Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba ุงู„ู„ّู‡ُ yang Kaffah.

๐Ÿ’ž Kamu pilihan Allah ๐Ÿ’ž 21 - 25

"Kamu pilihan Allah"
Part 21 by Resi Oktariani

Siang ini, sekitar pukul 14.07. Nabila dan Nuga telah menempati kontrakan yang mereka sewa. Tak banyak barang yang mereka bawa. Hanya 2 koper, satu tas besar, kasur, guling dan bantal, serta beberapa perabotan rumah tangga yang baru mereka beli sebelum datang ke kontrakan ini.
Di sini ada Umi, Abi dan juga Al-kahfi yang membantu. Mama dan Papa Nabila tak datang karena memang Nabila tak mengajak mereka berdua. Bukan apa-apa, Nabila hanya tak mau jika Papanya nanti akan menjelek-jelekan Nuga di depan orang tuanya.


"Nah, beres deh."
"Ini mau Nabila buatin apa ni?" tanya Nabila kepada semua orang.
"Es teh aja deh. Biar seger." Ucap Nuga dan Abi.
"Kalau gue mah Es kosong aja bil." Ucap Al.
"Es kosong?" tanya Nabila.
"Es kosong?" semua yang mendengar saling bersahutan dengan kebingungan.
"Ck, Es Air putih aja. Makanan juga sekalian. Laper ni." jelasnya.
"Oh, Air putih di kasih Es. "
Nabila menyediakan apa yang diminta oleh orang-orang dibantu oleh Ummi. Setelah semuanya ludes habis termakan dan terminum. Abi dan Ummi pamit dari kontrakan Nabila dan Nuga.
"Ga, gue balik juga yak. Makasih loh jamuannya." Ucap Al.
"Iya sama-sama. Makasih juga udah mau bantu-bantu." Balas Nuga.
"Yoi, santai aje bro. Gue balik yak. Assalamualaikum." pamitnya.
"Wa'alaikumsalam."
Mereka berdua menatap Al yang barusan saja pergi dari kontrakan mereka. Nuga melirik Nabila sekilas dan menatap kearah depan.
"Siap mulai semuanya dari Nol?" tanya Nuga.
"Siap komandan." jawab Nabila dengan semangat dan senyuman.
.
.
.
Hari-hari terus berlalu, selama mengontrak Nabila di sibukkan dengan pekerjaan ibu rumah tangga. Ia harus bangun lebih awal dari biasanya.
Membersihkan rumah, mencuci dan memasak, serta menyiapkan pakaian untuk Nuga bekerja. Semua harus selesai pada pukul delapan pagi. Itu yang ia targetkan.
"Hallo, tok. Nanti kamu jangan lupa ke toko bunga ya. Kemarin saya lihat ada beberapa bunga yang udah layu di Cafe kita. Pilih bunga yang bagus dan yang wangi ya." Ucap Nabila.
"Baik bu." jawab Titok yang berada du sebrang
Sreng !!
"Bu Nabila lagi masak ya?" tanya Titok.
"Iya, lagi masak Nasi goreng buat sarapan. Saya tutup dulu ya telponnya."
"Oh iya bu."
Beginilah Nabila, jam masih menunjukkan pukul 05.46. Pagi. Tapi ia sudah repot sendiri. Setelah masak Nabila melanjutkan kegiatan mencuci pakaian. Begitu melelahkan, ia harus mencuci pakaian dengan Papan bukan dengan mesin cuci.
Srek ... Srek ... Srek ...
"Huh." Ucapnya menarik nafas.
.
.
.
"Assalamualaikum."
Nuga masuk kedalam kontrakannya. Tak ada sahutan dari Nabila. Mungkinkah Nabila masih tidur karena tadi malam Nabila tidur larut malam.
"Nabila." panggil Nuga.
Nabila yang baru selesai membilas pakaian itu langsung berdiri dari kamar mandi dan menghampiri Nuga yang barusan pulang dari Masjid.
"Mas Nuga udah pulang." ucapnya mengelap tangannya yang basah ke bajunya.
"Udah."
"Aku kira kamu masih tidur tadi bil."
"Ya enggaklah Mas. Banyak kerjaan yang harus diselaikan. Oh ya, itu sarapannya sudah siap kalau kamu mau sarapan, sarapan aja dulu." Ucap Nabila.
"Kamunya?"
"Aku mau ngejemur pakaian dulu." jawab Nabila.
"Rumah udah di sapu sama di pel?" tanya Nuga.
"Belum, nanti kalau udah ngejemur pakaian." jawab Nabila menutup mulut karena menguap.
"Baju kerja aku udah siap?" tanya Nuga.
Nabila menepuk dahinya. "Oh iya, aku lupa Mas, belum aku gosok juga. Ya udah aku siapkan pakaian kamu dulu ya." ucap Nabila.
Tangan Nuga menahan lengan Nabila. Ia tersenyum kearah istrinya itu.
"Mau kemana?" tanya Nuga.
"Mas, tadikan aku udah bilang mau nyiapin pakaian kamu." jawab Nuga.
Nuga mengacak-acak puncak kepala Nabila. "Kasihan istriku. Pasti capek karena harus membersihkan rumah dan mengurus semua keperluanku." Ucap Nuga.
Nabila diam, bingung dengan ucapan Nuga. Capek sudah pasti iya. Tapi kan ia sedang menjalankan tugasnya.
"Mata panda menandakan kurang tidur, mau di rumah atau kerja?" tanya Nuga.
"Aku mau kerja aja. Enggak enak juga kalau di rumah cuma tiduran." jawab Nabila.
"Ya udah kalau gitu kamu sekarang mandi terus siap-siap buat berangkat kerja ya." perintah Nuga.
"Ya nanti aja. Aku mau nyiapin pakaian kamu dulu mas, terus mau ngejemur pakaian, nyapu, ngepel."
"Biar aku yang jemur pakaian. Biar aku yang nyapu dan ngepel." potong Nuga.
"Eh jangan. Kan itu tugas aku Mas." Ucap Nuga.
"Siapa bilang?"tanya Nuga.
Nabila diam. Bingung sudah pasti. Mau jawab apa dia. Bukankah pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang istri.
"Mulai sekarang kita bagi tugas ya. Enggak semuanya pekerjaan rumah itu tugas Istri. Suami juga boleh bantu." Ucap Nuga.
"Tapi nanti kamu telat loh. Guru itu harus menjadi teladan yang baik buat muridnya." Ucap Nabila.
"Dan seorang pemimpin Cafe juga harus menjadi teladan yang baik bagi anak buahnya." balas Nuga.
"Masa seorang pemimpin datang telat terus. Enggak malu sama anak buahnya?" sindir Nuga.
"Udah sekarang siap-siap gih. Biar nanti kita bisa berangkat barengan."
Nabila tak berkata apa-apa. Ia menuruti ucapan Nuga untuk mandi dan bersiap-siap.
Sedangkan Nuga, ia menjemur pakaian mereka di belakang kontrakan. Setelah selesai, ia menyapu kontrakan mereka. Saat melihat jam, ternyata sudah jam setengah tujuh.
"Mas, pakaiannya sudah aku siapkan. Buruan sana ganti baju terus nanti kita sarapan." Ucap Nabila yang telah rapi dengan pakaiannya.
"Nanggung bil. Sebentar lagi." Ucap Nuga.
Nabila berjalan mendekat kearah Nuga. Ia merebut gagang lap pel yang di pegang Nuga.
"Udah sana ganti ganti baju. Biar aku yang lanjutin pekerjaan rumahnya." Ucap Nabila.
"Dasar tukang paksa."
"Biarin. GPL ya ganti bajunya." Ucap Nabila dengan semangat.
"GPL apaan?" tanya Nuga.
"Gak pake lama Mas Nuga."
"Oh," Ucap Nuga ber~oh~ria.
.
.
.
Nabila menikmati setiap hembusan angin pagi yang begitu dingin. Menerpa wajah dan kulitnya walau telah ditutupi dengan jilbab. Hari ini adalah hari pertama bagi Nabila diantar ke cafenya dengan menggunakan kuda besi milik Nuga. Ya, hari pertama semenjak mereka pindah ke kontrakan beberapa hari yang lalu.
"Oke, kita sudah sampai." Ucap Nuga.
Nabila turun dari motor itu. Ia melepaskan helmnya yang di bantu Nuga. Sejenak ia menatap suaminya itu dengan senyuman.
"Kamu kenapa senyum-senyum?"tanya Nuga.
"Sweet banget kamu tu Mas." Jawab nabila.
"Sweet dari mana ?"
"Dari ... Semuanya. Sweet kamu itu selalu beda. Sederhana namun sangat istimewah." Ucap Nabila dengan senyum manisnya.
Nuga membalas dengan senyum nya juga.
"Kamu tahu bil, semua orang punya caranya sendiri untuk bisa mengekspresikan perasaannya kepada orang yang dia sayang." Ucap Nuga.
"Berarti kamu sayang aku dong Mas." pancing Nabila.
"Enggak perlu aku jawab kamu sudah tahu jawabannya." jawab Nuga.
Nabila mengulum senyum. Ia mencoba menetralkan detak jantungnya. Ada sesuatu yang berbeda didalam perutnya. Mungkinkah ini yang dinamakan kupu-kupu sedang beterbangan didalam perutnya. Oh, tidak hanya perut, mungkin telah menyebar diseluruh tubuhnya.
"Matahari sudah semakin naik. Aku berangkat ke Pesantren dulu ya." Pamit Nuga.
Nabila mengangguk, ia mengambil tangan Nuga dan menciumnya sedangkan Nuga mencium puncak kepala Nabila.
"Aku berangkat ya, Assalamualaikum. " pamit Nuga.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya Mas." pesan Nabila.
"Iya."
"Dah." Ucap Nabila.
"Dah." balas Nuga.
Nabila menatap kepergian suaminya dengan penuh senyum. Setelah ia tak melihat Nuga lagi, Nabila masuk kedalam Cafe. Saat masuk kedalam Cafe ia melihat semua pelayan cafenya pada gelabakan. Simpang siur mencari sesuatu.
"Kalian pada ngapain kayak gitu ha?" tanya Nabila.
"Enggak ada buk." jawab semuanya saling bersahut-sahutan.
"Ya udah kalau enggak ada lanjutin pekerjaannya ya." Ucap Nabila dan langsung masuk keruangannya.
Semuanya bernafas lega saat melihat Nabila masuk kedalam ruangannya. Bukan apa-apa. Tadi mereka semua melihat adegan Nabila dan Nuga di depan Cafe. Sontak hal itu membuat para pegawainya menjadi terpesona.
.
.
.
Bersambung ....


-------
๐Ÿ’ž Kamu Pilihan Allah ๐Ÿ’ž
Part 22

Siang ini Nabila dikejutkan dengan kedatangan kedua orangtuanya. Papa dan Mamanya nampak kompak datang ke Cafe dengan pakaian berbahan batik.
"Kenapa kamu enggak bilang ke Papa kalau kamu punya usaha sendiri?" tanya Papa. Saat ini mereka tengah berada diruangan Nabila.
"Gimana Nabila mau cerita kalau Papa aja sibuk sama dunianya Papa." jawab Nabila.
"Lagian Papa tahu dari mana kalau Nabila punya usaha ini?" tanya Nabila.
"Hm, sayang. Maaf ya, Mama tadi keceplosan bilang ke Papa." sahut Mamanya.
"Mama." ucap Nabila berbisik.
Papa melihat Nabila yang menatap Mamanya. "Papa suka kalau kamu buka usaha sendiri, berarti kamu sudah bisa mandiri. Tapi suami kamu, apa dia juga menikmati hasil usaha ini?" tanya Papa Nabila. Namun bagi Nabila itu adalah sebuah sindiran.
Alih-alih menjawab, Nabila malah balik bertanya, "Papa kenapa nanya kayak gitu sih?"
"Ya enggak apa-apa. Kalau dilihat-lihat, Cafe kamu iji kan ramai. Penghasilannya dari hasil Cafe kamu ini pasti besarkan. Dan jika dibandingkan dengan gaji seorang pengurus pondok ... " papa mengantungkan kalimatnya.
"Mas Nuga enggak pernah minta uang dari Cafe ini, dia juga setiap bulannya ngasih uang belanja buat aku, kata Mas Nuga Uang dia adalah uang aku tapi kalau uang milik aku ya punya aku sendiri." Ucap Nabila.
Papanya seakan tak percaya dengan ucapannya dari Nabila. Mana ada dizaman sekarang laki-laki tak ikut menikmati hasil kerja dari istinya apalagi uang penghasilan istrinya lebih besar dari penghasilan dirinya.
Tanpa banyak pertanyaan, Papa Nabila mengalihkan pembicaraannya.
"Oh begitu, bagus kalau begitu. Kamu udah ngontrak?" tanya Papa.
"Udah." jawab Nabila
"Papa mau lihat kontrakan kamu. Sekarang." Ucap Papa.
Nabila mendengus kesal. Kenapa Papanya sekarang jadi begini. Overprotektif mungkin julukan yang tepat untuk Papanya.
Nabila memberekan peralatannya dan menelpon Nuga agar tak menjemputnya karena ia akan pulang dengan Papa dan Mama.
.
.
.
Papanya menatap rumah kontrakan milik Nabila, begitu kecil dari luar.
"Ayo pa, ma. Masuk." ajak Nabila.
"Ini kontrakan kamu dan Nuga?" tanya Mama.
"Iya Ma, ayok masuk." ajak Nabila sekali lagi.
Mereka mengikuti langkah putri satu-satunya itu. Setelah membuka kunci kontrakan Nabila membuka pintu itu perlahan. Bisa dilihat jika kedua orantuanya itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ini. Tak berbeda jauh dengan luas daerah luar tadi.
"Papa sama Mama duduk disitu dulu. Nabila bikin minum." Ucap Nabila.
"Lesehan maksud kamu?" tanya Papanya.
"Menurut Papa?" tanya balik Nabila.
"Nabila tinggal dulu. Sekalian mau angkat jemuran di belakang."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Nabila pergi meninggalkan kedua orangtuanya.
"Anak kita sstelah menikah kenapa jadi melarat gini sih ma?" tanya papa .
"Pa, jangan ngomong kayak gitu. Mama yakin Nabila pasti bahagia dengan Nuga." ucap sang Mama.
"Bahagia, bahagia. Kamu kira bahagia bisa buat dia hidup enak apa. Lihat kontrakan ini, kecil supek, enggak ada Ac. Ini bukan hidup Nabila banget Ma. "
Mama Nabila memutar bola matanya malas. Suaminya ini, dia saja tidak tahu mana yang bahagia dan yang tidak.
"Selama Papa ngomong sama Nabila nanti, Mama enggak usah ikut campur. " titah sang Papa.
"Ya enggak bisa gitu dong Pa. Kalau Papa ada ngomong yang macem-macem sama Nabila, Mama enggak mau dong diam aja." elak sang Mama.
"Mama bisa enggak dengerin ucapan Papa." Ucap sang Papa menahan suaranya agar tak terdengar Nabila.
"Enggak, Mama masih mau dalam pendirian Mama. Kalau Papa macam-macam, mama enggak mau diem aja." pertegas sang Mama.
Nabila keluar dari arah dapur dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat dua cangkir teh dan satu toples kue kering.
"Papa sama Mama minum aja dulu. Maaf cuma ada teh. Kalau mau minum air putih ambil aja didapur. Nabila mau angkat baju dulu ya. " ucap Nabila ingin beranjak.
"Nabila tunggu, Papa mau bicara." cegah sang Papa.
Nabila yang tadi telah berdiri langsung duduk kembali.
"Papa mau bicara apa?" tanya Nabila.
"Kenapa kamu mau tinggal di kontrakan yang kecil seperti ini?" tanya Papa.
"Ya karena Nabila ikut suami Nabila pa." jawab Nabila.
"Tapi kontrakan ini kecil banget. Harusnya kamu protes dong sama suami kamu. Cari rumah yang besaran dikit. Kita itu keturunan orang kaya, orang konglomerat. Mau di taruh dimana muka Papa nanti kalau orang-orang lihat bahwa anaknya seorang Frans Eko Exfander tinggal di kontrakan yang jelek kayak gini." tutur Papa Nabila.
Nabila diam, memperhatikan dan memdengarkan papanya berceloteh panjang x lebar.
"Nyuci baju kamu pakai apa?" tanya Papa.
"Pakai tangan." jawab Nabila.
"Pakai tangan?!" tanya Mamanya terkejut.
"Nah, mesin cuci yang murah aja suami kamu enggak bisa beli, gimana kalau kamu nyuci tangan terus tangan kamu pegel-pegel. Enggak mikir kesitu apa dia, kamu kan juga bukan ibu rumah tangga seutuhnya, kamu juga punya kerjaan." protes Papa.
"Tapi Suami Nabila juga suka ngebantu kok." jawab Nabila.
"Alah, paling cuma sedikit-sedikit." sahut Papanya.
"Nyuci piring di Wastafel enggak?" tanya Mama yang mulai penasaran.
"Enggak, Nyucinya di kamar mandi juga."
"Tu ma, dengerin. Anak kita dari kecil dibesarkan dengan kemewahan tapi setelah menikah, udah kayak ART aja dia. Sengsara." Ucap Papa dengan sinisnya.
Nabila menunduk, hatinya sakit mendengar ucapan itu. Rasanya ingin menangis saat menahan amarah didalam dirinya. Ia juga memikirkan bagaimana jika Nuga mendengar semua ucapan dari Papanya, pasti tak kala sakitnya. Dengan menarik nafas pelan, ia mengangkat kepala dengan senyuman yang menghiasi bibirnya.
"Papa sama Mama boleh bilang kalau Nabila hidup melarat, oranglain pun boleh bilang begitu kepada Nabila dan Mas Nuga." Ucap Nabila.
"Tapi Nabila enggak merasa hidup Nabila susah, Nabila lebih bahagia, dapat perhatian dan kasih sayang yang melebihi kata cukup dari Mas Nuga." kedua orang tua itu menatap anaknya. Nampak bening-bening kaca berada dimata indah Nabila.
"Bagi Nabila, apa yang Mas Nuga kasih itu sudah luar biasanya. Papa sama Mama jangan khawatir kalau Nabila hidup susah. Harta bukan segalanya, itu yang pernah Mas Nuga bilang kepada Nabila. Kami memang tak punya Harta yang bergelimpangan, hidup dengan glamor, belum punya rumah sendiri, kendaraan untuk berpergianpun cuma motor yang sudah tua itu. " Nabila menghapus air matanya, entah sejak kapan air mata itu keluar dari penampungannya.
"Papa sama Mama doakan saja, semoga nanti, secepatnya kami bisa bangun rumah sendiri. Kecil saja, sederhana, nyaman, dan diselimuti oleh kehangatan kasih sayang Nabila dan Mas Nuga." Ucap Nabila.
Papanya terperangah mendengar tutur kata bahasa Nabila yang begitu lembut, jauh dari Nabila yang dulu. Hatinya juga menjadi ikut sedih tatkala tadi melihat Nabila sesikit meneteskan air matanya. Bahagia, anaknya lebih bagaia hidup miskin bersama suaminya. Kasih sayang, ya Frans tahu jika dia terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan dibandingkan dengan memberikan perhatian dan kasih sayangnya.
"Mama pasti akan mendoakan kamu sayang. Mama yakin, Nuga adalah suami yang baik untuk kamu." Ucap Sang Mama.
"Makasih Ma."
"Iya sayang, Mama juga doakan semoga nanti kamu cepet-cepet punya anak. Inget, kalian berdua enggak boleh terlalu capek, bisa menganggu produktifitas." pesan Mamanya.
"Ih Mama kayak dokter aja." canda Nabila.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." jawab semuanya.
Nabila langsung berdiri dan menyambut kepulangan Suaminya.
"Mas." Ucap Nabila, mencium punggung tangan suaminya.
"Wah ada Mama sama Papa." Ucap Nuga.
Ia langsung duduk dan menyalami kedua mertuanya itu dengan senyuman.
"Baru pulang ga?" tanya Mama
"Iya Ma." jawabnya.
"Nabila, ini Mas habis beli Martabak sama gorengan. Tolong di wadahin ya." Ucap Nuga menyodorkan kantong bawaannya.
"Oke, enggak beli Donat Mas?" tanya Nabila.
"Besok ya." jawab Nuga dengan senyuman.
"Oke." balas Nabila dengan senyumab pula.
"Papa sama Mama udah lama disini?"
"Lumayan." jawab Mama.
Nuga memperhatikan Papa mertuanya yang nampak enggan melihat maupun berbincang dengan dirinya. Ya, mungkin inilah tantangan bagi Nuga. Membuat Papa mertuanya menyukai dirinya.
.
.
.
Nabila dan Nuga mengantarkan kedua orantua itu keluar rumah kontrakan mereka.
"Makasih loh ga, kami berdua sudah dijamu dengan sangat baik." Ucap Mama.
"Harusnya kami berdua yang berterima kasih karena Mama dan Papa sudah berkenan mampir dikontrakan kami." balas Nuga.
"Papa duluan ya ke mobil." pamit sang Papa yang langsung berjalan kearah mobil.
Karena tingkah Papanya itu, suasana terasa menjadi tak enak. Nuga tahu permasalahannya dimana.
"Maaf ga ya, Papa orangnya emang gitu." Ucap Mama.
"Enggak apa-apa ma."
"Ya udah kalau gitu Mama sama Papa pulang ya. Assalamualaikum." pamit Mama.
"Wa'alaikumsalam." jawab keduanya.
Mereka melihat mobil yang ditumpangi Mama dan Papa mulai beegerak. Nuga merangkul bahu Nabila dan keduanya melambaikan tangan kearah mobil itu.
Cup!
Nuga mendaratkan ciumannya diubun-ubun Nabila yang membuat sang empunya terkejut.
"Mas Nuga apa-apa sih, ini tu diluar rumah. Gimana kalau ada yang lihat, kita kan warga baru dilingkungan ini. Jangan sampai orang-orang ___"
"Makasih ya." Ucap Nuga memotong cerocosan dari Nabila.
"Hm,makasih buat apa?" tanya Nabila heran.
"Buat semuanya. "
"Maksudnya?" tanya Nabila bingung.
Tak menjawab, hanya senyuman yang dilontarkan Nuga. Ia mengacak-ngacak puncak kepala Nabila.
"Aku beruntung dapat istri seperti kamu." puji Nuga.
"Salah, aku yang beruntung dapat suami kayak kamu Mas."
"Aku bila yang beruntung."
"Aku yang beruntung Mas."Ucap Nabila tak mau kalah.
"Ya udah, kita sama-sama beeuntung. Makasih buat semuanya. Sekarang, ayo kita masuk." ajak Nuga dan merangkul bahu Nabila.
Yap, dia mendengar semuanya. Semua yang Papa, Mama serta Nabila bicarakan. Ia tak mau jika Nabila mengetahui ini. Makanya ia tak bilang. Waktu Nabila menelponnya agar tak menjemput Nabila di Cafe, ia sudah setengah jalan menuju kearah Cafe.
Benar-benar pasangan yang saling melengkapi.
.
.

-------

๐Ÿ’žKamu pilihan Allah ๐Ÿ’ž
Part 23

Sudah dua bulan mereka berdua menepati kontarakan ini. Dan dua bulan pula mereka sedang menabung untuk pembuatan rumah nantinya.
Nuga sedang sibuk dengan laptopnya. Ia menerima beberapa pesan yang masuk dari E-mail. Namun tak sengaja, kursor pada laptop itu membuka sebuah E-mail yang belum sempat ia kirimkan ke seseorang.
'Ya Allah, ini pesan yang belum aku kirimkan ke Halimah.' batinnya.
Setelah membaca ulang isi dari pesan tersebut. Nuga dengan cepat mengirimnya. Jika Nabila tahu bahwa ia belum memberitahu Halimah, bisa jadi perang dingin akan terulang kembali. Bodohnya dirinya itu sampai lupa mengirimkan konsep yang ia simpan.
"Mas Nuga besok aku ikut ke pesantren ya." Ucap Nabila yang baru saja selesai mandi.
Ia terkejut mendengar suara Nabila, untung sekali pesan itu telah ia kirimkan.
"Mau ngapain?" tanya Nuga langsung menutup laptopnya.
"Nggak tahu kenapa aku pengen banget makan masakan Ummi. Kayaknya kangen deh." jawab Nabila.
"Kangen sama masakan Ummi?"tanya Nuga.
"Iya."
"Oke, besok kamu boleh ikut."
.
.
.
Teriknya sinar matahari beserta asap polusi yang menggebu-gebu sudah menjadi hal yang tabuh diperkotaan seperti ini. Apalagi sekarang sedang musim kemarau.
Nabila dan Nuga terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Lampu merah dan banyaknya kendaraan menjadi penyebabnya. Nuga bisa merasakan jika Nabila yang duduk di belakangnya itu sedang merasa gerah dan panas. Sesekali Nabila mengusap keringat yang membasahi wajahnya.
"Cuacanya panas banget ya." Ucap Nuga basa basi.
"Iya panas banget. Coba aja kalau naik mobil pasti enggak sepanas ini. Ada AC juga." respon Nabila.
Nuga tersenyum dengan ucapan Nabila. Keluhan dari Nabila membuat dirinya merasa tidak enak hati. Ya, istrinya itu biasa berpergian menggunakan mobil dan sekarang karena memilih hidup dengan dirinya Nabila kehilangan semuanya.
Nabila melihat mimik wajah suaminya itu dari kaca spion. Raut wajah Nuga berbeda dari sana. Ia sadar pasti itu karena ucapannya barusan. Harusnya ia bisa mengatur ucapannya tadi.
"Eh enggak deng. Naik motor juga enak kok Mas, meskipun panas-panas tapi kan kalau motornya berjalan sudah kena AC alami." Ucap Nabila kemudian.
"Enakan naik motor atau mobil?" tanya Nuga.
"Dua - duanya enak kok. " jawab Nabila.
"Ya tapi enakan yang mana. Motor atau mobil?"
"Kenapa nanya kayak gitu?" tanya Nabila.
"Ya enggak apa-apa." jawab Nuga.
"Udah lampu hijau tu. Ayo jalan." Ucap Nabila mengalihkan pembicaraan.
Nuga menyalakan motornya dan melanjutkan perjalanan mereka. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam.

Sampai mereka memasuki area pesantrenpun mereka hanya diam. Mau bicara apa juga mereka tak tahu. Mereka bukanlah pasangan yang romantis yang setiap harinya Nuga akan bersikap romantis kepada Nabila begitu pula sebaliknya. Mereka suka bercanda, saling menghibur, berantem, dan kadang saling cuek. Seperti angin laut yang tak tahu seperti apa arahnya.
Namun dibalik semua itu, Nuga selalu bersikeras untuk bersikap manis didepan Nabila. Ia hanya ingin Nabila bahagia. Namun sayang, ia tak tahu bagaimana mengekpresikannya. Beruntungnya dirinya karena Nabila adalah istri yang tak meminta hal lebih dari dirinya. Iya hanya bisa melakukan apa yang Nabila inginkan. Sesuatu yang baginya adalah hal sederhana namun Nabila menganggapnya adalah hal yang luar biasa.
"Akhirnya sampai juga." Ucap Nabila yang langsung turun dari motor Nuga.
"Nabila." panggil Nuga dari atas motor.
Nabila yang mendengar namanya dipanggil langsung menghentikan langkahnya. "Apa?" tanyanya sesikit sewot. Mungkin karena pertanyaan Nuga di lampu merah tadi.
Nabila tak suka jika ada perbandingan antara ini dan itu. Apa yang ia sukai cukup dia yang tahu. Seharusnya Nuga lebih peka jika Nabila lebih bahagia dengan dirinya meskipun naik motor panas-panasan. Seharusnya pertanyaan itu tak ia lontarkan dan tak usah membanding-bandingkan.
"Helmnya dilepas dulu." jawab Nuga.
Nabila melirik helm yang masih melekat diatas kepalanya. "Oh iya lupa." Ucapnya.
Sejujurnya selama ini, yang melepaskan helm nya itu bukan dirinya sendiri tapi Nuga. Padahal selama dua bulan terakhir Nabila selalu diantar jemput oleh Nuga. Namun ia masih tak bisa melepaskan helm sendiri.
Nuga melihat istrinya yang kesusahan itu turun dari motornya. Ia mendekat dengan senyumnya dan membantu melepaskan helm yang dikenakan oleh Nabila.
"Kalau enggak bisa ya bilang dong. Jangan diem aja." Ucap Nuga.
"Aku kan belajar gimana cara buka helm sendiri." bela Nabila.
Nuga menggeleng dan tersenyum. "marah ya?" tanya Nuga.
"Marah kenapa?" tanya balik Nabila.
"Sama ucapan aku di lampu merah tadi." jawab Nuga, kemudian melepaskan helm Nabila.
"Kamu kan tahu kalau aku enggak suka tentang perbandingan. Udah lah aku mau masuk aja. Enggak usah dipikiri." Ucap Nabila berjalan masuk kedalam rumah.
Nuga menatap helm yang ia pegang. Tanpa diketahui seseorang mengetuk helm yang ia kenakan.
"Helemnya dilepas dulu kalau masuk rumah." Ucap Nabila.
Ya, itu Nabila. Ia berbalik kearah Nuga saat melihat suaminya memegang dan menatap helm yang ia pakai tadi.
"Iya." jawab Nuga.
Nabila tersenyum dan masuk duluan kedalam rumah.
"Assalamualaikum." Ucapnya yang langsung masuk kedalam rumah itu.
"Wa'alaikumsalam." jawab Ummi yang langsung menghambur dalam pelukan Nabila.
Ia menciumi Nabila berkali-kali. Di pipi kanan dan kiri serta dahi Nabila. " mmm, kangen Ummi sama kamu." Ucap Ummi.
"Akhirnya selama dua bulan ngontrak, kamu datang juga kerumah ini lagi." sambungnya dengan bahagia.
"Iya mi. Maklum lah mi, Nabila sibuk sama urusan Cafe Nabila." jawab Nabila.
Ummi tersenyum. " Nuga mana?"
"Assalamualaikum. Ada apa Ummi?" Sahut Nuga yang baru masuk kedalam rumah.
"Wa'alaikumsalam." jawab Ummi.
"Sepi amat rumahnya. Abi mana?" tanya Nuga.
"Abi mu lagi ke Aula. Persiapan buat acara Maulid Nabi malam nanti." jawab Ummi.
"Hm, ya udah kalau gitu Nuga nyusul ya." Ucap Nuga.
"Baru juga sampai. Enggak duduk dulu sekalian Ummi buatin minum." tawar Ummi.
"Hmmmm, enggak deh mi. Ummu layani aja menantu Ummi, katanya dia kangen sama masakan Ummi." jawab Nuga melirik Nabila.
"Oh ya, semoga pertanda deh." Ucap Ummi.
"Pertanda apa mi?" tanya Nabila dan Nuga kompak.
Ummi tersenyum melihat anak menantunya itu kompak dalam bertanya.
"Pertanda kalau ada sesuatu diperut Nabila. Udah sana katanya mau ke Aula." Usir Ummi kepada Nuga.
"Oh iya lupa. Ya udah Nuga ke Aula dulu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Yuk sayang kita kedapur. Masak barengan." ajak Ummi.
"Ayuk mi."
.
.
.
Ctek ...
Ctek ...
Ctek ...
Suara irisan sayur kangkung terdengar di dapur ini. Ummi mengiris bawang dan cabai sembari menatap menantunya itu.
"Bil, kamu ada rasa mual enggak?" tanya Ummi.
"Enggak mi."
"Nuga, Nuga?" tanya Ummi lagi.
"Enggak."
"Rasa pusing atau lemes gitu?" tanya Ummi.
"Nabila enggak lagi sakit mi."
"Aduh Nabila, Ummi nanya bukan karena sakit kamu sakit. Tapi itu gejala orang yang lagi hamil." Ucap Ummi.
Nabila menghentikan gerakan tangannya. "Kok Ummi nanya kayak gitu?" tanya Nabila.
"Kamu kan kangen dan kepengen makan masakan Ummi. Biasanya orang kayak gitu kan orang lagi ngidam." Ucap Ummi.
"Nabila lagi halangan mi."
"Apa, lagi halangan?" tanya Ummi kaget.
"Iya."
"Hm, Ummi kira kamu lagi hamil dan ngidam masakan Ummi." Ucap Ummi dengan Nada kecewa.
"Tadi pagi Nabila sama Mas Nuga juga mikir gitu. Soalnya udah satu minggu telat datang bulan. Pas mau pakai tes pack, ternyata Nabila ..."
Ummi menggenggam tangan Nabila saat melihat wajah menantunya sedih.
"Enggak apa-apa sayang. Jangan sedih ya. " Ucap Ummi dengan senyuman.
"Maaf ya mi, Nabila belum bisa kasih cucu ke Ummi dan Abi." ucap Nabila.
"It's oke baby. Ummi juga pernah berada di posisi kamu." Ucap Ummi.
"Maksud Ummi?" tanya Nabila penasaran.
"Dulu, Ummi sama Abi juga lama dapet anak. Waktu menikah umur Ummi 18 tahun dan Abi umur 19 tahun." Ucap Ummi.
"Ummi sama Abi nikah muda?" tanya Nabila.
"Iya. Kita dijodohkan sama orang tua kita." jawab Ummi.
"Tapi, Walaupun dijodohkan. Abi kelihatannya sayang banget sama Ummi." ucap Nabila heran. Bukan tanpa alasan ia bertanya. Orang tuanya juga merupakan orang yang dijodohkan.
"Iya, Ummi beruntung bisa menikah dengan Abi. Dia penyang, baik, setia, pengertian. Pokoknya dia adalah laki-laki yang membuat Ummi jatuh cinta." Ucap Ummi.
"Sepertinya anak Ummi itu keturunan Abinya ya. Dia juga buat aku jatuh lagi." ucap Nabila.
"Oh ya?" tanya Ummi.
"Ya,kalau enggak cinta enggak mungkin aku mau hidup berdua dengan dia. " Ucap Nabila.
"Oh ya ngomong-ngomong gimana ceritanya yang awal tadi." tanya Nabila.
"Oh iya sampai lupa. Kita mulai lagi ya. Lima tahun kita telah menikah tapi, Ummi dan Abi masih belum diberikan anak sama Allah." Ucap Ummi.
"Berbagai cara Ummi dan Abi lakukan. Kita selalu berdoa, berikhtiar dan konsultasi kedokter. Tapi, masih sama. Ummi juga belum hamil. Waktu itu alhamdulillah Abi dan Ummi diberi kesempatan berangkat Umroh ke tanah suci. Di sana saat berada didekat ka'bah Ummi merasa tenang sekali. Ummi berdoa disana. ' Ya Allah, ditanah yang suci ini aku meminta rahmatmu, aku meminta karuniamu, aku meminta hidayahmu, aku meminta ampunanmu dan aku meminta,berikanlah aku dan suamikh seorang anak.' hanya itu doa yang Ummi lontarkan dalam hati. Dan setelah dua bulan telah berlalu. Doa Ummi di kabulkan. Dan anak itu Ummi beri nama Anugrah Nur Hasan. Anugrah, dia adalah sebuah anugrah yang Allah beri kepada Ummi dan Abi. Nur hasan, cahaya kebaikan. Anugerah Cahaya Kebaikan. " Ucap Ummi hampir meneteskan air mata.
"Fa bi'ayyi ฤlฤ'i rabbikumฤ tukaลผลผibฤn (Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?)"
Ummi mengenggam tangan Nabila.
"Nak, inti dari semua ini adalah sabar. Kesabaran adalah kuncinya. Mungkin ini adalah ujian yang Allah berikan untuk kamu dan Nuga. Menguji, seberapa kuat kalian menghadapinya." Ucap Ummi.
"Iya mi, tapi kadang Nabila merasa takut." Ucap Nabila.
"Takut kenapa sayang?" tanya Ummi.
"Takut kalau seandainya ada wanita lain dihati Mas Nuga. Dan takut jika Nabila tak kunjung hamil Mas Nuga akan mencari wanita lain dan Nabila ..."
"Shuuut." Ucap Ummi memotong ucapan Nuga.
"Jangan ngomong kayak gitu bil." Ucap Ummi.
"Ummi, Nabila tetep takut. Dalam islam poligami diperbolehkan. Itu yang Nabila takutkan mi. Nabila takut itu. Nabila tidak siap jika nanti ada wanita lain yang hadir di dalam rumah tangga Nabila." Ucap Nabila mulai khawatir.
Entahlah kekhawatiran itu mulai datang kembali. Ingatannya kembali kepada cerita Nuga malam itu.
"Poligami memang dibolehkan dalam islam. Tapi jika si laki-laki mampu berbuat adil. Kalau tidak, cukup satu saja." terang Ummi.
"Jangan takut sayang. Menikah itu ibadah, bukan hanya sekedar nafsu belaka. " ucap Ummi menenangkan.
"Duh, sampai lupa mau masak kan. Ayok cepet kita selesaikan. Nanti para laki-laki pulang dengan perut lapar makanan belum siap." Ucap Ummi penuh semangat.
Nabila menatap Ummi begitu dalam. "Ummi."
"Hmm, apa sayang." jawab Ummi tanpa melihat Nabila.
"Nabila boleh tanya sesuatu."
"Boleh, tanya aja."
"Nabila boleh tahu siapa Halimah?" tanya Nabila.
Ummi berhenti mengiris daun bawang itu. Ia menatap Menantunya.
"Dia salah satu santriwati Ummi. Dia itu gadis yang smart, baik, lugu, dan cantik lagi."
Nabila sedikit tersenyum. Mertunya itu saja sangat menyukai santriwatinya apalagi anaknya.
"Sekarang dia dimana?"
"Di kairo Mesir. Alhamdulillah cita-citanya untuk menjadi tahdizul qur'an tercapai. Terua dia dapat beasiswa disana. Sekarang sudah S2 lagi." Ucap Ummi.
"Oh ..."
"Ada potonya enggak mi?" tanya Nabila.
Rasa penasaraannya semakin menjadi. Ia ingin melihat poto dari wanita itu.
"Ada. Bentar, Ummi ambil Handphone Ummi dulu ya."
Nabila mengangguk. Ummi pergi kearah kamarnya dan kemudian tak butuh waktu lama Ummi keluar dari kamarnya membawa handphone.
"Nah ini potonya." Ummi memberikan ponselnya kepada Nabila.
Nabila melihat poto itu satu persatu. Ummi menunjukkan yang mana Halimah. Bisa Nabila lihat bahwa halimah ini sangat Ayu, cantik sekali orangnya. Perawakan dari potonya sangat pemalu dan pendiam. Berbeda jauh dengan diri Nabila.
Oh ayolah Nabila, kamu menikah dengan Nuga juga karena kesalah pahaman. Bagaimana jika wanita itu hadir didalam hidupnya. Apa yang akan ia lakukan. Menjadi dinding penghalang hubungan mereka. Atau merelakan Nuga bersama wanita itu. Oh tidak, Nuga adalah milik Nabila. Ia yang lebih berhak. Terserah jika ia dicap sebagai wanita egois.
"Oh bil, kamu tahu Halimah dari Nuga ya?" tanya Ummi.
"Hm'm."
"Nuga pasti cerita banyak ya soal Halimah."
"Ya ... Lumayan sih mi." jawab Nabila.
"Mereka itu suka banget berantem dulu ....."
Nabila mendegarkan Umminya bercerita. Walau sakit saat mendengarnya.
Di sisi lain. Nuga sedang dikejar-kejar oleh Al. Kedua laki-laki itu menjadi pusat perhatian para santri.
"Ya elah ga, terima aja napa. Rezeki kagak boleh di tolak kali." Ucap Al dari belakang Nuga.
"Enggak mau aku. Kamu aja yang simpen."
"Lah, diakan ngasih ini buat lo bukan buat gue."
Nuga mengentikan langkahnya begitu pula dengan Al.
"Aku lagi menjaga perasaan Nabila Al. Pahami dong. Kalau dia nanya, tasbih itu dari mana. Aku harua jawab apa?" Ucap Nuga.
"Ya bilang aja dari gue."
"Terus aku harus bohong sama istri aku sendiri demi hadiah dari halimah. Enggak Al." Ucap Nuga kemudian berjalan dengan kecepatan penuh, disusun oleh Al.
"Ya elah ni bocah susah amat yak. Nuga tunggu gue dong." teriaknya.
.
.
.
Bersambung ....
-------

๐Ÿ’ž Kamu pilihan Allah ๐Ÿ’ž
Part 24

Kita tidak tahu bagimana Allah mempertemukan jodoh kita. Aku memang telah memiliki pilihanku sendiri tapi Allah malah mengirimkan kamu dihidupku dan memilih kamu untuk menjadi istriku. Satu hal yang harus kita tahu adalah apa yang terbaik bagi kita belum tentu terbaik untuk Allah begitu pula sebaliknya'
~Kamu Pilihan Allah~

***
Malam ini Nabila tidur dirumah mertuanya. Setelah melaksakan shalat isya, ia menghadiri kajian pada malam Maulid Nabi di Aula pesantren ditemani oleh Ummi.
Suasana disini begitu ramai. Di sepanjang sisi para santri menghidupkan obor sebagai penerang jalanan. Tempat putra dan putri diberikan pembatas agar mereka tak saling curi pandang satu sama lain. Penjagaannya juga begitu ketat.
"Bila." suara Nuga terdengar di telinga Nabila.
"Mas. "
Nuga menatap Nabila dari atas sampai bawah. "Luar biasa cantiknya." puji Nuga.
"Siapa? Aku kah?" tanya Nabila mengetes.
"Ummi, malam ini luar biasa cantiknya." jawab Nuga menatap sang Ummi yang berdiri disamping Nabila.
"Hmmm, bisa aja kamu ga, ga." sahut Ummi.
"Jadi istrinya enggak cantik?" tanya Nabila mulai sewot.
"Cantik juga." jawab Nuga dengan senyum.
Nabila memasang wajah kecutnya tanpa melihat Nuga. Cemburu pada ibu mertua karena anaknya lebih memuji kecantikan ibu mertuanya. Konyol sekali dia. Memang sih, meskipun umur Ummi telah memasuki kepada lima tapi karisma kecantikannya tak pernah luntur.
"Ustadz Nuga." panggil seorang santri.
"Ya, ada apa?" sahut Nuga.
"Acaranya sebentar lagi mau dimulai. Susunana acara yang Ustadz pinta kemarin mana?" tanya Santri itu.
"Ini ada di tangan saya. "Ucapnya sembari memberikan kertas A4 itu.
"Makasih Ustadz. Permisi Ustadzah Fatimah, Ustadzah istrinya Ustadz Nuga. " Ucap santri itu.
"Namanya Nabila, ham." ucap Nuga memberitahukan nama Nabila.
"Oh, Ustadzah Nabila. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari semuanya." Ucapnya permisi.
"Iya, silahkan." Sahut Ummi.
"Kak Nabila." panggil Marwah yang tak tahu datang dari mana.
"Marwah, cantik banget. " puji Nabila melihat menampilan dari Marwah.
"Ya namanya cewek kak, pasti cantik. Kalau ganteng kan lucu. Hehehe." Canda Marwah.
"Ah kamu ni dek."
"Nah, anak gadis Ummi malam ini mau tampil hadroh bil." Ucap Ummi merangkul Marwah.
"Hadroh?" tanya Nabila bingung.

"Marawis, rebanahan." jelas Nuga sembari memperaktekkan gerakan dengan tangannya.
"Oh Rabanahan. Good luck ya sister." Ucap Nabila memberikan semangat.
"Pasti kak. Oh ya, Kak Nabila tahu enggak kalau Kak Nuga dulu jadi vokalis Hadroh santri cowok. "
"Oh ya?" tanya Nabila dengan senyum mengembang.
"Iya, suaranya kak Nuga ya kak, beh .... Bagus banget. Kadang aku suka iri kak suara pas ngajinya bagus terus nyanyinya juga bagus." Ucap Marwah penuh semangat.
Nabila menatap suaminya itu namun yang ditatapan malah seperti mau menghindari kontak mata dari sang istri.
"Mmmm " Ucap Nuga menoleh kiri dan kanana. "Kayaknya acaranya udah mau dimulai. Nuga mau naik keatas panggung dulu gabung sama yang lain ya mi. Kamu siap-siap wa. Awas aja enggak bagus." sambung Nuga.
"Oh iya ya, beres kalau soal itu. Yaudah Marwah mau kebelakang panggung dulu lah. Dah kak Nabila." Ucap Marwah.
"Dah." balas Nabila.
"Ummi sama Nabila gih cari tempat duduk sana. Nanti malah dapet tempat duduk dibelakang." Ujar Nuga.
"Lesehan juga kok ga. Ummi mah santai aja." jawab Ummi.
"Aku nurut sama Ummi aja Mas." Nabila mulai angkat bicara.
"Ya tapikan enak didepan. Biar kelihatan." Ucap Nuga.
"Biar kelihatan apa. Nabilanya?." goda Ummi.
"Eh enggak mi .... " elak Nuga. "Ya udah lah terserah mau duduk dimana. Nuga naik keatas panggung dulu."sambungnya dan langsung menjauh.
Kedua wanita itu tersenyum melihat Nuga yang salah tingkah karena ucapan Ummi.
"Suami kamu tu." ucap Ummi.
"Anak Ummi juga." balas Nabila dengan senyum.
Kedua wanita itu langsung bergabung duduk kedalam sekumpulan para santriwati.
Acara dimulai pada pukul delapan. Dibuka dengan beberapa sambutan dari pemilik dan pengurus pesantren. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan hadroh dari para santriwati. Pada acara inti, diisi dengan ceramah yang mengangkat tentang kisah perjalanan riwayat hidup Rasulullah SAW.
Acara Maulid Nabi ini selesai pada pukul 23. 38 malam. Ditutup dengan penampilan hadroh para santriwan dan sholawatan bersama.
"Gimana bil acaranya?" tanya Ummi saat mereka berada dijalanan.
"Alhamdulillah mi. Nabila suka sama acara maulid nabi disini. Apalagi tadi saat mendengar ceramah yang dibawakan Ustadz Zaenal. Nabila bener-bener merasa tersentuh dengan kisah Rasulullah. Perjuangan dakwah yang beliau lakukan, bagimana beliau mencintai umatnya. Saat mendengar itu, Nabila sangat ingin bertemu dengan Rasulullah di akhirat kelak nanti mi." Ucap Nabila dengan semangat.
"Setiap Ummat islam pasti sangat ingin bertemu dengan Rasulullah. Kita berdoa saja, semoga nanti bisa bertemu dengan panutan kita itu." Ucap Ummi.
"Aamiin."
Di sepanjang jalan Ummi dan Nabila selalu bercerita. Banyak hal menarik yang Nabila tanyakan ke Ummi seputar Rasulullah SAW.
"Ummi!!" panggil seseorang.
Sang empunya nama memberhentikan langkah kakinya dan melihat siapa yang yang memanggilnya.
"Nuga." Ucapnya.
Pria yang memanggilnya itu adalah anaknya. Nuga berlari kecil mendekat kearah Ummi dan Nabila.
"Nuga tadi nyari Ummi sama Nabila pas selesai acara tapi enggak ada." ucapnya.
"Memangnya kenapa nyariin. Kan dirumah bakal ketemu juga." jawab Ummi.
"Nuga mau ijin nyulik Nabila." Ucapnya menatap Nabila.
Kedua perempuan itu sedikit terkejut. Aneh, masa suami mau culik istri. Mungkin itu yang ada difikiran Ummi dan Nabila.
"Boleh ya." ucap Nuga.
"Boleh aja tapi mau dibawa kemana?" tanya Ummi.
"Ada deh. Urusan anak muda ini mi." jawab Nuga.
"Hm, kamu ini. Yaudah sana. Culik aja istrinya." Ucap Ummi.
"Ayok bil." ajak Nuga menarik tangan Nabila.
Sepanjang perjalanan Nabila hanya diam. Ia menuruti langkah Nuga karena pergelangan tangannya masih di genggam oleh Nuga. Entah dirinya akan dibawa kemana oleh Nuga dia hanya diam tak banyak tanya.
Sepanjang jalanan hanya ada penerangan obor. Nabila mengingat-ingat jalan yang mereka lewati. Jalanan ini sangat tak asing bagi Nabila. Ia sepertinya pernah melewati jalanan ini.
"Mas kita mau kemana?" tanyanya membuka suara.
"Mau kedanau." jawab Nuga.
"Malam-malam kedanau mau ngapain?" tanya Nabila.
"Ada sesuatu disana."
Nabila bergedik geri. Ada sesuatu disana. Apa maksud dari ucapan Nuga. Ia diam tak banyak bicara. Sesampainya didanau keadaan begitu gelap dan sepi. Suara jangkrik berpaduan dengan suara kodok seakan menjadi alunana musik malam ini.
"Kita sudah sampai." Ucap Nuga.
Nabila meneguk salivanya sendiri. Entah kenapa ia menjadi merinding sendiri.
"Mas, jangan nganeh-nganeh deh. Ini gelap banget. Sepi lagi. " ia melirik jam tangannya. "Udah jam 12 malam mas ini." sambung Nabila.
"Kamu kenapa. Takut?" tanya Nuga swperti mengejek.
"Engg ... Enggak kok." Jawab Nabila.
"Ya udah kalau gitu kita jalan keatas pondok itu." ajak Nuga menarik tangan Nabila kembali namun Nabila malah menahan tarikan tangan Nuga.
"Enggak mau. Nanti kalau ada buaya gimana?" tanya Nabila.
"Enggak ada bila."
"Pasti ada. Tadi katanya ada sesuatu didanau." Nabila ngotot tidak mau pergi ke pondok kecil yang ada didekat danau.
"Enggak ada sayang."
Jantung Nabila terpompa cepat saat mendengar Nuga berucap demikian. Matanya sedikit melotot juga. Cuma dipanggil sayang gitu aja udah buat hatinya dag dig dug dengan kekuatan turbo.
"Ayo." ajak Nug kembali.
"Enggak mau Mas. Aku mau pulang ajalah." Ucap Nabila berbalik. Namun tanpa ia duga tubuhnya serasa melayang diudara lantaran Nuga mengendongnya ala bridal style.
"Aaaa. Enggak mau enggak mau." Ucap Nabila memberonta.
Fikirannya sekarang melayang kemana-mana. Masa iya suaminya tega mau ngasih dia ke buaya yang ada di danau. Terus nanti, Nuga sama Si Halimah. Apa ini akhir dari hidupnya.
Nabila merasakan tubuhnya diturunkan oleh Nuga. Namun saat turun Nabila memeluk erat tubuh Nuga. Ia meracau sembari menangis karena takut. Takut dengan buaya dan takut dengan tempat ini karena gelap.

"It's oke Nabila, buka mata kamu sekarang." pinta Nuga.
"Enggak mau. Kamu tega Mas mau ngasih aku untuk makan buaya. Terus kalau aku mati nanti kamu mau cari perempuan lain kan. Emangnya kamu enggak cinta sama aku. Udah 10 bulan 26 hari kita tinggal bareng. Mau suka maupun duka dilewati bareng-bareng. Tapi apa sekarang katanya sayang tapi malah gini." racaunya yang masih dalam dekapan Nuga.
"Kamu ngomong apa sih?" tanya Nuga heran. Ia bingung Nabila sedang melanturkan ucapan apa.
"Udah ah aku mau pulang." Ucapnya mendorong tubuh Nuga menjauh.
Saat ingin keluar dari pondok kecil itu. Nabila di kejutkan oleh sesuatu yang membuatnya takjub tak percaya.
Suasana yang awalnya gelap itu berubah menjadi terang. Disetiap sudut pondok kecil itu diterangi oleh lampu yang berkelap-kelip. Saat dirinya masih terkejut dengan semua ini, Nuga memeluknya dari belakang dan membisikan sesuatu ditelinga Nabila.
"Ana Uhibbuki fillah. "
Jujur Nabila tidak tahu apa arti dari ucapan Nuga. Yang jelas, suara Nuga begitu lembut dan teduh dan hal itu membuat Nabila senam jantung.
"Sesuatu yang kamu sebut itu ini?" tanya Nabila.
"Hm."
"Bukannya ada buaya di danau?" tanya Nabila.
"Ya bukanlah. Kamu aneh-aneh aja. Masa ada buaya didanau yang airnya begitu jernih dan bening." jawab Nuga.
Nabila melepaskan lingkaran tangan yang melingkar di perutnya. Ia berbalik menghadap sang suami yang sudah memasang wajah senyumnya. Berharap sang istri akan tersipu bahagia.
Nabila memasang wajah sinisnya kemudian yang terjadi malah tak sesuai yang diharapkan Nuga.
"Mas Nuga ini. Aku tadi udah nangis gara-gara ulah Mas Nuga. Aku tu takut gelap tahu, terus mana bilang ada sesuatu didanau. Ku kira ada buaya. Terus tadi malah maksa aku pake nganggkat ala ala penganten baru gitu. Aku kan ngira yang enggak-enggak. Terus kalau aku diceburin di danau dimakan buaya kamu bisa bangun cinta kamu lagi sama halimah dan ..."
"Tunggu, tunggu. Halimah?" Ucap Nuga memotong pembicaraan istrinya.
"Iya, Halimah yang ..."
"Apa hubungannya sama dia sih bil?" tanya Nuga.
Nabila diam saat ditanya Nuga. Iya iya, jika difikir-fikir apa hubungannya dengan halimah. Ah, mungkin ini karena bawaan cewek PMS atau enggak karena teringat cerita kedekatan Nuga dan Halimah dari mulut Ummi.
"Kenapa diem?" tanya Nuga.
Nabila menggeleng." enggak." jawabnya.
Nuga menjauh dari hadapan Nabila. Ia berdiri menghadap kearah danau yang gelap itu.
"Nabila. Aku sudah susah payah buatin ini untuk kamu. Tapi kamu malah menuduh suami kamu yang bukan-bukan." Ucap Nuga sedih.
Nabila mendekat kearah suaminya. "Ya maaf, kan kiraain." ucapnya.
"Bil, meskipun Halimah adalah wanita pertama yang aku suka. Tapi dia bukan orang pertama yang aku cinta. Dan dia juga bukan orang terakhir yang aku cinta." Ucap Nuga.
Nabila diam mendengarkan Nuga berbicara. Rasa bersalah menyelimuti hati, fikiran dan seluruh anggota badannya.
"Dengerin ucapan aku ini bil. Kita tidak tahu bagimana Allah mempertemukan jodoh kita. Aku memang telah memiliki pilihanku sendiri tapi Allah malah mengirimkan kamu dihidupku dan memilih kamu untuk menjadi istriku. Satu hal yang harus kita tahu adalah apa yang terbaik bagi kita belum tentu terbaik untuk Allah begitu pula sebaliknya. Pilihan Allah tak pernah salah Nabila." Ucap Nuga yang sekarang matanya menatap kearah Nabila.
"Kamu ingat sorban yang ini?" tanya Nuga memegang sorban yang mengalung dilehernya.
"Ya, tentu saja. Itu adalah sorban yang menutupi robekan baju aku waktu itu. " jawab Nabila.
Nuga tersenyum mendengar jawaban Nabila. Ia mengambil tangan Nabila yang bertengger diatas kayu pembatas penahan dinding pondok kecil itu.
"Dulu kita menikah karena kesalah pahaman. Menikah karena terpaksa, menikah tanpa ada rasa saling suka dan cinta, menikah tanpa ada baju pengantin yang melekat pada tubuh kita, mas kawin yang aku kasih cuma bacaan surah An-nas."
"Ya terus?" tanya Nabila. "Aku juga enggak mempermasalahkan itu lagi." lanjutnya.
"Iya, aku tahu."
Tangan kanan Nuga mengambil sesuatu yang ada disaku celananya sedangkan tangan kirinya masih setia memegang tangan Nabila. Dari saku celana itu keluar sebuah kotak kecil berwarna merah.
"Itu apa Mas?" tanya Nabila.
Tidak menjawab. Tangan kiri Nuga yang semula memegang tangan Nabila sekarang ikut membantu membukakan kotak tersebut.
Saat mata Nabila melihat apa isinya. Ia tercengang, tak bisa menutup mulutnya karena terpesona dengan isi dari kotak tersebut.
"Aku mau melamar kamu malam ini. Dengan cincin yang aku beli dari hasil tabunganku selama ini. Sebenarnya sih udah lama mau ngasih kamu cincin ini. Tapi, kita berduakan sama-sama sibuk terus enggak ada moment yang pas juga." Ucap Nuga.
Nabila tak mampu mengekuarkan satu kata bahkan satu huruf abjad saja tak ia keluarkan dari mulutnya. Matanya mulai berkaca-kaca karena kata-kata dari Nuga.
"Bersedia aku lamar dan akan selalu menjadi pendampingku didunia maupun diakhirat?" tanya Nuga.
Nabila mengangguk dengan senyum haru bahagianya.
"Aku pasang cincinnya ya." ucap Nuga.
"Ya."
Nabila menatap cincin yang telah melingkar ditangannya, senyumnya mengembang tak henti-hentinya menatap cincin itu. Cincin yang sebelumnya Nuga simpan didalam kotak merah itu. Ia akan mengembalikannya kepada Ummi.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Nuga.
"Lucu aja. Orang dilamar sebelum menikah sedangkan aku dilamar setelah menikah." jawab Nabila.
"Kan cerita cinta kita beda." Ucap Nuga.
"Kamu cinta aku?" tanya Nabila.
"Enggak mungkin perjalanan kita bisa sejauh ini kalau aku tidak cinta sama kamu." jawab Nuga.
"Mmmm. Kalau seandainya aku ngebolehin kamu poligami gimana, apa kamu mau melakukannya?" tanya Nabila sembari memutar-mutar cincin yang ada di jarinya.
"Kamu ngomong apa sih bil. Ini moment yang bagus buat kita tapi kamu malah bahas yang kayak gitu." Ucap Nuga.
"Aku kan cuma nanya. Pengen tahu aja," ucap Nabila.
Nabila menggigit bibir bawahnya. Sedikit ragu dengan kalimat yang akan keluar dari mulutnya. Ia melirik wajah Nuga dari bawah.
"Aku cuma takut kalau suatu saat nanti kamu pergi dari hidup aku. Hanya itu mas. enggak lebih." Ucap Nabila takut-takut.
"Kamu takut kehilangan aku?"
"Ya."
"Aku enggak akan pernah meninggalkan kamu Nabila. Apalagi demi wanita lain. Aku akan pergi jika Allah telah mengambil nyawaku dari jasad ini. Dan aku berharap semoga saja dikehidupan selanjutnya kita bisa dipertemukan kembali." Ucap Nuga.
.
.
.
Bersambung ....

-------

๐Ÿ’ž Kamu pilihan Allah ๐Ÿ’ž
Part 25

***
Jari itu tak henti-hentinya memainkan cincin yang melingkar manis dijari manisnya. Bibir itu melengkung menggambarkan senyum indah saat otaknya mengingat memori pada malam qijhh Nabi itu.
"Hallo tante Nabila. Assalamualaikum." Nabila tersenyum melihat siapa yang masuk kedalam ruangannya.
"Wa'alaikumsalam, uwah kedatengan tamu ni." ia bediri dari duduknya dan menghampiri sang tamu.
"Hallo sayang. Ya ampun gemes banget. Tambah endut aja si Herman ka. Ikut tante yuk." ajak Nabila yang mengambil Herman anak Eriska dari gendongan.
"Kok nggak bilang-bilang mau kesini?" tanya Nabila.
"Mau buat surprise aja. " Ucap Eriska sembari berjalan ke sofa yang berada didalam ruangannya.
"Eh beb gimana, udah ngisi belum?" tanya Eriska.
Nabila tersenyum memandangi sahabatnya itu, "Belum." jawabnya dengan gelengan kepala.
"Lama juga ya. Padahal kalian menikah udah mau jalan satu tahun kan. Si mantan aja udah punya anaknya . Masa elo belom." sindir Eriska.
"Oh ya, cewek apa cowok anaknya?" tanya Nabila.
"Cowok."
"Lo tahu dari mana?" tanya Nabila.
"Ya dari postingannya di Instagram lah bebs." jawab Eriska.
"Kiraain gue lo dateng kerumahnya." Ucap Nabila.
"Hmhmhm, gue aja enggak tahu rumahnya dimana. Si syella kan sombong sama gue."
Ya, begini ketika para wanita sudah saling bertemu. Bergosip tentang ini dan itu.
"Eh bil, gimana kalau lo sama suami lo ikutan program hamil aja. " saran Eriska.
"Program hamil?" Eriska mengangguk.
"Mmm, kayaknya enggak dulu deh." jawab Nabila.
"Loh kenapa, ini program yang bagus loh. Pemecahan buat para ibu-ibu yang susah hamil." Ucap Eriska menjelaskan.
"Untuk saat ini kayaknya enggak dulu ka. Kita masih usaha berdua dulu. Kalau seandainya satu tahun kedepan belum berhasil juga, ya mungkin kita bakal ikutan program itu." Ucap Nabila.
"Lama banget itu bil."
"Gue sama suami mau bersabar aja dulu untuk sekarang," ucapnya.
"Ya udah deh kalau itu keputusan kalian. Oh ya, laper ni. Makan siang yuk." ajak Eriska.
"Makan disini aja. Kebetulan gue ada menu baru di Cafe, buat elo, gua kasih free." Ucap Nabila.
"Wah, dek. Kita dapat makanan gratis ni. Nyam-nyam."

***
Nuga sedang mengenakan helm yang terletak di motornya tadi. Terlihat beberapa santri sudah pulang sekolah. Ada yang ke Asrama ada juga yang pulang kerumah karena jarak yang begitu dekat.
Hari ini, ia tak menjemput Nabila dulu dan langsung pulang keeumahnya dulu. Ini permintaan dari Nabila karena ia ada urusan dengan klain yang akan menyewa cafenya untuk acara ulang tahun.
Saat tiba didepan kontrakan, ia kaget melihat banyak sekali gerdus-gerdus berisi peralatan rumah tangga. Seperti Kulkas, mesin cuci, kipas angin, dan kursi.
"Mm, maaf pak. Ini barang-barang siapa ya? Kenapa ada dikontrakan saya." tanya Nuga kepada salah satu kurir.
"Oh, ini Mas. Semua barang yang diantar ini atas nama Nabila Nisa aprilya." jawab kurir tersebut.
'Nabila?' batinnya.
"Bapak tahu kontrakan ini dari mana?" tanya Nuga.
"Kan ada nama alamat pembeli Mas." jawab kurir itu.
Sang kurir mengeluarkan kertas Nota dan menunjukkan ke Nuga. Disana tertera nama Nabila, Nabila istrinya.
"Pas kita dateng kesini, pintunya ditutup. Kata tetangganya Mas, tunggu aja bentar lagi pulang. Makanya kita nunggu disini. Jadi barang-barangnya mau dibawa masuk enggak ni?" tanya Kurir tersebut.
"Ya udah masukin aja dulu ke kontrakan."

***
Tok ... Tok ... Tok ...
"Assalamualaikum."
Nuga yang sedang memasak didapur segera meninggalkan pekerjaannya. Ia berjalan membukakan pintu.
"Wa'alaikumsalam." balasnya.
Nuga mengulurkan tangannya dan Nabila yang berada diluar pintu meraih tangannya.
"Kok enggak nelpon minta jemput sih?" tanya Nuga.
"Tadi abis ketemu klean aku ke pasar dulu." jawab Nabila sembari menunjukkan barang bawaannya.
"Oh, ya udah sini aku bawain." tawar Nuga.
Nabila masuk kedalam kontrakkan,"Mas Nuga masak ya?" tanya Nabila. Langkah kaki nya terhenti saat melihat kursi yang terpasang diruang depan kontrakan mereka.
Ia membalikkan badannya menghadap Nuga, "Mas Nuga beli kursi ya?" tanya Nabila.
"Loh, kok kamu nanya kayak gitu. Mas kira kamu yang beli kursi ini." Ucap Nuga.
"Enggak kok." jawab Nabila yang langsung berjalan kedapur.
Saat sampai didapur, ia kaget melihat kulkas dan mesin cuci yang tersusun rapi.
"loh, ini. kok?" Ucapnya keheranan.
Nuga meletakkan sayuran yang dibawanya tadi ke meja kecil.
"Jadi, ini semua bukan kamu yang beli?" tanya Nuga saat melihat ekspresi Nabila seperti itu.
"Ya bukanlah Mas. Eh bentar deh, nanti orang salah kirim barang. Aku enggak beli ini semua kok."
"Tapi tadi kurirnya bilang, semua barang ini atas nama kamu dan pas Aku lihat, ya memang bener-bener nama kamu serta alamatnya memang menuju ke kontrakan kita." jelas Nuga.
Nabila heran, siapa yang mengirimkan barang-barang ini. Nuga mendekati Nabila dan merangkul pundaknya.
"Udah, nanti kita cari tahu siapa orangnya. Sekarang, kamu bersih-bersih terus kita makan bareng y. Aku udah masakin kamu oseng tempe." Ucap Nuga.
Nabila tersenyum kearah Nuga meski hati dan otaknya masih memikirkan sesuatu. Ia menuruti perkataan Nuga. Sementara itu, Nuga terlihat masih kebingungan siapa yang mengirimkan barang-barang ini.
Keduanya menyantap makan malam di atas kursi yang baru datang tadi. Sekarang mereka tidak duduk dilantai lagi. Nabila masih memikirkan siapa orang yang memberikan ini semua. Sepintas nama Papanya terlintas difikirannya. Namun, ia tepis. Mana mungkin Papanya membelikan ini semua. Sejak kapan Papanya perduli dengannya.
Drett ..
Suara decitan kursi bergeser itu membuat Nuga melihat Nabila yang berdiri dari duduknya. Istrinya itu berjalan menuju kearah kamar mereka.
"Mau ngapain bil?" tanya Nuga.
"Mau nelpon Mama!!" serunya.
Selang beberapa detik Nabila keluar membawa Ponselnya. Terdengar suara nada sambung dari sana. Ia menspeaker suaranya.
"Kita telpon Mama terus tanya." Ucap Nabila kepada Nuga.
'Hallo bil. Kenapa?' terdengar suara dari sebrang sana.
'Assalamualikum Ma.'
'Wa'alaikumsalam'
'Ma, ma Nabila mau tanya. Mama ada beli kursi, kulkas, mesin cuci sama perabotan rumah tangga untuk Nabila enggak?'
'Oh, itu. Barangnya udah nyampe?'
'Ya udah sih Ma. Mama yang beli buat Nabila ya?'
'Bukan Mama yang beli. Tapi Papa kamu yang beliin.'
Nabila menatap Nuga begitupun sebaliknya. Keduanya sama-sama menampangkan wajah kagetnya.
'Papa ma?'
'Iya, Papa. Katanya sih buat hadiah pernikahan kalian '
Nabila benar-benar aneh dengan sikap Papanya. Entahlah, sekarang otaknya memikirkan dua pertanyaan. Pertama, apakah Papanya memang memberikan semua ini untuk kado peenikahannya atau Papanya hanya ingin mempermalukan suaminya karena tak bisa membelikan semua itu.
'M, sekarang Papa ada dirumah enggak?'
'Papa kamu kan sibuk. Mana ada dia menetap dirumah bil.'
'Papa lagi diluar kota ya ma?'
'Iya, tadi pagi berangkat. Paling besok dia baru pulang.'
'Oh, gitu. Ya udah deh ma. Besok Nabila sama Mas Nuga kerumah Mama ya.'
'Serius bil?'
'Iya Ma, serius. Paling sekitar jam setengah tigaan kita kesana.'
'Oke deh kalau gitu. Mama tunggu kamu besok dirumah ya.'
'Hm, Iya ma. Ya udah. Aku mau lanjut makan dulu ya. Assalamuakaikum.'
'Wa'alaikumsalam.'
"Jadi, ini semua dari Papa." Ucap Nuga.
"Iya, tapi besok aku akan balikin ini semua." sahut Nabila.
"Loh kenapa? Ini kan hadiah dari Papa kamu bil."
"Aku enggak mau terima Mas. Gimana kalau semua hadiah ini hanya untuk merendahkan kamu. Hubungan kamu sama Papa kan kurang baik." Ucap Nabila sedikit emosi.
"Nabila, jangan Shoudzon dulu."
"Aku enggak sho'udzon Mas Nuga. Kalau itu kebukti gimana. Papa tu ya. Pokoknya besok kita kerumah. Minta kejelasan sama Papa. Papa enggak boleh kayak gini. Aku tahu sifat Papa Mas."
Nuga diam mendengarkan semua perkataan yang keluar dari bibir manis Nabila. Mulutnya ia sumpal dengan Nasi sembari mendengar ocehan Nabila ke Papanya. Mau dibilangain juga. Nabila tetaplah Nabila. Taktik Nuga kepada istrinya adalah memeberikan nasihat saat emosi Nabila mulai sedikit reda. Dan cara itu selalu berhasil.
.
.
.
Bersambung ....