Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّÙ‡ُ yang Kaffah.

💞 Kamu pilihan Allah 💞 31 - 35

💞Kamu pilihan Allah 💞
Part 31 (Sedikit rumit ) by Resi Oktariani

Gadis cantik dengan balutan hijab berwarna biru senada dengan pakaian yang ia kenakan itu memasuki rumahnya dengan perasaan yang sangat hancur. Air mata yang sedari tadi mengalir diwajahnya ia hapus dengan kasar. Jangan sampai Abah dan Mamah tahu jika ia menangis.
Halimah, gadis itu langsung masuk kearah kamarnya. Mengunci kamar itu dengan rapat. Dengan tergesah-gesah, Ia langsung mencari laptopnya.


Setelah menjumpai laptopnya itu, ia langsung masuk ke laman webnya. Tempat dimana semua E-mail masuk kedalam sana. Ia mencari nama Nuga. Naik, turun ia menatap semua berkas yang ada di layar laptopnya. Hampir frustasi mencarinya. hingga mata itu melihat sebuah pesan dengan alamat Email Nuga. Pesan itu belum ia buka, segera ia membuka pesan itu.
Assalamualaikum Halimah.

Maaf, aku baru membalas semua pesan yang kamu kirimkan beberapa hari terakhir.
Halimah, kamu ingat, dulu kita pernah berkomitmen untuk tidak berpacaran dan langsung menikah saja. Komitmen yang kita buat saat masih menjadi santri dulu.
Kamu ingat juga enggak. Waktu kamu mendapatkan beasiswa dan melanjutkan kuliah S1 di Cairo aku selalu menunggu kamu. Tapi setelah lulus, kamu bilang ke aku bahwa kamu ingin melanjutkan S2 lagi ke Cairo.

Dan lagi, aku siap menunggu kamu menyelesaikan S2 disana. Aku selalu berdoa semoga aku diberikan jodoh yang baik dan Shaliha kepada Allah. Aku tidak pernah menyebutkan namamu di setiap doaku. Tapi aku berharap, semoga wanita itu kamu.
Halimah, maaf. Aku tidak bisa melanjutkan komitmen yang pernah kita buat. Karena Allah telah menjawab Doa-doaku selama ini.
Air mata itu luluh lagi. Membanjiri wajah cantiknya. Rasanya tak kuat jika harus membaca surat itu sampai terakhir.
Aku telah menikah, Halimah. Aku, telah menikah dengan wanita yang Allah pilihkan untuk diriku. Pertemuan kami sangat singkat bahkan cukup terbilang aneh. Aku yang awalnya ingin membantu dia yang sedang ditimpa musibah malah harus menikahinya.
Tapi aku bahagia, dia mampu menerima ku walau diawal pernikahan kami sering bertengkar.
Aku harap kamu bisa menerima semua ini dengan lapang dada. Maaf karena tak bisa menepati apa yang pernah aku katakan padamu Halimah.
Anugerah Nur Hasan.
Wassalamualaikum wr.wb.

"Aaaaaaaa !!!" teriaknya setelah membaca E-mail itu. Hatinya begitu hancur menerima semua ini. Laki-laki yang amat ia cintai, dan yang telah lama ia tunggu telah menikahi wanita lain.
"Kamu jahat Nuga!!! Pem-bo-hong !!!"
Prang !!!

Kaca meja rias yang berada dikamar Halimah menjadi sasaran amukannya. Kaca itu pecah melebur berserakan dilantai. Semua benda yang ada di kamar nya ia lempar ke sembarang tempat.
"Kenapa ya Allah, kenapa!! Kenapa dia harus menikah dengan perempuan lain!!!"
Suara teriakan dan amukan dari Halimah membuat seisi rumah menuju kearah kamarnya.
"Kenapa bukan aku, Ya Allah !!!"teriaknya.
"Halimah, nak. Kamu kenapa ?" ucap Mamahnya mengetuk pintu kamar Halimah.
"Kenapa, Mah?" tanya Abah yang baru datang.
"Mamah juga enggak tahu, bah. Tadi Halimah teriak-teriak. Pintu kamarnya juga dikunci. Mamah takut, Abah." ucap Mamah khawatir.
"Mamah tenang ya." pinta Abah merangkul istrinya.
"Bik, tolong ambilkan kunci serep kamar, Halimah." perintah Abah kepada pembantunya.
"Baik, pak."
"Halimah, Bah," ucap Mamah khawatir.
Selang beberapa menit, pembantunya itu membawakan kunci serep kamar Halimah. Dengan bismillah, Abah membuka pintu kamar anak gadisnya itu. Mereka dibuat terngagah oleh pemandangan yang ada didepan mata mereka ini. Kamar ini sangat berantakan, semua barang berserakan dimana-mana.
"Ya Allah, Abah. Halimah."
Mamah langsung menghampiri anaknya yang sedang duduk menangis histeris di pojokan kamarnya. Mamah menutup mulutnya saat melihat kondisi sang anak.
"Halimah, kamu kenapa, nak?" tanya Mamah.
"Mamah," Halimah langsung memeluk Mamahnya dengan sangat erat. Ia terisak didalam pelukan sang Mama.
"Ada apa nak, kenapa kamu jadi berantakan gini. Ada apa sayang, ada apa?" tanya Mamah.
Halimah tidak menjawab, ia memilih untuk diam. Hatinya masih terasa sakit karena Nuga.

***
Sudah beberapa hari ini, Nabila memilih tinggal dirumah mertuanya. Makin hari, ia tidak ingin jauh dari Ummi. Nabila selalu bergelayut manja dengan mertuanya itu. Rasa hangat kasih sayang yang Ummi salurkan dapat membuatnya lebih tenang.

Mengenai masalah dan Nuga, Nabila memilih bungkam. Bungkam dari Ummu dan Abi tak terkecuali Nuga. Nuga hampir frustasi karena ulah Nabila. Kalau disuruh memilih, ia lebih baik mennghadapi amukan secara terbuka oleh Nabila dari pada harus menghadapi Nabila dengan diamnya.
"Bil, kamu Ummi liatin. Ngerujak mulu, apa enggak bosen?" tanya Ummi.
"Enggak." jawab Nabila yang sedang menggerogoti mangga muda.
"Kayak orang lagi hamil aja."
"Emang lagi hamil."
Ups, Nabila baru sadar jika ia keceplosan tentang kehamilannya. Ya, meski sudah beberapa hari ini tinggal dirumah Ummi, Nabila belum memberitahukan kabar kehamilan kesiapa-siapa.
"Serius, nak? Hamil?" tanya Ummi sembari memeragakan postur tubuh ibu hamil.
Nabila mengangguk pasrah dengan pertanyaan Ummi.

"Alhamdulillah ya Allah, berarti Ummi sebentar lagi bakal jadi Nenek. Uhhh," ucap Ummi yang bahagia sembari mengelus perut Nabila.
"Ummi tapi jangan bilang ke siapa-siapa dulu ya, terutama Mas Nuga." pinta Nabila.
"Loh, jadi Nuga belum tahu kalau kamu hamil?" tanya Ummi.
"Belum, Nabila nunggu waktu yang pas buat kasih tahu Mas Nuga, Mi."
"Memangnya sekarang belum tepat?" tanya Ummi.
"Belum."
"Ada masalah lagi sama Nuga?"
Nabila meletakkan mangga muda yang ia nikmati tadi. Tubuhnya ia sandarkan di kursi yang sedang di duduki.
Ummi memegang bahu Nabila, "Apa masalahnya nak, cerita. Ummi ini adalah orang tua kamu juga. Kalau Nuga sampai sakiti hati kamu. Biar Ummi yang urus anak itu, "ucap Ummi dengan mantapnya.
Nabila hanya mengulaskan senyum, "Nabila mau cerita. Tapi Ummi jangan marah ya. Biar ini jadi rahasia kita berdua. Janji." pinta Nabila mengacungkan jari kelingkingnya.
Ummi dengan senang hati meladeni menantunya itu, "Ummi janji."

Nabila membuka mulut, menceritakan semua yang terjadi. Alasan kenapa ia mendiami Nuga serta memberitahu hubungan yang dibuat Nuga dan Halimah. Ummi sangat kaget ketika mengetahui anaknya, mencintai murid yang selama ini menjadi kesayangannya.
Air mata itu tidak dapat dibendung oleh Nabila. Jujur, ia sangat takut kehilangan Nuga. Mungkin ia trauma, trauma yang mendalam saat mengetahui keputusan Mama meninggalkan Papanya. Papanya setuju dengan perceraian itu, hanya karena istri kedua dari masa lalunya memiliki anak yang masih kecil.
"Nabila takut, Mi. Itu alasan kenapa Nabila diemin Mas Nuga. Nabila enggak mau denger penjelasan dia dulu. Karena mendengarkan penjelasan dari orang yang kita cintai itu sangat menyakitkan," ucap Nabila.
"Nak, Ummi tahu. Masalah yang sedang kamu hadapai ini sangat sulit. Masalah Papa dan Mama kamu sudah berlalu. Lupakan, Ummi tahu kalau itu sulit tapi kamu lupakan itu." Ummi memegang bahu Nabila. Memberikan energi ketenangan kepada menantunya itu.
"Untuk masalah kamu dan Nuga, izinkan Nuga menjelaskan apa yang ingin ia jelaskan. Ummi tidak membela anak Ummi. Tapi Ummi ingin," Ummi menyentuh pipi Nabila, "Kamu melupakan masalah Papa dan Mama kamu. Masalah kamu dan Nuga beda sayang."

"Tapi, Nabila takut ..." Ummi langsung menutup mulut Nabila dengan jari telunjuknya.
"Ada Allah, Nabila. Jangan pernah takut menghadapi segala ujian didunia ini. Allah selalu ada untuk semua hambanya."pesan Ummi.
Nabila bungkam dengan ucapan Ummi. Benar, Nabila punya Allah. Kenapa dia harus takut. Bodoh, karena takut kehilangan Nuga ia malah mendiami Nuga. Ia sadar bahwasanya selama ini ia larut dalam drama Papa dan Mamanya. Drama yang membuatnya takut untuk berdiri sendiri didalam Drama kehidupannya.
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Suara adzan telah berkumandang. Menyerukan nama Allah dan memanggil untuk memaksakan shalat.
"Adzan, kamu shalat dulu ya." perintah Ummi.
Ummi sedikit menunduk. Wajahnya mendekat kearah perut Nabila yang rata itu.
"Kamu ikut shalat sama ibumu, latihan supaya nanti kalau laki-laki menjadi laki-laki yang shalih dan jika perempuan menjadi anak yaang shaliha, " bisik Ummi. Nabila memberikan senyumannya mendengar kalimat Ummi.

***
Nabila membasuh mukanya dengan air wudhu, dingin ketika menyentuh kulitnya. Setelah itu ia menuju ke kamar nya. Mengenakan mukenah dan melaksanakan shalat ashar.
Setelah memaksakan shalat dengan jumlah 4 raka'at itu. Ia memulai doanya, berzikir ke Allah, bershalawat kepada Rasulullah, berdoa untuk orang tuanya dan berdoa untuk dirinya serta Nuga.
Hanya dirinya dan Allah yang tahu tentang isi doa tersebut. Begitu lama mulut Nabila komat-kamit. Hingga saat tangannya menyentuh wajahnya. Seseorang memanggilnya dari belakang.
"Nabil, aku mau bicara."
_____________
Bersambung ....


-------

💞Kamu pilihan Allah 💞
Part 32 ( Istana Kita )

"Nabila, aku mau bicara."
Aku menoleh kearah orang yang memanggilku itu. Ia sedang duduk disudut kasur mengenakan pakaian yang sangat aku sukai. Baju koko dan sarung serta kopiah diatas atas kepalanya.
Dia Mas Nuga, suamiku. Yang baru saja pulang dari Masjid. Aku mendekat kearahnya. Meraih tangannya untuk kucium.
"Mau ngomong apa?" tanyaku.


Kulihat wajahnya melemparkan senyuman kearahku. Mungkin, ia sedang merasa bahagia. Karena akhirnya aku membuka mulut untuk berbicara dengan dirinya.
"Eeee ... Kamu enggak marah lagi sama aku?" tanyanya.
"Emang kamu mau aku marah sama kamu,Mas?" tanyaku balik.
Dia menggeleng dengan senyuman seolah menjawab pertanyaannya ku dengan kata 'jangan'.
"Tadi katanya mau ngomong."
"Oh iya, lupa," ujarnya. "Jadi gini, aku mau jelasin masalah yang kemarin. Soal Halimah," sambungnya.
Aku memasang wajah datarku saat dia mengucapkan nama Halimah. Oke Nabila, jangan egois. Denger kan penjelasan suamimu itu. Biarkan, dia menjelaskannya.
"Ya udah, jelasin aja."
"Oke,"ucapnya mengatur Nafas. "Sumpah aku enggak tahu kalau dia datang ke pesantren hanya untuk menangih komitmen yang pernah aku dan dia buat. Jujur, bil. Aku udah kirim surat itu lewat e-mail. Aku udah kasih tahu tentang pernikahan kita ke dia."jelas Mas Nuga.
"Aku enggak bisa kalau kamu diemin kayak gini. Aku ngerasa sebagian dari hidup aku ada yang hilang."

Ingin tertawa rasanya saat mendengar ucapannya itu. Seorang Anugrah Nur Hasan bisa bersikap dan berbicara seperti itu. Hal yang sangat langkah. Tapi aku suka dengan kelangkahannya itu.
"Bil, kok senyum-senyum sendiri?" tanyanya.
"Enggak ada. Cuma pengen senyum aja. Di gombalin sama kata-kata yang tadi." jawabku.
Aku terperanjat saat dia meraih tanganku dan mengenggamnya.
"Itu bukan gombalan, sayang. Aku bicara melalui hati. Lagian ya, aku lebih suka kamu marah secara terang-terangan dari pada kamu ngediemin aku kayak gini,"ucapnya
Aku menarik tanganku yang digenggam oleh Mas Nuga. Dengan wajah yang amat garang, aku memarahinya habi-habisan.
"Oh jadi gitu, lebih suka kalau aku marahnya terang-terangan?!"
"Iya." jawabnya dengan jujur.
"Jadi kamu mau aku marah-marah sekarang, iya?!"
"Eh, enggak kok. Maksud aku itu tadi ___ "
"Apa, tak udah maksud aku, maksud aku. Tadi yang bilang lebih suka lihat aku marah secara terang-terangan siapa?!"
Aku lihat wajahnya menunduk. Apakah dia takut dengan ucapan ku barusan. Ya Allah maafkan aku, aku cuma mau mengerjainya saja. Serius deh, enggak bohong.
"Ya aku sih, tapi kan aku ... "
"Aku apa. Mau alasan apa lagi, aku jadi kesel kan kan sama kamu kalau kayak gitu. Aku udah baik-baik loh sama kamu," ucapku dengan suara yang penuh dengan emosi.
"Ya udah, aku minta maaf," ucapnya mengalah.
"Enggak mau, aku enggak mau maafin kamu. Kamu tahu, tanganku rasanya gatel banget mau nampar pipi kamu,Mas." bisa kulihat wajahnya mulai merasa khawatir dan tangannya sekarang sedang memegang pipinya sendiri.
"Ya ... Ya udah kalau itu buat hati kamu legah. Tampar aja pipi aku, enggak apa-apa kok. Rasa sakit tamparan di pipi aku pasti tidak akan setara dengan rasa sakit yang ada dihati kamu."
Mas Nuga, bagaimana bisa aku menampar pipimu dengan amarah yang menggebu-gebu kalau kamu bisa bersikap seromantis ini. Aku tahu, kamu pasti kamu tidak tahu jika yang kamu lakukan ini adalah sebuah sikap romantis.
"Tampar aja sayang. Enggak apa-apa. ayok." tawar nya mendekatkan wajahnya kearahku
Oke kalau dia mau. Aku mengambil ancang-ancang untuk menampar pipinya. Begitu tanganku hampir mengenai wajahnya. Matanya memejam, ekspresi wajahnya sudah seperti kesakitan. Lucu, kalau dipandang.
Aku menyentuh wajahnya dengan lembut. Perlahan, ia membuka sebelah matanya yang terpejam itu. Lirikan matanya mengarah ke tangan ku yang mengelus wajahnya.
"Kok enggak jadi ditampar?" tanyanya
"Enggak tega, udah kelewatan sayang sama orangnya." jawabku.
Ia menarik nafas lega saat mendengarkan jawabanku. Matanya terbuka sempurna. Bibirnya tersenyun-senyum seakan malu dengan diriku.
"Kamu tu, aku kira marah beneran loh. Jantungku udah kaya orang lagi lari estafet. Dug ... Dug ... Dug ... Kenceng banget." protesnya.

Aku tak bisa menahan tawaku saat melihat gaya bicaranya. Ia menatapku sejenak lalu ikut tertawa bersama. Hari ini adalah waktu ashar yang begitu indah yang pernah aku alami. Bersama dia, yang aku sayangi.
"Udah,udah. Jangan ketawa terus," ucapnya.
"Nabila,"
"Hm." jawabku masih dengan suasana tertawa.
"Kemarin aku pergi kedokter, kata dokter aku terkena sakit yang sangat parah," ucapnya dengan raut wajah yang serius.
Aku menghentikan tawaku saat dia mengatakan itu. Apa tadi dia bilang, sakit parah.
"Kamu sakit apa, Mas?" tanyaku.
"Sakit ku parah sekali, sayang. Kata dokter, hanya ada dua obat yang mampu menyembuhkan penyakit aku ini."
"Apa, Mas?" tanyaku.
Kuliah wajahnya mulai murung. Ya Allah, sakit apa yang diderita oleh suamiku. Aku menggenggam tangannya. Aku tak ingin jika calon ayah dari anak yang aku kandung kenapa-kenapa.
"Apa, Mas. Bilang aja. Kalau seandainya obatnya ada di luar negeri sekalipun. Kita bisa pergi, demi kesembuhan kamu."
"Enggak perlu ke luar negeri,bil. Obatnya ada di indonesia." jawabnya.
"Ya udah bilang, apa nama obatnya?"
Ia menatapku begitu dalam. Matanya sayu, Ya Allah. Maafkanlah hambamu ini karena sudah mendiami suamiku lebih dari tiga hari.
"Nama obatnya ..."
"Iya, apa nama obatnya."
"Nama obatnya, ciuman dan pelukan dari kamu." jawabnya dengan senyum yang melebar.
Apa tadi dia bilang? Obat macam apa itu. Oh, jadi dia mengerjaiku. Dengan wajah yang menggembung karena cemberut. Tangan ku yang tadinya menggenggam tangannya beralih mencubit pinggangnya.
"Awwwww, sakit bil, sakit." ampunnya.
"Enggak lucu tau enggak. Buat orang khawatir aja."
"Loh, aku kan memang lagi butuh asupan pelukan dan ciuman dari kamu. Kamu sih diemin aku, kan aku jadi sakit karena kamu," ucapnya.
"Aku marah karena siapa coba, enggak inget?" tanyaku yang tak mau kalah.
"Ya udah maaf, jadi gimana. Mau kasih obatnya buat aku?" tanyanya mulai melebarkan tangannya.
Hm, aku masih ngambek dengan sifatnya yang barusan. Tapi, kan sayang kalau dianggurin. Lagi pun, aku juga sudah lama tidak dipeluk dan dicium olehnya. Dia terus menggodaku dengan matanya yang mengode untuk mendekapnya.
Baiklah, pertahananku runtuh. Aku melebarkan tanganku dan masuk kedalam dekapannya. Ia tersenyum dan mencium ubun-ubun beberapa kali, lanjut ke dahi kemudian ke pipi kanan dan kiri ku. Namun, saat ia hendak mencium bibirku. Aku menahan mulutnya itu dengan menutupnya.
"Mmmm," ucapku menahan mulutnya yang hendak menyosor.
"Kok ditahan?" tanyanya.
"Udah sore, aku mau masak. Nanti malah ke bablasan," jawabku berdiri sembari melepaskan mukenah yang masih melekat ditubuh.
"Hahahah, " ia tertawa mendengarkanku mengucapkan kalimat itu. "Mau masak sendiri?" tanyanya kemudian.
"Iya, Ummi tadi katanya mau kerumah ustadzah Nisa. Marwah kan tinggal di Asrama. Jadi, aku masak sendiri." jawabku.
Aku berjalan menuju kearah dapur. Mas Juga menurutiku sampai ke dapur. "Aku bantu ya." tawar nya.
"Boleh."

Selama didapur, dia tak bisa jauh dari diriku. Matanya terus tertuju kepadaku. Hm, walaupun melewati masa yang sulit. Dia selalu ada untukku.
Sekarang, Aku sedang memasak Ayam dan dia sedang memasak tempe.
"Bil, besok kita pulang yuk. Udah empat hari ninggalin kontrakan sendiri." ajak Mas Nuga.
"Ya udah ayok."
"Tapi sebelum kekontarakan aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ucapnya.
Aku menghadap kearahnya, "Wah, kemana tu? Ke kontrakan baru?" tanyaku.
Ia juga menghadap kearahku, "Kok kamu mikirnya kontrakan baru?"
"Ehmhm, ya kan waktu kita bertengkar dulu. Kamu kan jemput aku kerumah Mama dan Papa. Terus sebelum pulang, kamu ngajak aku ke suatu tempat. Dan ternyata kamu ngajak aku ke kontrakan kita. Dan sekarang, pas kita berantem aku ngajak nginep dirumah Ummi dan Abi, terus sebelum pulang kamu ngajak aku ke suatu tempat pula. Makanya aku mikir, kontrakan baru." jawabku.
Ia mengerutkan dahinya, "Tapi, sekarang aku bukan mau ngajak kamu kekontarakan baru sih," ucapnya.
"Terus?"
"Penasaran?" tanyanya mendekat kearahku.
"Iya."
Ia menautkan dahi kami berdua, "Lihat aja besok." jawabnya dengan senyuman.
Ia tak menjauhkannya wajahnya, tatapan kami begitu dekat. Hanya saling senyum-senyum saja.
"Ummi !!! Marwah mau ___" Aku dan Mas Nuga langsung berjauhan saat mendengar suara anak itu.
"Ya Allah!!! Astagfirullah, Maaf Mas, Kak. Marwah enggak lihat kok beneran cuma mau nyari Ummi,"

Kami tertawa kecil melihat, Marwah yang tak jadi masuk ke dapur. Ia membalikkan badannya dan bertanya dimana Ummi.
"Ummi ada di rumah ustadzah Nisa, dek. Kamu ngapain pulang?" jawab dan tanya Mas Nuga.
"Ada perlu sama Ummi. Ya udahlah, Marwah pergi. Assalamualaikum," ucapnya.
"Wa'alaikumsalam."
'Marwah, Marwah, apes banget. Kalau pulang selalu aja lihat Mas Nuga sama Kak Nabila lagi mesra-mesraan. Kan kalau lihat kayak gitu pengen cepet Nikah juga,' cicit Marwah sembari berjalan keluar.
'Eh, Astagfirullah. Kan mau sekolah dulu. Inget wah, inget.'
Aku menatap Mas Nuga, "Inget, ini dirumah siapa?"
"Ya ... Habisnya kalau udah ketemu kamu kayak gini, susah kalau disuruh jauh-jauh." jawabnya dengan senyuman.

***
Mentari pagi tengah menjalankan tugasnya. Sinarnya pegi terik membuat siapa saja yang berada diluar ruangan akan merasa kepanasan.
Nuga membawa Nabila ke sebuah komplek perumahan. Disana, ditempat mereka berdiri. Keduanya memandangi sebuah kerangka rumah yang sedang dibangun. Nabila menatap kearah Nuga yang berada disampingnya.
"Kamu ngapain bawa aku kesini, Mas?" tanya Nabila.
"Mau liatin rumah baru kita ke kamu." Nabila menutup mulutnya yang melongo dengan ucapan suaminya itu.
"Baru 55 % sih, enggak terlalu besar tapi cukuplah buat nampung kita berdua dan anak-anak nanti. " jawab Nuga dengan sedikit tertawa saat menyebutkan anak-anak.
"Kok enggak bilang kalau udah buat rumah. Aku kan bisa bantu, Mas," ucap Nabila.
"Enggak usah, buat pembangunan rumah biar aku aja."
"Loh kok kamu curang sih, Mas. Kita kan nabungnya bareng-bareng. Inget, Mas. Kita mulai semuanya dari Nol, harusnya, aku ikut ambil adil dalam masalah ini. Ini rumah kita, istana kita bersama anak-anak nantinya. Masa dananya dari kamu sendiri." protes Nabila yang merasa kecewa.
"Uang kamu kan bisa dipake buat yang lain, bil." ucap Nuga dengan suara lembutnya. Ia tak mau jika Nabila yang sedang emosi bertambah emosi lagi.
"Tabungan kamu tinggal berapa?" tanya Nabila.
"Bil, udahlah."
"Tabungan kamu tinggal berapa, Mas Nuga?" tanya Nabila sekali lagi dengan mata melotonya
"Huh," Nuga menghempaskan Nafasnya, "Tinggal 4 juta."
"Tu kan !!!" rajuk Nabila. "Inget ya, pokoknya untuk dana pembangunan rumah kita. Aku yang keluarin. Suami istri kan harus saling membantu jika mampu." ucap Nabila menyudutkan Nuga.
"Iya, Maaf. Nanti buat dana selanjutnya kamu yang keluarin." ucap Juga merangkul istrinya itu.
"Nah gitu dong," ucap Nabila bahagia.
"Ini adalah Istana kita berdua, jangan ada orang lain yang masuk kedalamnya." sambung Nabila menatap Nuga.
"Enggak akan, sayang." balas Nuga mengecup dahi Nabila.
Lama mereka berdua saling merangkul satu sama lain. Nabila berfikir sejenak, apakah ini waktu yang tepat untuk memberitahukan kehamilannya ke Nuga. Ia membayangkan bagaimana ekspresi Nuga saat mengetahui dia Hamil. Pasti lucu.
"Mas Nuga."
"Apa?"
"Aku mau memberitahukan sesuatu ke kamu," jawab Nabila.
"Apa itu?"
Nabila melepaskan rangkulan Nuga. Ia menunduk, mengatur nafasnya. Jantungnya tiba-tiba saja berdegub kencang karena mau memberitahukan hal ini. Ia mendongak menatap Juga dengan senyuman.
"Mas, aku mau bilang ... "
"Bilang apa?" tanya Nuga.
"Aku ... Mau bilang, kalau aku ... Ha ____"
Drettt !!
Drettt
"Bentar sayang, ada telpon masuk," ucap Nuga.
Nabila menutup mulutnya yang terbuka lebar tadi. Tinggal beberapa huruf lagi ia akan mengucapkan kalau dia hamil.
"Dari siapa?" tanya Nabila.
"Ustadz Hanafi."
"Ooo."
"Hallo. Assalamualaikum, Ustadz."
" ... "
"Lagi jalan sama istri."
" ... "
"Besok?"
" ... "
"Bisa-bisa. Dimana?"
" ... "
"Oke, nanti saya kirim alamatnya."
" ... "
"Wa'alaikumsalam."

Nabila menatap Nuga yang telah selesai berbicara di telpon. Matanya seakan bertanya ada keperluan apa Ustadz Hanafi menelponnya.
"Ustadz Hanafi ngajak ketemuan besok."
"Ooh, dimana?" tanya Nabila.
"Dikontrakan kita."
"Emang mau bahas apa kok sampai harus dirumah?" tanya Nabila.
"Enggak tahu juga ya. Lihat aja besok, dia juga mau ngomong sesuatu sama kamu. "
"Ooh. Gitu," ucap Nabila.
"Oh iya, tadi kamu mau ngomong apa? Kamu ... Ha ...?"
Nabila melirik kesana dan kemari mencari jawaban lain. Rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk bercerita.
"Ha ....?" ucap Nuga mulai dengan senyuman. Ia berharap bahwa Nabila akan mengucapkan kalimat, Hamil.
"Uss, aku Haus banget ni, cari es kelapa muda yuk. Kayaknya seger deh. Pake gula merah. Seger banget. Cari yuk, haus."
Nuga meredamkan senyumnya. Ternyata istrinya itu haus dan ingin minum air dogan. Dengan kecewa namun tetap bisa tersenyum. Nuga mengajak Nabila pergi dari tempat pembangunan rumah mereka ini.
Disisi lain, Ustadz Hanafi bersama kakak iparnya, Abah. Sedang menatap Halimah yang duduk termenung didekat jendela kamarnya. Wanita itu, seperti wanita yang lupa ingatan.
"Semoga saja, besok nak Nuga mau menemuinya," ucap Abah.
"Itupun kalau Nuga mau, dan istrinya mengizinkan, Mas. Tapi Mas Asep harus tahu. Nuga, sangat mencintai istrinya. Hanafi tak habis fikir jika wanita seperti Halimah bisa seperti ini karena cinta," ucap Ustadz hanafi.
"Aku juga enggak tahu, Naf. Aku juga enggak habis fikir kalau anak ku bisa seperti ini gara-gara cinta dan laki-laki."
Halimah mendengar tapi ia nampak acuh dengan segala suara. Hanya air mata yang ia keluarkan. Ia melupakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Tubuhnya lemas dan seperti tak terurus. Ia sakit tapi tak mau berobat. Ia tak mau melakukan apa-apa. Yang ia mau cuma satu, hanya satu. Yaitu Nuga.
___________________
Bersambung ....

------

💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 33

Semua Mahluk yang Allah ciptakan didunia ini berpasang-pasangan. Allah juga memberikan rasa cinta kepada setiap makhluknya. Didalamnya cinta, terdapat kasih sayang yang amat besar. Kalian pasti tahu. Fatimah, anak gadis dari junjungan kita, Rasulullah S.A.W. pernah mencintai Ali bin Abi Thalib. Dia mampu menyikapi rasa cintanya kepada Ali. Bahkan, setan pun tak tahu jika mereka berdua saling menyukai. Allah menyatukan mereka berdua, dalam ikatan pernikahan. Sungguh cinta yang luar biasa.

Cinta itu, bisa datang dari mana saja. Kita, diwajibkan mencintai Allah, Rasulullah dan kedua orang tua kita. Terkadang, pasti kita pernah merasakan cinta kepada seseorang.
Tapi kalian tahu tidak. Cinta itu, dapat menyesatkan manusia yang terbuai dalam ikatannya. Makanya, jangan terlalu mencintai seseorang secara berlebihan. Hanya Allah-lah yang pantas mendapatkan cinta yang lebih dari setiap hamba-Nya.

Begitulah yang pernah disampaikan oleh Halimah saat seminar di pesantren dulu. Setelah ia menyelesaikan S1 dan akan kembali melanjutkan S2 nya di Cairo. Kata-kata itu ia buat khusus untuk Nuga yang saat itu telah siap melamar nya.

Dan sekarang, Halimah telah lupa dengan kata-katanya itu. Ia terperangkap dan terbuai dalam lingkaran cinta. Halimah, terlalu mencintai yang diciptakan dari pada yang menciptakan.
"Mah, Allah memberikan rasa cinta kepada setiap Makluknya. Tapi kenapa, disaat Halimah jatuh cinta ke pada seseorang, ia ditakdirkan bersama dengan orang lain?"
Sedihnya Halimah tak berujung. Kini ia tengah membaringkan kepalanya di paha sang Ibu. Lingkaran mata yang hitam membuat wajahnya menjadi sedikit lebih tua dari umurnya.
Mamahnya diam. Pertanyaan Halimah tak dapat dijawab oleh sang Mamah.
"Nak, semua yang terjadi didunia ini atas kehendak Allah, jika Allah tidak mentakdirkan kamu dengan laki-laki itu maka --- "

"Apa Halimah tidak pantas mendapatkan Nuga. Apa kurangnya Halimah, Mah?" tanya Halimah memotong pembicaraan Mamahnya.
Halimah mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mengelap air matanya dan menatap sang Mama.
"Allah enggak adil sama Halimah, Mah. Allah, enggak adil."
"Astagfirullah, Halimah. Istigfar, Nak, Istigfar. Inget, dengan siapa kamu sedang bershoudzon sekarang." Mama Halimah mengingatkan anaknya itu. Namun sepertinya, hati Halimah telah buta, dibutakan oleh cinta dan bisikan setan.
"Halimah mau sendiri, Mamah keluar aja dari kamar Halimah," ucapnya.
"Halimah,"
"Mamah keluar aja, Halimah mau sendiri!" serunya.
Mamah Halimah benar-benar khawatir dengan keadaan anaknya. Ia menjadi penasaran, seperti apa tampang laki-laki yang telah memikat hati anaknya hingga seperti ini.

***
Nabila memijat kepalanya yang sedikit pusing lantaran muntah begitu banyak. Hm, hal ini sudah biasa bagi ibu-ibu yang sedang hamil muda.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Nuga yang baru masuk kedalam kamar mereka.
"Enggak apa-apa. Cuma pusing sedikit aja," jawabnya.
"Assalamu'alaikum," Suara dari luar kontarakan mereka.
"Wa'alaikumsalam," sahut Nuga, "Itu pasti Ustadz Hanafi, aku duluan ya, sayang."
Nuga langsung berjalan keluar kamar. Dan benar, itu adalah Ustadz Hanafi. Nuga menyambutnya dengan sangat baik. Ternyata Ustadz Hanafi tidak sendiri. Disana ada seorang laki-laki paruh baya. Ya, Nuga kenal siapa laki-laki itu. Itu adalah Ayahnya Halimah, ia pernah melihatnya saat Halimah dijenguk orang tuanya di pondok.
"Eh, ada tamu. Saya buatin minum dulu ya," ucap Nabila.
"Enggak usah repot-repot, Bil, "ucap Ustadz Hanafi.
"Ya enggak repot lah Ustadz. Rasulullah kan pernah mengajarkan kepada kita untuk menjamu tamu nya dengan baik. Lagian cuma teh aja kok, bentar ya." Nabila langsung berjalan kearah dapur.
"Susah enggak, tadz nyari kontrakan kami?" tanya Nuga
"Lumayan lah, kenapa enggak milih yang dipinggir jalan aja?" tanya Ustadz Hanafi.
"Terlalu bising tadz, jadi saya pilih tempat yang sedikit tenang. Lagian kontrakan ini lumayan murah lah."
"Oh, begitu,"ucap Ustadz Hanafi. "Oh ya, kenalin ini ---"
"Abah Halimah kan?" sambung Nuga.
Nabila menghentikan gerakan tangannya yang sedang meracik teh. Ia mendengar suaminya menyebut nama Halimah.
"Iya. Nak Nuga sendiri, tahu dari mana kalau saya Abahnya Halimah. Bukannya kita tidak pernah bertemu?" tanya Abah Asep.
"Oh, itu. Dulu saya pernah lihat Abah menjenguk Halimah di pesantren." jawab Nuga sembari mengelus tengkuknya.
"Jadi, kedatangan Ustadz Hanafi dan Abah Halimah kesini ada keperluan apa ya?" tanya Nuga.
"Mmm, jadi begini, Ga. Kedatangan kami kesini. Pertama ingin bersilaturahmi dengan kamu dan istri kamu. Dan yang kedua ---" Ustadz Hanafi menggantungkan kalimatnya. Ia melihat Kakak iparnya sejenak.
"Ingin mengajak kamu bertemu dengan Halimah,"
Dug!

Nabila menghentikan langkahnya yang hendak membawa minuman. Dadanya sedikit sesak saat mendengar kalimat itu.
"Loh, saya. Ketemu sama Halimah?" tanya Nuga heran. "Memang ada apa?" sambungnya
"Begini, Ga. Anak saya sedang sakit. Dia tidak mau berobat atau pun diperiksa oleh dokter. Dia tidak mau makan, tidak menjalankan aktivitas seperti biasanya, bahkan dia seperti orang yang kurang waras." Abah Asep menjelaskan kondisi anaknya kepada Nuga.
"Saya dan Mamahnya Halimah bingung, kenapa semenjak pulang dari Pesantren dia menjadi sepeti itu. Dia mengamuk didalam kamar, saat ditanya mulutnya bungkam."

Tak lama dari situ, Nabila keluar dari dapur membawa nampan yang berisi gelas teh hangat buatannya.
"Ini tehnya, silahkan di minum." Nabila meletakkan satu persatu gelas itu dihadapan para lelaki.
"Saya permisi dulu,"
Tangan Nabila langsung dicengkal oleh Nuga. Nuga tahu, pasti Nabila mendengarkan perbincangan mereka tadi. Kepala Nuga bergerak, mengisyaratkan untuk duduk disebelahnya. Nabila menurut, ia duduk disebelah suaminya.
"Dia istri saya, Bah. Namanya Nabila." Nuga memperkenalkan Nabila kepada Abah Halimah yang dibalas dengan senyum saja.
"Maaf, soal Halimah tadi. Sepertinya saya tidak akan menemuinya. Saya tidak bisa, Abah.
"Tolong Nuga. Setiap malam, kalau badannya sedang panas. Dia suka mengigau, memanggil nama kamu. Abah bingung, Nuga. Abah enggak bisa melihat anak Abah satu-satunya seperti itu." Laki-laki tua itu tidak dapat membendung air matanya lagi, ia menangis. Menangisi keadaan putri semata wayangnya.
"Tolong, temui dia. Abah hanya ingin kondisi Halimah membaik seperti dulu. Tolong bujuk dia."
Nuga menatap Abah lirih. Sejenak ia juga melihat Nabila dengan kepala tertunduk. Bahkan wajahnya ia paling kan.
"Ga, saya minta tolong banget sama kamu. Bujuk Halimah untuk mau berobat." pinta Ustadz Hanafi.
"Saya enggak bisa, tadz. Saya enggak mau Halimah berharap lebih sama saya. Saya sudah menikah, kenapa saya harus mengurus wanita lain."

"Tolong, Nak. Tolong. Kasihan anak saya." Abah Asep luluh bersimpu dihadapan Nuga. Ia memohon agar Nuga mau. Dia melupakan martabatnya sebagai seorang Ayah.
"Abah, Abah jangan seperti ini. Saya tidak bisa, Abah." Juga terus menolak pintaan Abah Asep.
"Tolong, Nak."
"Enggak bisa, Abah."
"Kamu bisa, Mas."
Semua orang menoleh kearah Nabila. Wanita itu masih tertunduk. Ia menangis pula melihat kejadian ini. Ia tak mampu melihat wajah suaminya saat sedang menangis.
"Apa, sayang? Kamu bilang apa tadi."
"Kamu, bisa. Bujuk Halimah supaya dia mau berobat."
"Kamu izinin aku?" tanya Nuga tak percaya.
"Iya."
Nuga masih tidak percaya dengan jalan pikiran dari istrinya itu. Kenapa tiba-tiba ia mengizinkan Nuga untuk melihat dan membujuk Halimah.
"Aku ..."
"Aku izinkan kamu, Mas." ucap Nabila sekali lagi.
Senyum simpul terlihat jelas di wajah yang mulai menua itu. Ia mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Nabila karena telah mengizinkan suaminya.
"Oke, saya akan pergi menemui Halimah. Tapi, istri saya harus ikut bersama saya," ucap Nuga menengok Nabila.
Nabila menggeleng dengan ajakan Nuga, ia tak akan sanggup jika harus melihat Nuga berdua dengan Halimah.
"Kamu aja, Mas. Aku ada pekerjaan." elak Nabila.
"Kalau kamu enggak ikut, aku enggak akan mau kerumah Halimah."
Ah, kali ini Nabila kalah lagi. Ia menuruti perkataan Nuga. Ia harus siap mental dengan ujian yang akan menghampirinya kedepan nanti.
"Aku enggak habis fikir, kenapa kamu mengizinkan aku pergi kerumah Halimah,"ucap Nuga sedikit kesal. Saat ini mereka sedang ada dikamar. Nuga beralasan kepada Ustadz Hanafi dan Abah Halimah untuk bersiap-siap dulu sebelum berangkat.
"Aku kasihan sama Bapaknya Halimah, Halimah beruntung punya Bapak yang sayang banget sama dia, Mas. Enggak kayak aku, "
"Ya tapi enggak gitu juga, Nabila."

"Apa kamu enggak kasihan melihat Ayahnya Halimah sampai berlutut dibawah kaki kamu. Dia seorang Ayah, Mas. Sebesar apapun kamu nolak. Ayahnya akan berjuang demi kebahagiaan anaknya."
Nuga mendekat kearah Nabila. Tangannya menyangkup wajah Nabila. Perlahan ia dekatkan kepala istrinya itu ke bibirnya.
Cup
"Aku mau ngelakuin ini, karena kamu. Cuma karena kamu, Nabila."
Nabila mendongak kearah suaminya, ia memberikan senyuman manisnya kearah Nuga.
"Huh, iya. Aku tahu," ucap Nabila mengelus lengan suaminya.
"Ayok kita berangkat. Ustadz Hanafi dan Abah Halimah sudah menunggu lama diluar," ajak Nabila mengambil tas selempangnya.

***
Nabila menyusuri pandangannya ke seluruh bagian rumah ini. Rumahnya tidak terlalu besar namun mewah. Ia mengandeng tangan Nuga sejak masuk kedalam rumah ini.
"Abah,"
Nabila melihat seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka. Wanita itu mencium punggung tangan Ayah Halimah. Dia yakin, jika itu adalah istri dari Abah Asep.
"Abah, ini ... "
"Iya, ini Nuga. Dan itu istrinya, Nabila." Mamah Halimah menyalami keduanya.
"Halimah tidak mau makan lagi, Mah?" Mamah mengangguk sebagai jawaban.
"Halimahnya dimana, Bu?" tanya Nuga langsung.
"Ada dikamar. Mari saya antarkan."
Nuga dan Nabila mengukuti Mamah Halimah. Mereka menuju kearah pintu kamar yang tertutup rapat.
Mamah Halimah membuka perlahan pintu yang tertutup itu. Nuga dan Nabila masih menunggu diluar pintu. Mamah Nabila memintanya, untuk memberikan kesempatan Halimah memakai hijab.
"Mamah ngapain kekamar Halimah lagi, Halimah enggak mau makan."
"Kamu pakai kerudung dulu ya, sayang. ada seseorang yang mau bertemu dengan kamu,"
"Siapa?" tanya Halimah.
"Nuga."

Halimah bangun dari tidurnya, ia melebarkan senyumannya saat mendengar nama itu. Dengan cepat ia mengambil kerudung yang ada di sisi kepala ranjang.
"Nak Nuga silahkan masuk."
Nabila menepuk pelan punggung suaminya. Nuga berjalan masuk terlebih dahulu. Ia mengira jika Nabila mengikutinya dari belakang. Namun, Nabila menghentikan langkah kakinya saat diambang pintu.
Ia melihat Nuga tersenyum kearah Halimah. Begitupun sebaliknya. Nuga mengambil posisi duduk tepat disamping Halimah yang sedang bersandar.
"Nuga, aku seneng, akhirnya kamu dateng kerumah aku," ucap Halimah penuh rasa bahagia.
Nuga mengangguk dan memberi senyum, "Kenapa kamu bisa jadi kayak gini?" tanya Nuga.
"Aku ... Aku terlalu takut untuk kehilangan kamu," jawab Halimah.
"Tapi, tidak seperti ini caranya Halimah. Kamu menyiksa diri kamu sendiri. Lihat, kamu sedang sakit sekarang. "
Nuga mengambil piring yang merisi bubur dari tangan Mamah Halimah.
"Kamu makan ya, aku suapin. Setelah itu kamu harus berobat."
Tak banyak bantahan yang keluar dari mulut Halimah. Ia mengangguk dan membuka mulut untuk Nuga suapi.
Nabila tersenyum, hati sakit sekaligus bahagia. Kembali lagi ia dilema. Ia tak sanggup melihat Nuga menyuapi wanita lain. Tapi ia juga tidak boleh egois, semua ini hanya untuk kesembuhan dari Halimah.
Nampaknya, wanita yang ada dihadapan suaminya itu benar-benar mencintai suaminya. Apakah dia perusak atau penghalang bagi keduanya. Ah, benar. Semua salahnya, dulu saat mereka difitnah melakukan perbuatan mesum. Nabila hanya diam. Dan akhirnya, mereka menikah. Ya, semua salahnya.
Nabila pergi, berjalan menuju ruang tamu.
"Nak Nabila kenapa kesini?" tanya Abah.

"Saya nunggu Mas Nuga disini aja, Om." jawab Nabila dengan nada sumbang menahan tangis.
Ustadz Hanafi menatap wajah Nabila. Ia merasa bersalah melihat Nabila seperti ini. Karena keponakannya, ia harus meminta Nuga dateng kesini.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter datang kerumah itu. Dia diantar oleh Ustadz Hanafi dan Abah masuk kedalam kamar Halimah. Nabila tak ingin masuk, ia menolak secara halus.
Mamah Halimah keluar dari kamar itu. Ia menghampiri Nabila yang sedang memijat kepalanya.
"Nak, Nabila. Boleh saya duduk disini?"
"Oh, silahkan, tante. Kan ini rumah tante," jawab Nabila.
"Mmm, boleh saya tanya sesuatu?"
"Boleh, memangnya Tante mau nanya apa?"
"Kalau boleh tahu, kamu dan Nuga kenapa bisa menikah. Apa kalian dijodohkan?"
Nabila merasa itu adalah hal yang sangat privasi. Tapi melihat wajah tua yang lelah itu, Nabila merasa tidak tega.
"Saya dan Mas Nuga menikah bukan karena dijodohkan, tante." jawab Nabila.
"Lantas, kalian menikah atas dasar sama-sama suka?" tanya Mamah Halimah sekali lagi.
Nabila menggeleng, "Kami menikah karena kesalah fahaman." jawab Nabila.
"Kesalah paham?" tanya Mamah Halimah bingung.
"Iya, tapi semua sudah berlalu, Tan. Saya menerima, Mas Nuga dengan Ikhlas begitupun sebaliknya."
Mamah Halimah memegang pipi kanan Nabila dengan lembut.
"Semoga pernikahan kalian selalu dilindungi dan mendapatkan rahmat dari Allah."
"Aamiin."
"Ekhm,"
"Mas," ucap Nabila langsung berdiri.
"Maaf, bu. Saya mau bicara sama istri saya berdua," ucap Nuga.
"Oh, silahkan." jawab Mamah Halimah. "Saya permisi dulu, ya."
Nuga mendekat kearah Nabila, "Kenapa kamu tadi tidak ikut masuk?" tanya Nuga.
"Enggak apa-apa," jawab Nabila. "Oh iya, apa kata dokter yang meriksa Halimah?" tanya Nabila.
"Sudah lah, lebih baik kita pulang saja." Nuga menampakkan wajah malas nya.
"Enggak nunggu Ustadz Hanafi dulu. Kita kan kesini bareng sama dia."
"Kita naik Taxi atau enggak angkutan umum aja. Ustadz Hanafi masih ada urusan." jawab Nuga.
"Enggak pamitan dulu sama orang tuanya Halimah?"
"Enggak perlu, aku udah pamitan sama Abah tadi."
"Oh, ya udah kalau gitu. Bentar aku ambil tas dulu." Nabila mengambil tasnya yang tergeletak di kursi.
"Udah?" tanya Nuga.
"Udah."
Nuga mengeratkan kaitan tangannya ke Nabila. Ia menoleh kearah kamar Halimah sejenak kemudian berjalan keluar dari rumah itu.
"Nuga, tunggu !!"
Suara itu menghentikan langkah keduanya. Nuga memejamkan matanya dan mengumpat dalam hati. Ia tidak suka dengan keadaan ini.
"Nuga tolong, saya butuh bantuan kamu."
Nabila menatap suaminya yang diam dengan wajah datarnya. Pertolongan apa lagi yang Ayah Halimah inginkan dari suaminya.
"Maaf, Abah. Saya enggak bisa. Didalam saya sudah menjelaskan semuanya. Maaf," ucap Nuga.
"Sebentar, ini ada apa sebenenarnya." Nabila melepaskan kaitan tangan Nuga. Sekarang ia butuh penjelasan.
"Jadi begini, nak. "
"Nabila kita langsung pulang!" titah Nuga menarik tangan Nabila namun ditepis oleh Nabila.
"Sebentar, Mas. Aku mau tahu ada apa ini." tolak Nabila. Pandangannya kembali kearah Abah, "Lanjutkan, Om." pintanya.
"Jadi begini, dokter mengatakan, Halimah mengalami depresi yang sangat berat. Dokter meminta agar Halimah dapat ditemani oleh orang yang dapat memberikan rasa nyaman terhadap dirinya." jelas Abah. "Abah cuma meminta, Nak Nuga bersedia menjaga Halimah sampai Halimah pulih kembali. Abah lihat, Halimah lebih nyaman saat bersama Nuga. Halimah, mau makan dan diperiksa dokter juga atas bantuan, Nak Nuga. Cuma sekali ini saja, Abah minta tolong banget. Sampai Halimah pulih kembali."
Kenyataan yang pahit harus dengar dan diterima oleh Nabila. Suaminya memang menolak tapi dia masih kasihan melihat Abah yang dari tadi pagi selalu memohon kepada suaminya untuk membujuk anaknya itu.
"Mas," Nabila memegang lengan Nuga. Suaranya menandakan permintaan memohon untuk mengabulkan permintaan Nabila.
"Enggak, kita pulang sekarang."
***

Sebenarnya pagi ini adalah pagi yang indah. Malam tadi, hujan turun memberikan kesejukan ke seluruh bumi. Bahkan tumbuh-tumbuhan menghijau dengan cantiknya.
"Nabila, aku pergi dulu." Nuga berpamitan dengan Nabila.
"Oh iya."
Nabila menghampiri Nuga yang sudah berada diambang pintu. Ia menyalami suaminya itu.
"Mas, tentang Halimah."
"Sssttt, jangan dibahas lagi." Nuga menutup mulutnya dengan telunjuk. "Aku pergi ya. Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
____________
Bersambung ....



-------

💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 34 (Masalah Baru kah?)

Nuga sedang memeriksa beberapa lembar kertas yang berisikan jawaban dari soal ujian para santri. Fikiran nya sedikit tidak fokus karena insiden kemarin. Jujur, ia tidak menyangka jika wanita yang selama ini dia anggap sebagai wanita yang kuat, malah menjadi wanita yang sangat lemah.
Ini bukan Halimah yang ia kenal. Halimah yang ia kenal adalah wanita yang santun, lemah lembut, kuat dan berpendidikan. Halimah, wanita menyiksa dirinya sendiri karena Nuga telah menikah.
"Kacau, Ga. Kacau !!" suara itu berasal dari Al yang masuk kedalam ruang guru dengan wajah gelisah.
"Kacau kenapa?" tanya Nuga.
Al langsung mengambil kursi kosong dan duduk dihadapan Nuga.
"Anak pak Ustadz yang ada di komplek Om dan tante gue itu, yang rencananya mau gue Khitbah. " Al menarik Nafas, "Tadi malam udah di Khitbah sama cowok laen."
"Terus cewek itu nerima Khitbahnya?" tanya Nuga.
"Iya. Dan malam tadi dia langsung nikah. telat dah Gue. Kalau kayak gini, kapan nikahnya. Umur udah tua." Nuga tertawa kecil mendengar sahabatnya itu mengeluh.
"Ya udah, berarti belum jodoh. Ikhlaskan saja. Berarti Allah punya rencana lain buat jodoh kamu," ucap Nuga menasehati.
"Ya tapi, dia tu. Aduh, gimana ya jelasinnya. Udah cantik, santun, anak ustadz, dan senyumnya itu loh, Ga. Subhanallah, buat gue jatuh cinta deh pokoknya."
"Huhs, udah punya orang lain. Jangan dibicarakan," ucap Nuga mengingatkan.
"Hm, gue kan cuma mendeskripsikan aja," ucap Al.
Dia melihat Nuga yang membolak-balikan lembaran kertas itu, "eh, gue mau nanya dong."
"Nanya apa?"
"Kemaren lo sama Nabila ketemu Halimah ya?"
Nuga melirik Al, "Iya."
"Seriussan?" tanya Al tak percaya.
"Hm."
"Gila, Ga. Nekat banget lo ketemu sama Halimah."
Nuga menutup lembar kertas yang ia pegang, "Aku enggak akan kesana kalau Nabila enggak maksa."
"Nabila maksa supaya lo mau menjenguk Halimah?" tanya Al tak percaya.
"Iya."
"Waduh, kalau gitu enak dong. Berarti Nabila juga ngizinin lo nikah sama Halimah," ucap Al bercanda.
"Apaan sih Al. Aku enggak ada niatan buat nikah lagi. Cukup Nabila sebagai istri aku." jawab Nuga begitu tegas.
"Nah, kamu kan lagi nyari jodoh. Kenapa kamu enggak nikahi Halimah aja." sambung Nuga.
"Ya, kalau gue sih ya. Mau-mau aja, apalagi kualitas Halimah tidak diragukan lagi. Tapi, masalahnya cuma satu, Ga. Dia mau enggak sama gue," ucap Al. "Lihat kondisi dia sekarang, depresi karena lo udah nikah sama Nabila. Segitunya dia cinta sama lo. Gue yakin, dia bakal sulit membuka hati untuk laki-laki lain."
"Kenapa tidak, kamu dan dia kan lulusan dari Cairo. Punya kesamaan pula, cobalah masuk kedalam hatinya." saran Nuga.
"Nuga, Nuga. Masih mencemaskan keadaan Halimah?" pancing Al.
"Enggak, Al. Bukan gitu."
"Lantas?"
Nuga tidak dapat menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu. Apa benar ia mencemaskan Halimah. Tapi untuk apa, Halimah hanyalah wanita lain.
"Enggak bisa jawab?" pancing Al sekali lagi.
"Males mau jawab, aku kan tadi ngasih solusi ke kamu yang katanya mau nikah. Ya makanya aku nyambung ke Halimah."
"Kenapa harus ke Halimah, Marwah juga bisa aku Khitbah setelah dia lulus MA."
"Apa?! Marwah." tanya Nuga kaget.
"Iya,"
"Enggak, enggak, aku enggak ngizinin adikku nikah sama makhluk seperti kamu, Al. Udah rese, suka ganggu orang. Lagian Marwah mau kuliah psikolog dulu."

"Hahahah, kan Abi ada. Aku tinggal bilang ke Abi aja. Simple Brother, eh. Salah. Calon Kakak ipar, heheheh,"ujar Al dengan tawa.
Nuga melemparkan tutup penanya kearah Al. Untung saja suasana di ruangan guru ini sepi. Hanya ada mereka berdua. Jadi aman-aman saja jika harus bercerita seperti ini.
Drertttt ...
Ponsel Nuga bergetar, disana tertera nama Nabila. Segera ia mengangkat telpon itu.
'Assalamualaikum, sayang. Ada apa?'
'Wa'alaikumsalam, Mas. nanti aku mau kerumah Mama. Aku mau ambil mobil yang Papa ambil dulu, jadi kamu enggak usah jemput. Aku tunggu kamu di rumah ya'
'Oh, ya udah kalau gitu.'
'Ya udah, aku cuma mau bilang itu aja. Selamat bekerja ya suamiku sayang. Assalamualaikum,'
'Wa'alaikumsalam.'
Nuga mematikan panggilan singkat itu. Ia lupa bahwa masih ada Al dihadapannya. Nuga melihat wajah Al yang menatap wajahnya malas.
"Kenapa?" tanya Nuga.
"Enak ya kalau udah punya istri, ada yang dipanggil sayang. Saling sayang-sayangan. Tega lo, ga. Enggak menghargai gue yang masih jomblo."
"Lah, salah situ sendiri kenapa ada disini." balas Nuga dengan ledekan.
"Resek lo jadi temen gue, ga." umpat Al.
Mereka berdua saling tertawa dengan candaan itu. Ternyata ada sepasang telinga yang mendengar percakapan mereka dari balik dinding. Seorang wanita cantik dengan wajah yang sedikit pucat. Ia ragu untuk masuk. Tapi, ia harus menemui Nuga.
Dengan menarik nafas yang begitu dalam, lalu menghempaskannya secara perlahan, orang itu masuk kedalam ruangan itu.

"Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumsalam," jawab keduanya.
Mereka berdua menoleh kearah orang yang mengucapkan salam. Disana berdiri seorang wanita berhijab. Dengan senyum ia menghampiri Nuga dan juga Al.
"Kalian cuma berdua diruangan ini?" keduanya mengangguk.
"Kamu udah enggak sakit lagi, lim?" tanya Nuga.
Yap, perempuan itu adalah Halimah. Ia datang ke Pesantren dengan kondisi yang masih sangat lemah.
Halimah menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, "Boleh kita bicara berdua?" tanyanya.
"Berdua itu siapa? Aku kamu atau ... " Al melirik kearah Nuga.
"Jangan berdua, aku enggak mau kalau cuma berdua. Setan bisa diantara kita," Nuga langsung menjawab lirikan mata Al tadi.
"Tapi ini masalah kita, hanya sedikit."
"Memangnya kita punya masalah?" tanya Nuga santai.
"Ga, Please." pinta Halimah.
"Oke, gue ikut aja. Tapi enggak bakal ganggu obrolan kalian."

Lagi, lagi. Al menyelesaikan masalah antara keduanya. Ia tahu jika Nuga sungkan untuk bertemu dengan Halimah. Tapi Halimah? Al bingung sendiri dengan Halimah yang sekarang.
Saat ini, mereka bertiga sedang berada di halaman hijau pesantren. Nuga berdiri disamping Al. Sedangkan Halimah, ia berdiri 2 meter dari Nuga berdiri.
"Ayo bicara." pinta Nuga.
"Hah, maaf sebelumnya. Aku hanya mau menyelesaikan masalah diantara kita." Halimah menarik nafas sebentar.
"Aku dengar, kamu dan istri kamu menikah karena sebuah fitnah. Apa itu benar?" tanya Halimah.
"Iya."
"Kamu cinta sama dia?" tanya Halimah.
"Sangat."
"Secepat itu kamu bisa jatuh cinta sama dia dan melupakan aku?" tanya Halimah.
"Satu tahun bukan waktu yang singkat. Dia telah menjadi istri ku sepenuhnya, seutuhnya. Dia rela hidup sederhana dengan aku. Dia menerima semua kekurangan aku. Kenapa aku tidak bisa jatuh cinta dengan semua yang ia berikan." jawab Nuga.
"Tapi, kita?"

"Kita enggak ada apa-apa Halimah. Maaf, manusia hanya bisa berencana dan selebihnya Allah yang mengaturnya. Rencana kita, tidak dapat diwujudnya. Aku sudah beristri, lupakan aku dan Ikhlaskan. " Nuga berbicara dengan sangat lembut. Ia sangat menghormati Halimah seperti wanita yang lainnya.
"Tapi aku enggak bisa."
"Kamu bisa. Tidak sulit mendapatkan laki-laki untuk kamu, Halimah. Kamu wanita yang terdidik, kamu cantik, kamu pintar, kamu santun dan rendah hati. Laki-laki mana yang tidak tertarik dengan kamu. Aku mohon, buka hati kamu untuk mencintai laki-laki lain, dsn lupakan aku."
Al salut dengan kekokohan hati Nuga. Ia menolak Halimah dengan lembut. Bahkan, Nuga masih sempat memuji kelebihan Halimah.
"Aku rasa cukup sampai disini. Tidak ada lagi yang harus kita bahas."
Halimah mengangguk menahan tangisnya. Ia merasa sakit yang amat mendalam. Perih, bahkan sangat perih.
"Oke, makasih sudah menjawab semua pertanyaan aku. Aku pulang," ucapnya berpamitan.
Halimah membalikkan badannya tanpa mengucapkan salam. Baru beberapa langkah berjalan meninggalkan tempat ia berdiri. Kepalanya terasa pusing, mungkin karena ia lupa meminum obat sebelum berangkat ke pesantren.
Al merangkul pundak sahabatnya itu. Ia menepuk-nepuk sedikit ujung pundak Nuga.
"Ayok, kekantor." ajak Al dengan senyum.
Nuga mengangguk dengan ajakan Al. Baru saja mereka berjalan menuju kantor guru, telinga mereka mendengar suara benda terjatuh. Saat memutar badan kembali, disana. Ada Halimah yang tergelegak di tanah yang penuh dengan rumput hijau.
"Astagfirullah, ga."
"Ya Allah."
Mereka berdua langsung berlari menuju Halimah yang pingsan.
"Panggil, santriwati buat nganggat Halimah," ucap Nuga.

***
Nabila merasa senang saat menengendarai mobil yang pernah disita oleh Papanya. Sekarang ia tidak perlu khawatir dengan kondisi kandungannya karena ia bisa bersandar di kursi mobil.
"Sekarang kita nyaman ya, sayang, naik mobil, adem, ayem," ucap Nabila sembari mengelus perutnya.
Nabila kembali memfokuskan pandangannya ke jalan. Baru beberapa detik ia merasakan bahagia, tiba-tiba saja mobil yang ia bawa itu berhenti secara perlahan.
"Lah, lah. Kenapa ni mobil?" tanyanya pada diri sendiri.
"Wah, jangan-jangan mogok ni. Apa enggak pernah diservis." rutuknya.
Nabila keluar dari mobilnya. Ia memeriksa mesin depan mobil. Saat dibuka, asap keluar mengebu-ngebu.
"Uhuk ... Uhuk ..."
Nabila menjauh dari mobilnya itu. Ia menatap nanar mobilnya. Sungguh malang nasib ibu hamil muda itu. Baru saja ia bahagia mendapatkan mobilnya kembali dan sekarang ia harus bersedih karena mobilnya mogok.
Nabila mencoba menelpon Nuga beberapa kali. Yang ia dengar hanya nada sambung, tak ada suara Nuga. Mau nelpon Papanya pun percuma karena Papanya sedang ada di luar kota.
Ia duduk di pinggir jalan sembari menatap malang mobilnya.
"Kak Nabila."
Nabila menolehkan kepalanya ke arah orang yang memanggilnya. Wajahnya terlihat terkejut saat melihat siapa yang memanggilnya.
"Kamu?"
Disinilah Nabila sekarang, duduk di kursi kayu yang berada didepan bengkel sembari menunggu mobilnya yang sedang dikerjakan oleh seorang montir.
"Ini kak, Es kelapa mudanya. Pake gula merah kan?"
"Iya, makasih ya."

Anak laki-laki yang memanggil nama Nabila itulah yang membawa Nabila ke bengkel. Dia Wildan, adik Nabila dari Ibu sambungnya.
"Mmmm, rumah kamu ada didaerah sini?" tanya Nabila.
"Iya kak, kakak liat simpangan itu, yang ada rumah besarnya itu." Nabila mengangguk.
"Itu rumah kamu?" tanya Nabila.
"Bukan kak, dari situ Kakak masuk lagi lurus ... aja. Ada belokan ke kanan, "
"Oh, lewat situ?" tanya Nabila.
"Bukan kak, lewat kiri. Baru lewat kanan lagi, nah disitu," jawabnya. Nabila tertawa kecil mendengar jawaban itu.
"Disitu rumahnya?" tanya Nabila.
"Iya, hehehe."
Nabila mengacak-acak rambut adiknya itu. Ternyata, Wildan adalah anak yang ramah dan suka bercanda. Ia tak habis fikir jika Wildan adalah anak dari hubungan kedua Papanya. Anak Anin dan Fran.
"Kak, aku seneng deh pas Mama bilang, aku punya Kakak perempuan." Nabila membalas senyum tatapan Wildan.
"Kakak cantik, tapi waktu itu. Pas aku dan Mama dateng kerumah besar itu, kenapa Kakak marah-marah sama Mama?"
Nabila meneguk air kelapa itu perlahan. Kenapa anak sekecil Wildan bertanya soal itu. Telinganya belum layak mendengarkan semua yang terjadi. Dia anak yang polos. Apa iya Nabila harus bercerita bahwa Mamanya yang merusak hubungan Mama Papa Nabila yang mulai membaik.
"Kak, kok diem?" tanya Wildan.

"Enggak apa-apa kok. Itu, Kakak marah sama Mama kamu karena ... Karena apa ya, Kakak lupa kenapa marah sama Mama kamu. Mungkin, karena Mama kamu buat Mama kakak nangis." jawab Nabila tak enak.
"Oh gitu, eh kak. Aku rasa ada yang aneh deh dari kita."
"Aneh kenapa?" tanya Nabila.
"Papa kitakan sama, tapi kok Mama kita beda. Kenapa enggak sama ya kak?"
Nabila gemas dengan pertanyaan anak itu. Ia mencubit pipi Wildan dengan geram.
"Siapa bilang, Mama Wildan Mama Kak Nabila juga. Nah, Mama kak Nabila Mama Wildan juga."
Wildan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Kok, aku jadi bingung ya kak."
"Hahahah, udah enggak usah dipikirin. Yang jelas, kamu adik Kakak begitu pula sebaliknya."
Nabila harus menerima semua ini. Ia memang marah dengan semua yang terjadi. Tapi, untuk membenci Wildan. Nabila tak memiliki alasan untuk membencinya. Ada darah keluarga Fran yang mengalir didalam tubuh Wildan begitu pula dengan Nabila.
"Kakak mau tahu sesuatu enggak?" tanya Wildan.
"Mau tahu apa?"
"Wildan mau punya dedek loh, kak."
Nabila berhenti mengunyah kelapa muda yang ada didalam mulutnya. Apa yang barusan adiknya itu bilang. Adik baru, jadi. Mama Wildan sedang mengandung.
"Kakak main ya ke rumah Wildan."
"Hm?!"
"Main kerumah Wildan." Wildan mengulang ajakannya.
"Mmmm, gimana ya?"
"Ayolah kak, sebentar aja." rengek Wildan.
Nabila tidak tega jika melihat Wildan memasang wajah memelasnya. Akhirnya dia anggukan kepala sebagai jawaban iya.
"Yes, Kak Nabila mau kerumah." ucapnya dengan bahagia.
Setelah mobilnya selesai diperbaiki, Nabila langsung mengantarkan Wildan kerumahnya. Ia menatap rumah yang kata Wildan adalah rumahnya. Sederhana, tak terlalu mewah.

Nabila sedikit ragu untuk masuk kedalam rumah itu. Tapi ia tidak bisa menolak. Tangannya digandeng Wildan sampai masuk kedalam rumah.
"Ma, Assalamualaikum. Mama, lihat deh siapa yang dateng." teriak Wildan dengan bahagia.
"Wa'alaikumsalam."
Nabila mendengar suara orang yang membuat dunia keluarnya hancur. Wanita itu berjalan sembari membenarkan ikatan rambutnya. Saat matanya melihat tubuh Nabila, ia berhenti melangkahkan kaki mendekat kearah Nabila dan Wildan berdiri.
Nabila menatapnya begitu datar. Tak ada ekspresi apapun yang keluar dari wajahnya, mata Nabila turun kearah perut wanita itu. Perutnya hampir membuncit. Sedangkan Wildan, dia sangat bahagia melihat Mamanya dan Kakaknya bertemu.

***

Anin memegang tangannya sendiri. Mulutnya bingung mau berbicara apa. Disini, ada anak suaminya dari istri pertama.
"Kata Wildan, dia mau punya adik. Apa tante Hamil lagi?" Anin mengangguk.
"Sudah berapa bulan?"
"Lima bulan." jawab Anin.
"Waw, lima bulan. Berarti waktu dateng kerumah Mama, tante udah Hamil dong." sindir Nabila menatap wajah Anin dengan raut wajah takjub.
"Nabila, soal perceraian Papa kamu ---"
"Udah, tante. Enggak usah dibahas lagi. Mama dan Papa udah bercerai. Mereka sudah memilih jalannya masing-masing sekarang," ucap Nabila memotong kalimat Anin.
"Maafin tante ya, tante enggak bisa menolak saat Papa kamu ngajak tante nikah. Jujur saat itu tante masih cinta sama Papa kamu."
"Tante tahu kan kalau Papa sudah menikah?" Anin mengangguk.
"Terus, kenapa Tante terima lamaran Papa?" tanya Nabila. "Apa karena masih cinta?" sambungnya.
Anin menundukkan wajahnya. Ia malu, bahkan sangat malu.
"Tante sudah bilang sama Papa kamu untuk segera memberitahukan pernikahan kami. Tapi, Papa kamu selalu menolak. Dia bilang, dia akan memberitahukan ini semua ke Mama kamu saat waktunya sudah tepat. Bertahun-tahun telah berlalu. Sampai, tante Hamil lagi. Tante udah enggak bisa menyembunyikan pernikahan ini. Makanya tante kerumah Kamu, menjelaskan semuanya ke Mama kamu."

"Papa pernah enggak, mukul tante?" Anin menggeleng.
"Bicara kasar?" Anin menggeleng kembali.
"Papa ngelakuin itu semua ke Mama, saat Mama tanya, apakah Papa punya wanita lain."
Anin mendongak menatap wajah Nabila. Mata Nabila mulai berkaca-kaca. Sakit rasanya saat mengetahui, Papa lebih sayang kepada istri kedua dari pada Mamanya.
Anin memberanikan diri memegang tangan Nabila. Ia menciumi tangan Nabila seraya meminta maaf.
"Maaf kan tante, Bil. Tante enggak tahu soal itu. Sekarang kalau kamu mau tampar tante tampar aja. Itu hak kamu, " ucap Anin penuh penyesalan.
"Udah lah tante. Semuanya sudah terjadi. Nasi sudah jadi bubur. Aku juga enggak akan berlaku kasar ke tante. Tante sekarang sedang mengandung adik ku yang kedua. Mana mungkin aku bisa kasar ke Tante. Dan lagi, aku juga sedang mengandung."
"Kamu sedang mengandung juga?" tanya Anin.
"Iya." Nabila menarik tangannya dan memegang tangan Anin. "Sekarang, kita lupakan semuanya. Itu semua sudah menjadi masa lalu. Bagaimana kalau Wildan tahu semua ini, dia masih sangat kecil. Belum tahu apa-apa."

"Aku sudah menerima tante sebagai Mama ku juga. Sejak aku bertemu dengan Wildan tadi. Mama Wildan Mama aku juga. Maaf karena sudah buat tante menangis lagi," ucap Nabila.
Ia menghapus air mata yang mengalir di pipi Anin. Anin tersenyum bahagia diperlakukan Nabila seperti ini. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Nabila.
"Aku cuma mau minta satu hal dari tante."
"Apa?"
"Jangan kasih tahu ke Wildan tentang ini semua."
"Ya, baiklah."
"Loh, kok Mama sama kak Nabila nangis?" tanya Wildan yang entah datang dari mana.

***
Matahari telah menggantikan tugasnya kepada bulan. Nuga baru saja pulang dari rumah sakit setelah mengantarkan Halimah. Wanita itu harus dirawat karena kekurangan cairan dan penyakit tifes nya kambuh.
Nuga bingung dengan keadaan ini. Melihat kondisi Halimah ia merasa tidak tega. Apa benar sepenuhnya ia tidak mencintai Halimah lagi. Tapi rasa paniknya sangat besar saat melihat Halimah jatuh pingsan.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Nabila yang berada di dapur langsung menghampiri Nuga.
"Maaf ya, Mas. Aku baru mau masak. Tadi kerumah Wildan dulu. Jadi pulang agak malam."
"Wildan? Siapa Wildan." tanya Nuga.
"Wildan, anak Mama Anin. Istri kedua Papa." jawab Nabila.
"Oh ya, Mas kok pulangnya malam juga?" tanya Nabila.
"Ada urusan sedikit tadi." jawab Nuga.
Nabila merasa aneh dengan Nuga. Malam ini sifat Nuga sedikit berbeda. Nuga langsung masuk kekamarnya, mengambil handuk dan menuju kekamar mandi. Nabila tak ambil pusing. Mungkin, Nuga seperti itu karena ia merasa capek.
_________________
Bersambung ....


-------

💞 Kamu pilihan Allah 💞
Part 35 ( Harusnya Jujur )

Sudah tiga hari ini, Nuga pulang malam. Setelah selesai mengajar di pondok. Ia berusaha menyisihkan waktu sedikit untuk menjenguk Halimah di rumah sakit.
Ia tidak pernah memberitahukan hal ini kepada Nabila karena tak ingin jika Nabila berfikir yang tidak-tidak. Sudah terlalu banyak derita yang sudah Nabila alami. Ia tak mau membebani Nabila dengan masalah Halimah. Nuga hanya berfikir, Halimah menjadi seperti ini karena ulahnya. Makanya ia akan menjenguk Halimah sampai Halimah sembuh.
Malam ini, saat ia pulang kerumah. Nabila tengah tertidur pulas. Menatap wajah Nabila, meneduhkan hatinya. Nuga mendekat kearah Nabila. Perlahan, ia membelai wajah itu dengan lembut. Ia tidak ingin membuat Nabila terbangun.
Puas menatap wajah istrinya, Nuga pergi kekamar mandi untuk membersihkan diri. Dingin air yang membasahi badannya membuat fikiran Nuga menjadi sedikit sejuk.

***
Nabila tengah menyiapkan sarapan untuk Nuga. Dia sangat telaten menaruh lauk-pauk diatas piring Nuga.
"Mas, nanti kamu pulang malam lagi?" tanya Nabila.
"Kayaknya sih, iya." jawab Nuga.
"Kok sibuk terus?" tanya Nabila.
Nuga tidak menjawab, iya melirik-lirik takut mata Nabila.
"Mmm, kerjaan aku banyak, jadi aku pulang malam lagi. Tapi enggak lama lagi, kerjaan yang menumpuk itu akan selesai."
"Oh," sahut Nabila lesu.
Sebenarnya hari ini ia ingin mengajak Nuga Dinner romantis sekaligus memberitahukan tentang kehamilannya.Tapi melihat kondisi suaminya yang terlalu sibuk itu. Nabila mengurungkan niatnya.
Usai sarapan, mereka berdua pergi ke tempat kerja masing-masing. Nuga mengendarai motor sedangkan Nabila mengendarai mobilnya.
Cafe Nabila sekarang mengalami kemajuan. Ia memperluas Cafenya sedikit. Nabila mengecek pengeluaran dan pemasukan dari Cafenya itu. Kepalanya kembali pusing melihat angka-angka disana.
Ia melepaskan kacamata yang ia pakai. Nabila memijat pelipisnya secara perlahan.
'Sudah jam 12 siang.' gumamnya saat melihat Jam dinding.
Ia berdiri dari duduknya dan membereskan semua perlengkapannya. Ia berjalan keluar dari ruangannya.
"Tok, Titok." panggil Nabila.
Titok yang berada di arah dapur langsung menuju ketempat Nabila memanggil.
"Iya bu, ada apa?" tanya Titok.
"Saya keluar dulu, mau shalat. Kamu jaga ya. Suruh yang lainnya juga shalat nanti." pinta Nabila.
"Siap bu."
"Oke, saya pergi dulu ya." Titok mengangguk.
Nabila berjalan kearah parkiran yang berada di samping cafenya. Parkiran itu hanya tersedia untuk dia dan para pegawai. Hal ini dikarenakan tempatnya sedikit sempit, karena Cafe Nabila berada dipinggir jalan.
Mobilnya telah melenggang, meninggalkan area Cafenya. Nabila menuju masjid terdekat tapi, jalanan kearah Masjid itu sedikit ramai. Bahkan mengalami kemacetan. Ini aneh, biasanya kemacetan sering terjadi saat pagi dan sore hari.
Nabila memajukan mobilnya secara perlahan. Didepan sana ada segerombolan orang yang mengerumuni sesuatu. Sepertinya telah terjadi kecelakaan. Ia membuka kaca mobilnya dan bertanya kepada salah satu Warga yang ada disana.
"Permisi, pak. Itu ada apa ya didepan?" tanya Nabila.
"Ada tabrak lari, Mbak. Kasihan, yang ditabrak anak SD yang pulang sekolah." jawab warga tersebut.
"Inalillahi, korbannya meninggal?" tanya Nabila.
"Kurang tahu, Mbak. Kita tinggal Nunggu Ambulance dateng dulu. Soalnya enggak berani kalau mau megang."
Nabila mengangguk. Ia melajukan mobilnya kembali saat mobil yang ada didepannya maju. Perlahan, ia melihat siapa yang ditabrak itu. Sepertinya anak laki-laki.
"Masya Allah," matanya membulat sempurna saat melihat wajah yang berlumuran darah tersebut.
Dengan cepat Nabila memberhentikan mobilnya. Ia melepas sabuk pengaman nya, berlari keluar dari mobil dan menghampiri sang korban. Saat sudah dekat, Nabila menutup mulutnya yang terbuka sempurna saat melihat siapa yang menjadi korban tabrak lari itu.
Nabila luluh landai keatas aspal panas itu. Ia tidak dapat membendung air matanya.
"Wildan," rintihnya dengan air mata.

***
Aku mondar-mandir didepan ruang rawat. Hatiku sangat cemas dengan keadaan Wildan. Aku telah menelpon Mama Anin untuk datang kerumah sakit segera.
Cklek
Seorang pria dengan pakaian putih keluar dari ruangan itu.
"Bagaimana, dok?" tanyaku
"Kita harus segera melakukan operasi terhadap Pasien, Pasien banyak kehilangan darah, dia juga mengalami gegar otak ringan, ada luka robek juga di bagian kaki." jawab Dokter tersebut.
"Ya Allah." Aku membekam mulutnya.
"Dokter, cepat lakukan operasi. Lakukan yang terbaik untuk kesembuhan adik saya." pintaku.
"Baiklah."
"Suster, tolong kamu persiapka siang operasi sekarang." perintah Dokter.
"Baik, dok."
"Saya permisi dulu." pamit dokter.
Ya Allah, ujian apa lagi ini. Kenapa tak henti-hentinya kau beri ujian didalam hidupku. Jujur aku sangat takut, dulu Kakakku meninggal karena sebuah kecelakaan dan sekarang, adikku. Meski dia bukan anak dari Mama, aku menyayangi nya. Tolong selamatkan dia ya Allah.
"Nabila."
Aku menoleh kearah Mama Anin dan Papa yang baru saja datang. Wajah kedua begitu panik.
"Wildan mana?" tanya Papa.
"Wildan akan melakukan operasi, Pa."
"Ya Allah." keduanya hampir terjatuh karena kabar itu.
Papa merangkul Mama Anin, ia berusaha menguatkan istrinya itu. Mama Anin menangis di pelukan Papa. Ia sangat terpukul dengan semua ini.
"Kenapa Papa enggak jemput Wildan?" tanyaku menatap tajam kearah Papa.
"Papa, papa tadi ada meeting jadi---"
"Papa bisa enggak sih, luangkan waktu sedikit untuk keluarga. Kerja lagi, kerja lagi. Papa tahu, Nabila berharap Papa bisa membagi waktu dengan anak istri Papa setelah cerai dengan Mama. Tapi ini apa, lihat kan sekarang!" Aku sangat marah dengan Papa. Kali ini benar-benar marah. Papa tidak pernah berubah.
"Setidaknya kalau Papa enggak bisa jembut Wildan suruh orang lain, Pa," ucapku. "Aku enggak mau kehilangan lagi. Aku trauma pa. Aku trauma, aku takut." ucapku memelan.
Mama Anin tiba-tiba merangkul ku. Aku tidak tahu sejak kapan ia sudah berada disampingku.
Tak lama dari situ, beberapa perawat masuk kedalam ruang rawat. Mereka mengeluarkan Wildan dari ruangan itu dan membawanya ke ruang operasi.
Lampu yang berada diatas pintu operasi masih berwarna merah. Hampir 3 jam kami menunggu Wildan diluar ruang operasi. Aku duduk sendiri, mendiami Papa yang duduk disebelah Mama Anin. Hatiku tak Henti-hentinya berdoa agar operasi Wildan berjalan dengan lancar dan dia bisa selamat.
Drettt ...
Drettt ...
Aku mengangkat ponselku yang bergetar. Titok menelpon ku. Ah, aku baru ingat tidak memberikan kabar. Segera ku angkat panggilan itu.
"Hallo, tok. Kenapa?"
" ... "
"Saya ada dirumah sakit, tadi ada insiden dijalan."
" ... "
"Saya baik-baik saja. Oh ya, saya minta tolong nanti kamu tutup cafe nya ya."
" ... "
"Yok, makasih ya, tok."
Aku mematikan ponsel itu. Astagfirullah, aku baru ingat, karena kejadian tadi aku lupa untuk melaksakan shalat. Aku segera berdiri dari dudukku.
"Mau kemana, Bil?" tanya Papa.
"Mau shalat dulu, pa." jawabku. "Papa jangan lupa shalat juga."
Setelah mengucapkan itu aku pergi meninggalkan Papa dan Mama Anin. Rencananya aku akan shalat di Mushala rumah sakit. Sedikit bingung karena rumah sakit ini begitu luas. Aku bertanya kepada seorang perawat untuk menuju kearah Mushala.
"Permisi, Sus. Saya mau tanya, Mushala rumah sakit ini dimana ya?" tanya ku.
"Oh, dari sini ibu lurus aja, nanti belok kanan, ada tangga ibu turun aja dari situ, belok kanan lagi. Mushala kita ada diujungnya." jelas Perawat itu.
"Oke, makasih ya, Sus."
"Iya, mari, Bu."
Aku berjalan mengikuti arahan dari perawat tadi. Saat di perjalanan, tak sengaja aku melihat seorang laki-laki yang mirip dengan Mas Nuga.
"Mas Nuga bukan sih?" ucapku.
Aku mengikutinya. Sepertinya itu memang dia. Tapi, untuk apa dia datang kerumah sakit. Apa ada anggota keluarga yang sakit? Ah, kalau memang ada pasti Mas Nuga memberi tahu ku. Aku yakin, pasti cuma mirip aja.
Aku membalikkan badanku untuk mencari Mushala lagi. Percuma diikuti, buang-buang waktu saja.
"Eh, Maaf pak saya tidak sengaja."
Aku berhenti melangkah. Suara itu seperti suara Mas Juga, aku membalikkan badanku. Laki-laki yang tadi ku kira Mas Nuga, ternyata memang benar Mas Nuga. Apa yang dia lakukan dirumah sakit. Setelah meminta maaf kepada orang yang mungkin ia tabrak, Mas Nuga melanjutkan perjalannya.
Aku berlari kecil mengejar dirinya. "Mas Nuga!!" teriakku.

Ia tak menoleh dan berjalan dengan santainya. Aku berusaha mengejarnya namun, langkahku terhadang oleh keluarga pasien yang sedang kritis. Mereka melintas di hadapanku. Suara tangisan dari keluarga pasien membuat panggilanku tak terdengar oleh Mas Nuga.
Ketika orang-orang itu pergi, aku mempercepat langkahku mengejarnya. Sampai aku melihat dia masuk kedalam sebuah ruangan. Aku tak tahu itu ruangan siapa. Perlahan aku mendekat ke ada pintu itu. Dari kaca pintu kamar yang kecil itu aku melihat seorang wanita sedang terbaring disana. Siapa dia, apakah Ummi atau itu Marwah.
"Bagaimana kondisi kamu hari ini, Halimah."
Hah, aku mendengar suamiku menyebut nama perempuan yang pernah singgah dihatinya. Apa benar itu Mas Nuga.
"Lumayan."
Aku merogo ponsel yang berada ditasku. Mencari nomor Mas Nuga disana.
Tuuuuuutttt ....
Tuuuuuuuttt ....
Nada dering masuk. Aku menatapnya dari balik pintu. Aku melihat, dia mengangkat ponselnya.
"Hallo, Assalamualaikum, sayang."
Hatiku sakit saat dia mengangkat dan mengucapkan kalimat itu. Sakit sekali rasanya. Aku diam mendengar suaranya. Tidak Nabila, tidak. Jangan menangis, balas ucapan suamimu.
"Wa'alaikumsalam, Mas."
"Mas, kamu ada dimana sekarang?"
"Aku lagi ada pesantren, kan ada urusan."
'Bohong,' batinku.
"Oh, nanti kalau pulang. Hati-hati dijalan." ucapku langsung mematikan telpon.
Mas Nuga, kamu jahat sekali. Kenapa kamu harus bohong. Kenapa kamu tidak jujur saja Mas. Kamu menolak menjaga Halimah didepan aku, tapi dibelakang ku. Diam-diam kamu menemuinya Mas.

***
Nuga membuka pintu rumahnya. Saat masuk kedalam rumah, keadaan rumah gelap. Nuga mencari tombol lampu untuk menghidupkan penerangan. Ia berfikir jika Nabila belum pulang kerumah.
Clop
Tombol lampu telah ia hidupkan. "Nah, terang," ucapnya membalikkan badan.
"Astagfirullah." Nuga terkejut tatkala melihat Nabila sedang duduk di kursi.
"Ya Allah, Nabila. Bikin kaget aja," ucap Nuga. "Kenapa lampunya dimatiin?" tanya Nuga.
"Aku pengen gelap aja. Hidup aku udah gelap, Mas."
Nuga mendekat kearah Nabila yang sedang duduk. Nabila tak mengambil tangannya untuk dicium bahkan saat Nuga mau merangkulnya, Nabila menepis tangan Nuga.
"Mas, jujur sama aku. Kamu tadi habis dari mana?" tanya Nabila.
"Ya kan aku udah jawab ditelpon tadi. Aku ada kerjaan di Pesantren." jawab Nuga santai. "Kamu kenapa sih?" tanyanya melihat Nabila yang berada dari biasanya.
"Jujur kamu ada kerjaan di Pesantren?" tanya Nabila sekali lagi.
"Iya, Jujur. Kapan sih aku bohong sama kamu." ucap Nuga sedikit bercanda. Ia merangkul bahu Nabila.
"Sekarang." jawab Nabila menatap suaminya.
"Hm?"
Nabila melepaskan rangkulan Nuga. Ia berdiri dari duduknya.
"Aku tadi kerumah sakit. Wildan mengalami kecelakaan."
"Ya Allah, kenapa kamu enggak bilang sama aku."
Nabila membalikkan badannya, "Gimana aku mau ngasih tahu kamu, kalau kamu aja sibuk ngurusin Halimah."

Nuga tersentak saat mendengar Nabila mengucapkan nama Halimah. Apa tadi Nabila melihatnya, Apa Wildan adik Nabila juga dirawat dirumah sakit yang sama tempat dimana Halimah dirawat.
"Sayang, aku ---"
"Kenapa kamu bohong?" tanya Nabila dengan mata yang berkaca-kaca
"Oke, sayang. Aku bener-bener minta maaf sama kamu. Aku akui aku salah, aku udah bohong kekamu. Tapi, aku ngelakuin ini semua karena aku enggak mau kamu berfikir yang enggak-enggak," ucap Nuga.
"Halimah dirawat dirumah sakit karena ulah aku. Dia sakit juga karena aku, sayang. Melihat kondisinya aku merasa iba. Aku mau bertanggung jawab sampai ia pulih kembali."
Nuga mendekat kearah Nabila. "Maaf," ucapnya memegang tangan Nabila.
Nabila menepis tangan Nuga, "Sudah berapa kali kamu minta maaf sama aku, Mas. Sudah berapa kali?" tanya Nabila dengan suara serak.

Nuga menunduk. Ya, dia tahu bahwa ini bukan kali pertama ia membuat Nabila kecewa. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu kata maaf ia ucapkan ke Nabila.
"Mas, kamu tidak konsisten sama ucapan kamu. Didepan aku kamu menolak permintaan Abah Halimah. Tapi dibelakang aku, kamu malah menemui Halimah yang sedang sakit." Nuga menaikkan pandnagannya. Ia menatap Nabila begitu dalam.
"Kamu masih cinta sama Halimah?" tanya Nabila.
Nuga menggeleng cepat, "enggak, sayang. Aku cuma cinta sama kamu. Aku hanya merasa iba dengan Halimah."
"Sungguh?"
"Iya," jawab Nuga.
"Kalau iya, harusnya kamu jujur sama kamu. Tapi tadi kamu bohong."
Nabila berjalan kerah kamarnya namun tangannya dicengkal oleh Nuga.
"Sayang, dengerin aku dulu."
"Udah, Mas. Udah. Untuk sekian kalinya kamu buat aku kecewa. Dulu, aku fikir kamu berbeda dengan laki-laki yang berengsek. Tapi ternyata kamu saja aja, Mas. Sama kayak Papa dan Rio."
Nuga benar-benar ditampar oleh kata-kata Nabila. Istrinya itu benar-benar sakit hati atas perlakuannya. Ini salah, dia tak mengharapkan ini semua.
"Mas, kalau kamu jujur dari awal. Aku enggak akan sejarah ini sama kamu. Harusnya kamu jujur, Mas."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Nabila masuk kedalam kamarnya. Ia langsung berbaring diatas kasur. Ia tak bisa menahan air matanya, ia menghapus air matanya dengan kasar. Terlalu berat ujian yang Allah berikan. Rasanya ia tak kuat dengan semua ini. Rasanya ia ingin mengakhiri hidupnya saja.
"Ya Allah, kenapa?" rintihnya dalam kesunyian malam.
Nabila tidak boleh lemah. Dia masih punya Allah dan juga anak didalam rahimnya. Ia harus ingat, Allah memberikan ujian kepada Makhluk-Nya agar selalu mengingat diri-Nya. Bahkan, jika seluruh manusia meninggalkannya sendiri, dia masih punya Allah yang selalu berada untuk hamba-hambaNya yang senantiasa selalu mengingat-Nya.
Nabila berzikir untuk menenangkan pikirannya. Dia harus tenang, jangan terbawa oleh gelombang setan yang terkutuk.

***
Pagi ini, Nabila tetap melayani Nuga menyiapkan makanannya walau dia tak membuka suara. Dari tadi malam, Nuga ingin menjelaskannya tapi Nabila hanya diam.
Hati wanita itu seperti kaca, apabila telah hancur sulit untuk menyatukannya. Kalau pun menyatu, pantulan dari orang yang sedang berkaca akan melebur. Tak sesempurna pantulan kaca yang masih bagus.
Nuga melihat Nabila memasukkan nasi dan beberapa lauk-pauk kedalam kotak nasi.
"Itu, buat siapa?" tanya Nuga.
"Buat Halimah, kamu kan mau ke rumah sakit nanti jenguk dia." jawab Nabila tanpa menatap lawan bicara.
"Nabila ... " Nabila menatap Nuga yang mengeluh.
"Kamu tenang aja, anggap yang tadi malam hanya lah sebuah angin. Aku sadar, Mas. Tadi malam terlalu berlebihan. Aku tidak dapat mencerna perkataan kamu." Nuga menatap Nabila bingung.
"Aku tahu, niat kamu cuma mau bertanggung jawab kan. Kamu cuma ibakan sama dia?" Nuga mengangguk.
"Rawat dia sampai sembuh. Tapi tolong, kali ini. Jaga kepercayaan aku, jangan sakiti hati aku lagi, Mas." pinta Nabila.
"Ini, bawa dan bilang. Dapat salam dari aku, semoga cepat sembuh."
Setelah memberikan kotak Nasi itu. Nabila meraih tangan Nuga. Ia berpamitan langsung pergi ke Cafe.
_____________
Bersambung ...