Anin, istri kedua Papa." jawab Nabila.
"Uhuk," Eriska tersedak makanannya. "Anak Mama tiri lo dong?" tanya Eriska memastikan.
"Iya."
"Lo udah nerima mereka?" tanya Eriska.
"Iya."
"Secepat itu?"
"Iya, udah lah. Aku udah terlambat. Kalau mau nambah, nambah aja. Gratis buat lo."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Nabila keluar dari cafe nya menuju kearah mobil untuk pergi kerumah sakit.
"Gila, temen gue ngapa bisa jadi orang yang baik banget ya, mungkin kalau suaminya mau nikah lagi di bolehin sama itu orang." ucap Eriska geleng kepala karena tak percaya.
Sedangkan disisi lain, Nuga juga merasa bingung dengan keadaan yang ia hadapi sekarang. Bahkan, dikelas tadi, saat penyampaian materj, fikiran nya tidak fokus pada satu titik.
"Wah, tumben bener bawa bekal. Sayang banget ya Nabila sama lo, Ga. Bagi yak." ucap Al yang tiba-tiba saja masuk kedalam ruangan guru. Ia mengambil kotak nasi yang berada dimeja Nuga.
Nuga hanya melirik kotak nasi yang ada ditangan Al, "Itu buat Halimah."
Al yang tadinya menatap kotak Nasi langsung menatap Nuga dengan kaget nya.
"Wah, parah lu, Ga. Enggak inget sama Nabila?"
"Itu Nabila yang nyiapinnya. Dia bilang, kasih kan ke Halimah."
"Masya Allah." Al meletakkan kotak nasi itu. "Jadi, Nabila ngizinin lo nikah lagi sama Halimah?"
Nuga menatap Al tajam, "Al, tolong ya. Jangan bahas itu dulu. Aku lagi pusing sekarang."
"Dan satu lagi. Bukan mengizinkan aku menikah lagi. Tapi mengizinkan aku menjaga Halimah sampai sembuh. Dan lagi, aku enggak ada rencana buat nikah sama Halimah,"ucap Nuga.
Kali ini Al diam. Nampaknya Nuga sedang terjerumus dalam permasalahan yang rumit. Al sedikit terkekeh melihat Nuga yang frustasi akibat ulah nya sendiri.
"Hahaha, apa bedanya coba. " Nuga menatap Al bingung.
"Gini deh, gue mau tanya dong sama lo. kok bisa, Nabila tahu kalau Halimah dirawat dirumah sakit?" tanya Al.

"Kemarin Nabila kerumah sakit, adiknya kecelakaan dan dirawat dirumah sakit yang sama tempat Halimah dirawat. Dia nelpon aku dan tanya aku dimana. Terus aku jawab, aku ada di pesantren." jawab Nuga.
"Luar biasa, Ga. Lo bohong sama Nabila dan Allah menunjukkan kekuasaannya sama lo."
Nuga menundukkan kepalanya. Ia sadar ia berbuat salah kepada Nabila. Terkadang terbesit diotaknya apakah ia telah menjadi imam yang baik bagi Nabila.
"Gini ya, Ga. Lo pasti tahu, tahu banget pasti kan. Sesuatu yang disembunyikan itu pasti akan terbongkar juga meskipun, lo udah nutup sesuatu itu serapat-rapatnya. Lo nyembunyiin sesuatu ke Nabila, Lo juga bohong kedia. Dan sekarang, Allah tunjukkan kebenarannya ke Nabila. Sadar enggak sih, Ga. Nabila lo itu, cantik luar dalam dan lo tega bohongi dia."
"Setegar-tegarnya cewek kalau kepercayaannya sudah rusak, susah, Ga. Hati mereka seperti gelas-gelas kaca. Jangan karena hati yang lain lo nyakitin hati yang harus lo jaga. Kalau lo ngasih perhatian sama Halimah, bukan tidak mungkin jika dia masih berharap bisa miliki lo. Sekarang, pilihan ada di lo Brother."
"Selesaikan masalah ini, atau masalah yang lain akan timbul terus."
Nuga meresapi setiap perkataan Al. Meskipun Al sering resek dan gesrek, tapi dia ada benarnya juga. Al benar-benar membuka pemikiran Nuga yang harusnya dari dulu harus terbuka.
Nuga memperbanyak istigfar dalam hatinya. Ia benar-benar sudah salah melangkah karena rasa iba dan rasa bersalahnya.

***
Nuga sudah bulat dengan keputusannya. Ia akan masuk kedalam kamar rawat Halimah, memberikan makanan dan salam dari Nabila. Selanjutnya ia akan menjelaskan permasalahan yang ia hadapi. Jika dia harus memilih hati mana yang harus dipertahankan, Nuga akan memilih hati yang benar-benar harus ia jaga dan hati yang halal untuk dia cintai. Nabila, hati istrinya harus ia jaga. Ia tak mau mengecewakan Nabila. Tidak lagi.
"Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
Nuga melihat sekeliling ruangan itu begitu ramai. Disana ada sanak saudara dari Halimah. Ia menjenguk salivanya sendiri. Apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Nak, Nuga. Silahkan masuk," ucap Mamah.
Nuga tersenyum dengan ucapan Mamah Halimah. Ia masuk secara perlahan. Mendekat kearah Halimah berbaring.
"Ini siapa, Kak? Calonnya Halimah ya?" tanya seorang wanita.
"Wah, iya pasti. Tu lihat, dia bawa kotak bekal. Perhatiannya sama Halimah."
Nuga tersenyum tidak enak dengan ucapan itu. Ia memandang Halimah yang tersenyum malu dengan kepala yang menunduk. Tidak-tidak, ini tidak sesuai dengan rencanya tadi.
"Kak, kakak calonnya kakak Halimah ya?" tanya Seorang Gadis belia mendekat kearah Nuga.
"Bukan," jawab Nuga dengan senyum. "Saya cuma temen Halimah."
"Oh cuma temen. Tapi cocok kok sama Halimah," goda seorang laki-laki berkumis.
Ruangan ini langsung ramai saat menyahut ucapan dari laki-laki berkumis tadi.
"Saya sudah beristri," ucap Nuga membuat suara bergemuruh itu langsung terdiam.
"Apa?"
"Saya sudah beristri, om."
"Loh, kalau sudah beristri kenapa kesini nekiatin anak kami?" tanya Wanita paruh baya.
"Saya hanya sekedar menjenguk seorang teman. Saya juga membawa makanan untuk Halimah." Nuga melihat Halimah. "Dari istri saya,"
Halimah yang sedari tadi tertunduk langsung menatap Nuga. Nampaknya ia terkejut sekaligus tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Nuga barusan.
Suasana diruangan ini menjadi sepi saat Nuga meminta izin kepada seluruh keluarga Halimah untuk berbicara berdua. Banyak dari keluarganya tak terima jika anak gadis mereka ditinggalkan berdua saja dengan seorang pemuda. Sehingga, Mamah Halimah yang tahu semuanya bersedia menemani anaknya didalam ruangan ini bersama Nuga.
"Oh ya. Kamu dapet salam dari istri aku. Katanya, semoga cepat sembuh." ucap Nuga membuka pembicaraan.
"Dia tahu kalau kamu sering jenguk aku di rumah sakit?" tanya Halimah.
"Iya, kemarin enggak sengaja dia liat aku di rumah sakit ini."
"Dia enggak marah?"
"Dia marah, sangat marah bahkan."
"Kalau dia marah, kenapa dia mengirimkan makanan ini untuk aku?" tanya Halimah.
"Istriku mau berbuat baik ke kamu, jangan ditolak. Makan ya pemberiannya." pinta Nuga, "Sorry Halimah. Mungkin Ini kali terakhir aku menjenguk kamu." ucap Nuga langsung ke intinya.
"Kenapa? Dia ngelarang kamu?" tanya Halimah.
"Dia enggak ngelarang aku. Dia bahkan mau memaafkan kesalahan yang aku perbuat. Aku tidak mau melukai hatinya. Dia istri aku, sudah banyak penderitaan yang dia alami. Dan aku tidak mau menambah penderitaannya, " ucap Nuga.
"Dan aku?"
"Halimah, sudah berapa kali aku bilang ke kamu. Aku udah enggak ada rasa apa-apa ke kamu. Aku cuma iba sama kamu. Aku cuma mau menebus dosaku ke kamu dengan cara ini. Kamu bisa sakit kan gara-gara aku. Aku sangat mencintai Nabila dan aku enggak mau kalau orang yang aku cintai tersakiti."
"Hati aku hanya untuk Nabila, sekarang, besok dan selamanya," ucap Nuga.
"Ikhlaskan aku. Kamu harus menjadi Halimah yang aku kenal dulu. Masih ada Allah, Halimah, jangan jadi wanita yang tak berakhlak. Banyak laki-laki yang lebih baik dari pada aku."
Nuga melihat Halimah yang mulai menangis. Mungkin kata-kata Nuga sedikit kasar, tapi semua itu ia lakukan agar Halimah mengerti dan tak mengharapkannya lagi. Kalaupun Halimah membencimu biarlah. Nuga, tidak perduli dengan semua itu.
"Aku pamit ya. Cukup sampai disini masalah kita. Jangan sampai berlarut-larut."
Nuga melihat Mamah Nabila yang duduk di sofa. Wanita itu mengusap air matanya dan memberikan senyumannya kepada Nuga.
"Bu, saya pamit. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Mamah," panggil Halimah.
Wanita itu mendekat dan memeluk anaknya begitu erat. Ia memberikan ketenangan kepada anaknya itu agar kuat dan tegar.
Nuga yang sekarang sudah berada di luar ruangan tersenyum lega. Ia harap semoga Allah menegarkan hati Halimah dan Halimah dapat mengikhlaskannya. Sekarang, ia akan pulang kerumah. Dan menyiapkan makan malam romantis untuk Nabila sebagai permintaan maafnya.

***
Nabila memberikan kecupan manis di kening Wildan. Ia sangat menyangi Wildan walau baru 3 kali bertatap muka. Hatinya begitu lega saat operasi Wildan berjalan dengan baik dan Wildan bisa sadarkan diri dengan waktu yang sangat cepat.
"Cepet sembuh ya, sayang," ucap Nabila.
"Iya, kak."
Nabila berjalan ke arah pintu keluar. Ia mendekat kearah Mama Anin yang berdiri. Dengan senyum, Nabila memeluk Mama Aninnya. Ia juga memberikan kecupan di pipi kiri dan kanan Mama Anin nya. Begitu pula sebaliknya.
"Nabila pulang dulu ya, Ma."
"Iya, hati-hati dijalan ya, bil."
Nabila mengangguk dengan senyuman, "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Nabila beruntung memiliki Mama sambung sebaik Mama Anin. Dulu saat pertama kali bertemu, ia sangat membenci Mama Aninnya karena sudah menjadi orang ketiga dari hubungan Mama dan Papanya. Namun sekarang, Nabila tahu. Bahwa Anin ternyata adalah wanita yang penyayang.
Nabila keluar dari ruangan itu. Ia sedang mengotak-atik ponselnya. Saat matanya fokus kembali kejalan. Ia melihat Nuga yang berjalan berlawanan arah. Segera Nabila bersembunyi dibalik tembok. Jangan sampai Nuga melihatnya dirumah sakit.
Ia mengintip Nuga yang sedang berjalan. Suaminya itu ternyata berjalan kearah luar. Ia menyenderkan tubuhnya ke dinding tersebut dengan rasa kecewa. Nuga berjalan dengan wajah tersenyum bahagia.
'Pasti habis ketemu sama Halimah. Mana senyum-senyum lagi. Bicara apa dia sama Halimah sampai senyum-senyum bahagia.' batin Nabila.

***
Nuga sedang memasak hidangan serba hijau. Ia mengingat ucapan Mama mertuanya. Jika ingin cepat punya anak, mereka harus banyak makan-makanan yang berwarna hijau. Ia juga menyiapkan makanan kesukaan Nabila. Cumi kecap pedas manis. Ia harus cepat memasak karena Nabila akan pulang sekitar jam 7 malam.
Jika Nuga sedang menyiapkan makan malam romantis bersama Nabila. Nabila sendiri malah sedang menggalau karena melihat senyum Nuga dirumah sakit tadi. Hatinya berkecamuk antara kesal, takut kehilangan, dan cinta. Dia percaya bahwa suaminya akan mencintainya sepenuh hati, tapi melihat fakta yang ia lihat tadi. Sungguh, Nabila benar-benar bingung.
Ia menjernihkan pikirannya dengan berkeliling di taman. Sebuah getaran di saku gamisnya membuat ia tersadar dengan lamunannya.
Disana ada pesan dari suaminya.
(Assalamualaikum, sayang. Kamu udah sampai mana?)
Nabila menarik nafasnya begitu dalam. Suaminya itu masih mampu bersikap manis dan baik.
(Aku masih di Cafe, Mas.)
(Oh, masih lama dong. Ini udah hampir jam enam.)
Nabila melihat jam tangannya. Benar, hampir jam enam dan dia masih ditaman yang mulai sepi.
(Aku cari Masjid dulu ya, Mas. Assalamualaikum)
(Wa'alaikumsalam, jangan pulang malam ya. Ada yang Spesial dirumah.)
Nabila tidak menjawab pesan terakhir dari suaminya. Ia langsung memasukan ponselnya tanpa melihat pesan terakhir dari Nuga. Nabila segera meninggalkan taman dan mencari Masjid untuk segera melakukan Shalat.
Sekarang pukul 7 malam lebih. Nuga sudah menata rapi semua makanan di ruang depan. Dengan perasaan yang bahagia dan jantung yang berdebaran, ia menunggu Nabila pulang. Ia ingin melihat ekspresi Nabila saat melihat usahanya itu.
Namun, sampai ba'da Isya, saat Nuga pulang kerumah. Nabila belum juga pulang. Ia mencoba menelepon nomor Nabila tapi tidak diangkat oleh Nabila. Bahkan, nomor handphone Nabila tidak aktif.
Ia sangat khawatir dengan Nabila. Nuga bergegas mengambil kunci Motornya dan ingin mencari Nabila. Namun, ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Ada pesan masuk disana.
(Assalamualaikum, Mas. Maaf ya, Mas. Aku belum pulang. Aku kerumah sakit dulu, mau jenguk Wildan. Kamu enggak usah nyusul aku. Cuma sebentar setelah itu aku pulang.)
Pesan singkat itu membuat Nuga sedikit lega. Ternyata Nabila menjenguk Wildan dirumah sakit. Ia sekali lagi menatap makanan yang ada di meja makan itu.
(Kamu udah makan belum, sayang?)
(Ini, aku lagi makan sama Mama Anin di kamar Wildan. Kalau kamu sudah makan, Mas?)
(Belum, kam aku nunggu kamu pulang.)
(Maaf ya, Mas. Aku enggak sempet buatin kamu makan malam. Kamu mesen makanan aja ya malam ini.)
(Iya, nanti aku pesen makanan aja.)
Nuga menutup ponselnya. Kembali lagi ia melihat makanan yang sudah terhidangkan disana. Harus ia apa kan semua makanan ini. Kalau dia makan sendiri pun tidak akan habis. Gagal sudah rencananya malam ini.
__________________
Bersambung ...


💞Kamu pilihan Allah 💞
Part 37 ( Kembali Normal )
'Ikhlas dan sabar adalah salah satu kunci kebahagiaan dalam suatu hubungan rumah tangga.'

***
Nuga sedari tadi menyiapkan diri untuk berbicara dengan Nabila. Ia ingin meluruskan semuanya karena sudah dua hari ini Nabila bersikap biasa saja kepada dirinya.
Istrinya itu sekarang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Nuga ingin melangkah mendekat namun ragu, mendekat lagi, namun ragu kembali. Nabila tidak marah, tapi sikap biasa dari Nabila membuat Nuga tak nyaman.
'Oke, Nuga. Jangan takut. Nabila istri kamu dan kamu suami Nabila. Jelaskan semuanya dan semuanya akan clear.' batinnya.
"Sayang, mau aku bantu enggak?"
Nuga menawarkan bantuan kepada Nabila yang sedang memasak. Ia mengambil pisau untuk memotong sisa bawang yang sudah Nabila potong.
"Eeehhh, stop." Nuga menghentikan gerakan tangannya.
"Kenapa?" tanya Nuga.
"Kalau kamu mau bantuan, nyampu sama ngepel rumah aja, Mas. Masak biar urusan aku," ucap Nabila.
"Tapi kamu kayak repot banget. Aku bantuin masak aja ya." Nuga dengan lembut mengucapkan Kalimat itu.
"Mas, aku kan udah bilang enggak usah. Aku repot karena aku ngurus ini, ngurus itu. Aku cuma mau ngejer waktu. Nanti kalau kamu telat gimana."
"Ngejer waktu? Bukannya kita bangunnya barengan?" tanya Nuga.
"Ya ... Iya sih, ya tapi aku mudah capek aja sekarang. Pas udah shalat subuh, aku tidur lagi. Cuma sebentar, capek banget soalnya." jawab Nabila.
Nabila memalingkan wajahnya. Ia bohong soal itu. Sebenarnya tadi setelah shalat subuh, ia merasa sangat mual dan pusing. Mungkin hampir semua isi perutnya keluar dari kerongkongannya itu. Sedikit susah saat Morning sick, berusaha sendiri tanpa suami yang mengkhawatirkan. Bukan ia tak ingin memberitahukan kehamilannya ke Nuga. Nabila hanya ingin mencari moment yang baik untuk memberitahukan kehamilannya.
"Udah, Mas. Nyapu sama ngepel aku ya." pinta Nabila begitu manis.
"Hmmmm," Nuga menarik nafasnya, "Ya udah, iya."
Dengan langkah yang lesu, Nuga menjalankan apa yang di pinta Nabila. Ia menyapu kontrakannya itu kemudian mengambil pel. Saat mengepel, ia melihat bayangan Nabila yang terpantul di keramik putih itu. Ia mendongak, tangan kiri dan kanan Nabila membawa piring yang berisi makanan.
"Kalau sudah, kita makan." ucapnya meletakkan piring yang ia bawa tanpa melihat Nuga.
Nabila kembali ke dapur. Mengambil air minum untuk mereka. Nuga menyelesaikan tugasnya dengan cepat, ia menaruh lap pel itu kedapur kemudian menyusul Nabila yang telah duduk duluan.
Saat makan pun, Nuga melirik-lirik Nabila yang sedang makan sembari memainkan ponselnya. Istrinya itu sepertinya sedang sibuk, karena tidak biasanya dia makan sambil memainkan ponselnya.
"Bil," panggil Nuga.
"Hm."
"Usaha kamu kayaknya makin maju ya." ucap Nuga berbasa-basi.
"Alhamdulillah, semua juga berkat doa kamu, Mas." jawab Nabila melirik Nuga dengan senyum.
"Yang pembesaran Cafe itu, jadi?"
"Jadi." jawab Nabila.
"Mmmmm --- "
"Rumah kita gimana, udah sampai tahap apa?" tanya Nabila memotong Kalimat Nuga.
"Rumah ... Aku belum tahu, belum kesana lagi soalnya. Maklum lah, aku sibuk."
Nabila lesu saat mendengar Nuga mengatakan kalimat sibuk. Ia berfikir, jika Nuga sibuk karena mengurusi Halimah yang sakit.
"Oh, sibuk." ucapnya mengaduk-aduk Nasi yang ada di piring.
"Halimah apa kabar?"
"Mm?" tanya balik Nuga.
"Halimah, gimana kabarnya. Sehat?" Nabila mengulangi pertanyaannya lagi.
"Kayaknya ... Sih, se ... hat."
"Loh, kok kayaknya sih?" tanya Nabila.
"Ya ... Karena, aku enggak menjenguk dia lagi."
Nabila menghentikan gerakan tangannya yang mengaduk-aduk nasi. Mulutnya perlahan mengunyah nasi yang berada didalam mulut. Ia menatap Nuga yang juga menatapnya.
"Kenapa?" tanya Nabila pelan.
"Karena aku tidak mau mengecewakan istri aku, terus menerus." jawab Nuga.
Nabila menunduk, ia mengulum senyum tatkala suaminya itu berkata demikian. Tapi, bukankah waktu itu Nabila melihatnya tengah tersenyum saat keluar dari kamar rawat Halimah.
"Oh, cuma itu alasannya?" tanya Nabila memancing.
Nuga tersenyum kearah Nabila. "Aku juga enggak mau kalau aku memberikan harapan ke Halimah. Lagi pula, aku dan Halimah kan bukan muhrim. Aku enggak mau dosa."
Nabila mengangguk, kembali ia menyuapi dirinya dengan nasi.
"Bil, maaf ya," ucap Nuga lirih. "Aku sudah mengecewakan kamu."
"Hahah," tawa Nabila sumbang. "Aku sudah terbiasa kecewa, Mas. Sangat sering. Manusia itu hanya bisa membuat manusia lain kecewa, beruntung aku masih punya Allah." jawab Nabila.
"Maaf, bil. Aku sudah gagal menjadi suami kamu," ucap Nuga penuh penyesalan.
Nabila memberikan senyuman kearah Nuga. Ia meletakkan piring nya di meja. Tangannya memegang bahu suaminya itu.
"Mas, lihat aku sekarang." Nuga menatap mata Nabila. "Kamu, tidak gagal menjadi suamiku. Kita anggap aja, yang kemarin itu masa lalu. Lagian aku sudah melupakan semuanya,"ucap Nabila.
"Tapi aku sudah buat kamu kecewa, sayang."
"Aku memang kecewa sama kamu. Tapi masa aku harus terpuruk dalam kekecewaan itu. Kamu juga sudah menjelaskan maksud kamu apa mau menjaga Halimah. Aku marah karena kamu bohong sama aku. Coba aja kalau kamu bilang, aku enggak akan marah sama kamu, Mas."
Nuga menunduk lesu, ia sangat malu dengan Nabila. Nabila lebih dewasa dari pada dirinya. Nabila lebih mengerti dari pada dia. Nabila adalah orang yang sering dikecewakan. Harusnya dia dapat melindungi Nabila, menjaga Nabila, tidak membuat Nabila kecewa.
"Aku janji, aku enggak akan membuat kamu kecewa lagi, sayang."
Nabila tertawa kecil. "Jangan buat janji kalau tidak bisa ditepati, Mas. Kita manusia biasa yang biasa melakukan dosa."
"Ya, setidaknya aku ---"
"Buktikan, jangan hanya janji. Aku enggak mau kamu berhutang janji."
Nabila berdiri duduknya. Ia membawa piring miliknya ke arah dapur. Nuga mengiringi dari belakang membawa piringnya juga.
"Aku akan buktikan, bil. Maaf kan aku ya," ucap Nuga.
"Aku sudah memaafkan kamu, Mas."
Nabila berjalan ke arah kamar mandi, mencuci piring dia dan Nuga. Nuga kembali mengiringi Nabila. Dia diam menunggu Nabila mencuci piring.
"Sejak kapan?" tanya Nuga.
"Sejak, aku ngasih kotak nasi ke kamu. Untuk Halimah."
Nabila keluar dari kamar mandi itu. Ia berjalan menyusun piring dang mengelap tangannya. Nuga sendiri, masih mengekor dibelakang Nabila.
"Dalam waktu semalam kamu sudah memaafkan semua kesalahan aku?" tanya Nuga tak percaya.
"Iya,"
Mereka berdua berjalan kearah kamar. Nabila mengambil tasnya dan juga kunci mobilnya.
"Kok bisa?"
"Ya bisa, kan aku pernah berada di posisi Halimah. Aku pernah merasakan yang namanya sakit hati saat seseorang yang kita sayangi lebih memilih perempuan lain. Bedanya aku di tinggal selingkuh dan dia ditinggal nikah."
Nabila membalikkan badannya menghadap Nuga. Mereka sekarang sudah berada diambang pintu.
"Mas, saat aku berada di posisi itu. Allah mengirimkan kamu, laki-laki yang sangat baik untuk menjadi suamiku. Sedangkan dia tidak ada, makanya dia menjadi depresi saat tau kamu sudah menikah. Rasanya sakit, Mas. Dan kamu enggak akan tahu. Itu alasannya kenapa aku mengizinkan kamu, karena kamu adalah dalang dari semua ini. Aku memberikan izin karena aku percaya bahwa kamu bisa menjaga hati kamu," ucap Nabila.
Nabila meraih tangan suaminya. Ia mencium punggung tangan itu begitu lama. Setelah puas, ia menganggap tangan Nuga.
"Tidak perlu, dibahas lagi. Kita lupakan masa lalu dan kita tata masa depan. Aku pamit kerja dulu ya, Mas," ucap Nabila.
Sebelum pergi, Nabila memberikan ciuman ke pipi kanan Nuga. "Assalamualaikum," ucapnya dengan senyum
"Wa'alaikumsalam."jawab Nuga begong karena mendapat ciuman di pipinya.

***
Hari-hari mereka jalani seperti biasanya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Keduanya semakin lebih mesra dan lengket. Tentunya hal ini terjadi karena kehidupan mereka kembali normal. Tidak ada serangan dari mana pun. Baik itu dari Papa Nabila dan Halimah. Sedangkan kondisi Wildan, adik Nabila pun mulai membaik.
Hidup ini penuh dengan ujian, semakin Allah memberikan ujian yang berat maka semakin sayang Allah kepada kita.
Ujian yang Allah berikan itu bermacam-macam. Kita tidak pernah tahu ujian apa yang akan diberikan-Nya di kemudian hari. Siap tidak siap, suka tidak suka. Kita tetap harus hadapi ujian tersebut. Sesulit apapun dan sebesar apapun.
Jangan pernah merasa sendiri, karena kita semua punya Allah yang selalu stand by setiap saat.
"Nonton apa sih?" tanya Nuga.
Nabila melirik kearah suaminya. "Ini loh, aku lagi nonton ceramah di YouTube."jawab Nabila.
"Oh."
Nabila mematikan ponselnya. Ia merangkul lengan Nuga dan bersandar dipundak Nuga.
"Mas, besok malam kita Dinner romantis yuk." ajak Nabila.
"Dinner romantis?"
"Iya, tapi jangan dirumah dan jangan di cafe aku ya. Kan kasihan kalau karyawan aku malam-malam harus beres-beres."
"Jadi kamu maunya dimana?"
"Ya terserah sih. Mau ke tempat makan yang murah juga enggak apa-apa. Yang penting, Dinnernya harus romantis menurut aku." jawab Nabila.
Nuga sedikit bingung dengan permintaan Nabila. Biasanya kan kalau mau Dinner romantis harus ketempat yang mahal, seperti restoran. Disana kan kita bisa request dekorasi nya dan kita juga bisa minta pemain musik untuk memainkan lagu kesukaan dari psangan kita.
Kalau di tempat murah, seperti warung pinggri jalan. Rasa-rasanya jauh dari kata Dinner romantis. Tapi, kalau mau ke Restoran, uang Nuga tidak mencukupi.
"Jadi gimana?" tanya Nabila.
"Oh, iya. In syaa Allah besok kita Dinner romantis ya, sayang." jawab Nuga sedikit ragu.
"Yes, makasih ya, Mas." Nuga membalasnya dengan senyuman.
"Oh ya, Mas. Aku mau ngomong satu hal lagi kekamu."
Nuga menenguk salivanya sendiri. Apalagi sekarang yang dipinta oleh istrinya itu.
"Mau ngomong apa lagi, sayang?" tanya Nuga.
Nabila membenarkan posisi duduknya. Ia sedikit menjauh dari Nuga. Kepalanya menunduk. Ada sedikit keraguan dalam hatinya.
"Mmmmm, Anu. Itu ... Tapi kamu jangan kaget ya." punya Nabila.
"Emang mau ngomong apa?" tanya Nuga.
"Maaf ya, selama ini sudah menyembunyikannya dari kamu." Nabila memilih ujung legan bajunya.
"Menyembunyikan apa?!" tanya Nuga penasaran.
Nabila menarik nafas begitu halus. Ia mendekatkan mulutnya kerah telinga Nuga. Mulutnya itu membeisikkan sesuatu kedalam telinga Nuga.
"Hahaha," Nuga tertawa saat Nabila mengucapkan kalimat itu. Sedangkan Nabila sendiri, pipinya merona setelah menyampaikannya.
"Jangan ketawa." pinta Nabila mencibut kecil pinggang Nuga.
"Aw, iya. Maaf. Habisnya enggak percaya aja gitu." goda Nuga mengedipkan satu matanya.
"Kan kalau istri minta duluan, istrinya dapet pahala, akan mendapat kemurahan dari Allah yang sangat besar pula," ucap Nabila membela diri.
"Iya deh, iya. Ya udah ayok, lagian kita juga udah lama enggak berhubungan. Gimana mau punya anak kalau enggak rutin." Nuga masih menggoda Nabila.
Tadinya, Nabila ingin memberitahukan tentang kehamilannya kepada Nuga. Karena usia kandungannya sudah masuk dua bulan. Tapi, setelah difikir-fikir. Sebaiknya besok malam saja ia memberitahukannya ke Nuga. Suasana yang romantis akan menjadi lebih romantis saat Nabila memberitahukan berita kehamilannya.
_______
Bersambung ....

-----


💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 38 ( Tak sesuai rencana)
Al, laki-laki yang dijuluki ustadz huteng, Humor ganteng di pesantren itu sedang berjalan santai menuju kawasan putri. Setelah selesai mengajar di kawasan putra dia mendapat jadwal mengajar di daerah putri.
"Al !!! Al-kahfi!!"
Al menghentikan langkahnya. Ia mengorek telinganya dengan jari kelingking. Akhir - akhir ini dia suka salah pendengaran.
Seseorang memegang bahunya. "Wey, dipanggil juga."
"Astagfirullah hal adzhim. A'udzhubillah himinasyaitton nirrojim." ucap Al menutup wajahnya dengan buku.
"Al, ini aku, Nuga."
Al menghentikan ucapannya. Ia perlahan menurunkan buku yang menutupi wajahnya. Huh, ia menarik nafas lega saat tahu siapa yang memegangbya tadi.
"Ya Allah, Ga. Gua kira tadi lu setan. Sampe kaget gue." rutuknya.
"Aku kan tadi udah manggil kamu, bukannya nengok kebelakang, malah mau lurus ke jalan."
"Oke deh, Maaf. Sekarang ada apaan, tumben manggil gue?" tanya Al.
"Aku mau minta tolong sama kamu."
"Minta tolong apa?"
"Nanti malam, Nabila minta Dinner yang romantis. Terserah tempatnya dimana. Kamu tahu enggak, tempat yang murah tapi enggak murahan mahal tapi enggak kemahalan. Yang perfect dimana dialah pokoknya." tanya Nuga.
"Nabila suka tempat yang kayak gimana dulu ni?" tanya balik Al.
"Dia suka .... Mmmm .... " Nuga sedang memikirkan tempat yang disukai Nabila. Dan Al masih menunggu jawaban dari pertanyaannya.
"Enggak tahu sih, pokoknya ... dia tu orangnya simple, enggak perlu mewah, tapi harus elegant."
Al mencerna ucapan Nuga, ia mengetuk-ngetuk dagunya seraya berfikir.
"Ahah, si jenius punya ide," ucap Al.
"Apa idenya?" tanya Nuga.
"Buat Dinner dirumah aja."
"Dia enggak mau Dinner dirumah." jawab Nuga.
"Kalau enggak, di Cafenya aja. Kan hemat biaya." saran Al lagi.
"Dia juga enggak mau Dinner di cafenya."
"Lah, kenapa bisa begitu?" tanya Al cepat.
"Istri aku wanita yang baik, dia enggak mau buat karyawannya capek. Lagian kan Cafe nya buka sampai jam 5 sore ." jelas Nuga.
Al kembali berfikir. Telunjuknya mengetuk-ngetuk dahinya. Ia berjalan memutari tubuh Nuga.
"Nah, gue ada ide lagi."
"Apa idenya?" tanya Nuga.
Al menatap jam tangannya, "Nanti gue kasih tahu," ucaonya.
"Kenapa nanti?" tanya Nuga.
"Kalau sejarang, gue udah telat 10 menit masuk ke kelas. Nanti aja ya, brother. Assalamualaikum," ucapnya berpamitan.
"Wa'alaikumsalam." jawabnya. "Eh, tapi nanti bener ya dikasih tahu!!" teriak Nuga.
"Iya!!"
Sebenarnya, Al belum tahu apa ide yang akan ia berikan ke Nuga. Ia akan memikirkan sembari mengajar di kelas. Jika menunggu ide muncul dengan waktu yabg singkat rasanya sedikit sulit. Jadi, berbohong sedikit tak apalah.

***
Nabila sedang memperhatikan seluruh karyawannya. Hari ini akan ada pengecekan kedisiplinan para pegawai, mulai dari kelengkapan berpakaian, penampilan, serta tugas-tugas yang telah diberikan Nabila. Mereka semua dibariskan Nabila dengan tapi.
"Name tag kamu mana?" tanya Nabila kepada karyawan laki-laki nya.
"Maaf, bu. name tag saya ketinggalan." jawab Karyawannya.
Nabila menggelengkan kepalanya. Selalu saja ada yang lupa saat memeriksa kelengkapan pakaian para karyawannya.
"Ini, kuku kamu kenapa panjang?" tanya Nabila menunjuk jari-jari tangan karyawan perempuan.
"Kamu tahu kan, kebersihan menjadi prioritas kita yang nomor satu?"
"Tahu, bu."
"Bagus, setelah saya bubarkan. Kamu potong kuku kamu yang panjang itu," ucap Nabila.
"Baik, bu." jawab karyawannya itu.
Nabila melewati beberapa karyawan yang telah ia sterilkan dari pengawasannya. Hingga, langkahnya berhenti didepan seorang laki-laki yang sedikit kumel dan brewokan.
"Kamu siapa? Saya baru lihat kamu disini?" tanya Nabila.
"Perkenalkan, Bu. Nama saya Tatang, sepupu Titok dari kampung. Baru masuk hari ini," ucapnya memperkenalkan diri.
"Oh, sepupu Titok," ucap Nabila. "Titok!!" panggilnya.
"Siap, bu." Titik langsung berdiri dibelakang Nabila.
"Kamu kasih seragam karyawan kita ke sepupu kamu ini. Dan kasih tahu juga, apa-apa saja peraturan yang ada disini." perintah Nabila.
"Siap, bu."
"Oke semuanya, sampai disini dulu. Inget, 2 minggu sehari saya akan memeriksa kelengkapan pakaian, Kebersihan, dan ke disiplinan kalian. Jika tidak ada yang tidak suka silahkan keluar." ucap Nabila dengan tegas.
"Baik, buk," ucap seluruh pegawainya.
"Oke, silahkan kembali ke tugas masing-masing."
Semuanya menyebar setelah Nabila bubarkan. Ia berjakan kearah pojokan, mengecek kesegeran bunga-bunga yang berada disana. Entah kenapa, dia menyunggingkan bibirnya. Teringat jika ia dan suaminya nanti malam akan dinner romantis bersama. Akhirnya, keinginannya tercapai.
"Nabila!!"
Nabila membalikkan badan. Ternyata yang memanggilnya adalah Eriska. Eriska tak sendiri, ia membawa keluarga kecilnya juga.
"Hai," ucap Nabila memeluk sahabatnya itu.
"Wah, ada apa ni. Tumben banget sekeluarga dateng?" tanya Nabila.
"Gini, bil. Gue sama Rifki mau ngundang lo ke acara Aniversarry kita malam nanti." jawab Eriska.
"Malam nanti, kok mendadak banget."
"Sorry deh, Bil. Kemaren-kemaren kita berdua sibuk ngurusin persiapan acaranya. Nah, tadi kita enggak sengaja lewat jalan sini jadi mampir deh." jelas Rifki.
"Lo bisa dateng kan?" tanya Eriska.
"Aduh, sorry banget. Bukan gue enggak mau, tapi gue sama suami gue--"
"Lo masih berantem sama suami lo?" Nabila mengerutkan dahinya.
"Gue enggak berantem sama suami gue." jawab Nabila.
"Lah terus kenapa enggak bisa dateng?" tanya Eriska.
"Mmm, gue sama suami entar malam mau dinner romantis. Kalau di cancel kan kasihan sama dia yang lagi nyiapin surprise buat gue." jawab Nabila.
"Aaaaa, sweet banget sih suami lo mau nyiapin dinner romantis. Coba aja suami gue sweet kayak gitu." sindir Eriska melirik suaminya.
"Ya ampun, sayang. Setiap malam aku udah sweet lo sama kamu. Ini buktinya," ucap Rifki menunjukkan kedua anaknya.
Eriska menyinyir suaminya itu. "Itu beda tahu. Kamu mah gitu, yank. Enggak ada romatis-romantisnya." rutuk Eriska.
"Eh, jangan ngambek gitu dong. Nanti enggak cantik lagi tahu." goda Rifki.
"Nggak mempan. Emang kamu kira aku anak SMA yang mudah di rayu sama yang kayak gitu-gituan."
"Hm, kalau martabak manis 4 kotak mau?"
"Kamu mau buat aku gendut ya?!" tanya Eriska dengan wajah memerah menahan amarah. Dia mau, tapi gengsi.
"Eh, biasanya kan enggak nolak."
"Aku kan lagi proses diet, sayang ..."
"Kamu gendut aku tetap sayang kok sama kamu. Kan kamu cewek yang limited edition." Eriska menahan senyuman dengan cemburut karen kata-kata suaminya itu.
Cup!
Baik Eriska maupun Nabila melotot saat Rifki mencium pundak kepala Eriska. Laki-laki itu memang tidak tahu rasa malu. Jika Eriska marah, ia akan terus berusaha membuat istrinya itu tersenyum.
"Sayang!!!" pekik Eriska kecil.
"Apa sayang??" tanya Rifki dengan senyumannya.
"Ekhm, maaf ya. Pak, bu. Kalau mau mesra-mesraan sama jambak-jambakan jangan disini. Ada anak kecil," ucap Nabila menunjuk anak mereka berdua.
Eriska menyembunyikan kemarahannya kepada Rifki. Ia sekarang akan fokus ke tujuan utamanya.
"Oke, luapakan. Jadi enggak bisa bener ni?" tanya Eriska.
"Sorry, ya."
"Oke deh enggak apa-apa. Gue sama Rifki makan disini ya."
"Bayar enggak ni?" tanya Nabila bercanda.
"Aish, lo tenang aja. Kan ada Rifki." jawab Eriska melirik suaminya.
"Hahahah, ya sudah. Ayok." ajak Nabila.

***
Wajahnya masih sedikit pucat, namun semua dapat tertutupi oleh bedak dan lipstik. Halimah, wanita itu sedang berada didalam Taxi. Ia berencana untuk menemui Nabila hari ini. Entahlah apa yang akan dilakukan wanita itu. Ia hanya ingin memberitahukan ke Nabila bahwa Nabila adalah orang yang telah merusak semuanya. Semua yang pernah ia rencanakan dengan Nuga.
Mungkin, ini adalah cara terbaik. Agar dirinya tidak dihantui oleh rasa yang tak patut dia pertahankan. Mungkin setelah mengeluarkan unek-unek nya, hatinya bisa sedikit lega.
Mobil itu telah mengantarkan dirinya ketempat tujuan. Ia tidak berhenti didepan cafenya, sedikit menjauh untuk mempersiapkan diri bertemu dengan istri Nuga. Dari samping, matanya melihat sebuah papan nama besar terpampang diatas Cafe tersebut.
Cafe NN, bisa ia tebak bahwa itu singkatan dari nama Nabila dan Nuga. Saat ingin berjalan mendekat, ia melihat pintu cafe itu terbuka. Terdapat sebuah keluarga kecil beriringan dengan wanita yang akan ia temui.
"Makasih lo sudah dilayani dengan baik," ujar Rifki.
"Iya, hati-hati dijalan. Selamat Anaversarry buat kalian nanti malam." balas Nabila.
"Ya udah kalau gitu kita pulang dulu ya, Bye."
"Assalamualaikum, sayang." ingat Rifki kepada istrinya.
"Wa'alaikumsalam." jawab Nabila dengan tertawa.
"Hehehehe, lupa."
"Ya udah, yuk." ajak Rifki.
Nabila menatap kedua sahabatnya itu sampai masuk kedalam mobil. Ia melambaikan tangannya ketika mobil itu berjalan. Saat hendak masuk, tak sengaja matanya menangkap sosok wajah yang ia kenali.

'Halimah?' batinnya.
Wanita itu hanya memandanginya saja. Dengan tatapan yang penuh dengan kebencian. Nabila sedikit takut akan tatapan itu. Tapi ya sudahlah, wanita itu bukan Tuhan yang harus ia takutkan bukan. Dengan senyum, Nabila mendekat kearah Halimah yang sedang berdiri.
"Hai, Halimah kan?" tanyanya.
"Mmm, mau masuk ke cafe aku. Ayok," ajak Nabila begitu ramah.
"Enggak usah. Disini aja."
"Owh, oke." Nabila mengingat bibir bawahnya. "Ada perlu apa dateng kesini?" tanya Nabila.
"Saya mau bertemu dengan anda." jawab Halimah. "Dan saya ingin mengatakan bahwa anda adalah perusak rencana yang telah saya bangun bersama Nuga."
"Ha?! Perusak?" tanya Nabila.
"Iya. Kamu tahu, kami berdua saling mencintai. Bahkan kami punya rencana untuk menikah. Tapi kamu, kamu entah datang dari mana. Dalam waktu 2 jam bertemu dengan Nuga, kamu bisa menikah dengan dia."
Nabila menggelang tak percaya dengan perempuan yang berada dihadapannya. Harusnya dia yang marah karena Halimah telah merusak kepercayaannya kepada Nuga. Tapi kenapa ini sebaliknya?
"Oke, gini. Kamu denger ucapan saya baik-baik," ucap Nabila. "Saya, tidak ada niatan untuk bertemu dengan Mas Nuga. Kami bertemu atas kehendak Allah dan menikah pun atas kehendak Allah."
"Atas kehendak Allah?" tanya Halimah .
"Jadi atas kehendak Allah juga kamu diam saat ditanya sama semua warga. Apakah kalian melakukan perbuatan mesum atau tidak, iya?!" bentak Halimah.
Nabila menahan amarahnya. Kenapa wanita itu bisa tahu tentang awal mula pernikahannya. Apa Nuga yang menceritakannya. Nabila masih menahan amarahnya, sebisa mungkin dan sebaik mungkin ia menahan amarahnya atas mulut pedas wanita itu.
"Harusnya waktu itu kamu jujur sama semua orang. Kalau semua itu hanya kesalahpahaman. Dan kamu enggak harus nikah sama Nuga."
"Kamu tahu dari mana semua itu?" tanya Nabila.
"Mamah saya yang cerita."
Nabila teringat sesuatu. Teringat kejadian saat Mamah Halimah menanyakan tentang pernikahan dirinya dan Nuga.
"Kamu tahu, hati saya merasakan sakit dan terluka saat mengetahui Nuga telah menikah sama kamu. Laki-laki yang sudah saya pilih menjadi pilihan hati. Dan kamu tidak akan pernah merasakannya."
Nabila menatap mata Halimah begitu tajam. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi. Tidak untuk yang satu ini.
"Kamu bilang apa tadi? Saya tidak akan pernah merasakannya yang kamu rasakan?" tanya Nabila.
"Iya!!"
"Kamu fikir saya tidak sakit melihat suami sendiri merawat wanita lain. Wanita yang tidak memiliki hubungan darah maupun kekeluargaan. Dibohongi oleh suami sendiri demi melindungi orang lain? Hati saya lebih sakit, saya istri dia. Wanita yang sah untuk dia cintai. Kamu tidak akan merasakannya karena kamu bukanlah seorang istri." Halimah terdiam dengan kata-kata Nabila.
"Saya sudah melewati banyak rasa sakit hati didalam hidup saya. Sedangkan kamu, kamu cuma ditinggal sama satu orang. Kamu depresi, kamu seperti orang gila seakan-akan kamu tidak punya Allah. Kamu mengejar-ngejak suami saya dan kamu melupakan Allah."
Kali ini, Halimah benar-benar ditampar oleh kata-kata Nabila. Emosi yang ia keluarkan tadi lenyap seketika saat mendengar kelurahan dan ucapan Nabila. Api amarahnya meredah karena melihat guyuran air mata Nabila.
"Saya sudah sangat menghargai kamu. Sangat menghargai kamu, karena kita berdua sama-sama perempuan. Perempuan yang berhak mendapatkan cinta. Tolong, jangan rusak kebahagiaan rumah tangga kami. Saya tahu rasa sakit kamu, Halimah. Please, saya sudah capek dengan kekesalan batin ini." pinta Nabila.
"Apakah kamu mencintai Nuga?" tanya Halimah.
"Sangat."
Ia tersenyum mendengar kalimat itu. Jawaban yang sama saat ia bertanya kepada Nuga.
"Tapi saya mencintai Nuga juga. Apalagi saat dia merawat saya waktu saya sakit. Tidak mudah menghilangkan rasa ini," ucap Halimah.
"Tak akan bisa kalau tak berusaha. Suamiku bilang kamu adalah wanita yang terdidik dan kamu juga wanita yang sangat tekun dalam dunia agamis. Kita punya Allah, berserah dirilah kepadanya."
Halimah merasa malu sekarang. Sangat malu dengan kata-kata lembut Nabila tadi. Ia benar-benar wanita yang tak tahu malu. Ini bukanlah sikap seorang wanita muslimah. Ia telah jauh dari Allah karena semua masa lah ini.
"Baiklah, saya akan coba. Tapi saya tidak janji, untuk bisa melupakan Nuga karena dia cinta pertama saya. Assalamualaikum." Halimah berjalan meninggalkan Nabila.
"Wa'alaikumsalam." jawab Nabila.
Nabila menatap Halimah yang semakin lama semakin menjauh. Ia menutup wajahnya seraya menarik nafas yang begitu dalam.
"Astagfirullah, ya Allah," ucapnya gusar.
Nabila kembali memandangi Halimah. Wanita itu menyebarangi jalan raya tersebut. Sedikit bingung karena jalanan ini begitu ramai.
Nabila berjalan menghampiri Halimah yang nampak ragu untuk menyebrang. Setelah tepat disamping Halimah, ia menggandeng tangan Halimah.
"Eh, kamu?" tanya Halimah.
"Saya bantuin kamu nyebrang jalanan."
"Tidak usah saya bisa sendiri." elak Halimah.
Nabila meraih lengan Halimah untuk dia gandeng. "Saya akan bantuin kamu, jangan sungkan."
"Saya sudah bilang tidak usah!!" bentak Halimah yang tidak sengaja mendorong tubuh Nabila kejalan hingga terjatuh. Beruntung tak ada mobil yang melintas saat dia terjatuh.
"Aw," pekik Nabila. Perutnya sedikit sakit karena terkena benturan Aspal.
Ia langsung berdiri dari jatuhnya. "Kamu kenapa sih, saya kan mau bantu kamu nyebrang jalan."protes Nabila yang masih berada dijalan
"Salah kamu sendiri. Saya kan sudah bilang, enggak usah."
Krrkrrkrkrkrkrkrkkr ....
Nabila dan Halimah menoleh kearah sampingnya. Sebuah mobil melintas tak terkendali di jalanan ini.
Brakk!
Ia menutup mulut melihat kejadian yang barusan melintas dimatanya, Halimah mematung seketika. Mobil tadi tanpa sengaja menabrak Nabila. Tubuh itu tergulai lemas dengan bersimbah darah. Dia mengeluarkan suara minta tolong kepada Halimah. Tapi Halimah tak mampu bergerak, kakinya terasa berat dan tubuhnya terasa lemas. Beberapa detik kemudian, segerombolan orang datang melihat kondisi Nabila.

***
"Gimana, bro. Bagus kan tempat yang gua pilih." tanya Al.
"Bagus, memenuhi standar yang Nabila suka."
Saat ini mereka sedang berdiri diluar rumah makan. Al mengajak Nuga untuk melihat dekorasi luar. Ia merekomendasikan tempat ini karena mendapatkan ide dari santri watinya.
"Sekarang tinggal boking aja untuk entar malam. Masuk yuk." ajak Al.
Nuga mengikuti langkah Al, namun kakinya terhenti saat ponsel miliknya tiba-tiba saja berdering. Saat melihat siapa yang menelponnya. Ternyata itu Nabila, ia menyinggung kan senyumannya.
"Hallo, Assalamualaikum, sayang. Kenapa nelpon, udah enggak sabar buat nanti malam."
" ... "
Al menunggu temannya itu. Awalnya ia hanya tersenyum melihat Nuga yang nampak bahagia. Tapi, senyum bahagia Nuga perlahan menghilang. Wajahnya pucat dengan keringat pasih.
Setelah menerima telpon itu, dia langsung berlari kearah motornya dengan wajah panik. Al mengejar Nuga dengan perasaan khawatir pula.
"Ga, ada apa?" tanya Al menahan motor Nuga.
"Nabila kecelakaan, aku harus kerumah sakit." jawabnya.
Al melepaskan motor Nuga dan membiarkan sahabatnya itu pergi. Kabar yang sangat mengejutkan. Ia langsung berlari kearah mobilnya, mengikuti Nuga dari belakang. Tak lupa, ia menelpon Ummi dan Abi, memberitahukan kabar ini.
Didalam perjalanan, Nuga tak henti-hentinya berdoa dan berzikir. Ia meminta kepada Allah agar menyelamatkan Nabila. Tadi yang menelpon adalah Halimah, ia memberitahukan bahwa Nabila sekarang sedang kritis.
'Jangan ambil dia ya Allah, tolong selamatkanlah istriku.' batinnya.
_______________
Bersambung ....

-------


💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 39 (Mengikhlaskan kepergiannya)
Halimah mondar - mandir didepan pintu tempat Nabila dirawat. Para dokter sedang menangani Nabila didalam. Pikirannya kacau, takut dan Khawatir. Bagaimana yabg ia perbuat tadi, tanpa unsur kesengajaan itu dapat menghilangkan nyawa Nabila.
"Halimah!!"
Badannya menegang seketika. Ia melihat Nuga berlari mendekat kearahnya. Wajah laki-laki itu berkeringat, matanya menjelaskan rasa takutnya. Dibelakang Nuga ada Al. Ia memperlambat langkahnya saat melihat Halimah ada disini.
"Nabila dimana?" tanya Nuga.
"Dia ... Dia ada didalam. Beberapa dokter sedang merawatnya." jawab Halimah gugup.
"Ya Allah." Keluh Nuga.
"Dimana tempat Nabila kecelakaan?" tanya Al.
"Tidak jauh dari cafenya." jawab Halimah.
"Tidak jauh dari cafe nya." ucap Al mengulang kalimat Halimah. "Apa kamu yang membawa Nabila kesini?" tanya Al.
"Iya, aku yang membawa Nabila kesini." jawab Halimah.
"Kok bisa?" tanya Al sedikit curiga.
Nuga yang tadinya sedang bersedih mengangkat wajahnya. Ia menatap Halimah, benar kata Al. Kenapa bisa Halimah ada disini, dan ia membawa Nabila kerumah sakit.
"Iya, kenapa bisa?"
Halimah terpojok dengan pertanyaan dari Al dan Nuga. Kalau ia berkata jujur, Nuga pasti akan membencinya. Tapi kalau ia tak jujur, seumur hidup ia akan merasa bersalah.
"Aku ... Aku ... Menemui Nabila di Cafenya." jawab Halimah.
"Kamu menemui istri aku?" tanya Nuga. "Untuk apa?"
"Aku ... Aku hanya ---"
"Apa kamu yang menyebabkan Nabila mengalami kecelakaan?" tanya Al memotong ucapan Halimah.
"Tidak!! Bukan aku. Aku tidak sengaja mendorongnya ke jalanan." jawab Halimah jujur karena rasa takutnya.
"Apa!!" Nuga menatap Halimah.
"Maaf, Ga. Sumpah aku enggak sengaja, aku enggak ada niatan mau nyakitin istri kamu." ucap Halimah membela diri.
"Enggak sengaja kamu bilang! Lihat Halimah, didalam sana istri aku sedang melawan maut. Kamu bilang enggak sengaja!!" bentak Nuga.
"Ga, sabar, Ga. Ini rumah sakit. Istigfar." Al merangkul Nuga, ia memngelus dada sahabatnya itu.
"Astagfirullahaladzim," ucap Nuga beristigfar berkali-kali.
"Nuga!!"
Ketiga orang itu melihat kearah sumber suara. Disana ada Mama Anin, Papa Nabila, Wildan yang duduk di kursi roda, serta Ummi dan Abi.
"Nabila bagaimana?" tanya Ummi menghampiri anaknya.
"Nuga belum tahu,Mi. Belum ada dokter yang keluar dari ruangan ini."
"Kak, Kak Nabila akan baik-baik saja kan?" tanya Wildan memang tangan Nuga.
"Kita berdoa saja." jawab Nuga.
Krek, pintu itu terbuka. Seorang dokter wanita keluar dengan wajah yang begitu cemas.
"Dokter, bagaimana dengan keadaan istri saya?" tanya Nuga.
"Sebelumnya kami mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan janin yang ada didalam rahim istri anda."
"Ya Allah." seru semua orang.
Semua sangat terkejut dengan kabar inu. Tak terkecuali Halimah. Dia benar-benar merasa bersalah atas semua yang telah terjadi.
"Astagfirullah," Nuga ingin terjatuh namun tubuhnya disanggah oleh Al.
"Istri saya hamil?" tanya Nuga tidak percaya.
"Iya, usia kandungannya baru 6 minggu. Jadi masih sangat lemah." jawab Dokter itu.
Ummi yang terlebih dahulu telah mengetahui kehamilan Nabila. Merangkul putranya itu, ia memberikan kekuatan untuk Nuga.
"Dan untuk istri anda sendiri, dia banyak sekali kehilangan darah. Kita butuh pendonor darah karena stok dirumah sakit sudah habis dipakai oleh pasien lain." jelas Dokter tersebut.
"Apa golongan darah anak saya, dok?" tanya Fran.
"AB +"
"Baik, dok. Segera saya urus."
"Saya minta tolong disegerakan, karena kalau kita terlambat sedikit saja. Kita bisa kehilangan dia."
"Ya Allah." Nuga mengeluarkan airmatanya kembali. Tubuhnya benar-benar lemas saat mengetahui hal ini. Ummi, tetap merangkul anaknya itu.
Fran yang merasa khawatir langsung menjauh dari keramaian. Ia mencari kontak mantan istrinya di ponsel. Golongan darah Rena dan Nabila sama. Tangannya benar-benar gemetar saat mencari nama itu. Ia takut kehilangan untuk kedua kalinya dengan nasib yang sama.
"Hallo, Rena. Kamu harus pulang ke Indonesia sekarang. Nabila butuh kamu."
***
A
l menatap Halimah yang tertunduk menangis. Ia menghampiri wanita itu dan langsing menarik pergelangan tangannya. Emosinya melupakan larangan bahwa seorang wanita yang bukan muhrimnya dilarang untuk dia sentuh.
"Al, lepas!!" berontak Halimah memukul-mukul tangan Al.
Laki-laki itu tak melepaskannya, ia terus menarik Halimah. Hingga mereka berhenti di sebuah tempat yang cukup sepi dan penerangan juga sedikut gelap.
"Aku enggak habis fikir dengan kamu, Halimah. Kamu benar-benar wanita gila sekarang," ucap Al.
"Lihat yang kamu perbuat. Nuga dan Nabila kehilangan bayi mereka. Dan Nabila, dia sedang melawan maut! " bentak Al. Halimah tidak menjawab. Ia memegang pergelangan tangannya yabg sakit karena ditarik Nuga.
"Aku enggak sengaja. Aku udah nolak dia buat ngebantu aku, tapi dia masih saja membantu ku." bela Halimah.
"Sekarang aku tanya, kenapa kamu menemui dia. Apa alasannya? Karena Nuga? Karena kamu masih cinta sama Nuga? Ya Allah, Halimah. Jika memang benar, berarti setan benar-benar telah merusak iman kamu, setan telah menang karena ulah yang kamu perbuat," ucap Al.
"Apalagi yang kamu harapkan dari Nuga. Dia mencintai istrinya dan istrinya mencintai Nuga. Pantas saja Allah lebih memilih Nabila menjadi istri Nuga. Dia lebih baik dari pada kamu. Laki-laki baik untuk perempuan baik dan perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji pula. Kamu tahu kan, kamu pernah baca dan dengarkan. Qur'an surah An-nur ayat 26." ucap Al mengingatkan.
Halimah masih diam. Dia bingung mau berkata apa lagi. Baiklah, semua ini salahnya. Tapi dia tidak sengaja. Yang Al kata kan benar. Imannya telah menghilang, ditelan oleh gelapnya bisikan syetan. Musuh paling nyata bagi manusia.
"Sekarang kamu renungkan semuanya, kamu berfikir secara bersih. Pulanglah Halimah," ucap Al.
"Aku mau melihat kondisi Nabila dulu. Setidaknya sampai ia mendapatkan pendonor."
"Tidak perlu, Kamu lihat betapa terpukulnya Nuga sekarang. Lebih baik kamu pulang, biar aku yang antarkan." tawar Al menuntun Halimah tanpa menyentuhnya.
***
Rena, wanita paruh baya itu langsung menggunakan jet pribadinya menuju Indonesia. Pikirannya was-was mengenai kondisi anak semata wayangnya itu. Begitu tiba di indonesia, dia langsung menuju kearah rumah sakit.
Ia mempercepat langkahnya begitu sampai dirumah sakit. Saat ia hampir dekat dengan ruang rawat Nabila, kakinya perlahan melambat. Disana ia melihat Fran bersama dengan istri keduanya.
Ia terkejut melihat perut Anin yang membuncit. Jadi, Anin sedang hamil anak keduanya. Ia menatap wajah Anin sebentar, menatap dengan wajah yang penuh amarah.
"Rena, akhirnya kamu datang tepat waktu," ucap Fran dengan bahagia.
Rena hanya tersenyum sedikit dan berlalu menghampiri Nuga yang menatap kedatangannya.
"Nak, Nabila bagaimana keadaannya?" tanya Rena.
"Nabila kritis, Ma. Dia butuh tranfusi darah." jawab Nuga.
"Ya sudah kalau gitu kita lakukan. Dimana dokternya, cepat panggil. Mama enggak mau kehilangan anak untuk kedua kalinya." perintah Rena.
Rena dibawa kedalam ruangan dimana Nabila terbaring setelah Nuga mencari dokter yang menangani Nabila tadi. Rena menatap anaknya yang terbaring lemah itu, wajahnya Nabila pucat, bahkan untuk bernafas, Nabila harus menggunakan alat bantu oksigen.
Sedangkan diluar ruangan, Nuga tidak henti-hentinya berdoa dan berdzikir kepada Allah. Tak hanya dia, kedua orangtuanya serta Mertuanya ikut mendoakan keselamatan Nabila.
Harusnya malam ini adalah malam dimana mereka akan menghabiskan waktu berdua disebuah tempat makan yang romantis, harusnya malam ini adalah malam terindah bagi keduanya, namun semua itu pupus sudah. Malam ini menjadi malam yang paling menyedihkan dan menegangkan bagi Nuga, serta keluarga besarnya.
"Nak." Ummi memegang pundak anaknya itu.
"Iya, Ummi. Ada apa?" tanya Nuga.
"Maaf, Ummi sudah tahu duluan jika Nabila telah mengandung."
Nuga menghentikan Dzikirnya. Tangannya berhenti menasbihkan nama Allah. Ia menatap Umminya dengan wajah bingung.
"Maksud, Ummi apa?" tanya Nuga.
"Nabila sudah lama tahu tentang kehamilannya." jawab Ummi.
"Sejak kapan?" tanya Nuga.
"Sejak kapan Nabila tahu, Ummi tidak tahu pasti. Yang jelas, ketika Kalian menginap dirumah Ummi satu bulan yang lalu, disitu Ummi tahu kalau Nabila sedang mengandung."jawab Ummi sedikit berbisik.
"Ya Allah, kenapa Nabila tidak pernah cerita sama Nuga?" tanya Nuga.
"Dia punya alasan tersendiri, Nak. Dia menunggu waktu yang tepat. Itu jawabannya saat Ummi tanya kenapa kamu belum diberitahukan tentang kehamilan Nabila."
Nuga memejamkan matanya. Ia meraup wajahnya kasar. Selama ini, Nabila merahasiakan kehamilannya. Sepintas pikiran melesat di otak Nuga. Apa jangan-jangan malam ini Nabila akan memberitahukan kehamilannya saat Dinner romantis yang ia pinta.
Nuga beristigfar sebanyak-banyaknya. Nabila tak sempat memberikan kabar itu kepada dirinya. Tapi itu tak sempat terjadi karena ia mengetahui kehamilan Nabila dari mulut seorang dokter.
"Kalau nanti Nabila sadar, jelaskan baik-baik tentang kejadian ini, Ga. Dia seorang ibu, pasti ia akan sangat terpukul saat mengetahui kepergian anaknya. Jangan banyak bertanya dulu ya, nak." Ummi menasehati Nuga. Anaknya itu harus bersikap dewasa dengan semua ini.
Nuga melirik jam tangannya. Sudah masuk waktu magrib. Ia berpamitan kepada semua orang untuk melaksakana shalat. Abi mengikutinya dari belakang. Abi berkata, mereka akan shalat secara bergantiian.
Tak banyak kata yang Nuga pinta dalam shalatnya. Ia hanya ingin keselamatan untuk Nabila. Ia ingin Nabila selamat. Ia juga meminta kepada Allah untuk memberikan Halimah hidayah. Wanita itu benar-benar sudah kelewatan.

***
Sudah hampir seminggu Nabila belum sadar dari komanya. Rena selalu menjenguk anaknya setiap saat walau hanya sebentar. Papa dan Mama Aninnya juga selalu ada disisi Nabila. Apalagi Nuga, ia sudah seminggu ini izin tidak mengajar dulu. Dia selalu menunggu istrinya itu sadar dari komanya.
Dia merawat Nabila dengan baik. Mulai dari membersihkan tubuh itu serta membacakan lembaran ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Siang ini, ruang rawat Nabila sepi. Nuga pergi sebentar untuk melaksanakan shalat Dzuhur.
Halimah, wanita itu menunggu kesempatan ini. Ia ingin menjenguk Nabila yang masih koma. Jika ada Nuga dan Al dia pasti akan dilarang untuk menjenguk Nabila.
Perlahan ia masuk kedalam ruangan itu. Disana, matanya mengangkap tubuh seorang wanita yang terbaring lemah. Ia mendekat kearah Nabil, matanya menyusuri tubuh Nabila dari kaki sampai keatas kepala.
"Nabila, Maaf." Halimah menggenggam tangan Nabila.
"Maaf karena sudah membuat kamu seperti ini, maaf karena aku. Kamu dan Nuga kehilangan anak kalian. Maaf kan aku Nabila. Maafkan aku, tolong sadarlah. Aku mohon."pinta Halimah.
"Kamu beruntung bisa dicintai Nuga dengan sepenuh hati. Kamu beruntung pernah mengandung anaknya. Andai saja aku seberuntung kamu, Nabila. Andai saja. Tapi apa, aku hanya mendapatkan kebencian dari semua orang. Aku minta kamu sadar sekarang, demi Nuga. Dia sangat mencintai kamu."
"Halimah?!"
Halimah menoleh kearah orang yang memanggilnya. Disana ada Al, ah sial. Halimah ketawan oleh Al. Laki-laki itu kembali menarik tangan Halimah dengan paksa.
"Ikut aku."
Mereka berdua keluar dari ruangan itu. Al membawa Halimah ke arah taman rumah sakit.
"Kamu ngapain menuin Nabila. Kalau Nuga tahu dia pasti akan sangat marah sama kamu."
"Aku hanya menjenguknya. Apa salah?" tanya Halimah.
"Tolong Halimah, Nabila seperti ini karena kamu. Jangan jenguk dia dulu. Nuga sangat membenci kamu Halimah," ucap Al.
Halimah menahan tangisnya. Orang yang dulu mencintainya kini membencinya.
"Al, aku mau tanya sesuatu."
"Mau tanya apa?" tanya Al.
"Hadiah yang aku titipkan waktu itu, apa diterima oleh Nuga?" tanya Halimah.
"Enggak, dia menolak hadiah kamu. Tasbih yang kamu berikan kedia dia berikan ke aku. Dia enggak mau menerimanya karena dia enggak mau buat istrinya kecewa." jawab Al.
"Apa sih istimewahnya Nabila?"
Al masih bingung dengan diri Halimah. Ia fikir, Halimah akan menyesali perbuatannya. Ia akan melupakan Nuga. Tapi, nyatanya belum. Dia masih menanyakan keistimewaan Nabila.
"Kamu akan aku antarkan pulang saja." Al meraih tangan Halimah untuk ia pegang. Namun, Halimah memberontak.
"Kamu jangan pernah sentuh aku, kita bukan muhrim."
Al menyunggingkan senyumnya kemudian wajahnya menjadi sedikit serius. "Ya udah kalau gitu kita nikah aja. Aku akan melamar kamu, sekarang juga. Didepan abah."
Halimah melotot mendengar ucapan Al. Pria itu sudah gila, bagaimana dia bisa menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
Sementara itu, Nuga sudah berada didalam ruangan itu kembali. Saat Al dan Halimah keluar dari ruangan itu, ia masuk tanpa mengetahui kedua mahluk itu telah masuk kedalam ruang rawat Nabila.
Ia mencium puncak kepala Nabila. Perlahan, wajahnya turun mendekat kearah telinga Nabila.
"Sayang,Tolong bangun. Apa kamu masih betah berada alam mimpi. Aku ingin mendengar suara kamu, aku juga masih punya janji kekamu, tolong bangun." bisik Nuga.
Nuga kembali mengecup puncak kepala Nabila. Ia menatap wajah itu sekali lagi. Namun sepertinya mata itu enggan untuk terbuka. Tangannya mengenggam tangan Nabila. Saat ia ingin pergi mengambil Al-Qur'an, tangannya tiba-tiba saja ditahan oleh sesuatu.
Nuga melebarkan senyuman saat melihat tangannya ditahan oleh tangan Nabila. Matanya beralih menatap mata Nabila, mata itu mulai mengerjib perlahan.
"Sayang, kamu denger aku?" tanya Nuga dengan perasaan yang penuh bahagia.
Mata Nabila hanya terbuka sedikit, bibirnya berusaha mengucapkan sesuatu namun tak sanggup mengeluarkan suara.
"Dokter!!!" teriak Nuga dengan bahagianya.
Semua orang sedang berkumpul didalam ruangan rawat Nabila. Mereka segera datang begitu mengetahui Nabila telah siuman dari komanya. Tubuhnya masih sangat lemah, ia berusaha mengingat semua kejadian yang menyebabkan dia berada disini.
"Sudah berapa lama aku dirawat, Mas?" tanya Nabila.
"Seminggu, sayang."
"Maaf ya, Mas. Gara-gara aku, kita jadi gagal Dinner," ucap Nabila.
Nuga mengenggam tangan Nabila. "Enggak masalah, sayang. Kamu lebih penting."
"Padahalkan kan, saat malam itu aku mau memberitahukan kehamilan aku sama kamu."
Semua orang menahan tangisnya saat melihat Nabila tersenyum membicarakan kehamilannya. Nuga membuang wajahnya kesamping. Ia tidak sanggup melihat reaksi Nabila ketika mengetahui dia telah keguguran.
"Mas, kamu enggak seneng dengan kabar ini?" tanya Nabila.
Nuga tak menjawab. Hal itu membuat Nabila bingung. Wajah suaminya nampak sedih, harusnya ia bahagia menerima kabar ini. Seluruh orang yang ada diruangan ini juga menampakkan raut wajah sedihnya.
"Ada apa, Mas. Kenapa kalian semua sedih. Ada apa ini?" tanya Nabila cemas.
"Sayang, untuk sekarang kita harus tetap bersabar. Kita harus bisa mengikhlaskan ---"
"Mengikhlaskan apa? Apa yang harus di ikhlaskan?" tanya Nabila bingung, suaminya tak dapat menjawab kembali.
Sepenggal ingatan di otak Nabila berputar. Ia teringat kejadian saat dirinya kecelakaan, sebelum pandangannya kabur, ia melihat kakinya penuh dengan darah. Perutnya juga terasa sangat sakit saat itu.
Nabila syok sekaligus terkejut. Ia melepaskan genggaman tangannga.
"Jangan bilang kalau anak kita meninggal." Nuga tertunduk lemas dengan perkataan Nabila. "Apa aku keguguran,Mas?" tanya Nabila.
"Mas jawab!!"
"Papa, Nabila keguguran?"
"Ma?"
"Abi, Ummi. Apa Nabila keguguran?"
"Kenapa semuanya diam. Jawab!!" Nabila menangis sembari memeluk perutnya. Kenapa kali ini dia kehilangan hal yang sangat ia harapkan.
Nuga memeluk Nabila. Menahan emosi yang berada didalam tubuh istrinya itu. Ia harus lebuh kuat dari pada Nabila. Kondisi Nabila masih sangat lemah, ia tak akan membiarkan Nabila kembali koma lagi.
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjaga anak kita." rintihnya dalam dekapan Nuga.
"Enggak, sayang. Semua bukan salah kamu. Semua atas kehendak Allah, Allah lebih menyayangi anak kita." Nuga perlahan mengelus kepala Nabila dengan lembut.
Hatinya sangat hancur dan sakit. Tapi ia tidak boleh kelihatan lemah didepan Nabila. Dia adalah seorang benteng pertahanan Nabila. Ia harus sekuat baja demi melindungi hati yang lemah.
"Ikhlaskan, sayang. Tidak apa-apa. Jangan menyalahkan diri kamu. Ikhlaskan sayang. Istigfar, kita serahkan semuanya kepada Allah."
_____________
Bersambung ....


💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 40 (Akhir semuanya)
Matahari bersinar begitu terik. Suara riuh kendaraan dapat didengar telinga itu. Tak hanya suara kendaraan. Didalam ruangan ini juga bergema suara Eriska. Ibu beranak dua itu mengeluarkan sumpah serapahnya dengan kesal saat mendengar cerita dari mulut Nabila.
"Gue kesel banget deh sama yang namanya, Halimah itu. Harusnya kan dia terima kalau Nuga itu sudah beristri." rutuknya.
"Udah lah, ka. Semua sudah terjadi."sahut Nabila.
"Ya enggak bisa gitu dong, Bil. Lo udah kehilangan anak lo. Ada ya manusia yang kayak gitu!"
"Udah, ka, udah. Enggak usah dibahas lagi lah. Tentang bayi gue, mungkin Allah belum ngasih kepercayaan sama gue dan suami. Lagian gue juga udah ikhlas kok."
"Ikhlas?" tanya Eriska. "Ya Allah bil. Semenjak lo nikah sama Nuga. Lo bener-bener berubah 100%. Kelewatan tabah banget tahu enggak. Udah nerima Mama tiri lo, udah ngizinin Nuga rawat wanita itu, dan sekarang, lo ikhlas banget kehilangan anak lo."
Nabila tersenyum dengan ucapan Eriska. "Anak itu hanya titipan dari Allah, Eriska. Semua yang ada didalam hidup kita itu adalah titipan. Jika Allah ingin mengambilnya, kita bisa apa. Mungkin dibalik semua ini ada sebuah hidayah. Mungkin Allah merindukan Gue berkeluh kesah kepada diri-Nya."
Eriska masih tidak percaya jika itu adalah Nabila. Ah, dia lupa siapa temannya ini. Sekarang Nabila adalah istri seorang Ustadz. Pasti banyak pengejaran yang telah Nuga terapkan didalam hidup Nabila.
"Lo masih mau disini?" tanya Nabila.
"Hm, gue sebentar lagi mau jembut Ken pulang sekolah. Gue tinggal enggak apa-apa kan, ya?" tanya Eriska.
"Iya enggak apa-apa. Paling suami gue bentar lagi juga kesini." jawab Nabila.
"Oke. Gue pergi dulu ya. Assalamualaikum, cantik. Cepat sembuh, ya." ucap Eriska berpamitan.
"Wa'alaikumsalam. Makasih udah dateng ya."

***
Nuga keluar dari kelas setelah bel istirahat untuk Shalat Dzuhur berbunyi. Secara berbarengan, Al juga keluar dari kelas samping. Ia melihat Nuga yang telah berjalan terlebih dahulu.
"Ga!!" panggilnya.
Nuga menoleh kearah Al. Dengan cekat, Al mendekat kearah Nuga.
"Wih, udah ngajar. Gimana Nabila, udah sehat?" tanya Al.
"Alhamdulillah, kondisi sedikit membaik."jawab Nuga.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan nya kembali. Al ingin memberitahukan sesuatu kepada Nuga. Ia sedikit ragu, jujur ia sedikit menyesal karena telah melakukan perbuatan itu.
"Ga, gue udah mengkhitbah Halimah." ucapnya dengan begitu cepat.
Nuga menghentikan langkahnya. Ia merasa aneh dengan ucapan Al tadi karena terlalu cepat. Ia menatap temannya yang sedang tertunduk itu.
"Kamu bilang apa? Kurang jelas aku dengernya. Coba ulang." pinta Nuga.
Al menarik nafasnya. "Gue udah mengkhitbah Halimah."
"Waw, surprise sekali ya. Kapan itu kejadiannya ?" tanya Nuga dengan tersenyum tak percaya.
"Dua hari yang lalu." jawabnya.
"Gimana cerita?" tanya Nuga.
Al menceritakan kejadian saat ia mengantar Halimah pulang. Saat dimana hatinya telah keras, bersikukuh untuk menikahi Halimah.
Falasback
"Aku mohon, jangan." pinta Halimah saat didepan pintu rumahnya.
"Aku akan tetap mengkhitbah kamu menjadi istriku."
Halimah menahan tangan Al tanpa sengaja.
"Jangan, Al. Aku tahu aku salah, tapi kamu tidak perlu mengkhitbah aku."
Al menepis tangan Halimah. Tatapan mata Al sangat menakutkan dan kepalanya menggeleng memberikan jawaban tidak. Ia ingin mengetuk pintu itu kembali. Namun, belum sempat tangannya mengetuk pintu. Pintu itu terbuka, dibaliknya ada Abah Halimah.
Wajah Abah terlihat bingung. Dia tidak mengenal siapa laki-laki yang berada disamping anaknya itu.
"Kamu siapa?" tanya Abah.
"Saya, Al. Saya teman Halimah di kairo." jawab Al.
"Oh, ayo silahkan masuk." tawar Abah langsung merangkul tubuh Al masuk kedalam rumahnya.
Ia diboyong keruang tamu. Abah meminta Halimah memanggil Mamahnya. Tamat sudah riwayat Halimah bila Al mengatakan niatannya.
"Jadi, nak Al ini lulusan dari kairo juga?" tanya Abah.
"Iya, Pak."
Al menggosok-ngosok tangan nya. Ia tak percaya jika dia akan melakukan ini seorang diri. Tanpa didampingi kedua orang tuanya.
"Begini, pak. Saya datang ke kediaman Bapak ini, sengaja mau bersilahturahmi," ucap Al.
"Oh. Iya-iya."
"Selain itu, kedatangan saya kemari. Ingin melamar Halimah, menjadi istri saya." sambungnya.
Wajah Abah yang tadi penuh senyum seakan telah berubah menjadi wajah yang penuh kekhawatiran dan keterkejutan. Halimah, anak semata wayangnya akan dilamar oleh seorang pria asing.
"Nak, Al ini tidak main-main dengan niatan itu?" tanya Abah memastikan.
"Saya serius dengan pinangan saya. Saya benar-benar ingin menjadikan Halimah sebagai istri saya." jawab Al dengan mantap.
"Nak, Al tahu. Anak saya itu masih mencintai laki-laki lain."
"Saya tahu, Pak. Meski dia mencintai laki-laki lain. Saya akan berusaha sekuat tenaga saya, supaya dia mencintai diri saya, sbagai suaminya. Saya akan membimbing ia kembali ke jalan Allah."
Abah melihat kesungguhan dimata Al. Ia mengangguk-angguk sebentar. Merenungi kata-kata yang keluar dari mulut Al.
"Ya, baiklah. Kalau dari saya saya menerima lamaran kamu. Tapi, semua tergantung kepada Halimahnya. Kita minta dia yang menjawab," ucap Abah. "Sebentar, saya panggil Halimahnya dulu."
"Halimah!!"

Halimah gelagapan bukan main saat namanya dipanggil. Ia dan Mamahnya sedari tadi telah menguping pembicaraan Abah dan Al.
"Abah, sudah memanggil. Ayo." ajak Mamah.
Halimah menggeleng perlahan. Jantungnya benar-benar bertedak Up normal. Laki-laki itu benar-benar menyampaikan niatannya.
Mamah Halimah, meraih tubuh anaknya, dirangkulnya tubuh itu kedalam dekapan. Perlahan, ia bawa anaknya kehadapan dua orang laki-laki itu. Halimah menundukkan pandangannya. Tubuhnya terasa panas dingin, ia tak berani menatap mata Al. Melirik saja dia tak sanggup. Padahal, selama ini dia selalu bersikap biasa saja didepan Al.
"Nak, kamu tahu maksud kedatangan temanmu ini?" Halimah mengangguk.
"Dia ingin mengkhitbah kamu menjadi istrinya. Apa kamu menerima lamaran nya?" tanya Abah.
Halimah semakin menundukkan pandangannya. Ia bingung dengan situasi seperti ini. Kenapa Al yang melamarnya. Ia tak memiliki rasa apa-apa kepada Al. Tapi ia juga tak ingin menolak lamaran laki-laki sebaik Al lagipula Al baik dalam segala hal.
"Halimah meminta waktu untuk menjawabnya." jawab Halimah.

Flasback Off
"Jadi, Halimah meminta waktu untuk menjawabnya?" tanya Nuga santai.
"Iya, tapi kok gue deg degan ya?"
"Deg degan takut ditolak?" tanya Nuga dengan tawa.
Nuga menepuk bahu Al. "Istikharah. Kalau Halimah memang jodoh kamu. In syaa Allah, Allah akan mempermudah," ucap Nuga menasehati.
Nuga naik keatas motornya. Saat ini mereka berdua tengah berada di parkiran motor pesantren.
"Tapi gue ragu sama yang gue lakuin. "
"Sudah dilakukan kenapa harus ragu? Sana shalat Dzuhur, berdoa, ikhtiar sama Allah." saran Nuga.
Ia menghidupkan motornya. Sebelum pergi, Nuga mengklakson Al yang masih berdiri.
"Ga, asal lo tahu. Gue ngelamar Halimah itu demi lo dan juga Nabila,"ucapnya dengan suara parau.

***
Halimah sedang duduk bersama Abah dan Mamahnya. Ketiganya membahas tentang khitbah yang dibawa Al dua hari yang lalu.
"Bagaimana dengan jawaban kamu, nak?" tanya Abah.
"Halimah bingung, Bah."
"Kenapa harus bingung. Kalau kamu tidak mau kamu bisa menolaknya,"ucap Mamah.
"Jangan," ucap Abah. Halimah dan Mamahnya menoleh kearah Abah.
"Kamu jangan menolaknya. Abah melihat keseriusan dimatanya. Jangan kamu tolak dia, nak. Sepertinya Dia sangat mencintai kamu."
Halimah menjadi lemas saat Abah mengucapkan kalimat itu. Halimah tak melihat cinta dimata Al. Laki-laki itu melamar nya karena dia menolak Al untuk menyentuh tangannya. Awalnya, Halimah kira Al hanya main-main saja.
Ia bingung dengan dirinya. Jika ia tidak mau, dia bisa menolak Al saat itu juga. Lagipula dia tidak mau menikah dengan orang yang tidak ia cinta.
"Abah, Mamah. Halimah mau pergi keluar dulu. Halimah butuh udara segar untuk memikirkan semua ini."
Wanita itu menyalami kedua orangtuanya. Ia keluar dari rumah itu dengan berjalan kaki. Halimah bergelut dengan pemikirannya sendiri. Kenapa semuanya jadi begini. Ia pulang ke Indonesia untuk dilamar dan dinikahi oleh Nuga dan nyatanya, Nuga telah menikah dengan wanita lain. Al, orang yang ia kenal di Kairo yang ternyata adalah teman Nuga. Telah meminangnya.
Hatinya ngusar dengan semua ini. Apakah ia terima saja lamaran dari Al untuk melupakan Nuga. Lagipula, disetiap shalat istikharahnya. Wajah Al selalu membayangi.
Ia berhenti melangkah didepan sebuah resto kecil. Matanya ia pejamkan, serasa ingin terjerit sekuat-kuatnya dengan keadaan ini. Lebih tepatnya kebodohan yang sedang ia lakukan.
Ia melangkah masuk kedalam resto tersebut. Pandangannya menyebar, mencari tempat untuk dia duduki. Namun, matanya berhenti ke sosok wanita yang sedang duduk sendiri. Wajah wanita sepertinya ia pernah melihatnya. Ah, iya. Halimah ingat, itu adalah orang yang pernah berbincang dengan Nabila saat dia ingin menemui Halimah.

Mungkinkah wanita itu adalah sahabat dekat Nabila. Halimah mendekat kearahnya. Jika memang benar wanita itu adalah sahabat Nabila, Halimah akan bertanya bagaimana kondisi Nabila sekarang.
"Permisi, Mbak ini temannya Mbak Nabila bukan?" tanya Halimah langsung.
Eriska yang sedang memainkan ponselnya menatap Halimah. "Iya, siapa ya?"
Halimah langsung duduk dihadapan Eriska tanpa permisi. "Saya Ha -- " Halimah menghentikan ucapannya. "Saya hanya pelanggan cafe mbak Nabila. Sudah beberapa hari ini saya tidak melihat Mbak Nabila berada di cafenya. Kira-kira, Mbak Nabila kemana ya?"
"Dia lagi terkena musibah. Jadi beberapa hari ini tidak masuk kerja." jawab Eriska.
"Oh, kalau boleh tahu musibah apa?" tanya Halimah.
Eriska menjelaskan yang ditanyakan Halimah tadi. Ia juga menjelaskan kondisi Nabila sekarang, sampai-sampai ia keceplosan dengan kehidupan Nabila. Padahal, jika difikir. Orang yang ada dihadapannya ini belum ia kenal sama sekali.
"Saya tu salut sekali dengan sahabat saya itu, Mbak. Sudah banyak penderitaan yang dia alami didalam hidup ini," ucap Eriska.
"Penderitaan, penderitaan seperti apa?" tanya Halimah penasaran.
"Sejak kecil, hidup Nabila itu sudah kacau. Dia tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya setelah kepergian Kakak perempuannya. Mama dan Papanya sering bertengkar. Dan sekitar dua bulan yang lalu, Mama dan Papanya resmi bercerai karena Om Fran ketawan selingkuh." Halimah menarik nafasnya. Jadi, Nabila adalah anak dari keluarga broken home.
"Dia tipikal cewek yang cuek banget sama cowok. Nah, Papanya itu ternyata menjodohkan dia sama anak rekan bisnisnya. Nabila udah jatuh cinta dengan tu cowok. Tapi, si cowok malah selingkuh sama temen kita berdua. Gila banget, itu. " Eriska menyeruput minumnya.
"Terus, ujung-ujungnya Nabila nikah sama orang yang enggak dia kenal. Ya, suaminya sekarang itu. Tapi hubungan mereka anget, Nabila dapet kasih sayang dari suaminya dan juga keluarga besar suami dia. Dan selanjutnya yang bikin saya gereget itu. Ada wanita lain masuk didalam kehidupan mereka. Dan bodohnya, Nabila mengizinkan suaminya ngerawat cewek itu pada saat posisi cewek itu lagi sakit." Eriska mulai mengeluarkan emosinya.

"Katanya lulusan kairo, harusnya kan dia tahu kan ya. Kalau Laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim itu tidak boleh bersentuhan apalagi memberikan perhatian dari lawan jenisnya." Halimah menenguk salivanya.
"Dan sekarang, dia harus kehilangan bayinya. Gara-gara perempuan itu. Tapi Nabila masih sabar dan mengikhlaskan semuanya. Dia malah bilang, 'sudah, semuanya sudah terjadi. Anak itu cuma titipan.' gitu katanya."
"Pasti dia sangat terpukul dengan kehilangan anaknya itu,"ucap Halimah.
"Setiap ibu pasti akan terpukul dengan kepergian anaknya. Anak itu adalah harta yang paling berharga. Apalagi, Nabila dan Nuga telah mengharapkan kehadiran anak itu."
Halimah tertunduk menyesali perbuatannya. Kalau saja waktu itu dia tidak mengedepankan egonya dan menerima tawaran Nabila, pasti semuanya tidak akan menjadi seperti ini.
"Kalau saya bertemu dengan perempuan yang bernama Halimah itu, saya bakal unyeng-unyeng dia. Bakal saya hajar dengan kata-kata dan tamparan beberapa kali di pipinya." Halimah merinding ngeri saat Eriska mengatakan itu.
"Mmmm, Mbak, kalau gitu saya permisi dulu ya." pamit Halimah.
"Mau kemana?" tanya Eriska.
"Saya lupa kalau ada urusan. Saya permisi ya, Mbak. Assalamualaikum," ucapnya.
"Wa'alaikumsalam."
Halimah keluar dari cafe itu. Ia berdiri dipinggir jalan, mencari taxi. Tujuannya sekarang cuma satu. Kerumah sakit, menemui Nabila. Apapun resikonya.
Selama diperjalanan Halimah telah menyiapkan beberapa kata. Ia ingin meminta maaf atas semuanya. Dirinya merasa bahwa dirinya telah menderita karena perbuatan Nuga. Tapi ternyata, setelah mendengar cerita dari Eriska. Dia sadar, bahwa Nabila jauh lebih menderita dari pada dirinya.
Kini ia telah berada didepan pintu rawat Nabila. Baru saja ia ingin membuka pintu. Namun, sayup suara dari dalam ruangan itu menghentikan gerakan tangannya.
"Jangan terlalu menyalakan Halimah, Mas. Aku yang salah dalam hal ini. Aku yang memaksa dia, padahal dia tidak mau."

"Sayang, kalau saja waktu itu dia tidak datang menemui kamu. Mungkin, ini enggak akan terjadi. Mungkin kita bisa melihat kelahiran bayi pertama kita. Cucu pertama Abi, Ummi. Papa dan Mama."
Halimah sedih saat mendengar ucapan Nuga. Kali ini dia telah melakukan dosa yang sangat besar. Apa yang ia lakukan telah melukai banyak hati.
"Sudah, Mas. Ikhlaskan semuanya, kamu pernah bilang ke aku. Kita harus mengikhlaskan anak kita. Lagi pula, Halimah tidak sengaja melakukannya. Tolong, jangan membenci dia karena aku tidak membencinya. Ia hanya dibutakan oleh rasa cintanya ke kamu."
Malu, mungkin hanya kata itu yang berada didalam otak Halimah sekarang. Wanita yang ia benci ternyata tak membencinya.
"Katanya tadi mau shalat Dzuhur. Sana shalat dulu. Tidak baik menunda shalat."
Halimah bergegas menjauh dari depan pintu. Ia bersembunyi dibalik dinding. Matanya melihat Nuga keluar dari ruangan itu. Setelah merasa aman, Halimah kembali mendekat kearah ruang rawat Nabila. Perlahan ia membuka pintu itu, matanya langsung mendapati sosok yang dicari.
Nabila yang tadinya sedang berbaring mendadak terkejut saat melihat wajah Halimah yang berada dibalik pintu. Ia takut jika Halimah akan melakukan yang tidak-tidak terhadap dirinya. Namun, fikiran negatif itu ia singkirkan. Mungkin saja wanita itu mau menjenguknya.
"Boleh saya masuk?" tanya Halimah permisi.
"Tentu." jawab Nabila dengan senyum.
Halimah menutup pintu ketika masuk. Ia mendekat kearah Nabila yang sedang bersandar. Memperhatikan kondisi Nabila, menatap seluruh tubuh Nabila dari bawah sampai keatas.
"Apa ... Kabar?" tanya Halimah.
"Ya, seperti yang kamu lihat sekarang." Halimah mengangguk atas jawaban Nabila.
"Maaf kan saya. Gara-gara saya kamu kehilangan bayi yang berada di kandungan kamu." sesal Halimah.
"Saya sudah memaafkan kamu."

"Harusnya kamu membenci saya. Saya sudah berusaha mengambil suami kamu. Dan saya juga penyebab kamu dan Nuga kehilangan bayi kalian."
"Untuk apa saya membenci kamu. Aku ini hanya manusia biasa. Aku juga bisa melakukan kesalahan. Semua yang sudah biarkanlah. Aku hanya mau, kamu menyadari semua kesalahan yang kamu perbuat." jelas Nabila.
"Secepat itu kamu memaafkan kesalahan saya?"
Nabila tersenyum, ia meraih tangan Halimah dan mengenggamnya. "Sekali lagi saya katakan. Saya ini hanyalah manusia biasa. Allah saja mampu memaafkan hamba-Nya yang mau bertaubat dan mengakui kesalahannya. Masa saya yang hanya ciptaan-Nya tidak mau memaafkan kesalahan manusia yang lain." Nabila berkata dengan tutur kata yang begitu lembut. Bahkan ia masih bisa memberikan senyumannya kepada Halimah.
Halimah langsung memeluk tubuh itu dengan erat. Hal ini diluar dugaan Nabila, bahkan ia sangat terkejut dengan tindakan Halimah. Nabila membalas pelukan itu dengan senyum.
"Maaf kan saya. Saya telah berdosa kepada kamu, Nabila. Saya menjadi wanita yang bodoh gara-gara cinta. Saya melupakan Allah, saya melupakan semua ilmu yang sudah saya dapatkan selama belajar. Saya telah mencoreng harga diri seorang wanita. Saya telah melukai hati seorang wanita. Maafkan saya, maafkan saya Nabila." Halimah menangis dalam dekapan Nabila. Ia benar-benar menyesali perbuatannya yang dibutakan oleh cinta. Yang dibutakan oleh bujuk rayu syetan.
"Sudah jangan menangis, jangan. Saya sudah memaafkan kamu." Nabila mengelus punggung Halimah mencoba menenangkan.
Halimah melepaskan pelukannya. Ia mengelap air mata dan cairan bening yang keluar dari hidungnya. Tangannya meraih tangan Nabila.
"Nuga beruntung mendapatkan wanita seperti kamu. Kamu jauh ... Lebih baik dari pada saya."
Nabila menggeleng dengan pujian Halimah. "Tidak, akulah yang beruntung karena mendapatkan dia."
Halimah tersenyum melihat kemurahan hati Nabila. Dia wanita yang benar-benar baik. Tidak seperti dirinya, dia bahkan sangat malu dengan perbuatan yang pernah ia lakukan.
"Boleh tidak kita menjadi teman?" tanya Halimah.
"Boleh saja." jawab Nabila.

***
Halimah kembali melaksakan shalat istikaharahnya setelah shalat Isya. Ia kembali mencari jawaban atas pertanyaannya. Dan lagi-lagi, wajah Al selalu terbayang disetiap sujudnya.
Setelah selesai melakukan shalat, Halimah mengajak Abah dan Mamahnya untuk membagi ceritanya pada hari ini. Selain itu, dia juga menceritakan kejadian pelik akhir-akhir ini. Abahnya sangat marah saat mengetahui perbuatan anaknya itu. Namun, Halimah bisa mengatasinya. Dan sampailah ia kepada cerita intinya.
"Mengenai lamaran yang Al bawa. In syaa Allah Halimah bersedia menerima pinangan itu. Halimah ikhlas menjadi istri dari Al," ucap Halimah.
"Kamu sungguh-sungguh dengan ucapan kamu itu?" tanya Abah.
"In syaa Allah, Bah. Atas izin Allah, dengan mengucapkan Bismillah, Halimah siap." jawabnya dengan tertunduk.
Abah nya tersenyum bahagia. Terlebih lagi Mamah Halimah. Mereka bersyukur dengan semua ini. Akhirnya Halimah mampu membuka hatinya untuk laki-laki lain. Abah langsung menelpon Al untuk memberitahukan semua ini.
Di kediaman Al-Kahfi, ia juga sedang menyelesaikan shalat istikaharahnya. Masih mengenakan baju kokoh dan sarung. Saat ingin melepas pakaiannya. Ponselnya berdering, disana tertera nama Abah. Segera ia mengangkat panggilan itu.
"Hallo, Assalamualaikum, Bah."
Matanya membulat dan senyumnya mengembang saat mendengar Abah mengatakan jawaban yang diberikan oleh Halimah.
Setelah mematikan ponselnya tersebut, ia turun dari lantai dua menuju kearah dapur. Tepat dimana seluruh keluarga sedang berkumpul.
"Pa, Ma. Kak Ello, Kak Rey, Kak Dina, dek Nayla, dan kakak-kakak menantu. Sebentar lagi, Al mau nikah," ucapnya dengan bahagia.
"Alhamdulillah." semua anggota keluarga mendekat kearah Al yang sedang berdiri.
"Seriusan?" tanya Kak Dina.
"Sama siapa, Kak?" tanya Dek Nayla.
"Anak mana?" tanya menantu kedua.
"Dari keluarga yang baik-baik kan?" tanya Papa.
"Berhijab?" tanya kakak ipar pertamanya.
"Seiman nggak ni?" tanya Kakak Ipar ketiga.
"Pendidikannya sampai mana?" tanya Kak Ello.
"Yang pasti cowok kan?" tanya sang Mama yang membuat orang-orang disana menatapnya.
"Mama ... pertanyaannya," ucap Al tersingung.
"Hehehe. Maaf, Mama kan cuma nanya. jadi kapan kamu mau nikah?" tanya Mama.
"Besok, kalian sekeluarga ikut Al. Kita bakal bertemu dengan keluarga calon istri Al," ucap Al.
"Ya udah kalau gitu, kita siapin semuanya malam ini. Besok Al langsung tunangan aja sama pilihan dia," ucap Papanya.
__________
Bersambung ...

💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 41
Jeng, jeng ...
Part terakhir, Happy Reading 😊
.
.
.
.
Akhirnya, Nabila dapat menghirup udara segar. Hari ini ia telah pulang kekontarakannya. Dokter menyarankan agar Nabila lebih banyak melakukan istirahat.
Tapi Nabila tak mengindahkan perkataan dokter. Dia lebih malah tak mau diam dirumah. Dia masih mengerjakan pekerjaan rumah. Membereskan pakaian yang dibawa kerumah sakit kemarin. Mencucinya lalu menjemurnya.
"Loh, loh. Kok malah nyemur pakaian?" tanya Nuga yang baru pulang dari warung.
"Ya enggak apa-apa. Meringankan beban kerja suami aja." Jawab Nabila.
"Ya tapi kan kamu harus istirahat."
"Iya, ini udah juga kok. Bentar ya." ucap Nabila membuang air bekas cuciannya.
"Oh, ya kamu tahu enggak. Hari ini Al dan Halimah tunangan." ucap Nuga.
"Oh, iya. Alhamdulillah dong, aku enggak nyangka loh," ucap Nabila dengan santai.
"Iya, Al bilang dua hari lagi mereka akan menikah. Kamu mau datang atau tidak?" tanya Nuga.
"Ya dateng lah kalau diundang." jawab Nabila.
Mereka berdua masuk kedalam rumah kontarakan secara beriringan.
"Tapi kayaknya engak usah deh."
Nabila membalikkan badannya. Ia menatap Nuga yang tertunduk.
"Loh, kenapa? Takut cemburu?" goda Nabila.
"Apaan sih, yank. Bukan itu. Kamu tahu kan, Halimah itu ---" Nuga menggantungkan kalimatnya saat melihat tatap Nabila yang bertanya.
"Mas, Al kan sahabat kamu. Masa kamu tidak mau datang di acara pernikahannya."
Nuga menghembus nafas dengan lemas. Nabila mengalihkan pembicaraan.
"Jadi kamu mau datang ke acara mereka?" Nabila mengangguk dengan pertanyaan Nuga.
***
Hari itupun tiba. Hari dimana Al akan mengikat janji pernikahan bersama dengan Halimah. Dekorasi yang dibuat begitu apik. Nabila jadi iri kepada Halimah. Wanita itu menikah dengan mengenakan gaun pernikahan, ada tamu undangan, jamuan, dan pesta kecil. Jika dibandingkan dengan dirinya, ah sudahlah. Nabila harus tersenyum di acara pernikahan ini.
Disana Al sedang menjabat tangan Abah. Nabila jadi teringat momen dimana Nuga menjabat tangan Papanya dengan gugup dan gemetar. Tanpa ada persiapan yang matang.
قبلت نكاحها وتزويجها على المهر المذكور ورضيت" بهى والله ولي التوفيق
Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq
(Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah.)
"Sah."
"Alhamdulillah, Barakallah fiikum."

Semua orang menadahkan tangannya saat sang wali nikah membacakan doa. Setelah itu, Halimah dengan gaun pernikahannya yang cantik itu keluar dari barisan para wanita. Ia mendekat kearah Al yang telah menunggunya.
Nabila bisa melihat wajah Halimah yang bersemu. Bahkan, Halimah ragu untuk menyentuh tangan Al. Matanya sedikit menaik. Mengedarkan pandangannya dan dia dapat melihat Nabila dengan senyum seraya memberikan aba-aba ke Halimah untuk mencium tangan suaminya.
Akhirnya, Halimah mau memegang dan mencium tangan Al. Mereka saling tukar cincin disana. Al juga mengalungkan sebuah kalung yang begitu indah.
Setelah acara akad selesai. Para tamu undangan dipersilahkan untuk menikmati jamuan yang tersediah. Nabila belum terlalu bisa menopang tubuhnya sendiri. Badannya masih terasa sakit sedikit.
"Sayang, are you oke?" tanya Nuga yang entah sejak kapan sudah berada disamping Nabila.
"Yes, I'm oke." jawabnya.
"Nanti malam, ikut aku yuk." bisik Nuga.
"Kemana?" tanya Nabila.
"Ada surprise. Sekarang, kita pamitan dulu sama pengantennya." ajak Nuga.
Nuga mengaitkan jari-jarinya kejari-jari Nabila. Ia tak mau melepaskan pegangan erat itu. Mereka menaiki pelaminan dengan senyuman.

***
Pukul 21.47 Wib. Nuga mengajak Nabila ke sebuah tempat. Lebih tepatnya kesebuah restoran. Tak tanggung-tanggung, Restoran yang ia pilih ini merupakan salah satu Restoran ternama dan terkenal didaerah Jakarta.
Nuga menuntun Nabila menuju Rooftof Restoran ini. Disana, suasana nya lebih tenang dan mereka bisa menikmati keindahan gemerlap cahaya-cahaya pada malam hari.
"Kamu suka?" tanya Nuga saat mereka berdua sedang memandangi kota dimalam hari.
"Iya, sudah lama aku enggak melihat pemandangan seperti ini."jawab Nabila dengan senyuman.
Nabila menghadap kearah Nuga. "Akhirnya, keinginan aku untuk Dinner romantis sama kamu tercapai," ucapnya.
Nuga meraih tangan Nabila. "Sayang, malam ini aku akan memberikan kamu beberapa kado."
"Beberapa kado?" tanya Nabila.
"Iya."
"Mas, kamu ngajak aku Dinner kayak gini aja. Aku udah seneng."
"Buat kamu seneng itu memang mudah. Makanya aku mau ngasih kamu kado lagi," ucap Nuga dengan senyuman.
"Memang apa kadonya?" tanya Nabila.
"Tutup matanya dulu dong." pinta Nuga.
"Oke, aku tutup."
Nuga mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Sekarang, buka mata kamu." pintanya lagi.
"Hm," Nabila menatap aneh benda itu.
"Mas, apa ini isinya. Cincin ya?" tanya Nabila.
"Bukan."
"Kalung?" tanya Nabila sekali lagi.
"Bukan juga."
"Terus apa?" tanya Nabila.
"Buka dong makanya."
Nabila segera membuka kotak merah kecil itu. Kalau enggak cincin pasti kalung. Saat kotak itu terbuka sempurna, tangan Nabila meraih benda yang ada didalamnya.
"Mas, kunci?!" tanya Nabila heran.
"Kunci apa ini?"
"Kunci rumah tangga kita." jawab Nuga.
"Kunci rumah tangga?" tanya Nabila.
"Iya, kunci rumah, sayang."
"Serius ini kunci rumah kita?" Nuga mengangguk.
Nabila mendekat kearah Nuga dan langsung mengalungkan tangannya ketubuh Nuga.
"Makasih, kadonya," Nabila juga mengecup pipi suaminya itu.
"Iya sama-sama. Selain itu aku juga punya kabar baik buat kamu."
"Kabar baik apa?" tanya Nabila.
"Aku, keterima jadi Dosen di Universitas tempat Marwah kuliah nanti."
"Ah yang bener, emang kapan kamu daftarnya?" tanya Nabila.
"Ya ... Waktu kamu lagi dirawat dirumah sakit. Untung si, soalnya bisa sekalian jaga Marwah nanti disana. Dia juga bakal dirumah kita nanti, boleh?" tanya Nuga.
"Boleh-boleh aja." jawab Nabila kembali kekursinya.
"Emang, Marwah udah keterima?" tanya Nabila.
"Alhamdulillah, udah, sayang. Dia ambil jurusan Psikolog islami."
"Oh, gitu. Alhamdulillah ya, semuanya bisa terwujud." Nabila menunduk saat mengucapkan kalimat terakhir. Ia bahagia dengan kabar ini. Namun, hati kecilnya masih sedih karena kehilangan janinnya.
"Mmmm, Mas. Aku boleh nanya satu hal enggak sama kamu?"
"Boleh dong. Memang mau nanya apa."
"Umur kamu berapa sih?"
"27 tahun."
"Ya Allah," ucap Nabila lirih.
"Kenapa, sayang?" tanya Nuga.
"Enggak, itu. Aku ... Ternyata aku lebih tua dua tahun diatas kamu," ucap Nabila.
"Terus kenapa, enggak jadi masalah kan?" tanya Nuga dan Nabila menggeleng.
"Untuk sekarang, aku bakal fokus sama kesehatan kamu."
"Kamu enggak ngajar di pesantren lagi?" tanya Nabila.
"Enggak. Aku mau jadi Dosen aja. Ngurus kamu, dan yang paling penting. Kita harus usaha lagi untuk mendapatkan buah hati."
"Aish, aku kan masih dalam masa Nifas." protes Nabila.
"Loh, aku kan enggak bilang sekarang." elak Nuga.
"Ih, kamu kan tadi ngomong kayak gitu. Ada usaha-usaha," ucap Nabila yang tak mau kalah.
"Ya kan nanti, sayang." ucap Nuga dengan senyumannya.
Keduanya sama-sama berdebat akan hal ini. Nabila tidak mau kalah begitu pula dengan Nuga.
"Besok, hari ini, hingga ajal menjemput. Izinkan aku bersama kamu selamanya," ucap Nuga.
Mereka sekarang sudah berada diluar Restoran. Menikmati keindahan bulan yang berada diatas langit nan hitam.
"Iya, aku izinkan." jawab Nabila dengan senyum. "Dan semoga, Allah mengizinkan kita bersatu kembali surga-Nya Allah." sambung Nabila.
"Aamiin, sayang."
Nuga merangkul bahu Nabila begitu erat. Memberikan kehangatan di dinginnya malam. Ia membawa Nabila masuk kedalam mobil. Meninggalkan Restoran yang super mewah itu. Dalam perasaan bahagia dan penuh cinta.
'Mungkin Allah menginginkan kita untuk berdua dulu. Mungkin ia juga ingin mendengar doa-doa kita yang menginginkan si buah hati. Allah lebih tahu dari pada siapapun.' batin Nabila.
'Semuanya semata-mata hanyalah titipan dari Allah. Jika Allah ingin mengambilnya kita bisa apa. Jodoh, maut, dan rizeki seorang hamba, hanya Allah-lah yang tahu.' batin Nuga.
Mereka berdua saling menatap penuh cinta satu sama lain.
'Karena Allah, telah menuliskan takdir setiap hamban-Nya jauh sebum manusia itu diciptakan.' batin keduanya.
________________ SELESAI _______________