Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

FIKA - Mendadak Nikah 6 - 10

 #Fika Mendadak Nikah 6 by Mimi Luy
*
.

“Oeek ….” Sayup-sayup kudengar suara tangisan bayi di rumah ini. Berjalan perlahan keluar kamar, menelusuri ruangan. Tunggu! Ini sepertinya bukan rumahku. Ada di mana aku? Rumah siapa ini?

“Ini rumah kita, sayang.” Suara itu sepertinya pernah kudengar. Sayang? Siapa yang memanggilku dengan sebutan sayang?

“Tentu saja, aku, suamimu.” Lagi-lagi suara itu seperti tahu isi pikiranku. Suami? Kapan nikahnya, enak saja ngaku-ngaku!
“Beneran, ini,buktinya.” Tangan itu mengulurkan seorang bayi. Namun, sosoknya tak terlihat jelas.

“Bukti? Bayi? Apa maksudnya?” tanyaku pada bayangan gelap itu.

“Ini anak kita, sayang. Dan aku, suamimu, hahaha ….” Tiba- tiba saja sosok gelap berubah menjadi terang, menampakkan raut wajahnya sangat jelas dengan tawanya yang mengerikan.

“Tidaaak ….!”
 
Aku terbangun dari mimpi burukku. Memukul pipi dan mencubiti tanganku, meyakinkan diri bahwa itu hanya bunga tidur.
 
“Menikah dengan Pak Ilham? Astagfirullah … jangan sampai Ya Allah. Aku nggak mau, amit-amit.” Aku mengetuk-ketuk kepala, mengusap wajah dengan kasar sambil beristigfar berkali-kali. “Apa karena ucapannya semalam?” Aku, nggak mau!
 
kulirik jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Lompat dari kasur, segera bergegas ke kamar mandi, melaksanakan sholat subuh yang kesiangan, mandi, sikat gigi, memakai pakaian rapi, dan pamitan pergi.
 
“Mau kemana, Nduk?” tanya Ibu melihatku terburu-buru bersalaman.
“Fika, mulai kerja hari ini, Bu. Do’ain, ya, moga dimudahkan rezekinya. Assalammualaikum,” ucapku sembari mencium pipi Ibu dan Bapak.
.
Sampai di perpustakaan daerah, aku langsung disambut ramah oleh Pak Rahmat, Kepala Kantor Perpustakaan Daerah Kota Palembang. Rupanya, Om Surya sudah memberitahukan perihal diriku kepadanya. Beliaupun mengajakku untuk berkeliling perpustakaan, mengenalkanku berbagai macam buku-buku literasi , serta tugas-tugas yang harus aku ketahui dan kuasai sebelum bekerja.
Hanya setengah hari aku di sana. Selanjutnya, aku melunjur ke tempat Nuni bekerja. Kebetulan jam segini adalah waktunya istirahat makan siang dan aku sudah menmberitahunya lewat WA.
 
Tak butuh waktu lama, Nuni pun keluar menuju ke tempat parkiran. Kami memilih makan siang di warung sebelah kantornya, menu yang tersedia hanya ayam goreng, sambel, lalapan, plus air mineral. Kami pun duduk lesehan, menghadap ke arah jalan raya, bercerita dari yang biasa sampai ….
“Hahaha ….” Nuni tertawa terbahak-bahak, saat aku menceritakan mimpiku semalam. Aku langsung membekap mulutnya. Ketika suaranya terhenti, kulepaskan, namun dia malah semakin tertawa. Otomatis mengundang mata pengunjung lain menatap kami, keheranan. Segera kubekap lagi mulutnya, sampai ia berjanji tidak akan tertawa lagi.

“Itu tanda-tanda, Fik,” ucapnya mengejekku.

Aku mencebik, dia pun terkekeh.
“Memangnya, orangnya gimana?” tanya Nuni dengan dahi mengernyit.

“Orangnya ganteng,sih. Tinggi, putih, potongan rambut pendek, cara berpakaian rapi, dan mapan. Idola semua ceweklah, kecuali aku!” ketusku
“Kog, gitu. Memangnya dia pernah nyakitin kamu? Sampe benci segitunya.”
Aku menggeleng

“Bukan nyakitin, tapi ngeselin! Usianya juga sudah sebaya Abangku, Reno. Dan kayaknya juga sudah punya anak-istri, tuh, tapi sok keren!” Aku mencebik karena kesal mengingatnya.
“Hati-hati, jangan terlalu membenci ntar jadi cinta, loh,” ucap Nuni seraya menyenggolku dengan alis yang digerak-gerakkan. “Lagian, tahu dari mana kamu, kalau dia sudah punya anak-istri? Jangan- jangan dia masih single atau duda keren?” Lagi-lagi sahabatku mengejekku.

“Bodo amat!” jawabku, tak mau berlama-lama dengan godaan Nuni yang seperti mendo’akan mimpi burukku terjadi.
.
Pukul dua siang, aku sampai di rumah. Ibu sepertinya sedang di warung melayani pembeli. Aku pun segera masuk ke istana pembaringan, lalu memejamkan mata, menerawang ke percakapan sore itu.
.
“Ngapain, Bapak, ke sini?” tanyaku pada Pak Ilham dengan kepala masih menunduk.
“Kan sudah dijelasin sama bapakmu tadi. Aku ke sini mau minta maaf sama bapak dan kamu,” ucapnya
 
“Bohong! Bapak pengen kasih tahu aku, kalau keterima kerja di tempat Bapak, kan? Nggak usah repot- repot, Pak. Aku baru saja dapat kerjaan sebagai penjaga perpustakaan daerah. Besok, aku sudah mulai kerja!” ketusku yang sudah berani menatapnya, tajam!

“Ge-er! Aku ke sini sesuai permintaanmu, bapakmu sudah kasih tahu, kalau yang membalas smsku itu, kamu.” Matanya menatapku, membuatku langsung menunduk menyembunyikan rona merah di pipiku.
 
“Iya, aku yang membalas pesan. Aku kira orang iseng, makanya aku kerjain balik. Kalau aku tahu itu Bapak, pasti aku akan—“ Suaraku terputus karena Pak Ilham memotong bicaraku.
“Aku akan melamarmu,” ucapnya yang membuatku mengangkat dagu-menatapnya. Bola matanya menunjukkan keseriusan. Namun, segera kutepis denyar jantung di hatiku.

“Ibuuu …! Bapak ….!” Aku berteriak, membuat keduanya terburu-buru menghampiriku.
“Ada, apa, toh, Fik. Kamu, kok, sukanya teriak! Bikin Bapak jantungan!” kata Bapak dengan ekspresi kaget.

“Iya, ada, apa, toh, Nduk?” timpal Ibu.
“Ini … anu … kata ustadz, nggak boleh biarin laki-laki dan perempuan berduaan, karena yang ketiga itu, setan!” Aku melihat ke arah Pak Ilham, saat mengatakan makhluk jahat itu. “Fika mau ke kamar. Assalammualaikum…” Aku berlari ke arah kamar dan menutup pintu rapat.
Di balik pintu, aku meletakkan telapak tangan di dada, menahan degub jantung yang semakin kencang.
.
Next
.
 
-----
 
#Fika Mendadak Nikah 7
.
Cuaca cerah di pagi hari, aku memulai aktivitas baru menjadi seorang penjaga perpustakaan. Aku berjalan menyusuri setiap lorong yang dibatasi rak, mengecek keberadaan buku sesuai list yang tertera di tangan. Di bagian tengah ruangan terdapat beberapa meja persegi dengan empat kursi mengitari, sedangkan meja dengan sekat pembatas merapat ke tembok dekat jendela.
Tempatku di meja dekat pintu keluar, di atasnya terdapat sebuah komputer, beberapa buku, dan alat tulis lainnya. Dari sini dapat kulihat aktivitas para pengunjung, rata-rata mereka adalah anak sekolah dan mahasiswa. Mataku sengaja mengawasi seorang lelaki mengenakan kaos hitam polos dengan celana jeans berwarna senada, ia seperti sedang mengikuti kemana pun arah seorang siswi SMA. Saat mereka berdua hilang dari pandangan, aku segera menghampiri.

Di sudut ruang sana, terlihat mereka duduk dengan membuka buku masing-masing, namun saling berdekatan. Belum pernah kena semprot Fika, nih, bucin! Perlahan aku mendekat, menarik napas, mengatur nada bicara, kayak bu guru di sekolah.
“Ehem … permisi! ngapain mojok di sini, adik-adik? Tuh, meja masih kosong!” Aku menegur sambil menunjuk meja yang dimaksud.
Spontan mereka berdiri, “ma-maaf Bu, kami tadi cuma ….” Kata lelaki itu terbata. Si cewek menundukkan wajahnya.

“Ayo, cuma apa? Kok, nggak jadi ngomong?” tanyaku dengan jutek dan menyilangkan kedua tangan di dada.
“Ini perpustakaan, bukan tempat pacaran! Sana!” ketusku lagi. Mereka berdua punbsegera pergi menuju meja. Jelas saja mereka tidak leluasa, karena mata elangku senantiasa mengawasi.
“Galak banget sih! Penjaga baru kayaknya, nggak kayak yang dulu,” ucap lelaki itu lirih namun masih dapat kudengar.

“Apa kamu bilang?” tanyaku yang mengikuti mereka dari belakang, namun tak ada jawaban.
Mereka duduk, aku pun kembali ke meja kebesaranku. Sesaat kulirik sejoli itu, mulutnya komat-kamit, tidak terima dengan perlakuanku, raut wajah mereka menunjukkan ketidaksukaan. Lalu mereka pun memilih untuk keluar dari perpustakaan. Saat akan melewatiku, lelaki itu mengatakan sesuatu.
“Jomblo ngenes!” sungutnya sambil menggandeng tangan siswi SMA yang terus menunduk.
Spontan, aku mendelik dan membalasnya dengan senyum mengejek.
.
"Mbak, buku tentang psikologi di rak sebelah mana, ya?" tanya seorang lelaki, saat aku fokus menatap komputer.
"Bentar, ya." Kupegang mouse, jari menari, sedang mata menelusuri kata di layar.
"Rak J2. Sebelah sana" tunjukku mengarahkannya ke rak yang dimaksud.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama. Mohon duduk di kursi jika membaca," ucapku seraya tersenyum manis. Hal paling langkah aku lakukan, apalagi di hadapan lawan jenis.

Ia mengangguk, lalu pergi, tetiba ia membalikkan badannya.
"Fika? Kamu Fika, kan?" tanyanya dengan mata yang membulat.
Aku menggangguk.
"Iya. Kok, tau nama saya. Kita kenal?" tanyaku dengan dahi mengernyit.
"Aku Dennis, teman SMP kamu. Masih ingat?" ucapnya seraya tersenyum.
Aku menggeleng. Menarik sudut bibir, memaksa tersenyum.
"Maaf, Dennis teman SMPku dulu kurus dan giginya kuning, julukannya 'Kugining'. Mungkin salah orang, Mas," ucapku sambil memperhatikan penampilannya. Tak kutemukan satu pun persamaan dengan temanku dulu.

"Iya, itu aku. Aku Dennis si kugining," serunya menampakan giginya yang putih.
"Iya, kah? Kok, beda? Beneran ini Dennis?" tanyaku dengan raut wajah tak percaya.
Iya mengangguk, meyakinkan. Kemudian mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya.
"Aa.. Iya, ternyata beneran Dennis. Kamu sudah berubah. Udah keurus sekarang," seruku dengan mengajungkan jempol padanya.

"Udah ganteng, kan, maksudnya." Ia berkata penuh percaya diri.
"Iya ... iya, ganteng. Sudah sana, cari dulu buku yang mau kamu baca. Aku lagi kerja. Nggak enak kalo ngobrol," ucapku.
Ia pun mengangguk dan segera beranjak dari hadapanku. Sesekali ia melihat ke arahku dengan tersenyum. Rasa tak percaya, bisa bertemu dengannya lagi.
Jam empat sore, tiga puluh menit lagi perpustakaan akan ditutup. Akupun mengumumkan lewat mikrofon

"Perhatian kepada seluruh pengunjung, saat ini sudah menunjukkan pukul empat sore. Silahkan melakukan peminjaman buku untuk tiga puluh menit ke depan, sebelum perpustakaan ditutup atau kembali berkunjung besok. Terima kasih."
Kaku! Mungkin seperti itulah yang terdengar di telinga pengunjung. Mau bagaimana lagi? Aku tidak terbiasa berbasa-basi. Mungkin harus kulatih agar lebih manis lagi.

Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan ruangan. Ada yang sekadar membaca, ada juga yang meminjam. Termasuk Dennis, ia meminjam buku psikologi anak.
"Aku tunggu di luar!" katanya seraya membawa buku yang dipinjam.
Akupun mengangguk.

Pintu sudah terkunci. Kulihat Dennis berada di sudut teras sambil memainkan gawainya. Saat melihatku, ia nenghampiri.
"Pulang sendiri atau dijemput, Ka?" tanyanya. Ika! Hanya ia yang memanggilku dengan sebutan itu.
"Pulang sendiri, naik motor, tuh!" jawabku mengarahkan bibir ke area parkiran.
"Buru-buru, nggak?" tanyanya.
Aku menggeleng.

"Kita ngobrol bentar, boleh?" tanyanya lagi
"Yaudah, tuh, di sana." Aku menunjuk bangku taman di depan.
Diapun berjalan di belakangku, menuju bangku taman itu.
"Kamu beneran berubah, Den. Aku pangling, sampai nggak ngenalin lagi," ucapku sambil menopang dagu. Ia pun tertawa.

"Kamu tetap sama seperti dulu, nggak berubah. Jadi aku bisa langsung ngenalin kamu," ucapnya sambil menatapku.
"Maksudmu, aku tetap kucel gitu?" Mataku mendelik membuatnya terbahak-bahak.
"Tetap mengenakan jilbab, sederhana, senyuman, apa adanya, dan memiliki senyuman yang khas," ucapnya, membuat pipiku merona.

"Kamu kuliah jurusan psikologi anak, Den?" tanyaku sambil menatap buku yang dipegangnya.
"Aaah ... Ini, bukan! Aku hanya ingin lebih memahami jiwa anak-anak," jelasnnya sambil membuka lembaran buku.
"Kamu udah nikah, ya? Udah punya anak?" tanyaku penasatan dengan perkataannya.
"Nggaklah, aku masih single. Kebetulan aku bekerja di Yayasan Muara Kasih, sekolah anak berkebutuhan khusus," jelasnya
"Ooo ... ya. Bagus itu. Aku juga pengen tahu tentang anak-anak. Ntar juga bakalan jadi seorang ibu."
"Jadi ibu dari anak-anakku, ya?" candanya sambil tersenyum.
Aku mencebik, kami pun terlibat obrolan dan nostalgia masa SMP dulu.
"Fika!" Seorang memanggil namaku.
Aku dan Dennis pun menoleh ke arah sumber suara.
Hey! Ngapain dia di sini!
.
-----

#Fika Mendadak Nikah 8

"Fika!" Seseorang memanggil namaku.
Aku dan Dennis menoleh ke arah sumber suara.
"Nuni ... ngapain kamu ke sini ?" tanyaku pada Nuni, sahabatku.
"Aku sengaja mau ketemu kamu ...." Nuni mendekat seraya berhambur memelukku.
"Yaelah, baru juga kemarin kita ketemuan, Nun," ucapku sambil membalas pelukannya. "Kamu keliatan seneng banget, Nun. Aku kenal kamu, kalo datangin pasti ada sesuatu yang ingin diceritain." Aku berkata sambil melihat raut wajahnya yang berseri.
 
Nuni mengangguk. Lalu berbisik padaku.
"What?! Serius!" seruku, "bahagia, ya, ka--" Ucapan terputus karena seseorang.
"Ehem" Dennis berdehem, membuatku sadar akan kehadirannya.
Begitulah aku dan Nuni jika bertemu, pasti lupa dengan sekitar.

"Eh, iya, maaf, Den. Kenalin ini sahabat SMAku, namanya Nuni. Dan ini sahabat SMPku, Nun, namanya Dennis," ucapku memperkenalkan. Tangan mereka pun saling terulur, berkenalan.
"Sudah sore, aku mau pulang. Kita sambung besok-besok ya, Den." Aku pamitan
pada Dennis.

"Kamu, Nun, mau pulang atau masih di sini? " tanyaku pada Nuni
Dia pun memilih untuk pulang, karena harus beristirahat. Begitu pun Dennis. Kami bertiga pulang, menuju kendaraan masing-mading.
.
"Assalammu'alaikum, Bu, Fika pulang, ucapku dengan suara lirih karena lapar.
Aku menuju dapur, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Kubuka tudung saji yang ada di meja, mengambil nasi dan segera mengisi perut yang lapar. Setelah selesai, aku kembali ke ruang keluarga, kupencet tombol on remote tivi, sambil membiarkan makanan dikelola dengan baik oleh cacing di perutku.

"Gimana kerjanya, Nduk?" Ibu bertanya seraya menghampiri, lalu duduk di sebelahku.
"Baik, Bu. Alhamdulillah lancar berkat do'a Ibu." Aku berkata lalu merangkul Ibu.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Ibu sambil tersenyum.
Aku pun membalas dengan senyuman terindah.
"Bu, masih kenal Dennis temanku SMP waktu di Jogja dulu? Yang kurus dan giginya kuning. Dia sekarang di Palembang juga, loh, Bu. Waah ... sekarang sudah ganteng, badannya atletis, tinggi, giginya putih, cling!" seruku pada ibu menceritakan pertemuanku dengan Dennis.
Ibu mencoba mengingat lalu mengangguk.

"Iya, Ibu masih ingat. Dennis yang kamu ajak pulang, kan. Kok, ada di Palembang, jalan-jalan?" tanya ibu
Aku menggeleng
"Nggak, dia kerja di sini, di Yayasan Muara Kasih. Tadi kami ketemu di pusda. Dia lagi pinjam buku psikologi anak, katanya pengen lebih mengenal jiwa anak," celotehku pada Ibu.
Ibu pun menyimak ceritaku.
"Heem ... kayaknya anak Ibu seneng banget ketemu Dennis," ucap Ibu yang mungkin daritadi melihat bias kebahagiaan di wajahku.
Aku mengangguk.

"Iya, seneng banget, Bu. Sudah hampir tujuh tahun sejak kita pindah nggak ketemu. Hihii ...." Aku pun mengungkapkan kebahagiaanku di depan Ibu.
Ibu mengusap rambutku, lalu mengatakan sesuatu.
"Ibu ikut seneng, Nduk," ucap ibu.
"Bu, kok, masak banyak banget. Memangnya kita mau ada tamu, ya?" tanyaku pada Ibu yang baru beranjak hendak pergi.
"Nanti malam, kamu dandan yang rapi, ya. InsyaaAllah ... Ilham mau datang ke rumah, bersama kedua orang tuanya." Ibu mengedipkan sebelah mata dan berlalu.
Hah! Dia datang lagi? Ngapain? Apa dia nggak terima disebut setan? Bawa orang tuanya pula.
Mampus aku!

Aku harus cari cara supaya tidak ketemu.
Aku merangkul kedua kakiku, menggigit jari jempol tangan kananku, menggoyangkan tubuh berharap mendapat petunjuk, cara menghindar Pak Ilham dan orang tuanya.
Aha! Aku dapat ide. Senyumku pun mengembang.
 
-----
 
#Fika Mendadak Nikah 9
.
.
Matahari mulai tenggelam, menghilang kembali ke singgana. Kutatap langit cerah di luar jendela, sangat indah bertabur bulan dan bintang. Namun sayang, hatiku sedang gundah karena dia yang tak ingin kujumpa. Dia yang membuat denyar di jantungku kala menatapnya. Bukan cinta tapi benci yang membuncah.
Apa ini? Kenapa aku jadi gugup begini. Semoga ideku untuk menghindar berhasil.
Terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Dia datang! Aku menjauh dan berdiri di samping jendela, mengintip di balik tirai. Lima orang turun dari mobil Avanza hitam, tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Banyaknya orang? Sepertinya mau keroyokan untuk menghakimiku. Tunggu saja, rencanaku pasti berhasil.
Tok! Tok! Suara ketukan pintu kamarku.
"Nduk, Nak Ilham sama keluarganya datang. Ayo, buruan keluar." Ibu memberitahu dan memintaku menemui mereka.
Aku mendekat ke arah pintu, memutar kunci, memegang handle lalu menekannya hingga pintu pun terbuka.
"Loh, kok, masih pakai baju tidur?" tanya Ibu yang sambil memasuki kamar dan menutup pintu.
"Fika lagi nggak enak badan, Bu." Alibiku pada Ibu.
"Kamu sakit? Sakit apa? Sini Ibu periksa," ucap Ibu khawatir. Ia lalu meletakkan pungung tangannya di dahiku.

Akupun menahan senyum. Saat ibu melirik, aku memasang muka sendu. Yes! Rencanaku berhasil, sepertinya ibu percaya aku sakit.
Ibu hanya diam, lalu menuju ke lemari pakaian.
"Pakai ini, segera ya." Ibu memberikanku setelan gamis dan jilbab merah marun, lalu memintaku berganti pakaian.

"Aku kan lagi sakit, Bu. Kok, malah disuruh ganti," gerutuku pada Ibu.
"Matamu itu nggak bisa bohongin Ibu, Fika ...." Ibu berkata sambil mencubit hidungku.
"Aauu! Sakit, Bu," ucapku sambil mengelus hidung yang memerah.
"Udah, sana ganti!" perintah Ibu padaku.

Aku pun menurut dan segera mengganti pakaianku, sedang Ibu masih menungguku.
"Cantik, hem ... tinggal dipoles sedikit," ucap Ibu sambil menaburkan bedak bayi di tangan dan meratakan di wajahku.
"Ayo, kita temui tamu," Ibu menggandeng tanganku. Saat hendak melangkah, aku menahannya.
"Ada apa? Ibu mengajari kamu untuk menghargai tamu, jangan bersikap seperti ini," ucap Ibu sambil mengelus pipiku.

"Tapi Ibu harus janji, nggak ninggalin aku lagi kayak kemarin." Aku berkata dengan penuh harap.
"Iya, Ibu janji."
"Ada satu lagi, Bu."
"Apa, Nduk?"
"Ibu janji akan selalu belain Fika. Apa pun yang terjadi." Aku menatap mata ibu lekat.
"Iya, Nduk. Ibu janji akan selalu di samping dan membela Fika, apa pun yang terjadi," ucap Ibu, membuatku sedikit memiliki keberanian.

Kami pun melangkah menuju ruang tamu. Aku berjalan dengan menunduk, tak mampu mengangkat wajahku. Langkahku pun terhenti.
"Maaf semuanya, lama menunggu. Perkenalkan ini anak kami yang bernama Fika." Ibu memperkenalkan diriku di hadapan keluarga Pak Ilham.
Mati lah aku! Pasti saat ini wajah mereka seperti ingin memangsaku. Bersyukur, ada Ibu yang berjanji akan membelaku.

Ibu mengajakku duduk di sofa, di sampingku sudah ada bapak.
"Nak, boleh Ibu lihat wajahmu," ucap seorang wanita paruh baya yang ada di hadapanku.
Aku bergeming. Terasa berat mengangkat dagu. Hingga suara bapak mengagetkanku.
"Nduk! dipanggil itu, ayo liat ke sana." Tepukan tangan Bapak di pundak spontan membuatku menoleh, sambil cemberut.

"Manisnya ...." Pujian seorang Ibu yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda, membuat pipiku merona.
"Ilham sudah cerita semuanya tentang kamu, kami datang untuk--" Suaranya tercekat.
"Untuk marah sama Fika, kan, Bu. Maaf, Fika nggak bermaksud ngatain Pak Ilham setan, anak Ibu baik, kayak malaikat. Tolong Bu, maafin Fika," ucapku panjang lebar.

"Hmmm .... Baiklah, tapi Ilham juga cerita ketemu kamu di kantor. Waktu itu ka--"
"Waktu itu Fika lagi nungguin wawancara, Bu. Hampir dua jam menunggu panggilan, perut Fika lapar, aku memilih untuk makan terlebih dahulu. Saat kembali, sepuluh menit nggak ada panggilan. Fika menerobos masuk, lalu marah-marah sama Pak Ilham. Fika minta maaf. Fika yang salah, tolong jangan marahin Ibu sama Bapak Fika. Mereka sudah ngajarin Fika jadi anak baik. Terbukti sampai sekarang Fika belum pernah pacaran eh, maaf yang terakhir diabaikan saja Bu." Aku mengungkapkan semuanya kepada mereka.

Bapak terlihat bengong menatapku.
"Nih, minum dulu. Nduk," ucap ibuku sambil memberikanku segelas air putih.
Aku tak berani menatap Pak Ilham. Tapi sekilas ku lihat, ia menutup mulutnya dengan kepalan tangan, lalu ....
"Uhuuk ... Uhuuk," Suara Pak Ilham sedang batuk.

"Terima kasih atas kejujurannya, sebenarnya kami kaget mendengar penuturan Nak Fika. Ilham bukan menceritakan seperti itu, tapi sebaliknya. Kedatangan kami ke sini untuk me--"
"Assalammu'alaikum ... Fika, Om, Tante, semuanya. Kami datang memenuhi undangan Fika."
Terdengar suara teman-temanku di teras rumah. Aah ... Akhirnya mereka datang juga.
Aku permisi untuk menyambut mereka.

"Akhirnya kalian datang juga. Lama amat! Ayo, masuk." Aku mempersilakan mereka masuk.
"Bu, Pak, Om, Tante, Pak Ilham. Perkenalkan ini teman-teman Fika," ucapku dengan senyuman ramah.

Liemon, Beerook, Ginseol, dan tentu saja Nuni, sahabatku.
Mereka datang karena aku undang untuk makan-makan, padahal ini adalah salah satu rencanaku. Hahaa ... senyumku penuh kemenangan.
"Baiklah, silahkan duduk semuanya." Bapakku menyuruh teman-temanku duduk. Merekapun memilih duduk di lantai.

"Baiklah, bisa kita lanjutkan pembicaraannya," ucap seorang Bapak bertubuh kekar, berambut putih. Kira-kira usianya di atas Bapakku. Dia Bapaknya Pak Ilham.
"Alhamdulillah, banyak orang yang akan menjadi saksi keseriusan ini . Saya langsung saja, maksud kedatangan kami kesini yaitu ingin meminta Fika menjadi istri Ilham." Suara bas bapak itu memenuhi ruangan.

"Apa?!" teriak teman-temanku, serentak.
What?! Istri?
Mataku tak berkedip, mulutku terbuka lebar, kaku bagai patung, tak mampu bergerak.
Mimpi burukku, menjadi kenyataankah?
.
-----
 
#Fika Mendadak Nikah 10

.
Aku meringkuk di balik selimut, kepala pusing, badan meriang, dan menggigil. Aku sakit, tak ingin ke mana-mana. Hari ini pun aku izin tidak masuk kerja.
"Nduk, kamu nggak berangkat kerja? Sudah jam tujuh lewat," ucap Ibu masuk ke kamarku.
Aku hanya diam, tak menjawab ucapan Ibu.

"Nduk, kenapa tubuhmu bergetar?" tanya Ibu lalu memegang dahiku. "Badanmu panas! Kamu demam, toh, Fik. ya Allah ... bentar, Ibu ambil obat dulu," ucap Ibu khawatir.
Aku bergeming, hanya kedinginan yang kurasakan. Ibu kembali, lalu membantuku duduk bersandar bantal. Ia membawakanku segelas air putih dan obat penurun panas, aku pun meminumnya.
"Tiduran lagi, ya," ucap Ibu sembari merebahkan tubuhku. Kurasakan tangan halusnya membelai rambutku, kecupan hangat mendarat di pipiku. "Ibu tinggal dulu, ya. Cepat sembuh sayangku." Ibu berbisik, lalu langkahnya menjauh.

*

"Maaf, mungkin ini terkesan buru-buru. Saya serius melamar kamu, Fika," ucap Pak Ilham.
Aku langsung menatapnya, membisu lalu menunduk dengan tangan yang dikepalkan.
"Apa sudah dipikirkan matang-matang, Nak Ilham?" tanya Bapakku kepada Pak Ilham.
"Iya, Pak, sudah saya pikirkan. Saya yakin, Fika wanita yang tepat untuk menjadi pendamping hidup saya." Pak Ilham dengan suara tegas mengatakannya.

Aku hanya diam, mendengarkan penuturannya. Kurasakan usapan lembut di punggung, seolah Ibu tahu gejolak hatiku. Lalu ia pun menggenggam tanganku.
"Kami sebagai orang tua berterima kasih atas niat baik Nak Ilham, tapi semua keputusan ada di tangan Fika," ucap Bapak yang masih kudengar.

"Gimana Fika, kamu mau jadi Istrinya Ilham?" tanya seseibu di hadapan.
Aku bergeming, lidahku keluh, bibir pun kaku, tak mampu berucap.
"A-a-ku," gugupku

"Ciyee ... ayo Fika terima saja, itu kan keinginanmu, ingat status yang kamu buat di FB." Beerook mengingatkanku pada status yang pernah kubuat.
"Ah, pake jual mahal segala, Fik, rezeki ini mah. Kalo aku bukan cowok dan di posisimu, langsung kuterima lamaran Pak Ilham, sah!" Liemoon menggodaku.
"Sah!" jawab Ginseol dan Beerook bersama-sama.

Aku melotot ke arah mereka. Geram! Namun, mereka seperti tak perduli, malah semakin mengejekku. Nyesel sudah mengundang mereka! Kecuali, sahabatku Nuni.
Aku melirik ke arah Nuni, berharap ia menyelamatkanku dari ejekan teman-teman.
"Terima saja, Fik. Mungkin mimpimu memang akan jadi kenyataan, uupss ... maaf keceplosan," ucap Nuni dengan wajah lugunya.

What?! Nuni ....! Aku melotot padanya, namun ia malah tertawa cekikikan, sambil menutup mulutnya.
Gila! Bener-bener gila! Punya teman nggak respek, malah bikin tambah ... aaah! Menyebalkan mereka semua.

"Aku bukan wanita tepat untuk Pak Ilham!" ucapku lantang.
Suasana kembali hening.
"Maaf, Bapak, Ibu, dan Pak Ilham. Silahkan tanya kepada Ibuku bagaimana keseharianku. Banyak hal yang belum bisa kulakukan untuk menjadi seorang istri." Aku mengatakan yang sebenarnya dan meminta mereka untuk menanyakan tentangku pada Ibu. Karena memang hanya Ibu yang tahu segalanyanya.

"Bisakah Ibunya Fika memberitahu kami tentang pribadi Fika?" ucap Ibunya Pak Ilham.
Aku mengeratkan genggaman tangan Ibu.
"Baiklah, Ibu akan mengatakan yang sejujurnya tentang Fika dan berharap menjadi pertimbangan bagi Nak Ilham dan keluarga," ucap Ibu, lalu menatapku lekat.

"Kami memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Reno, sudah berkeluarga punya dua orang anak. Ia memilih menetap di Jogja, usianya mungkin sebaya dengan Nak Ilham." Ibu berkata sambil tersenyum.

"Fika, anak kedua kami, usianya terpaut enam tahun. Kami sangat senang waktu tahu hamil anak kedua, karena sangat senangnya, kami membagikan sedekah ke fakir miskin, sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh-Nya." Ibu tersenyum lalu merangkulku.

"Terlebih saat lahir, ternyata berjenis kelamin perempuan, sungguh terasa berlipat-lipat anugerah yang Allah berikan. Pada hari ketiga setelah Fika lahir, kami mengundang tetangga untuk aqiqah putri kami. Saat ia berumur 15 tahun, kami terpaksa pindah karena bapaknya dimutasikan dari Jogja ke Palembang. Tentu tidak mudah bagi Fika meninggalkan masa kecilnya, apalagi kehilangan teman semasa SMP yang selalu ditolongnya." Ibu tertawa kecil mengingat cerita masa SMPku. Aku pun ikut tersenyum melihatnya, mataku tak pernah lepas menatap Ibu saat bercerita.

"Kamu ingat, Nduk. Waktu itu kamu ajak Dennis ke rumah dengan baju penuh lumpur. Kalian bilang habis dikejar orang gila, lalu sembunyi di parit."
Akupun mengangguk.

"Kamu juga tak lupa mengantarnya pulang, padahal ia sebenarnya bisa pulang sendiri. Tapi alasanmu membuat Ibu yakin akan tanggung jawab dan ketulusan dalam persahabatan."
Aku memeluk Ibu erat, lalu melepaskan, mendengarkan ceritanya kembali.

"Saat SMA, kamu sempat jadi pendiam, sampai mogok sekolah, nggak punya teman katanya. Tapi tak lama setelah itu, ada Nuni yang sudah jadi sahabatmu, dan kamupun kembali ceria."
Aku mengangguk. Kulihat ke arah Nuni, ia menunduk lalu menyeka air matanya. Ternyata sahabatku menangis mendengarkan cerita Ibu.

"Fika, tidak pernah mengeluh, ceria, dan suka menolong, tapi marah jika ada yang tidak sesuai dengan ketidakadilan yang dihadapinya. Jadi, Ibu bisa memaklumi jika tadi mengatakan telah memarahi Nak Ilham di kantor, itu memang wataknya. Mungkin suatu hari bisa lebih sabar," ucap Ibu yang melihat ke arah Pak Ilham kemudian ke arahku.

"Secara penampilan, jarang sekali Ibu melihat Fika memakai make-up, ya, seperti sekarang ini, dengan wajah polosnya. Pernah sekali, waktu pernikahan Reno di Jogja.
Pipiku merona, mendengar penuturan Ibu.

"Fika anaknya penurut, walaupun terkadang ngomongnya ceplas-ceplos, tapi nggak pernah membantah. Terbukti sejak ia baligh, kami memintanya untuk mengenakan jilbab dan melarangnya untuk pacaran. Dan ia masih tetap menjaga itu sampai sekarang."
Senyumku kembali mengembang.

"Fika masih banyak kekurangannya, tapi Ibu yakin jika mendapatkan suami yang tepat dan sabar, insyaallah ia akan menjadi istri sholehah," ucap Ibu, lalu menatapku lekat.
"Begitulah semua hal mengenai Fika, Bu, Pak, Nak Ilham, semoga kalian bisa mempertimbangkannya," kata Ibu mengarahkan pandangan ke mereka.

"Kami juga menyerahkan semua keputusan kepada Ilham. Karena ia yang akan bertanggung jawab menjadi imam, untuk istri, dan anaknya kelak," ucap sesebapak di hadapan.
"Monggo, Nak Ilham, baiknya dipikirkan terlebih dahulu, sebelum menyesal," ucap Bapakku pada Pak Ilham.

Hening, tak ada suara. Sepertinya Pak Ilham mulai meragukan niatnya untuk mempersuntingku. Ada sedikit rasa lega merasuki kalbuku.
"Bismillah ... aku tetap memilihmu!" lantang suaranya mengagetkanku.
"Aku nggak bisa masak!" ketusku

"Rumah makan banyak, tinggal beli."
"Aku nggak pandai mencuci, bajuku aja jarang disetrika."
"Nanti pakai jasa laundry, banyak! Ntar sekalian buka jasa laundry, mempekerjakan orang."
Aah … sudah gila, nih, orang!
"Pemborosan, itu namanya!" ketusku
"Yaudah, aku yang kerjain semua, masak, cuci, setrika."
"Gombal," sungutku

"Udah, mau nggak? Ntar nyesel, loh," ucapnya yang kepedean.
"Nak Fika, Ibu jamin, Ilham anaknya bertanggung jawab dan baik. Sulit baginya untuk memilih calon istri. Sudah banyak yang kami tawarkan, tapi ia menolak dengan alasan belum siap. Akan tetapi, dua hari belakangan Ilham bilang sudah menemukan calon istri, dan itu membuat kami sangat senang," ucap Ibunya Pak Ilham.

Aku melihat ke arah Ibuku.
"Semua keputusan ada di tanganmu, Nduk. Ibu mendo'akan yang terbaik." Kata-kata Ibu membuatku sulit menelan ludah.
"Bisakah Fika minta waktu satu minggu untuk berpikir?"

Pak Ilham menggeleng.
"Tiga hari! Aku minta keputusanmu tiga hari, terhitung mulai besok."
"Kok, maksa, sih! Memangnya gampang memutuskan!" sungutku.
'Bukan begitu. Minggu depan aku berada di luar Kota, tidak bisa datang. Aku berharap keputusanmu adalah yang terbaik, apa pun itu, aku akan menerimanya dengan ikhlas."

*

"Ibu ...." Aku memanggil Ibu yang sedang memijat kakiku.
"Iya, gimana sekarang keadaanmu, Nduk?" tanya Ibu sambil memdekatiku.
"Alhamdulillah ... pusingnya sudah berkurang, Bu," ucapku pada Ibu.
"Jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kamu sholat istikharah. Minta petunjuk kepada Allah yang terbaik untuk masa depanmu." Ibu berkata sambil menyelipkan rambut di daun telinga.
Ibu benar, aku harus meminta petunjuk pada Allah dan dipiilihkan jodoh yang terbaik di dunia dan akhirat.

*

Next
Terima nggak, ya?
Penuturan kisah Fika oleh ibunya sengaja ditulis dalam rangka memperingati Hari Ibu.
“Kasih Ibu kepada Beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai Sang Surya menyinari dunia”
#Selamat_Hari_Ibu_22_Desember_2019#

bersambung