Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّÙ‡ُ yang Kaffah.

💞 Kamu pilihan Allah 💞 16 - 20

 Kamu Pilihan Allah by Resi Oktariani
💞My Wedding 💞
Part 16

Nabila memandangi setengah bagian dari kasurnya yang kosong, tak ada siapapun. Ya, siapa yang dia harapkan selain Nuga. Terkadang ia berfikir apa tindakan yang ia lakukan sekarang ini salah.
Tak berbeda jauh dengan dirinya. Nuga pun merasakannya. Pria itu ketika sebelum tidur selalu memandangi bagian setengah kasurnya yang kosong. Meraba dan mengelus bagian yang kosong itu.
Rindu ...
Mungkin saat ini mereka sedang merasakannnya.
Satu minggu telah berlalu. Mereka berdua hanya berkomunikasi melewati Ponsel. Hanya mendengar suara dan bertatap muka namun tak dapat menyentuh orang yang sangat dicintai.

.
.
.
Pagi ini Nabila dan Mamanya sedang menyantap sarapan pagi mereka. Suasana terasa hangat walaupun tak ada sosok Ayah dan sosok suami bersama mereka.
"Mama mau pergi?"
"Iya. Rencananya Mama hari ini mau mengajukan surat pengunduran diri." jawab Mama.
"Mama mau mengundurkan diri?" tanya Nabila.
"Iya."
"Kenapa?" tanya Nabila.
"Ya, Mama rasa mama sudah cukup tua. Dan butuh waktu istirahat bil." jawab Mama.
"Nanti di rumah Mama sendirian. Enggak enak loh ma sendirian di rumah." Ucap Nabila.
"Haha, kamu ini. Di rumah kan banyak pelayan. Jadi enggak bakal sepi. Kamu juga nanti sekali-kali main ke sini juga. Buat anak yang banyak, biar rumah yang gede ini jadi ramai." Ucap Mama.
Nabila hanya tersenyum sumbang saat Mamanya mengucapkan kalimat itu.
"Bil, kok melamun?" tanya Mamanya saat melihat Nabila melamun.
"Hmm. Enggak kok Ma." jawabnya.
"Ya udah kalau begitu. Mama mau ke kantor dulu ya." Ucap Mama.
"Lama?"
"Sebentar kok. Kenapa? Kamu mau sesuatu atau hari ini enggak mau ke Cafe dulu?" jawab dan tanya Mama.
"Iya. Lagi males kemana-mana ma, cuma mau deket dan cerita sama Mama aja." Ucap Nabila.
"Ya udah. Nanti Mama pulang cepet dan kita bakal cerita ya." Nabila mengangguk.
"Mama pergi ya sayang. Cup, bye."
"Bye Ma."
.
.
.
"Any questions from material that I have explained?" tanya Nuga kepada muridnya.
(Ada pertanyaan dari materi yang sudah saya berikan?)
"No Ustadz," jawab para santri saling sahut menyahut.
"Oke, if there are no question. Now I will give you assignments. Make an example of Analitical Exposition. Free theme." Ucap Nuga.
(Oke, kalau tidak ada pertanyaan. Sekarang saya akan memberikan tugas kepada kalian. Buat satu contoh tentang Analitical Exposition. Tema bebas.)
Setelah mengucapkan perintahnya. Semua santri yang ada di kelas itu langsung mengerjakan tugas yang di berikan oleh Nuga.
Selagi menunggu para murid menyelesaikan tugas yang ia berikan. Ia memainkan ponselnya. Melihat berita terupdate pada hari ini melalui sebuah Aplikasi.
Tug!
Notifikasi dari Whatsapp.
[Lagi ngajar Mas?]
[Iya, kenapa?]
[Enggak apa-apa. Udah sarapan belum tadi pagi?]
[Udah. Kamu?]
[Udah.]
Nuga melihat arlogi yang ada di pergelangan tangannya.
"Anak-anak, lima menit lagi pergantian pelajaran. Ustadz keluar duluan ya dari kelas ada urusan. Tugasnya di kumpul di pertemuan berikutnya. Presentasikan hasil yang kalian buat itu ya." Ucap Nuga sembari membereskan perlengkapannya.
"Baik Ustadz."
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Nuga keluar dari kelas itu. Dua jam kedepan ia tak masuk kelas manapun karena jadwal kosong. Dengan cepat ia melakukan vidio call dengan Nabila.
"Hai bil. Assalamualaikum."
[Wa'alaikumsalam Mas Nuga. Loh kok ada di luar ruangan. Katanya tadi lagi ngajar]
"Itu kan tadi bukan sekarang. Kamu lagi di dalam kamar?"
[Iya.]
"Enggak ke Cafe?"
[Enggak, lagi males.]
"Yah, sayang banget."
[Kenapa?]
"Aku tadi ngirimin kamu sesuatu ke Cafe."
[Yah, kok enggak bilang sih. Udah lama ngirimnya]
"Iya ni. Sekitar jam setengah tujuh tadi."
[Aduh, harusnya kamu ngomong dong Mas. Udah ah aku mau ke Cafe dulu.]
"Mau ngapain" Nuga tersenyum-senyum sendiri.
[Mau lihat barang yang kamu kirim.]
"Udah enggak usah."
[Kenapa enggak usah.]
"Karena ... Tadi ... Aku ... Bohong. Hahaha"
[Ck, nyebelin banget sih. Suka banget deh bohong]
"Ya udah deh. Aku minta Maaf ya."
[Hm, oke. Enggak apa-apa.]
"Oh iya, besok aku jemput kamu ya."
[Eh, enggak usah Mas. Belum dua minggu juga.]
"Tapi lama banget, aku enggak tahan. "
[Ih, enggak tahan kenapa hayo?]
"Enggak tahan kalau jauh-jauh dari kamu."
[Hm .. Hm .. Hm ..]
"Loh, kok ketawa?"
[Enggak ada. Sabar ya, satu minggu lagi kok. Mama masih mau aku nginep di sini. ]
"Mama yang masih mau nyuruh kamu nginep atau karena kejadian waktu itu kamu jadi mengulur waktu untuk pulang."
Nuga melihat Nabila membuang wajahnya dari monitor ponsel. Wanita itu menarik nafas berat.
"Aku minta maaf ya bil jika itu yang jadi masalah. Aku lagi nyari cara agar Halimah enggak sakit hati dengan pesan yang nantinya akan aku kirim."
[Aku enggak marah sama kamu Mas. Jadi enggak usah minta maaf sama aku, aku seneng kalau kamu udah ngambil keputusan itu.]
Mereka berdua saling pandang satu sama lain.
[Mmm, udah dulu ya. Kayaknya Mama udah pulang deh. Assalamualaikum]
"Wa'alaikumsalam, titip salam buat Mama."
[Iya.]
Vidiocall yang mereka lakukanpun terputus. Nuga memandangi jalanan yang sepi di hadapannya. Ia teringat akan ucapan Ustadz hanafi kemarin.
Kemarin ia tak sengaja mampir ke kandang kuda milik keluarga ustadz Hanafi. Di sana ia menjenguk kuda yang pernah di naiki oleh Nabila dan dirinya. Di elusnya kepada dan leher kuda itu.
"Ente lagi ngapain ga sendirian di mari?"
Suara Ustadz Hanafi itu membuat Nuga menoleh kearah dirinya.
"Eh, ada Ustadz. Assalamualaikum tadz." Ucapnya bersalaman dengan Ustadz hanafi.
"Wa'alaikumsalam." jawab Ustadz Hanafi.
"Ente kenape ga. Lagi galau?" tanya Ustadz Hanafi.
"Ah Ustadz. Enggak kok."
"Terus ngapain ke mari. Ngelamun lagi."
"Ya enggak ada tadz. Mau lihat kuda-kuda aja." jawab Nuga.
Hening ...
"Tadz, saya mau tanya boleh."
"Boleh, emang mau nanya apa?"
"Semisal ni tadz ya. Ada seorang laki-laki. Dia menikah dengan perempuan yang sama sekali enggak dia kenal. Awalnya ia tak suka namun, seiring berjalannya waktu. Laki-laki itu mulai mencintai istrinya. Dan ini juga berlaku untuk istrinya." Ucap Nuga.
"Hm, terus?"
"Terus, ada suatu kejadian. Istri dari laki-laki itu tahu kalau suaminya memiliki janji kepada wanita lain. Wanita yang pernah mengisi ruang di hati suaminya. Wanita lain itu belum tahu kalau seandainya pria yang ia cintai dulu telah menikah. Dan wanita itu masih berharap dan selalu berharap kepada pria yang ia cintai itu."
Ustadz Hanafi mendengarkan cerita Nuga dengan seksama. Seperti ada yang mengganjal dari cerita Nuga.
"Dan selanjutnya?"
"Istri dari pria itu meminta agar suaminya jujur. Tapi, suaminya ragu. Ia tak mau membuat hati dari wanita lain itu sakit. "
"Dan membiarkan istrinya yang merasakan sakit hati?" tanya Ustadz Hanafi.
Nuga hanya diam. Ucapan Ustadz Nuga sama seperti ucapan yang pernah Nabila lontarkan.
"Nuga, saran ane. Pilihlah orang yang seharusnya ente pilih. Bedakan mana hati yang benar-benar harus di jaga dan mana yang bukan."
Nuga menatap Ustadz Hanafi tanpa berkedib.
"Ini masalah yang sedang menimpa keluarga ente kan?"
"Hm." ucapnya mengangguk. "Ustadz tahu dari mana?" tanya Nuga.
"Entekan dulu pernah cerita sama ane kalau ente dulu suka sama Halimah. Dan bakal Nungguin dia."
Nuga meneguk salivanya. Bagaimana ia bisa lupa jika dulu ia pernah bercerita kalau ia pernah menyukai Halimah.
"Ente kagak bilang ke Halimah kalau ente sudah menikah?" Nuga menggeleng.
"Kenapa?" tanya Ustadz Nuga.
"Saya takut kalau dia kecewa, marah dan merasa sakit hati sama saya Ustadz." jawab Nuga.
"Halimah bukan wanita yang seperti itu Nuga. Ane tahu betul karena dia keponakan Ane. Dia pasti akan menerima semua ini dengan lapang dada." ujar Ustadz Hanafi.
Ustadz Nuga memegang pundak Nuga. "Lakukan yang menurut ente bener ga."
Tret .... Tret ... Tret ...
Suara bel pergantian pelajaran berbunyi. Nuga tersadar pada dunianya yang sekarang. Perlahan ia membereskan barang bawaannya.
Nuga berdiri dari rempat ia duduk dan sesikit merapikan bajunya.
'Malam ini, aku akan mengirimkan E-mail untuk Halimah.' batinnya.
.
.
.
Nabila turun dari kamarnya menuju lantai bawah. Suara mobil sang Mama membuatnya harus memutuskan Vidiocall dengan Nuga. Sebenarnya bukan hanya itu saja tapi, Nabila malas jika harus membahas tentang masalah wanita yang pernah Nuga cintai.
Saat menuju ruang tamu Nabila memelankan langkah kakinya. Sayup-sayup ia mendengar sang Mama tengah berbincang dengan seseorang. Ini suara seorang pria. Tunggu, seorang pria. Apa Mamanya telah bermain belakang. Tapi tunggu, suara ini Nabila kenal. Bahkan sangat mengenal suara ini.
"Eh ayu tunggu." ucapnya memberhentikan pelayan rumahnya yang melintas.
"Iya Nyonya Muda. Ada apa?"
"Mama lagi sama siapa?" tanya Nabila.
"Sama itu, mantan tunangan Nyonya muda kemarin." jawab Ayu.
Nabila memutar bola matanya malas. "Rio, ngapain sih tu orang kesini?" cicitnya.
"Maaf Nyonya muda. Saya mau permisi ke dapur."
"Ngapain?" tanya Nabila.
"Ya buatin minum buat tamunya Nyonya besar." jawab Ayu.
"Ck kamu tu. Buatin minumnya enggak usah yang enak-enak. Pahit-pahit aja. Kalau bisa buat dianya sakit perut."
"Ah mana berani saya kayak gitu. Bisa di pecat langsung saya nya nanti."
"Heheh, iya juga sih."
"Non Nabila." panggil seorang pelayan satunya lagi.
"Iya, kenapa mbok?"
"Di panggil ibu keruang tamu."
"Oh, Oke." jawabnya. " Aku ke depan dulu ya yu." ucapnya memegang pundak Ayu."
"Iya Nyonya muda."
Nabila berjalan dengan langkah malas dan sedikit angkuh. Siapa sih yang tidak malas jika bertemu dengan mantan. Perlahan ia menuruni anak tangga yang terdiri dari tiga tingkatan itu.
Rio tersenyum saat melihat Nabila. Berbeda dengan dirinya yang membuang muka saat melihat Rio.
"Ngapain kamu kesini?" tanya Nabila jutek.
"Aku nganterin tante Rena pulang." jawabnya.
"Nganterin. Mama aku kan punya mobil sendiri buat pulang." Ucapnya sewot.
Mama Nabila berdiri dari duduknya "Nabila sayang, duduk dulu sini sama Mama." Ucap sang Mama
"Jangan marah dong nak." Nabila masih dengan wajah juteknya.
"Mobil Mama tadi mogok di jalan. Kebetulan si Rio lewat. Dia ngasih Mama tumpangan buat pulang. Ya Mama terima dong."
"Oh, terus ngapain masih di sini. Kan Mama udah sampai ke rumah." Ucap Nabila.
" Tante Rena ngajak aku makan siang ini." Jawab Rio.
"What, ngajak makan siang disini?"
"Iya bil, ini udah masuk waktu makan siang jadi Mama ajak dia kesini buat makan siang bareng sama kita." jelas sang Mama.
"Mama apa-apaan sih, kok ngajak dia buat makan di sini juga." cicitnya.
"Udah enggak apa-apa. Anggep aja kita lagi silaturahmi." Ucap Mama Nabila.
"Mama ih. Nabila males."
"Udah enggak apa-apa."
Rio melihat ibu dan anak yang ada di hadapan ini dengan bingung. Apa yang mereka berdua bicarakan. Begitu ramai namun telinga tak dapat mengkap pembicaraan mereka.
"Ekhm."
Nabila dan Mamanya menoleh kearah sumber suara.
"Maaf kalau menganggu. Kalau seandainya Nabila enggak suka saya gabung ya saya permisi dari sini aja."Ucap Rio.
"Bagus." Ucap Nabila.
"Eh jangan." Ucap Mama Nabila.
"Mama." rengek Nabila. Mamanya hanya memejamkan mata.
Di sinilah mereka sekarang. Bersama menyantap makan siang. Ini terpaksa Nabila lakukan karena sang Mama. Di hadapannya duduk seseorang yang sangat ia benci.
"Katanya perusahaan kamu mau buka cabang lagi ya yo?" tanya Mama Nabila.
"Iya tante. Kecil aja sih."
"Oh, di daerah mana?"
"Batam."
"Owh."
Pembahasan di meja makan ini hanya tentang perusahaan dan bisnis. Nafsu makan Nabila terganggu karena pemadangan yang ada di hadapannya. Apalagi Rio selalu menatap Nabila.
"Bil, di makan dong. Kok cuma di aduk-aduk doang." Ucap sang Mama.
"Enggak nafsu Ma. Ada pemandangan yang enggak bagus di hadapan aku." Ucapnya menatap tajam Rio.
Mama Nabila merasa tak enak dengan Rio. Sebenarnya niatnya untuk mengundang Rio makan siang di sini adalah agar hubungan Nabila dan Rio membaik. Tapi ternyata, anaknya sangat membenci pria itu.
"Terima kasih tante atas undangan makan siangnya." ucap Rio.
Saat ini mereka sudah berada di depan rumah.
"Iya, sama-sama. "
Rio melihat kearah Nabila yang nampak cuek kepada dirinya. Kemudian tatapannya beralih kearah Mama Nabila.
"Kalau begitu saya pulang ke kantor dulu ya tante, bil."
"Iya."
"Ya udah pulang aja sana enggak usah pake pamit segala." Ucap Nabila menyambar ucapan Mamanya.
"Bil."
Rio hanya tersenyum membalas ucapan Nabila.
"Saya permisi tante." ucapnya berbalik badan.
"Assalamualaikum" Ucap Nabila.
Rio membalikkan saat mendengar ucapan itu keluar dari mulut Nabila.
"Assalamualaikum." Ucapnya mengulangi kalimat Nabila.
"Wa'alaikumsalam." jawab Nabila dan Mamanya.
.
.
.
Bersambung ...

--------
 

Masih inget kan dengan cerita "Menikah dengan Ustadz" yang waktu itu pernah ganti judul dan sekarang di ganti judul lagi menjadi "Kamu pilihan Allah"

"Kamu Pilihan Allah "

Part 17
.
.
.

{Aku harap kamu bisa menerima semua ini dengan lapang dada. Maaf karena tak bisa menepati apa yang pernah aku katakan padamu Halimah.

Anugerah Nur Hasan.

Wassalamualaikum wr.wb.}

Nuga menghentikan jari-jemarinya yang sedari tadi menari-nari di atas keyboard laptop yang berada di pangkuannya. Ia membaca ulang apa yang barusan ia tulis.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Kak." panggil Marwah dari luar kamar.

"Hm, kenapa?" tanya Nuga.

"Boleh masuk enggak."

"Boleh. Masuk aja." jawabnya.

Marwah membuka knop pintu itu. Ia melihat kakaknya nampak fokus kearah layar laptop.

"Kenapa wa?" tanya Nuga.

Marwah duduk serong di atas kasur Nuga, lebih tepatnya di samping Nuga.

"Hm, Marwah mau ngomong sama kakak boleh enggak?" tanya Marwah.

Nuga melemparkan pandangannya kearah Marwah.

"Mau ngomong apa?" tanya Nuga.

"Laptopnya ada guna enggak?"

"Ih, apaan itu pertanyaannya?"

"Iihh, enggak peka banget. Itu tu kata lain yang memiliki maksud boleh pinjam laptopnya enggak?" tanya Marwah.

"Ya ampun wa, wa. Mulai deh kumatnya. Ngomong aja kok ribet amat. Memang mau buat apa?" tanya Nuga.

"Aku mau numpang ngisi data online pendaftaran masuk Universitas negeri." jawab Marwah.

"Enggak bisa pake Handphone apa?" tanya Nuga.

"Susah. Sering eror, kadang lemot juga, takut ketinggalan kak, makanya aku mau pinjem laptop kakak." jawab Marwah.

Nuga melirik Mawah kemudian ke laptopnya lagi. Kirim E-mail sekarang atau nanti. E-mail yang ia tulis tadi belum selesai ia baca.

"Kak pinjem dong. Kakak tahu kan ini mimpi aku."

Lagi - lagi kalimat itu. Kalimat memohon demi mimpi yang di inginkan.

"Ya udah iya. Bentar ya." Ucap Nuga.

Nuga keluar dari akun E-mailnya. Ia memberikan laptop yang ada di pangkuannya kepada sang adik.

"Ni, bawa laptopnya. Isi data yang bener. Biar cita-cita jadi Psikolognya tercapai."

"Aamiin. Makasih ya kakak."

"Hm. "

"Aku bawa dulu ya." Ucap Marwah.

"Iya, bawa aja sana. Tapi jangan sampai kamu jual ya. Laptop penuh sejarah itu, terus jangan buka dokument sama data-data yang lain dan yang terakhir jangan buka E-mail kakak." Ucap Nuga.

"Iya kakak Bawel." ucap Marwah.

"Eh kak mau nanya lagi dong." Ucap Marwah.

"Mau nanya apa kamu?" tanya Nuga

"Kalau di depan kak Nabila kakak bawel kayak gini enggak ya?" ledek Marwah.

"Kepo kamu."

"Hm, orang nanya kok di bilang Kepo."Ucap Marwah.

"Kak, " panggil Marwah.

"Apa lagi sih Marwah Nuraini ?"

"Kak Nabila kapan pulang?" tanya Marwah.

"Minggu depan."

"Oh minggu depan. Lama juga. Kakak enggak kangen sama kakak Nabila?"

Nuga menatap adiknya itu dengan sedikit senyum. "Ya kalau kangen, pasti kangen lah wa. Namanya juga sama istri. Tapi kan, dia nginep ke rumah orang tuanya karena Mama mertua yang minta. Setidaknya, hubungan mereka berdua juga sepertinya sekarang mulai baik." jelas Nuga.

"Emang sebelumnya ada masalah ya sama kak Nabila dan Mamanya?" tanya Marwah penasaran.

Nuga merutuki dirinya sendiri ketika sang adik bertanya demikian. Harusnya ia tak bilang jika Nabila dan Mama mertua dulu memiliki hubungan yang kurang baik. Ia lupa jika Marwah mulutnya seperti mulut burung beo. Selalu berkicau tanpa berhenti. Terkecuali saat dia sedang tidur.

"Kak. Kok malah diem?"

"Huoamm ... Kakak ngantuk wa. Udah sana pergi. Katanya mau daftar kuliah." usir Nuga.

"Oh iya lupa. Kakak sih ngajak ngobrol." rutuk Marwah.

"Lah yang ngajak ngobrol siapa?" tanya Nuga.

"Kakak enggak boleh nyalain adeknya."Ucap Marwah. " Ya udah deh kalau gitu aku pergi dulu ya." sambungnya.

"Hm, pergi aja sana. Enggak ada yang larang." gurau Nuga.

"Aishh, kakak ni."

.
.
.

Pagi ini seperti biasa jalanan di ibu kota begitu padat. Di penuhi oleh lalu-lalang kendaraan yang melintas. Nabila melirik arlogi yang ada ditangannya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Ia juga melirik rambu lalu lintas yang masih berwarna merah.

"Enggak on time datang ke Cafe ini." rutuknya.

Rambu lalu lintas telah berubah warna menjadi hijau. Dengan cepat ia melajukan mobilnya menuju kearah cafe.

Setelah sampai Nabila langsung menuju kedalam Cafe namun langkahnya terhenti saat melihat buket bunga besar yang terletak di sebelah kiri pintu masuk Cafenya.

"Siapa sih yang narok bunga di luar kayak gini?" rutuknya sembari mengambil buket bunga.

"Hai bil." Nabila membalikkan badan saat namanya di sebut.

"Loh, kamu ngapain di sini?" tanyanya sedikit terkejut saat melihat Rio.

"Mau lihat kamu." jawabnya dengan senyum beda dengan Nabila yang datar.

"Eh, itu Buket bunganya kamu suka enggak?"tanyanya.

"Oh jadi kamu yang naruh buket ini di sini?" tanya balik Nabila.

"Iya. Kamu kan suka sama bunga jadi ak__"

"Aku enggak suka lagi sama bunga."

"Loh kenapa. Bukannya kamu suka banget ya sama semua jenis bunga."

"Aku enggak suka sama bunga karena aku kasihan sama dia. Punya madu banyak, bentuknya cantik tapi mudah di hinggapi oleh lebah. terus ketika ssmuanya sudah habis, lebah pun mencari bunga yang lain. Makanya aku enggak suka sama bunga sekarang. " jelas Nabila mengandung suatu makna.

"Lagian kan aku enggak lagi ada acara apa-apa." sambungnya.

Nabila meberikan buket bunga yang ia pegang. "Ni, ambil. Kasihkan sama istri kamu aja. Aku yakin dia enggak nolak." Ucapnya.

"Ya tapikan aku beli bunganya buat kamu." Ucap Rio.

"Tapi kan aku enggak minta buat di belikan. Ni ambil aja." Ucap Nabila menyodorkan buket bunga itu.

Dengan lesu Rio mengambil buket yang di sodorkan oleh Nabila. Nabila yang ada di hadapannya sekarang ini adalah sosok Nabila yang dulu ia kenal. Pertama kali bertemu dengan Nabila sifat yang di berikan oleh Nabila sama seperti sekarang. Penuh penolakan.

"Kamu enggak kerja? Ini udah jam berapa coba. Masa calon pemimpian besar perusahaan datangnya kesiangan. Malu dong dengan anak buah." gurau Nabila.

"Udah ya, aku mau masuk dulu. Bye ."

"Bil tunggu." panggil Rio.

Nabila memejamkan matanya saat Rio memanggilnya. Ia telah bersikap baik kepada Rio pagi ini. Tapi tetap saja orang yang ada di belakanya ini membuatnya kesal.

Nabila membalikkan badannya. "Ya, ada apa?" tanya Nabila dengan senyuman.

"Bisa kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya?" tanya Rio.

Nabila membulatkan matanya saat mendengar Rio berkata seperti itu. Apa maksud dari perkataan Rio. Sudah gila apa orang yang ada di hadapannya.

"Memperbaiki semuanya? Gila kamu ya. Maksud kamu apa. Kamu tu udah punya istri dan aku udah punya suami."

"Kamu udah punya suami, tapi kamu nginep di rumah Tante Rena. Kamu pasti sering berantemkan sama suami kamu. Pasti kamu enggak bahagia kan sama suami kamu? Karena kamu enggak tahan sama suami kamu, kamu jadi pulang kerumah kamu kan?" tanya Rio yakin.

"Jangan menerka-nerka deh. Mama yang nyuruh aku nginep sama dia." Ucap Nabila.

"Aku yakin kamu enggak bahagia sama suami kamu kan?"

Nabila memutar bola matanya malas. Ia tak ingin berdebat dengan Rio. Matahari sudah semakin naik jangan sampai darahnya juga naik karena kelakuan Rio.

'Dasar mantan.' batin Nabila.

Nabila melengos tanpa memperdulikan ucapan dari Rio. Ia berjalan masuk kedalam Cafe. Samar-samar ia mendengar ucapan Rio.

"Aku bakal ngebuktiin kalau kamu tu enggak bahagia sama suami kamu." teriak Rio.

"Siapa tu bu?" tanya Titok melihat dari balik jendela saat Nabila sudah masuk kedalam Cafenya.

"Orang gila" jawab Nabila sembari manruh telunjukkan di depan dahi.

"Owh, tapi dandanannya rapi." Ucap Titok.

"Orang gila jaman Now gitu tok." jawab Nabila di balas dengan tertawa oleh dirinya dan Titok.

"Oh ya gimana kinerjanya. Lancar?" tanya Nabila.

"Lancar bu. Beres kok semuanya." jawab Titok.

.
.
.

Hari demi hari terus berlalu. Nabila tak menyangka jika kondisinya akan seperti ini. Rio, laki-laki itu suka dateng kerumahnya. Dan sekarang, pria itu sedang bercerita dengan sang Papa yang kebetulan dua hari yang lalu baru pulang kerumah.

"Gimana perasaan kamu saat ngeliat pacar selingkuh sama sahabat sendiri?" tanya Nabila.

"Ya kalau saya. Pasti ngerasa sakit banget Nya. Kan sama sahabat sendiri. Sama orang lain aja suka sakit hati lihatnya." jawab Ayu. Salah satu pelayan rumahnya yang masih berumur 21 tahun.

"Iya non. Lagi pacaran aja suka selingkuh gimana kalau udah Nikah. Tinggalin aja cowok kayak gitu." sambung Mbok.

"Nah, si Rio tu kayak gitu. Dia yang udah selingkuh sama sahabat aku dan sekarang cuma gara-gara aku tinggal di rumah Mama sama Papa dia mau ngajak aku balikan. Dia ngira aku lagi berantem sama suami aku Mbok. Yu." jelas Nabila.

"Udah gila kali ya tu orang. Udah punya anak bini masih mau deketin bini orang." rutuk Nabila.

"Sabar Non."

"Kesel aku bik. Mau pulang ke pesantren aja aku kalau kayak gini." Ucap Nabila.

"Enggak kasihan sama Nyonya besar Non?" tanya Mbok.

"Memang Mama kenapa?" tanya Nabila.

"Itu Nyonya ___"

Tok ... Tok ... Tok ...

Suara ketukan pintu kamar dari luar memotong ucapan Mbok.

"Maaf Nyonya muda. Saya di suruh Tuan untuk memanggil Nyonya."

"Ck, Papa apa-apaan sih. Enggak tau apa orang lagi males ketemu sama Rio."

"Nyonya Muda."panggil sang pelayan dari luar kamar.

"Iya bentar."

Nabila berjalan kearah pintu. Ia membukakan pintu kamar itu. Nampak seorang pelayan wanita menunduk kearah lantai.

"Bilangin sama Papa. Aku lagi telponan sama suami aku dan enggak mau di ganggu sama siapapun." Ucap Nabila.

"Tapi, itu Nyonya muda. Tamunya tuan mau pulang."

"Ya kalau mau pulang, pulang aja. Kenapa harus pamit sama saya juga?" tanya Nabila.

"Maaf Nyonya Muda. Saya hanya menjalankan perintah."

"Ya udah bilangin aja sama Papa. Nabilanya sibuk, lagi telponan sama Suaminya."

"Tapi Nyonya muda."

"Udah, bilang begitu saja." Ucap Nabila dan langsung menutup pintu.

Sang pelayan menuruni anak tangga dengan wajah kecewa. Ia takut jika nanti akan di marahi oleh Tuannya.

"Mana Nabila?" tanya sang Papa saat si pelayan telah tiba.

"Nyonya Nabila sedang telponan sama suaminya dan tidak bisa di ganggu tuan katanya." jawab sang pelayan.

"Aduh anak itu." grutu sang Papa.

"Ah, tidak apa-apa Om jika Nabila tidak mau menemui saya. Kalau begitu saya pulang dan titip salam saja sama Nabila." Ucap Rio

"Aduh, maaf ya nak Rio."ucap Papa tak enak.

"Iya Om. Saya enggak apa-apa. Permisi Om, tante." pamitnya.

"Iya, silahkan."

Rio berjalan keluar dari rumah besar itu. Sebelum masuk ke mobilnya, ia sempat melihat kearah jendela kamar Nabila yang terletak di lantai dua. Tak sengaja ia melihat Nabila sedang mengintip kearahnya.

Saat Rio tersenyum kearah Nabila. Nabila langsung menutup gorden tipisnya.

"Ih, ngapain dia pake senyum-senyum segala." rutuk Nabila.

.
.
.

Bersambung ...


-------



"Kamu pilihan Allah"
Part 18
Aku enggak akan ninggalin kamu sendiri"
~Kamu Pilihan Allah~

***
Aku sedang merapikan pakaian yang ku pakai. Namun ponsel milikku berbunyi. Ku kira itu Mas Nuga, ternyata itu telpon dari Rio. Aku muak dengan dirinya. Bisa-bisanya dia mengejar istri orang. Tak ingatkah jika ia sudah memiliki istri.
Ku angkat panggilan dari dia. "Please jangan ganggu aku." Ucapku dan langsung memutuskan panggilan.
Dengan wajah kesal. Aku menuruni anak tangga itu satu persatu. Aku berjalan menuju kearah meja makan. Di sana hanya ada Mama sendiri. Oke, tak perlu kutanyakan lagi. Papa pasti sudah berangkat kerja kembali. Papa itu bagaikan tamu di rumah sendiri. Mama juga sama dulu, tapi aku rasa Mama telah berubah. Ya meskipun surat atas pengunduran dirinya belum di resmikan sampai ada pengantinya.
"Pagi Ma." sapaku.
"Pagi bil." jawab Mama.
Pelayan yang ada di depan kursi menarik kursi yang merapat di meja makan untuk aku duduki. Sedangkan yang lain, mengambilkanku Nasi goreng.
"Makasih ya." Ucapku.
"Oh ya bil, tadi Rio__"
"Mama bisa enggak kita enggak usah bahas itu orang dulu" pintaku.
Mama tertawa sumbang mendengar ucapanku itu. "Bil, Mama tahu kamu kesel sama Rio. Tapi kan dia kesini cuma mau minta maaf sama kamu bil." Ucap Mama.
"Rio bilang kayak gitu sama Mama dan Papa kemarin?" Dugaku dan Mama mengangguk.
"Ma, jangan suka ketipu sama mulut buaya. Sebelum dia Nikah dia udah minta maaf dan udah aku maafin." Ucapku.
Aku langsung mendorong kursi yang aku duduki dan beranjak dari kursi itu.
"Mau kemana? Ngambek sama Mama?" tanya Mama.
"Enggak. Nabila mau berangkat ke cafe ini." Ucapku.
Aku berjalan mendekat kearah Mama dan mencium pipi Mama.
"Pergi dulu ya, Assalamualaikum." Ucapku
"Wa'alaikumsalam."
Aku berjalan menuju pintu utama. Saat aku membuka pintu tiba-tiba ada sesuatu yang mengagetiku.
"Astaghfirullah." Ucapku menutup pintu kembali.
"Itu orang ngapain pagi-pagi udah di sini?" tanyaku pada diri sendiri.
Perlahan namun pasti aku membuka pintu itu. Hanya untuk memastikan yang ku lihat itu benar atau tidak. Setelah pintu terbuka sedikit aku menutup kembali pintu itu.
Ya Allah, itu benar-benar dia. Kenapa dia selalu mencoba untuk dekat denganku. Sekarang aku harus bangaimana.
'Ayo bil, lawan.' Ucap hati Nuraniku.
Dengan nafas berat, aku kembali membuka pintu itu.
"Hai bil." Ucapnya.
"Hm." jawabku. "Ngapain kamu kesini?" tanyaku.
"Sengaja mampir mau lihat kamu dulu." jawabnya.
"Syella?"
"Kenapa kamu nanyain dia?" tanya Rio balik.
"Dia kan istri kamu."
Dia hanya diam saat aku berbicara begitu. Matanya jelalatan melihat diriku.
"Ngapain ngeliatin aku?" tanyaku.
"Kamu mau kemana pakai pakaian rapi begini?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Mau kemana aku ya itu urusan aku." jawabku.
"Aku anter ya." tawarnya.
"Enggak usah. Aku bisa pergi sendiri."
"Aku bisa sendiri yo."
"Ya bareng aja." paksa Rio.
Aku memutar bola mataku malas. "Aku enggak jadi pergi." ucapku langsung menutup pintu.
Tok ... Tok ... Tok ...
Ia mengetuk pintu, mengetuk berulang kali. Aku membukakan pintu itu kembali.
"Apalagi, udah sana pergi." Ucapku dan langsung menutup pintu kembali.
Aku berjalan masuk kedalam rumah. Pastinya dengan wajah kesalku.
"Loh bil, enggak jadi pergi?" tanya Mama.
"Enggak." jawabku menaiki anak tangga.
"Kenapa?"
Aku berhenti sejenak. "Ada orang gila di luar." jawabku dan langsung berjalan cepat menaiki anak tangga menuju kamar.
Setelah sampai di dalam kamar, aku langsung menelpon Titok dan bilang kepadanya jika hari ini aku tak jadi datang ke Cafe.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Non." suara mbok.
"Kenapa mbok." sahutku dari balik kamar.
"Itu di luar ___"
"Suruh pergi aja Rio nya."
"Tapi yang di bawah bukan Rio non."
Aku berfikir sejenak. Yang di bawah bukan Rio. Terus siapa. Aku membuka pintu kamarku.
"Bohong enggak?" tanya ku.
"Enggak non."
"Terus siapa?" tanyaku.
"Di bawah ada Badut pake kostum beruang putih non." jawab mbok.
"Badut?"tanyaku.
"Iya non, katanya diamau bertemu dengan Non."
"Ketemu sama saya mbok?" tanyaku memastikan.
"Iya."
Sedikit aneh mendengarnya. Di bawah ada Badut dengan kostum beruang. Apa mungkin ini akal-akalan dari Rio. Aku langsung turun dari kamarku menuju kearah pintu luar untuk membuang rasa penasaranku.
Kini aku telah berada di depan pintu utama rumah ini. Dengan kesiapan mental aku memegang gagang pintu itu dan membukanya.
Di luar situ ada badut dengan kostum beruang. Kedua tangannya memegang kotak putih dan setangkai bunga yang sudah di hiasi.
"Maaf cari siapa ya?" tanyaku Basa-Basi.
Badut itu tak menjawab. Ia menyodorkan barang yang ia pegang kepadaku. Sedikit ragu aku mengambilnya.
"Ini apa?" tanya ku.
Ia masih diam. Hanya tangannya yang bergerak mengisyaratkan untuk membuka kotak putih itu.
Aku menuruti isyarat dari Badut itu. Dan saat membuka kotak putih itu. Ternyata isinya adalah Donat. Senyum terlukis di bibirku. Kulihat bunga mawar yang sekarang sudah berada di dalam genggamanku. Di sana ada sebuah kertas kecil yang menyelip. Aku mengambilnya. Ternyata ada tulisan di kertas itu.
'MAAF YAA!!'
Itulah tulisan yang ada di kertas itu. Badut ini meminta maaf kepadaku. Jangan-jangan dia suruhan Rio atau dia emang Rio.
"Aku kan udah bilang kalau aku udah maafin kamu." Ucapku
Kemudian si badut kostum beruang itu mengeluarkan gulungan kertas putih dari samping kostumnya. Di sana tertera tulisan
'kalau udah di maafin peluk dan cium dong'
Aku mengernyitkan dahiku.
"Apa-apaan ini. Masa minta peluk sama cium, jangan mentang-mentang kamu pakai kostum unyu kayak gini aku mau ya." protesku.
"Denger ini baik-baik, aku tu udah punya suami." sambungku.
"Iya tahu, makanya aku minta di peluk sama kamu." sahut orang yang berada di dalam baju badut boneka beruang itu.
Suara itu mengangetkanku. Suaranya sangat tak asing di telinga. Yang jelas, itu bukan suara Rio. Perlahan aku mendekat dan ingin membuka topeng yang melekat di kepalanya namun ia cegah tanganku dengan menyengkalnya.
Ia menunjukkan kertas putihnya kembali sebagai permintaan. Hati kecilku mengatakan dia bukan Rio tapi otak ku mengatakan bahwa itu adalah Rio.
Ia membuka lebar tangannya untuk ku peluk. Kali ini aku mengikuti otakku. Aku akan menjebaknya. Aku mendekat kearahnya berpura-pura untuk memeluknya dan saat sudah dekat tanpa sepengetahuannya aku menginjak kakinya kuat dengan sepatu heels ku.
"Aw ... " pekiknya dan langsung terjatuh kelaintai.
"Tu rasain. Makanya jangan modus jadi orang. Udah tahu aku punya suami masih aja mau modus."
Sang badut yang kurasa meringis kesakitan itu langsung memegang topeng kepalanya dan langsung membukanya kasar.
"Nabila, ini sakit loh." Ucapnya.
"Mas Nuga?"
Bukan main terkejutnya aku saat tahu ternyata itu adalah Mas Nuga dan bukan Rio.
"Mas Nuga Maaf, aku enggak tahu kalau ini tu kamu." aku langsung duduk di hadapannya yang masih memegang kakinya.
"Aduh Ya Allah, gimana dong ini. Kaki ku sakit banget. Nanti kalau di amputasi gimana. Terus nanti istriku enggak suka lagi sama aku gimana." Ucapnya tak perduli dengan ucapanku.
Plak! Aku menepak bahunya.
"Jangan ngomong kayak gitu, aku tetep masih sayang kok sama kamu." Ucapku ingin menangis karena penyesalan. Bagaimana kalau harus di amputasi beneran.
"Aduh ... Sakit banget. Di amputasi bener ini" Ucapnya.
"Mas Maaf. Kita ke dokter aja ya, periksa. Nanti kakinya parah. Semoga aja enggak di amputasi. " Ucapku panik.
.
.
.
Nuga memandangi wajah istrinya yang mulai khawatir dengan dirinya. Bahkan air mata istrinya itu telah keluar dari penampungan.
Ingin tertawa tapi tak tega. Perlahan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi Nabila.
"Jangan nangis dong. Aku cuma bercanda." Ucap Nuga.
Nabila terdiam dan menatap kecut suaminya itu.
"Kamu bercanda Mas?" tanya Nabila.
"Hm. Udah jangan mewek gitu dong." Ucap Nuga menghapus air mata Nabila.
"Bercandanya enggak lucu banget. Aku khawatir sama kamu Mas. Aku kira kaki kamu bakal beneran di amputasi." Ucap Nabila kesal.
Nuga tersenyum dan merangkul istrinya itu. "Ya maaf deh." Ucapnya mengecup ubun-ubun Nabila.
"Masa cuma gara-gara di injek kayak gitu aja bisa di amputasi." Ucap Nuga. Sedangkan Nabila, ia diam tak menjawab ucapan Nuga.
"Ternyata kamu khawatir dan cinta banget ya sama aku. " Ucap Nuga dengan Nada meledek.
Nabila melepaskan rangkulan dari Nuga. Ia sedikit mengusap air matanya yang masih terasa basah di atas pipinya. Nabila hanya menatap Nuga dan tak berbicara.
Nuga tahu, istrinya pasti sedang marah kepada dirinya. Tangannya perlahan meraih kotak donat yang terletak di samping Nabila.
"Hm, donatnya enak loh. Enggak mau di makan?" tanya Nuga dan Nabila, dia seperti cuek ke Nuga.
"Ya donat, sayang sekali. Istri ku sudah marah ni. Kamu kayaknya enggak jadi di makan deh. Padahalkan aku udah buat kamu dengan susah payah." Ucap Nuga.
Nabila melirik Nuga. "Emang kamu bisa buat donat Mas?" tanya Nabila.
"Ya bisa dong. Kan belajar sama yang ahlinya. Untuk istri tersayang apa sih yang enggak." goda Nuga.
Nabila menahan senyumnya saat Nuga berkata seperti itu. Belajar dari mana dia sehingga bisa berucap seperti itu. Padahal biasanya Nuga itu biasa aja setiap harinya.
"Ni, makan dong donatnya." Ucap Nuga menyodorkan satu Donat di depan mulut Nabila.
Nabila membuka mulutnya dan memakan donat itu.
"Mas Nuga ngapain ke sini?" tanya Nabila dengan mulut yang masih penuh dengan donat.
"Mau jemput kamu." jawabnya.
"Dua minggunya kan besok." Ujar Nabila.
"Ya tahu, makanya hari ini aku mau ajak kamu jalan-jalan."
"Jalan-jalan?" tanya Nabila.
"Iya. Mau enggak?" tanya Nuga.
Dengan senyum Nabila mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Nuga.
"Tapi jalan-jalannya naik motor aku ya." pinta Nuga.
"Naik mobil aja lah." pinta Nabila.
"Naik motor aja. Lebih romatis tahu."
"Romantis dari mana?" tanya Nabila.
"Ya karena kita bisa deketan di atas motor. Kamu bisa meluk aku juga dengan erat, kalau naik mobilkan enggak bisa kayak gitu."
"Mau Modus kamu ya Mas." Ucap Nabila.
"Enggak kok. Masa sama istri sendiri modus." jawabnya.
"Ya udah deh ayok."
"Ayok kemana?" tanya Nuga pura-pura tak tahu.
"Katanya tadi mau jalan-jalan. Ayok."
"Jadi nerima ni naik motor?" ledek Nuga.
"Ya iyalah."
"Mau Modus sama aku ya?"ledek Nuga kembali.
"Ih, apaan sih. Kok malah nuduh aku. Ya udah enggak usah." ambek Nabila.
"Cie gitu ajak ngambek. Ya udah deh ayok."
"Kemana?" tanya Nabila yang sekarang membalas Nuga.
"Di ulang dapet cium ni ya." Ucap Nuga.
Nabila mengulum bibirnya sendiri saat Nuga berbicara seperti itu. Masa minta cium di tempat terbuka begini.
"Malu ya?" tanya Nuga.
"Di luar ada tukang kebun." jawab Nabila.
"Cium di dalem aja."
"Ada Mama. Udah ah, kok malah bahas cium, cium segala. Ayok berangkat aja." elak Nabila dan langsung berdiri.
"Eh tunggu dulu." Ucap Nuga.
"Apa lagi?" tanya Nabila.
"Mau ganti baju dululah. Kan lucu kalau badut beruang mengendarai motor."
"Ya udah, masuk dulu." ajak Nabila.
.
.
.
Nabila menatap bangunan yang ada di depannya. Bangunan dengan bentuk neoklasik. Saat ini mereka sedang berada di kota tua.
Nuga menatap istrinya yang sedang fokus memandangi bangunan yang ada di hadapan mereka.
"Welcome to Musium Fatahillah." Ucap Nuga.
"Mas Nuga ngapain ngajak aku ke sini?" tanya Nabila bingung.
"Mau menghabiskan waktu bersamamu." jawab Nuga.
"Kenapa di sini tempatnya?" tanya Nabila.
"Karena kita akan belajar sekaligus Refreshing di sini. Ayok masuk." ajak Nuga menggenggam tangan Nabila.
'Ya, bakal ngebosenin ini.' batin Nabila.
Nabila hanya menuruti Nuga. Ketika masuk, hal yang mereka lakukan adalah berkeliling dan menjelajahi isi musium. Di dalamnya terdapat banyak sekali benda bersejarah baik yang asli maupun replika.
Setelah puas berkeliling di dalam musium. Mereka pergi ke pelataran. Dan ternyata di sana ada penampilan hiburan.
"Kita kesana yuk" ajak Nabila yang mulai semangat.
Satu persatu mereka menonton pertunjukan itu. Mulai dari pertunjukkan musik, tari, pertunjukkan boneka bahkan pertunjukkan topeng monyet.
Nabila fikir, datang ke sebuah musium itu sangat membosankan. Namun nyatanya tidak. Dia sekarang sangat enjoy dan fun.
"Mas, naik sepeda yuk." ajak Nabila manarik tangan Nuga.
"Ayo." jawab Nuga yang hanya menurut.
Mereka berdua menyewa sebuah sepeda ontel yang telah di hiasi dengan apiknya.
"Satu sepeda berdua ya." pinta Nabila.
"Enggak sendiri-sendiri aja?" tanya Nuga.
"Aku enggak bisa naik sepeda." jawab Nabila.
Jujur saat itu ia berbohong kepada Nuga. Kebohongannya memiliki alasan tersendiri.
Saat berada di atas sepeda. Nabila memegang erat tubuh Nuga. Mereka berdua begitu menikmati perjalanan ini. Mungkinkah ini yang di namakan pacaran setelah menikah yang Nuga bilang kepada dirinya. Rasanya begitu berbeda dengan rasa pacaran sebelum menikah.
"Mas,mau beli itu." Ucap Nabila menepuk pundak Nuga berkali-kali.
Ia mengarahkan Nuga untuk berhenti sejenak di jajaran makanan tradisional yang di jajahkan.
"Poto yuk." ajak Nabila.
"Kamu aja yang poto." Ucap Nuga.
"Ya kamu ikut juga lah Mas, masa aku sendiri." Ucap Nabila.
"Enggak suka poto."
"Satu ckrek aja." pinta Nabila.
"Ya Mas ya, ya, ya, satu kali aja. Momentnya lagi bagus tahu. Kita juga kan enggak pernah tu poto berdua." Ucap Nabila memohon.
"Hm, ya udah deh iya." jawab Nuga akhirnya.
Nabila mengeluarkan ponsel yang sedari tadi berada di dalan tasnya. Perjanjian di awal sebelum berfoto adalah satu kali cekrek namun, bukan hanya sekali. Sekarang foto yang mereka ambil lebih dari 10 poto. Semua gaya mereka lakukan, bahkan Nabila tak segan meminta orang lain yang sedang berada di tempat itu untuk memfoto dirinya dan Nuga.
Nabila melihat hasil jebpretan itu. Semuanya sangat bangus. Sedangkan Nuga harus mendorong sepeda ontel yang mereka sewa tadi.
"Harusnya tadi aku bawa kamera. Kamu sih Mas enggak bilang mau kesini." Ucap Nabila.
"Kan Surprise buat kamu." jawab Nuga.
"Suka aku ajak kesini?" tanya Nuga.
Nabila menatap Nuga dengan wajah berbinarnya. "Iya, suka banget. Jujur ya Mas, awal kamu ngajak aku ke sini. Aku kira bakal ngebosenin. Tapinyatanya perkiraan tak sesuai kenyataan." jawab Nabila.
"Alhamdulillah deh kalau kamu suka." kata Nuga.
Nuga menatap kearah langit. Awan yang tadinya cerah berubah menjadi sedikit gelap.
"Kita pulang yuk, ada awan mendung di langit. Nanti kita kehujanan di jalan." ajak Nuga.
Nabila menatap langit, "ya udah ayok." jawab Nabila.
.
.
.
Nabila memeluk erat tubuh Nuga dari belakang. Malu, tapi ya sudahlah. Sudah menjadi pasangan yang sah juga. Namun, saat di perjalanan pulang, motor mereka tiba-tiba saja berhenti mendadak.
"Loh ... Loh ... Mas, kenapa motornya?" tanya Nabila.
"Enggak tahu ya." jawab Nuga. Sembari mengengkol motor itu.
Nabila turun dari motor tersebut begitu pula dengan Nuga.
"Habis bensin kali." Duga Nabila.
"Enggak kok. Udah aku isi full tadi pagi." jawab Nuga, tangannya mengotak-atik motor tersbut.
"Kayaknya mogok deh ini." Ucap Nuga.
"Ha, mogok. Terus gimana sekarang?" tanya Nabila.
"Mmm, gini aja. Kamu pulang naik Taxi aja. Aku mau cari bekel dulu buat benerin ini motor." Ucap Nuga.
"Nyari bengkel sambil dorong motor?" tanya Nabila.
"Ya iya."
"Kalau gitu aku ikut." Ucap Nabila.
"Eh jangan, kamu pulang naik taxi aja. Sebentar lagi mau turun hujan loh. Kalau kamu kehujanan gimana?" Ucap Nuga.
"Ya biarin. Aku enggak mau pulang kalau enggak sama Mas Nuga. Aku mau nemenin kamu. Masa aku enak-enak dirumah terus suami aku kehujanan di jalan." jawab Nabila.
"Dorong motor capek bil."
"Lebih capek lagi kalau sendiri. Pokoknya aku mau nemenin kamu. Titik." Ucap Nabila Mantap.
Keras kepala Nabila tak bisa di pungkiri oleh Nuga. Nabila adalah wanita yang konsisten dan berprinsip. Jika ia pilih A maka ia akan pilih A.
"Ya udah Ayok."
Sepanjang perjalanan mendorong motor Nuga. Nabila tak protes sedikit pun bahkan ia terus berbicara dengan Nuga untuk menghilangkan rasa lelah mereka.
Awan mendung di langit mulai mengeluarkan sedikit air yang ia tampung di dalam badannya. Buliran air yang masih halus itu telah jatuh ke bumi.
"Mas, udah rintik." Ucao Nabila yang berada di belakang Nuga.
"Iya bil."
Mata Nuga mencari tempat untuk mereka berteduh. Suasana di tempat ini cukup sepi. Dimana mereka harus berteduh sekarang.
Buliran air halus itu berubah menjadi kasar. Mereka berjatuhan dengan derasnya membasahi seluruh jalanan.
"Mas, hujan." Ucap Nabila.
"Kita jalan terus ya. Sekalian mencari tempat untuk berteduh." Ucap nuga.
Nabila menyilangkan kedua tangannya. Memeluk tubuhnya sendiri sembari mengosokkannya. Berharap mendaatkan kehangatan.
"Maaf ya. Gara-gara naik motor kita jadi kehujanan gini." Ucap Nuga.
"Enggak apa-apa." sahut Nabila.
Sekarang mereka telah berteduh di sebuah halte bis. Tempatnya sangat sepi. Kendaraan yang lewat saja tidak ada.
"Dingin ya?" tanya Nuga saat melihat Nabila yang mulai menggigil.
"I .. Iya ... Hachu."
Nuga melebarkan tangannya saat Nabila mengeluarkan suara bersinnya.
"Ets, mau ngapain Mas?" tanya Nabila menahan tubuh Nuga.
"Mau peluk kamu."
"Peluk aku?" tanya Nabila.
"Iya, katanya pelukan itu bisa membuat badan terasa hangat." Ucap Nuga.
"Kamu kan juga basah." Ucap Nabila memegang baju Nuga.
"Ya enggak apa-apa. Mau ?" tanya Nuga membuka lebar tangannya.
"Nanti kalau ada yang lihat gimana?" tanya Nabila.
"Sekarangkan kita pasangan suami istri. Kepergok sama warga yang lewat, enggak usah takut lagi kayak waktu pertama kali kita ketemu." jawab Nuga santai.
"Kalau di suruh nikah ulang gimana?"
"Ya nikah lagi aja. Kan sama kamu." jawab Nuga enteng.
"Udah sini aku peluk." Ucap Nuga langsung merangkul tubuh Nabila. Lebih tepatnya memeluk erat.
Duduk berdua di bawah derasnya hujan. Itu yang mereka lakukan sekarang.
.
.
.
Nabila dan Nuga menatap serius montir yang sedang mengengkol motor mereka. Sedikit lama Namun akhirnya motor itu menyala.
"Alhamdulillah." Ucap ketiganya.
"Makasih ya Mas." Ucap Nuga.
"Iya Mas sama-sama." jawabnya.
"Berapa Mas biayanya?" tanya Nuga.
"Ah tidak usah Mas. Saya kan tadi cuma lewat saja. Niatnya cuma mau membantu Mas sama Mbaknya." Ucap pria itu.
"Nolak rezeki enggak boleh loh Mas. Kita ikhlas juga ngasih uangnya." Ucap Nabila.
"Enggak apa-apa Mbak, Mas. Saya juga Ikhlas. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari." Ucap pria itu kemudian pergi menaiki motornya.
Nabila dan Nuga melihat pria itu. Seorang pria yang telah menolong mereka.
"Ternyata di jaman sekarang masih ada ya Mas orang yang mau menolong dengan ikhlas." Ucap Nabila.
"Iya, semoga Allah yang membalasnya dengan kebaikan." Ucap Nuga.
"Aamiin."
"Yok kita pulang sekarang." ajak Nuga.
"Ayok." jawab Nabila.
"Hachim."
Nuga menoleh kearah belakang. Wajah istrinya itu berubah menjadi pucat. Hidungnya berwarna merah.
Tangannya memegang tangan dahi Nabila.
'Panas' batin Nuga.
"Kita kerumah sakit ya nanti sebelum pulang." Ucap Nuga.
"Enggak usah Mas. Langsung pulang aja."
"Untuk kali ini jangan keras kepala." ucap Nuga.
.
.
.
Bersambung ...

--------


💞 Kamu Pilihan Allah 💞
Part 19

Aroma obat-obatan menggelitik hidung Nabila. Ia membuka matanya perlahan. Mengedarkan pandangannya ke semua sisi. Tak ada siapapun, hanya dirinya yang sekarang tengah berbaring lemas.
Krek!
Nabila menatap kearah pintu yang terbuka. Di sana ada Mama dan Papanya yang masuk secara bersamaan.
Mereka berdua berjalan mendekat kearah ranjang pasien tempat di mana Nabila berbaring.
"Sayang, kamu udah sadar?" tanya Mama.
"Hm."
"Tapi kok aku ada di rumah sakit?" tanya Nabila.
"Tadi malam badan kamu panas banget, di luar batas normal bil. Makanya Nuga bawa kamu ke rumah sakit." jelas Mama Nabila.
"Mas Nuga sekarang dimana?" tanya Nabila.
"Dia udah Papa usir dari sini." jawab Papanya.
"Loh, kenapa di usir?"
"Ya karena dia enggak becus jaga kamu. Ada mobil malah pakek motor butut dia. Lihat sekarang, kamu jadi sakit gini kan gara-gara kena hujan." jawab Papanya.
"Tapikan itu mau aku pa."
"Ya tetep aja Papa enggak suka."
Nabila mendengus kesal. Ia melirik tali infus yang melekat di punggung tangannya. Dengan emosi ia melepaskan infus itu.
"Mau kemana bil?" tanya Mama.
"Mau cari Mas Nuga. " jawab Nabila.
"Jangan keras kepala. Kondisi kamu belum stabil." Ucap Papa menahan tubuh Nabila.
"Papa jangan ngalangin aku dong. Aku paling cuma demam biasa dan ini pasti sudah sembuh. " Ucap Nabila.
"Nabila dengerin kata Papa kamu, nanti Mama yang akan kabari Nuga buat dateng ke rumah sakit." Ujar Mama yang membuat Nabila menjadi sedikit lebih tenang.
"Mama apaan sih?" protes Papa.
"Bener ya Ma."
"Iya sayang, sekarang kamu istirahat dulu. Sebentar lagi sarapan datang."
Nabila mengangguk dan kembali berbaring di atas ranjangnya. Kedua orangtunya itu saling beradu mulut. Meskipun samar-samar iya dengar, tapi telinga Nabila masih mendegar ucapan dari kedua orang tuanya.
Pagi telah berlalu, sekarang sudah pukul satu siang. Nabila masih menunggu Nuga meski rasa pening di kepalanya menggerilya.
Papanya juga masih setia menunggu dirinya. Pria itu tengah duduk di kursi sembari bergelut dengan pekerjaannya.
"Harusnya kalau Papa masih ada pekerjaan. Kerjain di kantor aja." saran Nabila.
"Terus ninggalin kamu sendiri di sini." ucap sang Papa masih fokus kearah laptopnya.
"Biasanya juga kalau aku sakit enggak perduli. Nenek yang selalu rawat aku kalau aku sakit. Dan sekarang ___"
"Dan sekarang Papa yang akan rawat kamu." Ujar sang Papa memotong ucapan Nabila.
"Kemarin kemana aja?" tanya Nabila miris. Papanya menatap sang anak yang juga sedang menatapnya.
"Pa, aku kan udah ada suami. Biar dia yang rawat aku." sambung Nabila.
"Enggak. Papa enggak akan biarin kamu ketemu sama dia."
"Papa kenapa jadi gini sih?" tanya Nabila mulai kesal.
"Yang buat kamu sakit kayak gini siapa? Dia kan. Laki-laki miskin yang enggak punya apa-apa. Mau-maunya kamu sama dia." Ucap sang Papa.
Nabila diam menahan amarahnya. Kenapa suaminya selalu di hina oleh sang Papa.
"Eh bil, denger ya. Kamu sama suami kamu itu kan nikah karena kesalahpahaman. Minta cerai saja sama dia. Emang kamu mau hidup sengsara sama laki-laki miskin kayak dia. Gaji juga enggak seberapa, tempat tinggal masih numpang sama orang tuanya dia. Apa yang bisa di banggakan. Bayar perawatan kamu aja dia enggak sanggup." Ucap sang Papa merendahkan Nuga.
"Coba kalau kamu nikah sama orang yang kaya, hidup berkecukupan, mapan, tampan, berpenghasilan, ya .. Kayak Rio lah, pasti kamu bahagia."
"Papa!!" Ucap Nabila.
"Maksud Papa ngomong kayak gitu tu apa sih. Kenapa Papa selalu merendahkan Mas Nuga. Pa, jujur aku enggak terima kalau Papa kayak gitu." Ucap Nabila mulai Emosi.
"Loh memang kenyataannya kok." balas sang Papa.
Nabila menahan amarahnya, mencoba menahan. Berkali-kali ia beristighfar dalam hati. Telinga dan hatinya saja panas mendengarnya apalagi jika kalimat itu sampai di telinga dan hati suaminya.
Ia teringat pesan Nuga, jangan sampai lisanmu menyakiti hati seseorang. Ya, sabar. Redam amarah dalam hati. Itulah yang ada di dalam otak Nabila.
Drettt .... Drettt ....
Dering ponsel sang Papa berbunyi.
"Papa angkat telpon dulu." pamit Papa.
Nabila menatap pungung sang Papa sampai tak terlihat lagi. Banyak kata yang akan di lontarkan oleh mulut Nabila. Seperti kalimat menyebalkan, egois, keras kepala. Tunggu, keras kepala. Mungkinkah keras kepalanya datang dari gen sang Papa.
Sekarang Mamanya di mana. Kenapa Nuga juga belum datang untuk menjenguknya. Harusnya Nuga bisa bersikap tegas akan pengusiran dari sang papa. Di sini Nabila membutuhkannya.
Krek
Suara pintu itu terbuka. Nabila melihat kearah pintu itu dan di sana ada Nuga.
"Mas." Ucap Nabila bahagia.
"Hai."
"Hai juga." sahut Nabila.
Nuga mendekat kearah Nabila, ia memegang tangan Nabila dan mengecup dahinya.
"Gimana, udah mendingan?" tanya Nuga.
"Udah. Kamu kemana, kenapa baru dateng?" jawab dan tanya Nabila.
"Maaf baru nongol sekarang. Aku enggak enak sama Papa bil," Ucap Nuga.
"Kamu takut sama Papa?" Nuga menggeleng.
"Terus?" tanya Nabila lagi.
"Kamu jadi kayak gini kan gara-gara aku. Harusnya kemarin aku enggak ngajak kamu jalan-jalan pake motor." jawab Nuga.
"Mas, enggak usah di fikiri. Aku emang kayak gini kalau kena hujan." kata Nabila.
"Ya tetep aja aku yang salah. Maaf ya, aku udah jadi suami yang enggak becus." lirih Nuga.
Nabila menghela nafasnya begitu dalam. Apa kata-kata Papanya telah membuat Nuga berasa bersalah. Nabila tahu, papanya gila akan kekuasaan tapi tak begini juga.
"Pasti karena kata-kata Papa ya?" tanya Nabila lembut.
Nuga menggeleng, ia menatap wajah Nabila begitu dalam.
"Kata-kata Papa kamu benar, itu bentuk rasa kekhawatirannya sama anak perempuannya. Kalau aku nanti jadi seorang Ayah, aku pun akan melakukan hal yang sama. Marah kepada laki-laki yang tak dapat bertangung jawab atas istrinya." tutur Nuga menutupi kalimat hinaan yang keluar dari mulut mertua laki-lakinya itu.
"Kamu laki-laki yang bertanggung jawab Mas." bela Nabila menguatkan Nuga.
Apalagi hal yang bisa di lakukan Nuga selain memberikan senyuman ke pada Nabila.
"Bil, kamu enggak menyesal kan menikah dengan aku?" tanya Nuga.
"Enggak."
"Mau hidup berdua dengan aku, kita mulai semuanya dari nol?"
"Mau."
"Siap kalau hanya hidup sederhana dengan harta yang tak berlimpah?"
Nabila mengangguk dengan senyuman.
"Aku siap Mas, asalkan kamu selalu ada di sampingku, selalu berada di hadapanku. Aku akan setia menemani kamu. Aku makmum, tugasku mengikuti setiap tindakan imamku," Ucap Nabila.
Nuga mengangguk dengan senyumnya. Sebenarnya, hal ini telah lama ingin ia bicarakan ke pada Nabila, tapi waktunya selalu saja tak tepat.
"Besok, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat." Ucap Nuga.
"Aku kan masih sakit." jawab Nabila
"Kabar gembiranya nanti sore kamu udah boleh pulang." ujar Nuga.
"Beneran?" tanya Nabila bahagia.
"Iya."
.
.
.
Mereka berdua sekarang telah berada di hadapan Frans dan Rena. Orang tua dari Nabila. Nuga merasakan getaran yang luar biasa si dadanya. Ia hanya ingin meminta izin membawa Nabila pulang. Tapi, ia merasa seperti mau melamar Nabila menjadi istrinya.
"Emang kamu yakin mau bawa anak saya pulang kerumah orang tua kamu?" tanya Papa.
"Yakin pa, sekalian nanti mau ngajak Nabila lihat-lihat rumah kontrakan." jawab Nuga.
"Kontrakan? Kamu enggak salah ngajak anak saya tinggal di kontrakan." sindir Papa.
"Enggak pa, itu pun hanya sementara kok sampai ada uang yang cukup buat bikin rumah sendiri." Ujar Nuga.
"Sampai kapan?" tanya sang Papa.
"Ya sampai uangnya cukup pa." jawab Nuga.
"Kenapa enggak tinggal di apartement saja ga. Mama punya apartement, udah lama enggak ke pakai." tawar Mama.
"Enggak usah ma, Nuga sama Nabila mau coba hidup mandiri tanpa ada bantuan dari Mama dan Papa." jawab Nuga.
"Enggak mau dapet bantuan. Oke. Nabila, Papa minta ATM dan rekening kamu sekarang." pinta sang Papa.
"Buat apa?" tanya Nabila.
"Uang yang ada di ATM kamu bakal Papa tarik, nanti kalau kamu yang pegang malah di pake sama suami kamu lagi." sindir sang Papa.
"Papa jangan ngomong yang kayak gitu. tunggu bentar." jawab Nabila enteng. Ia mengeluarkan benda pipih itu dari dompetnya.
"Ini, uang yang Papa sama Mama transfer masih ada di sana. Utuh, enggak aku gunakan sedikitpun. " jelas Nabila.
Papanya sedikit terkejut saat mendengar itu. Uang yang selama ini ia cari untuk anaknya tak pernah di pakai oleh Nabila sepeserpun.
"Udah ya, aku sama Mas Nuga pergi ya. ATM yang papa kasih udah aku balikin, mobil yang Papa kasih kuncinya udah aku balikin, aku cuma bawa uang yang aku punya dari hasil kerja aku sendiri."
"Hm, coba pertimbangkan dulu. Masih mau ngontrak?" Ucap Mama meyakinkan.
"In syaa Allah Ma. Keputusan Saya dan Nabila sudah bulat." jawab Nuga memegang tangan Nabila yang mengantung di lengannya.
"Ya sudah kalau itu keputusan kalian silahkan pergi." Ucap sang Papa.
Nuga menatap Nabila, mengisyaratkan untuk pergi dari rumah ini.
"Saya dan Nabila pergi dulu. Pa" Ucap Nuga mengulurkan tangannya.
Papa Nabila hanya melihat tangan itu. Mama dan Nabila pun menatap para suami mereka.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Papa Nabila mengulurkan tangan, menyambut tangan Nuga dengan wajah angkuhnya. Nuga sedikit tersenyum dan mencium tangan itu. Ia juga mencium tangan Mama mertuanya. Di belakangnya, Nabila mengikuti prilaku dari suaminya.
Papanya terkejut melihat tingkah Nabila. Benarkah setelah menikah dengan Nuga, Nabila telah berubah total. Kecuali sifat keras kepalanya. Seperti ucapan istrinya saat di rumah sakit kemarin.
Ya, setelah menerima telpon entah dari siapa, Frans ingin masuk kembali ke ruangan anaknya. Namun sang istri menahan. Ia meminta agar frans tak mengganggu anak dan menantunya. Sempat mengelak akan permintaan istri, namun telinganya tak sengaja menagkap perbincangan keduanya. Nabila, anaknya itu bersedia hidup dengan Nuga secara sederhana.
"Assalamualaikum Ma, pa." pamit Nuga dan Nabila.
"Wa'alaikumsalam." jawab Mamanya.
"Wa ... Wa'alaikumsalam." jawab sang Papa.
Mereka keluar dari rumah besar itu. Nuga merangkul Nabila agar mendekat kearahnya.
"Jadi kita mau lihat-lihat kontrakan dulu?" tanya Nabila.
"Nanti kamu tahu dan semoga kamu suka sama tempatnya." Ucap Nuga.
.
.
.
Bersambung ....

-------

💞Kamu Pilihan Allah 💞
Part 20

Perlahan Nabila membuka pintu yang terbuat dari kayu biasa itu. Saat pintu itu terbuka, ia melangkah masukkedalamnya. Ruangan yang tak terlalu besar, ruang depan yang masih sangat polos karena kosong. Ia berjalan lagi, sedikit masuk dan di sana ada sebuah kamar tak berpintu. Keadaannya kosong tak ada apapun, jangan tanya ukurannya. Jika di isi Ranjang dan kasurpun akan terasa sudah penuh, sisanya hanya untuk lemari saja.
"Gimana, suka sama kontrakan yang aku pilih?" tanya Nuga yang berdiri di belakang Nabila.
"Hmm, enggak ada yang lebih luas dari ini ya Mas?" tanya Nabila yang masih memandangi ruangan ini.
"Enggak suka ya sama kontrakan ini?" tanya Nuga.
Nabila langsung berbalik dan berkata, "Eh, enggak kok Mas. Suka." ucapnya dengan senyuman.
Nuga tahu Nabila berbohong. Wanita memang selalu suka berbohong untuk menutupi rasa tak enaknya.
"Maaf ya bil, uangku cuma bisa nyewa kontrakan ini."
"Enggak apa-apa Mas. Yang penting kita punya tempat berteduh. Lagian jarak antara kontrakan ini dan Cafe aku kayaknya lumayan deket." Ucap Nabila.
"Iya, aku sengajain bil."
"Kapan kita mulai pindah?" tanya Nabila.
"Kapanpun kamu siap." jawab Nuga dengan senyumnya.
Setelah melihat-lihat rumah kontrakan mereka yang hanya berukuran 3 x 4. Nuga membawa Nabila pulang ke pesantren. Besiap-siap untuk mengemasi barang-barang keperluan mereka.
Sebenarnya Ummi Nuga merasa berat hati jika anaknya dan ia akan pisah rumah. Tapi ini keputusan Nuga, Nuga telah memiliki keluarga sendiri dan ia adalah kepala keluarga dalam rumah tangganya.
"Udah ngontrak jangan lupa buat cucu ya." sindir Ummi dari balik kamar.
Kebetulan pintu kamar mereka terbuka sehingga mempertontonkan aktifitas beres-beres yang ada di dalam kamar itu.
"Iya Ummi." sahut Nuga.
Nabila hanya bisa tersenyum. Hanya, bisa, tersenyum. Sudah setengah tahun ia menikah dengan Nuga dan ia belum memiliki anak. Nabila teringat jika ia dulu pernah berfikiran kalau ia tak mau hamil lantaran belum siap. Apakah Allah mendengarkan ucapannya itu. Tapi sekarang ia sangat ingin memiliki anak.
Nuga sedang mengemasi beberapa berkas milik dirinya dan Nabila. Tak sengaja ia menemukan sebuah amplop berwarna coklat. Di sana ada nama istrinya. Bukan tak sopan, ia hanya ingin tahu apa isi dari amplop tersebut. Perlahan ia membuka amplop itu dan di sana ada sebuah kertas putih.
'Bargainning letter' batin Nuga
(Surat penawaran)
Ia membaca isi dari surat tersebut. Dan alangkah terkejutnya ia setelah tahu bahwa ini adalah surat penawaran kerja dari Swiss untuk Nabila.
Ia melirik Nabila yang masih sibuk merapikan pakaian mereka. Sebuah tanda tanya besar terlukis dipikiranya. Kenapa Nabila tak pernah cerita tentang masalah ini.
"Bil," panggilnya.
"Hm, kenapa Mas."sahut Nabils tanpa menoleh.
"Aku mau tanya sesuatu sama kamu." Ucap Nuga.
"Mau nanya soal apa?" tanya Nabila.
"Kamu pernah dapat tawaran kerja ke luar negeri?" tanya Nuga.
"Pernah." jawabnya santai.
"Kapan?" tanya Nuga.
"Sebelum aku bertemu sama kamu." jawab Nabila.
"Kamu terima atau kamu tolak?"
"Aku tolak."
"Kenapa di tolak?" tanya Nuga.
Nabila bingung dengan pertanyaan Nuga. Ia membalikkan badannya menghadap kearah Nuga.
"Mas Nuga aneh deh. Kok nanya soal itu terus." Ucap Nabila.
"Tadi aku beres-beres berkas kita. Enggak sengaja aku nemuin Amplop ini. " Nabila terkejut melihat amplop itu. Kenapa bisa ada disini.
"Kenapa kamu tolak tawaran kerja di Swiss, bukannya itu mimpi kamu?" tanya Nuga.
"Mas tahu dari mana?" tanya balik Nabila.
"Mama pernah cerita kalau kamu dulu punya mimpi menjadi chef terkenal dan dapat bekerja di negara Swiss." jawab Nuga.
Nabila terdiam sebentar lalu ia membuka mulut untuk bercerita.
"Oke Mas aku akan cerita. Itu tawaran kerja sebelum aku nikah sama kamu. Waktu aku mau tunangan sama Rio. Aku seneng banget pas dapat surat itu melalui pos. Seneng bukan main. Aku ingin melihat negara Swiss. Memulai hidup baru disana bersama Rio nantinya. " Ucap Nabila.
"Tapi, takdir berkata lain. Aku bertemu dengan Mas Nuga. Dan kemudian menikah dengan Mas. Seketika semua harapanku hancur Mas. Aku berada di posisi yang sulit. Aku mau pergi kesana tapi enggak mungkin aku ninggalin Mas demi sebuah impian dan cita-cita." Nabila menarik nafasnya.
"Tanpa izin dari kamu aku enggak akan pergi Mas. Kamu inget enggak, dulu waktu kita baru-baru nikah, kita saling menyalahkan. Hubungan kita enggak baik. Aku sering berfikir untuk menerima tawaran itu. Tapi, berangsur-angsur dan seiring bergulirnya waktu semua berubah. Aku lebih nyaman di sini. "
"Dan akhirnya kamu menolak kesempatan untuk bekerja sebagai Chef disana?" tanya Nuga.
"Yap, kamu tahu enggak Mas. Alasan terbesar aku untuk pergi kesana itu hanya untuk menjauh dari Mama dan Papa dan alasan lainnya untuk menyibukkan waktuku saja." Ucap Nabila.
"Kalau sekarang aku izinkan kamu untuk pergi, apa kamu akan pergi?" tanya Nuga.
Nabila menggelang. "Untuk apa pergi keluar negeri jika orang yang terkasih berada di dalam negeri." jawab Nabila dengan senyuman.
Nuga membalas dengan senyuman pula. Ia mendekat kearah Nabila yang sedang menatapnya. Tanpa di duga oleh Nabila, Nuga memeluk tubuhnya begitu erat. Sontak itu membuat Nabila membulatkan matanya karena terkejut.
"Makasih ya sayang. Kamu lebih memilih bersama suamimu ini." Ucap Nuga mengecup pipi dan puncak kepala Nabila.
"Iya. " balas Nabila dengan senyum juga.
"Kak Nuga, Marwah ..."
Nuga langsung melepaskan pelukannya kepada Nabila saat suara adiknya itu terdengar di telinganya. Begitupula dengan Nabila, ia sedikit kaget dengan suara adik iparnya itu.
"Marwah mau ngapain, kok ada dirumah bukannya di madrasah." tanya Nuga.
"Marwah mau balikin laptop kak Nuga. Hehehe, maaf ya. Marwah ganggu. " Ucap Marwah.
Ia mendekat kearah Nuga dan memberikan laptop itu kepada Nuga.
"Pintunya di tutup aja. Untung cuma Marwah yang lihat, coba kalau Abi sama Ummi. Wah bahaya loh kak." ledek Marwah.
"Iya, nanti sarannya kakak pakek ya." jawab Nuga melirik Nabila.
"Hihihi, ya udahlah Marwah mau ke Madrasah dulu. Dadah kakak, dadah kakak Nabila."
"Hm."
"Dadah" balas Nabila.
Nuga mengenggol Nabila dengan bahunya.
"Apa?" tanya Nabila.
"Tutup pintunya." pinta Nuga.
"Ih, mau ngapain?" tanya Nabila.
"Kamu tahu maksud aku apa." jawab Nuga menatap dengan senyum.
.
.
.
Bersambung ....