Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

💞 Kamu pilihan Allah 💞 26 - 30

💞 Kamu pilihan Allah 💞
Part 26 by Resi Oktariani
Nabila pov'

Aku merapikan pakaian yang aku kenakan. Setelah merasa cukup rapi, aku keluar dari kamar dengan membawa tas.

"Loh Mas, ngapain ada disini?" Tanyaku heran.
Seharusnya dia sekarang sudah berangkat ke pesantren untuk mengajar. Tapi yang kulihat sekarang, dia sedang duduk santai di atas kursi pembelian Papa kemarin.
"Aku mau nganter kamu kerumah Papa." Jawabnya.
"Bukannya kamu harus ngajar di pesantren?" Tanyaku.

"Aku udah izin. Anak-anak udah aku kasih tugas. Ayok berangkat. Keburu siang loh." Ucapnya yang kemudian keluar dari rumah.
Aku menurut saja. Dia orangnya susah ditebak, padahal usia pernikahan kami hampir satu tahun. Aku mengunci pintu rumah terlebih dahulu setelah itu mendekat kearah Mas Nuga yang telah menunggangi kuda besinya.
Seperti biasa, ia memakaikan helm ke kepalaku. Sebenarnya hal ini sudah biasa ia lakukan, tapi entah kenapa aku selalu tersenyum bahagia dan jantungku selalu berdegup tak karuan saat dia melakukan itu. Perlakuan yang biasa saja, tapi begitu romantis bagi diriku.
Kamipun berjalan meninggalkan kontrakan kami. Udara di ibu kota penuh dengan polusi. Semua kendaraan berdesak-desakan. Apalagi disaat lampu mulai berwarna merah. Hal yang paling tidak aku sukai.

"Nanti pas ketemu sama Papa, bicaranya yang sopan ya."
"Apa Mas?" Tanyaku.
Aku tak mendengar apa yang diucapkan Mas Nuga. Telingaku hanya bisa mendengar suara kendaraan yang begitu bising.
"Nanti, kalau ketemu sama Papa, bicaranya yang sopan ya." ucapnya.
"Loh kok kamu ngomong kayak gitu?" tanyaku.
"Aku takut aja, nanti kamu kelepasan ngomongnya. Inget bil, orangtua itu harus kita hormati."
"Jadi itu alasan kamu mau nganter aku kerumah Papa?" tanyaku.
"Iya."
Aku diam saat ia menjawab 'Iya'. Sebegitu takutkah ia jiga mulut ini melontarkan kata-kata kasar ke Papa?
Aku tahu, aku sulit mengontrol diri jika dihadapan Papa. Sikap Papa yang merendahkan suamiku yang membuatku seperti ini. Aku jelas tidak terima jika Papa terus-terus saja merendahkannya. Tapi dirinya, semua perkataan Papa yang mungkin telah menyakiti hatinya tidak digubris. Ia selalu menghormati Papa. Jujur, meski kami menikah karena keterpaksaan, tapi aku sangat bahagia. Dia adalah seorang laki-laki yang dikirim Allah untuk melengkapi imanku, menjadi imamku, sekaligus menjadi guruku.
Sekarang kami telah berada didepan rumah. Mas Juga terus saja mengingatkanku untuk mengontrol diri dan berbicara dengan sopan. Ketika masuk kedalam, Mama menyambut kedatangan kami dengan penuh hangat.
"Papa Mana Ma?" tanyaku.
"Belum pulang, mungkin sebentar lagi. " jawab Mama.
Sembari menunggu Papa pulang, aku dan suami dijamu dengan berbagai makanan. Kulihat hampir semua jenis sayuran hijau terhidang diatas meja makan ini. Ada kangkung, sawi hijau yang aku yakini sangat pahit, brokoli dan telur.




"Mama lagi jalani hidup sehat ya makan-makan sayuran kayak gini?" tanyaku.
"Enggak kok. Mama sengaja nyuruh para pelayan buat masak sayur-sayur hijau ini. Khusus buat kamu dan Nuga. Katanya makan sayur-sayuran yang hijau begini dapat menyuburkan kandungan. Mama kan udah pengen ngendong cucu dari kalian berdua." jelas Mama.
Aku dan Mas Juga saling menatap. Lagi-lagi masalah tentang kehamilan. Mas Juga hanya membalas dengan senyum kemudian memakan makanan yang telah berada diatas piring nya.
Aku tahu, semua orang menginginkan aku segera mengandung. Memberikan mereka cucu dan keponakan. Serta anak untuk Mas Nuga.
Kulihat Mas Juga sangat lahap mamakan sayur-sayuran itu. Dia memang lebih suka makan sayur-sayuran berbeda dengan diriku, hanya beberapa jenis sayur yang aku suka.
"Nabil, tambah lagi dong sayurnya, makan yang banyak." tawar Mama.
"Ini aja belum abis Ma." sahutku.
"Juga loh udah nambah sayur nya berapa kali."
Aku melirik Mas Juga yang tersenyum kearah Mama.
"Nabila enggak mau makan banyak Ma kalau enggak aku yang nyuapinnya. Ayok buka mulutnya."
Aku bergedik kaget. Ia menyodorkan satu sendok penuh didepan bibirku. Aku menolak dengan kode mata, tapi ia tersenyum dan terus saja memaksaku untuk memakan sayuran itu.
"Makan dong bil." pinta Mama.
"Mm, iya ma. Nabila makan."
Dengan berat hati aku memakan sayuran itu. Susah payah aku menelannya karena rasanya yang begitu pahit. Setelah semuanya habis di mulut, Mas Nuga menyuapi ku lagi dan lagi. Mama dan Mas Nuga tersenyum bahagia saat aku memakan sayuran itu. Asal kalian tahu saja, aku tersiksa saat memakannya.
"Ga, nanti kalau dirumah kalian banyak-banyak konsumsi sayur ya." pinta Mama.
"Siap Ma." jawab Mas Nuga dengan senyum.
Apa-apan Mas Juga ini. Langsung bilang siap-siap aja ke Mama. Aku kan nggak terlalu suka sayur. Harusnya dia tahu itu.
Hampir pukul 12 siang. Sebentar lagi akan masuk waktu dzuhur. Sudah empat jam aku menunggu Papa pulang. Namun yang ditunggu tak kunjung datang. Kalau tahu begini kan, aku bisa nitip pesan ke Mama saja. Sedari tadi suamiku dan Mama asik sekali bercerita. Mereka berdua melihat poto-poto masa kecilku dulu.
"Loh Ma. Anak orang ini kenapa nangis?" tanya Mas Nuga. Ralat, karena telingaku menangkap sebuah ledekan dari mulutnya.
"Issh, Mas Nuga ni." cibirku mencubit lengannya.
"Aw, ga apa-apa kali," ucapnya. "Jadi kenapa, Ma?" sambungnya.
"Ini tu kalau enggak salah ya, Nabila dijahilin sama kak Jihannya. Waktu itu kan gigi susunya lepas. Terus kakaknya bilang, 'dek, gigi kamu nanti habis semua loh. Terus nanti pake gigi palsu kayak nenek karena mulutnya ompong ngga ada gigi' terus karena itu, Nabila jadi nangis terus ngadu ke Mama. Dan pada saat waktu itu Mama ada megang kamera. Jadi sekalian di poto aja."
Aku melihat senyum dan tawa Mama yang telah lama hilang. Mama bagitu bahagia saat menceritakan kejadian itu. Mengingat kepingan-kepingan memori yang telah lama terpendam.
"Kita dulu adalah keluarga yang bahagia, tidak seperti sekarang."ucap Mama lirih.
Ya, aku rindu saat-saat itu. Saat-saat bahagia bersama keluargaku yang utuh. Tampah perdebatan dan pertengkaran.
"Nabila."

Aku menoleh kearah sumber suara saat namaku dipanggil. Oh, ternyata itu adalah orang yang aku tunggu-tunggu sedari tadi. Ia mendekat kearah kami yang sedang duduk. Aku berdiri meraih tangannya diiringi dengan Mas Nuga yang ikut menyalaminya.
"Kamu ngapain kesini?" tanya Papa.
"Nabila mau tanya tentang barang-barang yang Papa kirim kemarin." jawabku.
Aku merasakan tangan Mas Nuga merangkul pundak ku. Aku menoleh kearahnya namun dia nampak acuh, pandangannya lurus kedepan. Tenang Mas, aku bisa mengontrol diriku.
"Kenapa dengan barang-barang kemarin. kamu tidak suka atau barang-barangnya jelek?"
"Bukan Pa, bukan itu. Nabila cuma ingin tahu maksud Papa ngirimin barang itu untuk apa," ujarku.
"Ya untuk kamu lah bila. Papa enggak mau kamu kecapean dan sakit gara-gara berendam lama-lama dikamar mandi. Papa enggak mau kamu kepanasan, semua barang yang Papa belikan itu anggap saja sebagai hadiah pernikahan untuk kalian. Karena waktu itu, pernikahan kalian sangat cepat. Dan Papa ingin menebus rasa bersalah Papa ke kamu Nabila."
Aku melihat wajah Papa yang begitu luluh. Teduh, seakan penuh dengan penyesalan.
"Papa merasa kehilangan kamu saat kamu sudah menikah bil. Apalagi saat itu, kalian menikah karena hal yang tidak mengenakan. Saat Papa tahu ternyata laki-laki yang kamu nikahi itu tidak bisa memberikan apa-apa ke kamu, Papa enggak bisa menerima itu. Papa takut kamu enggak bahagia bila. Hidup miskin dan sengsara ."

"Pa, aku enggak perlu punya harta yang banyak. Aku enggak pernah menuntut apa-apa dari semua ku Pa." jawabku menoleh kearah Mas Juga saat diakhir kalimat.
"Kasih sayang dan didikannya untukku sudah melebihi kata cukup, dan itu sangat berharga. Aku bahagia walaupun hidup dengan keadaan yang pas-pasan. Harta bisa dicari pa. Tapi cinta dan kasih sayang yang tulus itu akan terasa sangat sulit,"ujarku.
Papa mendekat, mengambil posisi di sebelah ku.
"Papa mau kamu hidup bahagia Nabila. Cuma itu," ucapnya.
"Nabila bahagia pa. Nabila sudah bahagia." sahutku begitu pelan dan lembut.
Mata tua itu menatapku begitu lama, begitu dalam, dan seketika bibir itu bergerak mengatakan sesuatu.
"Mau Papa peluk?"
Kalimat itu bagaikan sengatan listrik yang menjalar diseleruh tubuh. Benarkan Papa ingin memelukku. Ia melebarkan tangannya, dengan senyum bahagia aku memeluk Papa.
Ya Allah, apakah ini sungguh nyata. Akhirnya aku bisa kembali merasakan pelukan Papa. Pelukan yang sudah lama aku rindukan. Benarkah ini terjadi.
Ya Allah, maafkan aku karena selama ini aku selalu shoudzon dengan Papaku sendiri. Benar kata Mas Nuga, semua kelakuan Papa karena ia sayang denganku. Hanya caranya yang salah.
Papa melepaskan pelukannya dariku. Ia menyangkup wajahku yang berlinang air mata.
"Papa minta maaf ya. Telah menelantarkan kamu, memaksakan kehendak Papa. Setiap saat kamu selalu mendengar Papa dan Mama bertengkar. Papa minta Maaf ya nak."
Aku tak mampu berkata apa-apa. Aku memberikan anggukan sebagai jawaban ya. Papa kembali memelukku. Pelukan yang sangat hangat.
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Suara adzan telah berkumandang. Aku melepaskan pelukanku dari Papa.
"Susah adzan Pa. Sebaiknya Papa shalat Dzuhur dulu sama Mas Nuga di Masjid,"ucapku.
"Papa capek bil. Lagian Papa juga masih banyak pekerjaan."
"Papa mau kumpul sama Nabila di surga-Nya Allah?" tanyaku.
"Ya maulah bil."
"Kalau gitu Papa shalat ya."pintaku.
"Mas," panggilku.
Mas Nuga mendekat kearah Papa dan mengajak Papa berdiri. Sebelum pergi, aku menyalami tangan Mas Nuga dan ia mengecup kening ku dengan senyum yang terlukis diwajahnya. Mungkinkah ia bahagia karena kejadian tadi.
Mas, hubunganku dan Papa mulai kapan hubunganku dan Papa juga membaik.
.
.
.
Bersambung

-----


💞 Kamu pilihan Allah 💞
Part 27 

Satu persatu para jama'ah shalat Dzuhur keluar dari masjid. Nuga dan Papa mertuanya beriringan keluar dari masjid tersebut. Sepanjang perjalanan pulang, mereka saling diam. Rasa canggung keduanya yang tak pernah bertengur sapa itu melanda hati.
"Ga, saya boleh tanya sesuatu sama kamu?" tanya Papa, "Ini tentang kamu dan Nabila." sambungnya.
"Boleh, Pa. Mau tanya apa?" ucap Juga mengizinkan.
"Nabila, apa benar anak itu tidak mengeluh tentang harta, tentang hidup kalian yang susah, tentang pernikahan kalian yang terpaksa itu?" tanya Papa.
"Alhamdulillah enggak, Pa. Nabila enggak pernah mengeluh dengan keadaan kami. Saya beruntung memiliki istri seperti dia." jawab Juga.
"Tapi saya enggak habis fikir sama anak itu. Kenapa dia bisa menerima hidup serba pas-pasan dan mau hidup sama kamu. Berdua, ngontrak, dan ... ah, begitulah."
Dengan senyum Nuga menjawab, "Pa, walaupun kami hidup dengan kesederhanaan tapi kami bahagia. Kuncinya cuma satu, Pa. Allah," ucap Nuga.
"Allah?"
"Iya. Sesusah apapun kita, kalau kita ingat sama Allah maka Allah akan memberikan kemudahan disetiap urusan kita. Soal harta, Papa enggak usah khawatir. Karena Harta bisa dicari, Pa. Nabila menerima saya karena Allah dan Saya menerima Nabila karena Allah." jawab Juga dengan senyumnya.
Fran termenung. Matanya menuju kebawah. Telinganya mendengar gesekan antara alas sendalnya dan jalan. Dia memiliki segalanya, dia kayak, memiliki tahta. Tapi, ia melupakan keluarganya, melupakan Tuhannya. Apa itu penyebab ia selalu bertengkar dengan sang istri dan sang Anaknya. Ia menerima sang istri karena mereka berdua dijodohkan.
"Hm, Ga. Saya mau tanya satu hal lagi ke kamu."
"Apa Pa?"
"Bolehkah laki-laki menikahi wanita lain, sedangkan sang istri masih ada. Masih hidup."
"Maksud Papa poligami?" tanya Nuga dan Fran sengangguk.
"Boleh, tapi ada syarat-syaratnya Pa."
"Apa aja syaratnya?" tanya Fran.
"Pertama, jumlah istri maksimal empat, kedua, harus berlaku adil sama semua istri, ketiga, jangan melupakan ibadah kepada Allah, dan yang terakhir menjaga kehormatan dari istri-istrinya." jelas Nuga.
"Kalau kita tidak bisa berlaku adil bagaimana?" tanya Fran.
"Cukup nikahi satu wanita saja.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An Nisaa: 3)" ucap Nuga.

"Maaf, Pa sebelumnya. Kalau boleh saya tahu, kenapa Papa menanyakan hal ini?" tanya Nuga.
"Oh, enggak ada. Enggak ada kok. Cuma mau nanya aja,"ucap Fran kikuk.
"Kamu enggak akan menduakan Nabila kan?" tanya Fran selang beberapa detik.
Nuga menghentikan langkah kakinya begitu pula dengan mertuanya itu. Apakah pertanyaan yang mertuanya itu tanyakan untuk dirinya. Apakah itu bentuk rasa khawatir seorang Ayah kepada anaknya.
"Kamu enggak akan menduakan Nabila kan?" tanya ulang Frans.
"Saya enggak akan menduakan Nabila, Pa." jawab Nuga.
Fran mengerjipkan matanya, "Sorry, sorry. Saya enggak bermaksud. Saya cuma khawatir saja. Kalian kan menikah karena ... Ya, kamu tahu lah. Saya cuma takut, kalau seandainya kamu ninggalin ataupun menduakan Nabila," ucap Frans.
"Papa enggak perlu khawatir, karena ketika tangan saya menjabat tangan Papa, disitu saya telah berjanji akan menjaga Nabila seumur hidup saya." ucap Nuga meyakinkan.
Frans mengangguk, "Ya, Syukurlah kalau begitu."
"Ayok, kita pulang." ajak Fran.

***
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Nabila menghampiri Papa dan suaminya. Menyalami tangan mereka satu persatu.
"Kita langsung pulang, Mas?" tanya Nabila.
"Eh, kalian enggak nginep disini?" tanya Papa menyela kalimat Nabila.
Nabila memandang Nuga begitupun sebaliknya.
"Enggak, Pa. Kan enggak ada rencana buat nginep dirumah, Papa." jawab Nabila.
"Nginep aja semalam disini. Nanti malam Papa mau ngajak Kamu, suami kamu dan Mama Dinner."
"Dinner?" tanya Nabila.
"Iya, kita kan udah lama enggak ngumpul bareng-bareng."
"Papa serius?" tanya Nabila tak percaya.
"Kamu pernah lihat, Papa enggak serius sama ucapan Papa?" tanya balik Fran.
"Enggak pernah sih," ucap Nabila.
"Tapi, Pa. Kita berdua enggak bawa baju ganti," sambung Nabila.
"Alah gampang. Nanti tinggal beli aja."

***
Sesuai dengan ucapan Papanya tadi. Mereka Dinner bersama di sebuah Restoran berbintang. Malam ini, Papanya terlihat lebih terbuka dengan Nuga. Banyak hal yang dibicarakan. Harusnya ia bahagia kalau Papanya mulai membuka hati untuk suaminya. Namun ia malah bingung dengan keadaan ini. Semoga saja ini bukan permainan sang Papa untuk menyenangkan hatinya.
"Jangan lupa, Papa sama Mama sudah sangat ingin ngendong cucu," ucap Frans.
"Ya ... Papa sama Mama doain aja. Semoga kita cepet dapetnya."
"Iya, kita berdua akan selalu mendoakan kalian tapi kalian juga harus rajin-rajin ngelakuinnya."
Uhukk!!
Nabila tersedak dengan ucapan Mamanya. Ia tak menyangka jika Mamanya bisa sevulgar itu. Pipinya terasa panas karena malu.
"Minum bil." ucap Nuga memberikan gelas berisi airnya.
Mama Nabila hanya tersenyum, ia tahu jika anaknya itu kaget karena ulah nya.

***
Sepulang dari Dinner keluarga itu, Nabila mengajak Nuga masuk kedalam kamarnya dengan cepat. Ia mengunci pintu kamar itu. Saat membalikkan badan, matanya menatap begitu dalam dan tajam kearah Nuga.
"Mas, Mas." ucapnya mendorong tubuh Nuga agar duduk di atas kasur.
"Kamu ngapain Papa?"
"Aku ... Enggak ngapa-ngapain, Papa." jawab Nuga.
"Tapi kok tadi kamu akrab banget sih sama Papa. Ada apa ini?" tanya Nabila penasaran.
"Enggak ada apa-apa bil. Bukannya bagus ya kalau aku sama Papa akrab," ucap Nuga.
"Iya sih, tapi kalau ini cuma akal-akalan Papa aja gimana?" tanya Nabila.
"Husttt." ucap Nuga menepuk pelan dahi Nabila, "Enggak boleh shoudzon istriku," ucap Nuga.
"Tadi kan udah maaf-maafan sama Papa. Masa mau shoudzhon lagi sih." tegur Nuga.
"Iya deh maaf," ucap Nabila.
"Hm, gini aja. Dari pada kamu shoudzon terus sama Papa. Mending kita cepet-cepet kasih mereka cucu."
"Maksudnya?" tanya Nabila.
"Kasih cucu bila, kata Mama kan harus sering- sering ... awwww ..." pekik Nuga saat tangan Nabila mencubit pingangnya.
"Kok dicubit sih?" tanya Nuga.
"Habisnya kamu genit, Mas."
"Loh emang salah genit sama istri sendiri?" tanya balik Nuga.
"Ya ... Enggak sih."
"Enggak salah kan?" tanya Nuga memancing Nabila tersenyum sembari menarik turunkan alisnya.
"Enggak."jawab Nabila dengan senyum sedikit.
"Apa-apa. Enggak denger loh."
Nabila menarik telinga Juga dan berkata, "Iya, enggak salah kok genit sama istri sendiri." teriaknya.
"Tapi awas aja genit sama cewek laen." sambung Nabila.
"Enggak perlu cewek laen kalau istri sendiri sudah bisa bikin hati suaminya seneng." balas Nuga.
Nabila tak mampu berkata. Ia hanya tersenyum saat mendengar kata-kata Nuga. Pipinya mungkin sudah berwarnah merah. Panas yang ia rasakan di pipinya.
Nuga meraih tangan Nabila dan mengengganya.
"Kayaknya hubungan Papa dan Mama mulai membaik. Sama kayak hubungan kamu ke Papa dan Mama." ucapnya sembari menepuk-nepuk tangan Nabila.
"Iya, aku harap seterusnya hubungan aku, Papa dan Mama selalu baik," ucap Nabila.
"Dan semoga, hubungan antara kamu sama Papa juga membaik. Sangat membaik seperti tadi dan seterusnya." sambung Nabila kepada suaminya.
"Kamu tahu enggak, satu tahun belakang ini, kita berdua sudah melewati banyak masalah bersama. Aku harap, kedepannya, apapun masalahnya nanti. Kita tetap hadapi bersama ya." pinta Nuga.
Nabila memengang tangan Nuga. Membalas genggaman suaminya itu.
"Pasti."
Nuga tersenyum dengan jawaban Nabila. Ia mengelus kepala Nabila dengan lembut dan penuh kasih sayang. Entah kenapa hatinya sering merasa gelisah akhir-akhir ini.
.
.
.
Bersambung ...
-------

💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 28 ( Wanita Lain)

Tiga bulan telah berlalu, Nabila merasa senang karena hari ke hari hubungannya dengan orangtuanya mulai membaik. Papanya sekarang lebih sering menghabiskan waktu di rumah.
Usaha Nabila juga sekarang semakin maju. Ia bertambah sibuk dengan pekerjaannya itu. Tapi, sesibuk apapun dirinya. Ia tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang istri.
Hari ini, Mamanya, Rena. Meminta Nabila untuk ikut berbelanja. Bukan tanpa alasan Mamanya meminta Nabila berbelanja bersama. Hari ini adalah hari pernikahan Mama dan Papa Nabila yang ke 32 tahun. Jadi mereka memiliki rencana untuk membuat surprise kecil-kecilan dirumah.
Puas berbelanja keperluan. Mereka mulai mempersiapkan semuanya. Nabila yang sangat antusias dalam hal ini. Bahkan hampir semua bahan makanan dia yang mengolahnya. Malam ini akan menjadi malam bersejarah bagi Mama dan Papnya. Hanya mereka berdua, Nabila akan pulang setelah tugasnya selesai disini.
"Nabila seneng, akhirnya Papa dan Mama bisa baikan. Dan sekarang, Mama mau buat kejutan buat Papa." ucap Nabila saat melihat Mamanya sedang mengadon Kue.
"Hm, Mama juga seneng, Bil. Akhirnya, untuk sekian lama Mama bisa akur lagi dengan Papa kamu. Mama harap, di Anniversary pernikahan tahun ini. Papa dan Mama bisa bersama selamanya. Enggak ada lagi tu percekcokan dalam keluarga kita,"ucap Rena dengan tawa diakhirnya.
"Aamiin ya Allah." Rena membelai wajah anaknya itu dengan senyuman.
Rumah yang dulunya sangat sunyi, sepi dan tertutup satu sama lain, kini mulai berwarna. Semuanya tak secanggung dulu. Antara para pelayan, pembantu dan Nyonya rumah ini tampak begitu akrab.
"Maaf Nyonya, ada tamu." ucap salah satu pelayan menghampiri Rena.
"Siapa ?"
"Mmm, kurang tahu, Nya. Dia cuma bilang mau ketemu dengan Nyonya Rena."
"Siapa ya?" tanya Rena pada diri sendiri.
"Idah," panggil Rena.
"Iya, Nya." sang empu mendekat kearah majikannya.
"Kamu lanjuti kerjaan saya ini ya."
"Baik, Nya."
Rena pergi menghampiri sang tamu. Saat ia tiba diruang tamu, ia melihat seorang wanita berambut pendek sebahu dengan seorang anak laki-lakinya yang berumur 9 tahun.
"Anindya?" panggil Rena.
"Mbak Rena."
Wanita yang dipanggil itu mendekat kearah Rena. Ia memeluk tubuh itu dan saling mencium pipi satu sama lain.
Anindya, wanita yang dulu merupakan adik tingkat dari Rena dan Fran. Rena sudah lama tak bertemu dengan dirinya lantaran Anin dibiayai kuliah oleh orangtua Rena ke Paris.
"Apa kabar, lama tak jumpa." tanya Rena.
"Baik, Mbak."
"Oh iya, ini siapa?" tanya Rena menatap anak laki-laki itu.
"Ini anak aku, Mbak. Namanya Wildan." jawab Anin memperkenalkan anaknya.
"Oh, anak kamu. Ganteng ya. Matanya kayak mirip seseorang." ucap Rena memperhatikan wajah Wildan. Anin hanya bisa tersenyum sedikit
"Suami kamu mana, enggak ikut?" tanya Rena langsung menatap Anin.
"Mmm, suami aku ... "Anindya gugup saat Rena bertanya dimana suaminya.
Mimik muka yang dinampakkan Anindya membuat Rena sedikit khawatir. Ia berfikir jika Anindya ditinggal oleh suaminya bahkan bisa jadi, jika suami dari adik tingkatnya ini meninggal.
"Mmm, duduk dulu yuk." ajak Rena.
Anin ikut duduk. Ia duduk tepat disamping Rena.
"Oh, ya. Setelah tamat kuliah di Paris, kamu kerja dimana?" tanya Rena mengalihkan pertanyaannya tadi.
"Aku kerja di perusahaan Cristal Company. Hanya beberapa bulan, setelah itu aku pulang ke Indonesia karena Ibu aku sakit." jawabnya.
"Oh, "
Seorang pelayan membawakan minuman dari arah dapur. Ia menyajikannya diatas meja yang berada didepan Rena dan Anin duduk.
"Mbak, aku mau ngomong sesuatu sama Mbak Rena."
"Mau ngomong apa, ada masalah keuangan, mau minjem uang sama, Mbak?" tanya Rena bertubi-tubi.
"Enggak, Mbak. Bukan itu."
"Terus apa, jangan sungkan-sungkan sama Mbak."
Anin menggulum bibirnya. Raut wajahnya begitu gelisah. Perlahan, tangannya memegang tangan Rena.
"Mbak, aku ... Aku mau minta maaf sama Mbak Rena." ucapnya kemudian.
"Kamu kenapa minta maaf sama Mbak, Nin. Kamu enggak pernah melakukan kesalahan kok." ujar Rena membalas genggaman tangan Anin.
"Aku salah, Mbak. Kesalahan yang aku buat begitu fatal. Maafkan aku, Mbak,"ucap Anin
Rena bingung dengan ucapan Anin, ia tidak tahu kesalahan apa yang dibuat oleh Anindya. Wanita itu mengeluarkan tangisan nya. Tangis yang begitu penuh penyesalan.
"Kesalahan apa, Nin. Mbak enggak ngerti kalau kamu bilang kayak gitu terus."
Anin menghapus air mata nya dan menatap Rena, "Mbak, aku ... Aku istri kedua Mas Fran, Mbak."
Bleng, terkejut dan seakan tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut Anin. Bibir Rena bergetar, bingung harus berkata apa.

"Jangan bercanda, Nin. Enggak lucu," ucapnya.
"Aku enggak bercanda, Mbak. Aku istri kedua Mas Fran dan Wildan ini anaknya."
Rena menarik tangannya dari genggaman Anin. Mendadak kepalanya pusing, tubuhnya seakan melayang-layang dan air mata itu keluar dari penampungannya.
Rena menahan rasa sakit yang berada dihatinya. Ia masih tidak percaya, orang yang dulu telah ia bantu dalam perekonomiannya, pendidikannya. Kini telah menusuk dirinya dari belakang.
"Mbak, Maaf. Aku udah enggak tahan menyembunyikan pernikahan ini dari Mbak Rena. Sepuluh tahun aku nunggu Mas Fran untuk bilang ini ke Mbak. Tapi, dia masih saja menyembunyikan pernikahan ini." ucap Anin menjelaskan.
Rena menggingit jarinya yang bertengger di bibir. Otaknya mengingat kejadian-kejadian pahit sepeninggalan anak pertamanya. Apa cek dan bil yang ia temukan di kamar, semua itu atas nama Anin. Apa Anin, orang yang telah merusak hubungan Rena dan Fran.
"Nin, aku minta. Kamu keluar dari rumah aku sekarang." pinta Rena.
"Maafin aku, Mbak."
Rena menghadap kearah Anin yang juga menangis, "Aku butuh waktu, sekarang. Kamu boleh keluar dari rumahku." pinta Rena kemudian berjalan masuk entah kemana.
"Siapa yang dateng, Ma?" tanya Nabila saat berpapasan dengan sang Mama.
Rena tak menjawab, ia berjalan dengan cepat menuju kamarnya menaiki tangga dengan wajah kusut.
Nabila heran saat melihat Mamanya bertingkah seperti itu. Siapa orang yang baru ditemui sang Mama. Dengan rasa penasaran, ia berjalan menuju ke ruang tamu.
"Tunggu!! anda siapa?" tanya Nabila saat Anin dan anaknya mulai beranjak.
Anin berhenti berjalan. Dan membalikkan badannya, ia menatap Nabila. Begitu berat hela nafas yang ia keluarkan dari hidungnya saat melihat Nabila.
"Kamu Nabila?" tanya Anin.
"Iya, Tante sendiri?" tanya balik Nabila.
"Saya, Anindya." ia menarik nafasnya agar sedikit tenang. "Saya ..."
Anin menceritakan semuanya. Tentang dirinya, tentang pernikahannya dan tentang kehidupannya. Sesak yang Nabila rasakan saat mengetahui semuanya. Terjawab semua lah pertanyaan-pertanyaan yang Nabila pendam. Sang Papa, memiliki wanita lain didalam hidupnya.
"Saya mohon, sampaikan maaf saya kepada Mama kamu, Nabila."
"Maaf?"

"Tante mudah banget ngomong maaf, tante enggak tahu, apa yang udah aku lewati selama ini! Setiap hari aku selalu denger Mama nuduh Papa selingkuh, setiap hari aku ngeliat Papa mukul Mama. Dan sekarang, ketika semua keadaan mulai membaik. Tante datang menampakkan diri didepan aku dan Mama." ucap Nabila meng itu pedas. Ia meluapkan kekesalannya kepada wanita itu.
"Tante minta maaf, bil. Tante enggak tahu kalau Papa kamu bisa sekadar itu sama Mama kamu." Anin angkat bicara.
"Hahahah, ya jelaslah tante enggak tahu. Papa pasti lebih sayang sama istri mudanya. Asal tante tahu, aku, kehilangan kasih sayang Papa dan Mama sejak umur 10 tahun." kalimat yang penuh dengan tekanan dan kekesalan.
Anin tak mampu berkata apa-apa. Ia tidak tahu, jika suaminya tidak berlaku ke adil kepada istri tua dan anaknya, Nabila.
"Saya minta, tante keluar dari rumah ini. Sekarang."
Anin hanya bisa menunduk lemah, "Baiklah, saya akan pergi," ucapnya menghapus air mata.
"Ayo, Wildan. Kita pulang." ajak Anin.
Wildan, anaknya. Tak tahu apa yang terjadi. Ia terlalu kecil untuk mengetahui semua ini. Yang ia tahu, Mamanya menangis karen ucapan orang yang yang ada dihadapan Mamanya.
"Kakak tadi kenapa marahin, Mama?" tany Wildan saat mereka sudah berada diluar rumah.
Anin berlutut dihadapan anak laki-lakinya itu, "Kakak tadi enggak marahin, Mama kok sayang. Nama Kakak tadi, Nabila. Dia Kakak Wildan." jelas Anin begitu lembut.
"Jadi, Wildan punya Kakak cewek dong selama ini."
"Iya," jawabnya, "Hm, sekarang kita pulang kerumah ya." sambung Anin mengajak anaknya untuk pulang.
"Ayo, Ma."
__________________
Bersambung,

-------


💞Kamu pilihan Allah 💞
Part 29 (Haruskah Perceraian?)
Nabila POV'

Antara percaya dan tidak dengan semua keadaan ini. Seorang wanita, datang kerumah Mama. Membawa anaknya dan mengaku sebagai istri kedua dari Papa.
Mama, aku baru ingat Mama. Hati Mama pasti sedang hancur saat ini. Aku berlari menuju kamarnya. Perlahan ku buka pintu kamar itu. Sangat gelap dan berantakan. Kudengar suara tangisan yang sangat memilukan. Itu Mamaku.
Perlahan aku mendekati dirinya yang sedang terduduk sudut kasur. Tubuhnya bergetar hebat. Ku pegang pungungnya, mencoba menenangkan namun, tubuhku langsung ditarik kedalam dekapannya.
Mama menangis sejadi-jadinya dalam pelukanku. Tangisan pilu yang bisa aku rasakan dilubuk hatiku yang paling dalam.
"Mama hancur Nabila. Mama hancur," racaunya dengan tangisan yang tersedu-sedu.
"Enggak, Ma. Mama enggak hancur. Ada Nabila disini, Ma."
"Mama dikhianati Papa dan juga orang yang sudah Mama bantu, Nabila. Sakit, hati Mama bener-bener sakit."
Aku mengelus kepala Mama, memberikan ketenangan kepada hari Mama. Bibir ini tak mampu berkata-kata. Biarkan saja untuk sekarang Mama mengeluarkan kekesalannya.
Perlahan, Mama melepaskan pelukannya dari tubuhku.
"Mama mau cerai sama Papa kamu."
Kaget bukan main saat aku mendengar kalimat itu. Hal yang dari dulu aku takutkan akan terjadi. Kenapa, disaat keadaan mulai membaik terjadi masalah baru.
Ya Allah, kenapa?
Kenapa semua ini harus terjadi.
"Ma, jangan mengambil keputusan saat sedang marah, Ma," ucapku.
"Mama udah enggak tahan Nabila. Sudah cukup. Gelas kacanya sudah pecah berhamburan."
Aku menghembuskan nafas begitu dalam. Apa yang harus aku lakukan sekarang.
"Kita minta penjelasan Papa dulu ya, Ma. Siapa tahu perempuan tadi cuma bohong."
"Rena!"
Aku dan Mama menoleh keambang pintu. Tepat dimana suara itu berasal. Disana, ada Papa yang sedang berdiri. Secepat itukah Papa datang kerumah.
"Mama bicara sama Papa, Nabila keluar ya." pamitku.
Aku berdiri dari dudukku. Saat berjalan keluar, aku berpapasan dengan Papa. Entah kenapa, saat melihat wajahnya. Aku menjadi semakin benci dengan dirinya.
Aku nampak acuh saat Papa memanggilku. Berjalan keluar, dan menutup pintu itu secara rapat-rapat.
"Rena, aku ..."
"Enggak bisa ngelak lagi kamu, Fran. Udah terbukti kan kalau selama ini kamu selingkuh."
Aku mengurungkan niat untuk pergi saat mendengar suara Papa dan Mama. Secara diam-diam. Aku menguping pembicaraan mereka berdua.
"Aku ... Rena, aku minta maaf."
"Huh, Kamu dan Anin sama saja. Cuma bisa meminta maaf."
"Aku sama Anin ___"
"Kenapa kamu bisa nikah dengan Anin?"
"Ren, gini, aku sama Anin ___"
"Jangan bertele-tele seperti itu. Kenapa kamu nikah sama dia!!"
"Oke, dulu, aku dan Anin pernah pacaran."
"Apa?!"
"Iya, sebelum kita dijodohkan, aku dan Anin pernah pacaran. Kita saling cinta. Tapi orang tua aku enggak setuju karena kita beda derajat. Dan kemudian, aku dijodohkan dengan kamu. Orang tua kamu tahu hubungan aku dan Anin. Makanya mereka dan orang tuaku membiayai Anin untuk kuliah di Paris. Supaya Anin tidak mengganggu acara pernikahan kita."
"Kapan kalian ketemu lagi?"
"Tiga belas tahun yang lalu. Setelah Jihan meninggal. Aku ketemu dia lagi. Perasaan itu muncul kembali Rena. Aku masih cinta sama dia. Aku mencoba masuk kedalam hatinya lagi, tapi dia menolak. Aku tahu, dia masih cinta sama aku. Butuh tiga tahun untuk meyakinkannya. Dan setelah hatinya luluh, aku menikahinya secara agama dan negara."
Aku menutup mulut tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Selama itu, Papa menduakan Mama.
"Tega kamu, kamu dan dia usah khianati aku. " jeda, "Kalau kamu sudah menikah dengan dia kenapa kamu masih mempertahan aku? Kenapa kamu enggak menceraikan aku, Fran."
"Aku enggak bisa. Aku enggak mau kita pisah karena kita punya Nabila. Nabila alasan aku tidak menceraikan kamu. Aku enggak mau, Nabila besar dalam keluarga broken home."
"Oke, kamu bertahan karena Nabila. Sekarang aku mau tanya, ada enggak sedikit saja rasa cinta dihati kamu untuk aku?"
"Aku enggak tahu, Rena. Aku bingung. Tapi untuk sekarang,aku akan berlaku adil untuk kamu dan juga Anin. Aku akan berlaku adil. Aku janji."
"Enggak ada satupun wanita yang rela bila harus berbagi suami, Fran. Ceraikan aku!"
"Apa! Enggak. Aku enggak mau menceraikan kamu."
"Kalau kamu enggak mau meceraikan aku, ceraikan Anin."
"Aku juga enggak mungkin menceraikannya. Aku punya anak dengan Anin, aku enggak mau kalau anak itu ____"
"Anak itu hidup dalam keluarga yang broken home kan? Iya!?"
"Kalau begitu, ceraikan aku, Fran. Lagi pula untuk apa aku bertahan dalam pernikahan ini jika hati kamu hanya untuk Anin dan bukan aku. Kamu tahu, hari ini adalah hari Anniversary kita. 32 tahun, Fran. 32 tahun kita jalani pernikahan ini. Aku selalu bertahan meski kamu selalu kasar sama aku. Aku cinta sama kamu tapi apa balasan yang aku dapatkan di sini. Hanya sebuah PENG-KHI-A-NA-TAN!"

"Sakit, Fran. Hati aku sakit."
Aku tak mendengar apa-apa setelah Mama mengucapkan itu. Yang kudengar hanyalah sebuah langkah kaki menuju kearah pintu dengan langkah yang cepat. Segera aku bersembunyi disamping dinding.
Papa keluar dari kamar Mama dengan terburu-buru. Apa yang terjadi ? Kenapa Papa meninggalkan Mamam dengan wajah yang khawatir.
Aku mengintip Mama yang menutup wajahnya. Ingin menghampiri tapi kondisi Mama tidak setabil.
Drrrettt ...
Drrrretttt ...
Getar ponselku berbunyi. Disana ada nama Mas Nuga. Aku segera menjauh dan mengangkat telpon dari suamiku.
(Assalamualaikum,bil )
(Wa'alaikum salam, Mas.)
(Udah mau pulang belum?)
(Mm, iya sebentar lagi)
(Mau aku jemput?)
(Enggak usah, Mas. Nanti aku minta anter sopir aja)
(Ya udah, jangan lama-lama ya. Aku, kangen )
Seulas senyum menghias indah dibibirku saat ia mengatakan kalimat itu.
(Kamu tu, gombal terus.)
(Ya enggak apa-apa kan)
(Iya, enggak apa-apa. Udah dulu ya,
Mas. Assalamualaikum)
(Wa'alaikumsalam)
Setelah menutup telpon dari Mas Nuga, aku berjalan kearah kamar Mama kembali. Sebenarnya tidak tega jika harus meninggalkan Mama sendirian.
"Ma,"
"Iya, kenapa?" jawabnya menghapus air mata.
"Nabila mau pulang, Mama enggak apa-apa ditinggal sendiri?" tanyaku.
"Enggak apa-apa sayang. Mama juga memang pengen sendirian dulu."
Aku memeluk Mama dan menciumi pipi, serta kening Mama.
"Mama, jangan nangis ya." pintaku dan dia hanya mengangguk.
Kucium punggung tangan itu, "Assalamualaikum, Ma."
"Wa'alaikumsalam."

***

Mama sudah mengajukan gugatan cerai ke peradilan agama. Aku tahu, ini adalah keputusan yang sangat berat bagi Mama. Tapi tak ada pilihan, selama aku melihat Mama belakangan ini, Papa tak pernah pulang kerumah.
Dulu, aku pernah meminta Mas Juga menceraikan aku. Tapi ia menolak. Jika teringat kejadian itu, ada rasa penyesalan dihati. Kalau saja dulu Mas Juga meng-iya-kan permintaanku itu. Mungkin aku tidak bisa merasakan cintanya yang amat begitu dalam kepada diriku saat ini.
Soal Mas Nuga, dia tidak tahu jika Papa dan Mama akan berpisah. Aku tidak menceritakan kejadian itu kepada dirinya.
"Aaww." pekik ku.
"Nabila, kok bisa kena pisau sih tangannya, "
Aku tersenyum kearahnya. Ia membasuh tanganku dengan air kemudian mengobatinya. Aku lupa, jika sekarang aku sedang memasak makanan bersama suamiku itu.
"Ngelamun lagi ya?" tanya Mas Nuga sembari membalut luka ku.
"Iya." jawabku.
"Hm," ia menghela nafasnya, "Kenapa sih, akhir-akhir ini kamu suka ngelamun. Ada masalah di Cafe ?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Terus?" tanyanya kembali.
"Eeee ... "
"Cerita aja. Antara suami dan istri, kita harus saling terbuka. Masalah kamu masalah aku juga." ucapnya menggenggam tangan ku.
Aku menunduk, masih bingung harus bercerita atau tidak. Tapi, Mas Nuga kan menantu Papa dan Mama. Dia juga harus tahu dengan keadaan ini.
"Oke, Papa dan Mama mau cerai, Mas."
"Cerai? Loh. Kok bisa? Bukannya terakhir kali mereka baik-baik aja." bisa kulihat jika wajah Mas Nuga kebingungan.
"Papa menikah lagi, dan pernikahan Papa sudah berjalan 10 tahu. Lebih tepatnya, Papa sudah selingkuh 13 tahun, Mas. Dengan seorang wanita, yang sudah Mama anggap sebagai adik sendiri." jelasku.
"Ya Allah, jangan-jangan ... "
Aku menatap wajah suamiku itu. Kenapa ia seperti memikir sesuatu.
"Jangan-jangan apa?"
Ia menoleh kearah ku. Kemudian duduk diatas kursi, tepat dimana aku duduk.
"Waktu kita nginep dirumah Papa dan Mama, waktu selesai shalat Dzuhur dimasjid, dijalan Papa nanya tentang Poligami sama aku."
"Maksud kamu?"
"Papa nanya tentang Poligami, terus aku jawab poligami boleh dilakukan tapi ada syarat-syaratnya." jawabnya.
"Harus adil sama semua istri termasuk syaratnya juga?" tanyaku.
"Iya." jawabnya.
"Huh, pantes tiga bulan terakhir Papa bisa bersikap sangat romantis ke Mama." ucapku menyadari semua ini.
"Aku kira waktu itu, Papa ngomongin aku."
Nabila memasang wajah cemberutnya kearah Nuga, "Aku enggak mau ya kalau kamu dua kan."
"Ya enggak lah, bil. Cukup satu aja," ucap Nuga.
"Mengenai Papa dan Mama, kenapa kamu enggak coba nasehati Mama. Bilang, jangan bercerai sama Papa, "ucapnya.
"Mama udah enggak tahan, Mas. Papa sering mukul Mama. Mungkin, Mama masih bisa bertahan tapi kali ini, Mama enggak bisa. Mama udah tersakiti lahir dan batin, mental dan fisik, Mas. Aku ... Aku sebenernya enggak mau mereka pisah. Tapi, kasihan Mama. "
Kembali kutitihkan air mata. Mas Nuga merangkul, dan memelukku. Sesekali ia juga mengecup ubun-ubunku. Sebuah sentuhan yang mengisyaratkan untuk berkata jangan menangis dan bersedih.

***
Author POV
Pagi ini, Nabila berencana melihat keadaan dari Mamanya. Semenjak insiden itu, kondisi Mamanya kurang stabil.
Baru saja langkah kakinya masuk kedalam rumah itu. Ia melihat Mamanya sudah rapi dengan penampilan yang cukup oke bagi dirinya.
"Mama mau kemana?" tanya Nabila.
"Mama mau kepengandilan, jam sepuluh nanti Mama dan Papa kamu akan sidang."
Nabila harus tabah dengan semua ini. Ia menegarkan hatinya untuk menerima semua ini.
"Nabila ikut." pintanya.
"Enggak, Mama enggak ngizinin kamu."
"Tapi aku kan anak Mama sama Papa."
"Itu alasannya, sayang." Nabila tidak mengerti dengan ucapan Mamanya itu.
"Mama enggak mau, kamu melihat sidang perceraian kedua orang tua kamu. Hanya itu." sambung Rena.
Nabila diam dan menunduk. Rena mengangkat dagu anaknya itu dan mengecup dahinya.
"Mama pergi dulu." pamitnya.
"Ma, tunggu." Nabila menahan tangan Rena.
"Apa lagi, sayang?"
"Apa sudah terlambat untuk diperbaiki?" tanya Nabila.
"Iya, sudah terlambat."
"Kehidupan Mama bagaimana setelah cerai dengan Papa?" tanya Nabila.
"Mama, bisa hidup tanpa Papa kamu. Setelah sidang ini berakhir. Mama akan mengambil alih perusahaan Kakek kamu yang Mama titipkan ke Om Dewa."
"Mama bakal pergi ke Korea?"
"Iya, sekalian menenangkan diri."
"Mama, mau ninggalin Nabila sendiri di Indonesia?" tanya Nabila meneteskan air mata.
Rena mendekat kearah anaknya itu. Menghapus air mata yang mengalir di pipi.
"Enggak sayang, kamu, punya Nuga disini. Kamu enggak sendiri. Kamu punya mertua yang sayang ... Banget sama kamu. Jadi, kamu enggak sendirian. Ada Papa kamu juga kan disini."
Nabila kembali menunduk. Perceraian yang akan terjadi ini mungkin sangat memilukan bagi dirinya dan Rena.
"Huh," Rena menarik nafas panjang.
"Mama berangkat ya." pamit Rena.
Nabila melihat kepergian sang Mama dari rumah ini. Ia menggigit bibirnya menahan tangis. Kenapa semuanya menjadi seperti ini. Baru saja ia merasakan hangatnya sebuah keluarga. Namun kengatan itu tak dapat ia rasakan kembali.
________________________
Bersambung ....

-------


💞Kamu pilihan Allah 💞
Part 30 (Sedih atau bahagia)

'Anugrah yang terindah dalam hidupku adalah menikah denganmu dan Anugrah yang paling indah adalah mendapatkan seorang anak dari dirimu'
***
Kakiku menyusuri jalanan ini dengan langkah yang ngontai dan tatapan yang kosong. Lelah yang aku rasakan, mungkin karena aku sering menangis. Kepalaku juga terasa sedikit pusing akhir-akhir ini.
Kemarin, sidang perceraian antara Papa dan Mama selesai. Tiga bulan mereka berdua mengikuti persidangan itu dan pada akhirnya, secara resmi, Mama dan Papa sudah bercerai. Baik secara agama dan hukum.
Dan pada hari ini, ketika aku mau melihat Mama, keadaan rumah sepi. Hanya ada beberapa pelayan saja. Mama telah pergi ke Korea seperti ucapannya waktu itu. Tanpa berpamitan denganku, tanpa menungguku datang dan mengantarkannya ke bandara.
Hanya satu pesan yang ia titipkan kepada si Mbok, Mama tidak ingin melihat aku menangis lagi saat kepergiannya nanti.
Aku menatap langit yang berwarna biru itu. Menikmati hembusan angin yang menerpa kulit wajahku.
Ya Allah, boleh kah aku mengeluh kepadamu?
Saat ini aku sangat lemah.
Ujian demi ujian selalu engkau turunkan kepadaku.
Ya Allah, aku tahu. Setiap ujian pasti ada jawaban. Dan engkau tidak akan pernah menguji seorang hambanya diluar kemampuannya.
Ya Allah, kuatlah aku dalam menerima setiap ujianmu.
Tiba-tiba saja, kepalaku pusing kembali. Semakin lama malah semakin pusing, pusing yang menjadi-jadi. Ada apa dengan diriku? Tubuhku sangat lemah, rasanya aku tidak sanggup menopang tubuhku sendiri. Penglihatanku mulai menggelap dan selanjutnya, hanya kunang-kunang hitam yang aku lihat.
Pesantren, pukul 13.00
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Ummi, Nuga dibisingkan dengan suara Al, yang dari tadi tidak pernah berhenti berbicara. Temannya itu meminta bantuan agar Nuga bisa mendampinginya melamar anak seorang Kiai yang ada dilingkungan Tantenya.
"Lu temenin gua ya, Ga. Please, Ga. Ini jatuh cinta pada pandangan pertama." pinta Al.
"Mama sama Papa kamu kemana?" tanya Nuga.
"Mereka lagi ngadain bisnis besar-besaran di lombok." jawabnya. Al, langsung menghadang Nuga yang sedang berjalan disampingnya.
"Jadi, selama mereka pergi, Gue mau bawa lo sama Abi nemenin Pak kiai itu, ada Om gue juga sih, kan itu Kiai tinggal saru komplek sama Om tante gue. "
"Oke terus?" tanya Nuga.
"Nah, jadi rencananya tu gini. Kalau si Pak kiai bilang iya dan gadis cantik itu juga bilang iya. Gue tinggal nunggu nyokap bokap pulang, terus langsung gue nikahi anaknya."jawab Al dengan senyum khasnya.
"Udah tahu nama anak gadisnya Pak kiai itu?" tanya Nuga.
"Belom, kan dari awal gue udah bilang. Ini tu, Cinta pada pandangan pertama. Gue cuma kenal sama Bapaknya. Ga,"
Nuga terkekeh kecil saat Al berkata seperti itu.
"Oke, nanti aku temenin."
Al melebarkan senyumannya. Laki-laki itu menepuk pundak Juga dengan bahagia.
"Nah ... Gitu dong ... Brother gue banget lu, tong, "ucapnya dengan bahagia.
"Iya, iya."
Mereka melanjutkan perjalanannya lagi. Sesampainya di depan rumah Ummi. Mereka berdua mendengar ada suara wanita lain dari dalam rumah.
"Nabila main ke sini?" tanya Al.
"Enggak, dia enggak bilang mau ke sini, mungkin, Marwah ." jawab Nuga.
"Eh, Bambang. Anak santri belum ade yang keluar kelas, ya kali si Marwah. Dia kan juga mondok di madrasah kan sekarang?" umpat Al.
"Iya juga sih."
Nuga dan Al menghentikan obrolan mereka yang menerka-nerka siapa yang sedang berbicara dengan Ummi. Mereka langsung saja masuk kedalam rumah dengan memberikan salam.
"Assalamualaikum, Ummi" ucap Nuga,
"Wa'alaikumsalam."
Ia mematung seketika, mulutnys menganga dan matanya tak percaya melihat sosok wanita yang ada dihadapan Umminya itu.
"Assalamualaikum Ummi!! Astagfirullah." Ucap Al yang awalnya biasa menjadi luar biasa terkejutnya.
"Ya Allah, si Al, emang kamu kira aku setan apa?!" tanya perempuan itu dengan bercanda.
"Eh, maaf. Kaget aja liat Halimah kok ada disini, kapan dateng ke Indonesia nya?" tanya Al
"Kemaren." jawab Halimah.
Nuga meneguk salivanya sendiri. Kenapa Halimah sekarang ada dirumah Umminya. Gadis cantik itu hanya memberikan senyuman kearah Nuga. Hanya sebentar lalu ia menundukkan kepalanya kembali.
"Eh, kok pada berdiri di tengah pintu. Ayok duduk," ucap Ummi.
"Iya mi, aduh udah kayak Reunian aja." ucap Al memecahkan kecanggungan.
"Bencana ini, Ga." bisiknya ditelinga Nuga.

***
Nabila membuka matanya perlahan. Rasa pusing masih bisa ia rasakan. Saat matanya membuka sempurnah, ia merasa asing dengan tepat ini. Bau obat-obatan?
Dengan cepat Nabila berdiri dari tepat ia berbaring.
"Nabila,"
Ia melihat kearah dari mana suara itu berasal.
"Rio?"
Laki-laki itu mendekat kearah Nabila. Ia mencoba membuat Nabila berbaring kembali namun Nabila menolaknya dengan lembut.
"Kenapa aku ada disini?" tanya Nabila.
"Tadi dijalan, enggak sengaja aku liat kamu. Kamu jalannya kayak sempoyongan gitu. Nah, waktu aku deketin, kamu langsung pingsan. Ya karena panik aku langsung bawa kamu kerumah sakit." jelas Rio.
Nabila mengingat semuanya. Pantasan saja saat ia ingin jatuh tadi, tubuhnya seperti ada yang menangkap.
"Maaf, mungkin aku kecapean," ucapnya.
"Kamu tahu ya, kalau lagi hamil enggak boleh sampai kelelahan. Kasihan dama bayinya," ucap Rio menasehati.
Nabila menatap kearah Rio dengan tatap terkejut. Apa yang barusan laki-laki itu bicarakan. Hamil?
"Loh, kok muka kamu kayak kaget gitu?" tanya Rio.
Alih-alih menjawab, Nabila malah balik nanya, "Tadi kamu bilang apa?"
"Kalau lagi hamil enggak boleh kecapean." jawab Rio mengulang kalimatnya.
"Aku hamil?" tanya Nabila.
"Iya, kamu hamil, "
Seulas senyum melengkung indah dibibir Nabila.
"Tadi dokter bilang. Usia kandungan kamu itu baru satu minggu. Jadi, saran dokternya tadi. Calon ibu, enggak boleh kecapean terus jangan mikirin hal-hal yang enggak penting. Intinya sih gitu." jawab Rio dengan santai.
Nabila tidak mendengar secara jelas apa yang Rio katakan. Ia sekarang sedang menangis sembari mengelus perutnya yang rata. Penantian nya selama ini akhirnya tiba.
Ia bingung, di satu sisi ia merasakan kesedihan karena Papa dan Mamanya cerai dan disisi lain, ia senang karena mendapatkan anugrah yang paling indah dari Allah.
Allah memberikannya kesedihan tapi Allah juga memberikan kado terindah didalam hidupnya.
"Rio, aku mau pulang." ucap Nabila kemudian.
"Sekarang?" tanya Rio.
"Iya."
"Aku anter ya." tawar Rio.
"Enggak usah, aku enggak mau kalau timbul fitnah diantara kita. Aku bisa naik taxi." tolak Nabila.
"Aku nolong kamu tulus kok. Enggak ada maksud apa-apa."
Nabila menimbang-nimbang ajakan dari Rio. Apa benar, Rio melakukan ini semua dengan tulus? Hm, rasanya Nabila masih ragu.
"Serius, Nabila. Syella pernah hamil, di sering kecapean makanya aku mau bantu kamu. Kita temen kan?"
Nabila berfikir sejenak.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
"Oke, antarkan aku ke pesantren."
Rio membalasnya dengan senyuman. Akhirnya, Nabila mau menerima tawarannya. Ia merasa iba melihat kondisi Nabila sekarang. Perceraian yang menimpa kedua orang tuanya pasti membuat Nabila syok. Andai saja, ia tidak membuat kecerobohan kepada Syella. Mungkin saat ini dia yang menjadi suami Nabila.
Bisa menjaga dan merawat Nabila dengan sepenuh hati. Tapi ia juga harus sadar. Ada tanggung jawab yang harus ia jaga yaitu, anaknya dengan Syella.
"Bil, aku turut prihatin ya sama perceraian Papa dan Mama kamu," ucap Rio. Saat ini mereka sedang menuju kearah pesantren.
"Enggak usah prihatin, semua sudah terjadi. Papa dan Mama sudah memilih pilihannya sendiri." jawab Nabila.
"Aku enggak nyangka kalau Om Fran punya ___"
"Aku juga, dengan apiknya. Papa bisa menyembunyikan pernikahannya." ucap Nabila memotong kalimat Rio.
"Tapi, enggak perlu lah di bahas. Toh sekarang Papa dan Mama juga sudah resmi bercerai," ucap Nabila.
"Oke, oh ya. Pesantrennya dimana?" tanya Rio mengubah pembicaraannya.
"Belok kiri sebentar lagi." jawab Nabila.
***
Angin bertiup sedikit kencang siang ini. Jalanan nya juga dipenuhi dengan daun-daun kering yang berserakan.
Nuga, laki-laki itu nampak bingung harus berkata apa kepada Halimah. Ia hanya bisa diam saat pergi berkeliling pesantren bersama Al dan Halimah.
"Ternyata enggak ada yang berubah ya dari pesantren ini," ucap Halimah membuka suara.
"Iya, enggak, Mah. Gedungnya masih sama, tata letaknya juga sama, " ucap Al.
"Bahkan orang yang aku tunggu juga masih sama." sambung Halimah dengan malu.
"Hehehh, iya. Masih sama." lagi - lagi Al menjawab ucapan Halimah.
"Ga, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,"ucapnya menghadap kearah Nuga.
"Mau ngomong apa?" tanya Nuga.
Halimah melihat kearah Al yang berada disamping Nuga. Matanya mengisyaratkan untuk meninggalkan mereka berdua.
"Eee, Ga. Kayaknya gue ada urusan sebentar. Gue pergi dulu ya." pamitnya.
"Oke."
"Halimah,"sapanya.
"Iya."
'Bakal jadi bencana ini, bencana bener ini' rutuknya ketika mulai menjauh dari Nuga dan Halimah.
Halimah menatap Nuga yang berada dihadapannya.
"Ga, masih Inge sama komitmen kita?" tanya Halimah.
"Emmmm, yang mana ya?" tanya Nuga.
Nuga benar-benar lupa tentang komitmen yang ia buat dengan Halimah dulu. Bukan salahnya jika sekarang, Nuga telah menikah dengan Nabila.
"Ck, kamu tu. Komitmen bahwa kita enggak akan pacaran. Tapi kita akan menikah setelah aku sampai diindonesia."
Deg!
Nuga benar-benar terkejut dengan komitman yang pernah ia buat.
"Aku sudah siap kalau kamu mau ketemu sama Abah." sambungnya.
Disisi lain, Al yang sedang lontang lantung tak jelas melihat sosok Nabila dari kejauhan. Ia sedikit ragu, apa benar itu adalah Nabila. Perlahan ia memperjelas penglihatannya.
"Ya Allah, kenapa Nabila ada disini juga. Perang ni, perang." ucapnya panik sendiri.
Segera ia mendekati Nabila untuk menghadangnya. Bukan apa-apa tapi Al ingin agar masalah antara Nuga dan Halimah selesai dulu.
"Assalamualaikum, Nabila. Kok ada disini?" sapanya.
"Wa'alaikumsalam, Al. Aku kesini mau lihat Ummi."jawab Nabila dengan senyuman.
"Oh lihat Ummi."
"Ya udah ya, aku kerumah Ummi dulu." pamit Nabila.
"Eh, tunggu!!" ucap Al menghadang tubuh Nabila.
"Apa sih, Al?"
"Jangan lewat situ, ada perbaikan jalan. Mending lewat sini. Ayok, aku antarkan" ajak Al sedikit gugup.
Difikirannya hanya ada satu, jangan sampai Nabila bertemu dengan Juga saat Nuga sedang bersama Halimah.
"Al-kahfi, aku kan enggak bawa mobil dan motor. Aku jalan pake kaki. So, enggak ada masalah. Udah ah minggir, ganggu aja." ucap Nabila menepis tubuh Al.
Al bingung harus bangaimana lagi. Nabila sulit sekali untuk dihadang. Ia mengambil ponselnya dan berniat untuk menelpon Nuga.
(Hallo, ga. Nabila ada dipesantren sekarang.)
(Nabila ada di pesantren?)
Al sedikit aneh dengan suara ini. Sejak kapan, suara Juga berubah jadi perempuan.
(Hallo, ini siapa?)
(Ini Ummi, Al.)
(Ohhh, Ummi. Kirain Nuga.)
(Hp nya ketinggalan dirumah tadi. Jadi bener, Nabila dateng ke sini?)
(Iya Ummi, ini dia mau kerumah Ummi. Mmm, udah dulu ya, Mi. Assalamualaikum.)
(Wa'alaikumsalam.)
"Nuga, Nuga, gue jadi ribet sendiri ini gara-gara urusan lo." umpat Al.
Ia kembali mengejar Nabila yang sudah cukup jauh itu.
"Bil, lewat sana aja." ajaknya.
Nabila telah berhenti melangkah disaat Al mengajaknya tadi.
"Al," panggilnya.
"Itu alasan, kamu ngajak aku lewat jalan lain?"
Al menyipitkan matanya. Ia menoleh kearah Nabila menunjuk. Dalam hati Al sekarang, ia sedang beritigfar sebanyak-banyaknya.
"Siapa wanita itu?" tanya Nabila.
"Dia ... Mmm itu ... Dia ..."
"Halimah kah?" tanya Nabila
"I ... Ya."
"Aku mau ke sana, dan kamu," Nabila menoleh kearah Al berdiri.
"Jangan halangi aku untuk kesana!" ucap Nabila dengan tegasnya.
Al bergedik ngeri melihat wajah dan mendengar ucapan Nabila dengan serius dan penuh penengasan. Habis sudah temannya disana.
Sementara itu, Nuga sedang menjelaskan bahwa ia tidak bisa menikahi Halimah.
"Aku enggak bisa, Halimah."
"Loh. Kenapa? Bukannya ini adalah hal yang paling kita tunggu-tunggu dari dulu?" tanya Halimah.
"Dulu iya, sekarang enggak, Mah."
Halimah merasa sedikit Sesa dengan ucapan Nuga. Segampang itukah ia melupakan Halimah. Ataukah Juga belum siap untuk menikahi Halimah.
"Kenapa?" tanya Halimah.
"Aku sudah membalas E-mail yang kamu kirim ke aku. Disana, harusnya kamu bisa baca alasan aku tidak bisa menikah sama kamu." jawab Nuga.
"E-mail?" tanya Halimah bingung.
"Iya, E-mail."
"Mas Nuga."
Keduanya menoleh kearah orang yang memanggil. Disana ada Nabila dengan senyum manisnya tertuju kepada Nuga. Dan dibelakangnya ada Al dengan raut wajah yang cemas.
"Nab ... Nabila, kok kamu ada disini?" tanya Nuga sedikit gugup.
"Aku maen kerumah Ummi. "Jawabnya dengan senyum.
"Dia siapa, Ga?" tanya Halimah.
"Dia ..."
"Perkenalkan, aku Nabila." ucap Nabila mengulurkan tangannya dengan senyuman.
Halimah membalas uluran tangan dari Nabila dengan senyum pula, "istri Mas Nuga." sambung Nabila dengan senyuman.
Wajah yang penuh senyum itu kini berubah menjadi kejut. Apa yang barusan telinga Halimah dengar, istri Nuga.
Perlahan ia melepaskan tangan Nabila. Halimah menatap kearah Nuga, Juga dapat melihat jika mata gadis itu tengah berkaca-kaca.
"Aku ... Aku pulang dulu. Udah sore. Assalamualaikum." pamit Halimah dengan menahan tangisnya.
"Wa'alaikumsalam"
Nabila hanya melirik Halimah yang lewat disampingnya. Kemudian tertuju kearah Nuga. Sedangkan Al, pria itu mengejar Halimah yang sedang menangis meninggalkan Nuga dan Nabila berdua saja.
"Itu yang namanya Halimah?" tanya Nabila.
"Iya."
"Cantik," pujinya, "Ngapain dia kesini?" tanya Nabila lagi dan Nuga tidak menjawab.
"Menangih janji untuk menikahinya?" tanya Nabila lagi dengan nada yang santai
Nuga tahu, jika istrinya itu sedang marah kepada dirinya. Namun, nada bicara Nabila sedikit tenang.
"Bil, aku ___"
"Iya kan, pasti iya."
Nabila mengeluarkan air matanya yang ia tahan sedari tadi. Hatinya sakit, takut akan bernasib sama seperti Mamanya. Dengan lembut ia menghapus air matanya.
"Aku mau ketemu sama, Ummi. " ucapnya meninggalkan Nuga.
Nuga tidak tinggal diam. Untuk sekian lama, Nabila menangis lagi karena ulahnya. Sudah cukup setiap malam ia selalu mendengar Nabila menangis karena perpisahan orang tuanya.
"Nabila, sayang. Aku mau jelasin."
"Enggak perlu, Mas. Aku tahu maksud Halimah dateng kesini. Aku tahu, kamu sulit untuk memperkenalkan diri aku sebagai istri didepan wanita tadi. Aku tahu, Mas." ucap Nabila.
"Lihat wajahnya tadi. Kamu lihat enggak? Dia nangis. Berarti dia enggak tahu sama pernikahan kita. Dari awal, aku sudah bilang. 'Beritahu dia tentang pernikahan kita' agar tidak ada hati yang tersakiti dan sekarang apa? Kamu lihat kan sekarang?"
"Aku udah kirimin dia E-mail Nabila. Sudah aku kasih tahu tentang semuanya." ucap Nuga.
Nabila mengamati sekelilingnya. Beberapa santri sudah ada yang keluar dari kelas.
"Jangan ngomong disini, enggak enak kalau ada yang denger," ucap Nabila.
Nuga mengamati sekelilingnya juga. Ia mengikuti ucapan dari Nabila. Mereka berdua kemudian berjalan ke rumah Ummi. Hanya ada diam diantaranya. Nuga mencoba menggenggam tangan Nabila namun Nabila menjauhkan tangannya.
Baru saja Nabila merasa senang, sekarang ia merasa sedih kembali. Ia ingin memberitahu Nuga jika ia sedang mengandung. Tapi rasanya, waktu belum tepat. Biarkan saja ia menyembunyikan kehamilannya dulu.
_____________________
Bersambung ...