#Fika Mendadak Nika, by Mimi Luy
[Susah dapat kerjaan? Ada yang sama kayak aku? Melamar pekerjaan, nggak dapat panggilan. Eh, sekalinya dipanggil mentok wawancara, tok! ]
[Kamu, yang baca tulisanku. Daripada ngelamar kerjaan, mending ngelamar aku. Yuk, kita ke penghulu.]
.
Begitulah isi timelineku hari ini, seketika statusku itu bikin heboh dunia maya, nyata, dan alam ghoib, eh.
Ribuan like, komen, dan share memenuhi notifikasiku. Tentu saja saat ini aku mau sembunyi. Pergi ke ujung dunia, hipotermia di kutub utara, hilang di segitiga bermuda. Eh, itu kan lagu, yak.
Nggak tahu, pokoknya aku mau menghilang dari kehidupanku.
Ting! Satu pesan masuk ke WA-ku.
[Beneran mau dilamar? Minggu depan, aku ke rumah ya?]
Siapa dia? Aku nggak kenal. Kubuka profilnya, telusuri semua info tentangnya. Foto nggak ada, alamat tempat tinggal 'Kediri, Jawa Timur'. Aahh ... aman. Paling orang iseng doang ini mah.
[Iya. Kalo berani datang ke rumah, temui bapakku]
Kukirim pesan itu.
Lima detik kemudian.
[Okey]
Heeem ... Emang aku percaya gitu? Nggaklah. Cowok sekarang mah ... Melempem! Mana ada yang gentlemen, datang ke rumah langsung lamar? Mimpi kali, yee.
.
.
Grup alumni almamaterku heboh, ratusan chat sengaja nggak kubuka.
Aku sudah tau apa yang bikin heboh. Tentu saja, statusku.
[Fik, kamu jadi bahan gosip di grup almamater kece. Wkwk]
[Bodo amat!]
Begitulah pesan dari Nuni, sahabatku.
Mau viral, kek!
Spiral, Kek!
Engklek-engklek!
Ra urus!
Mending rencanain besok mau masukin lamaran kemana. Oooo... sedihnya jadi pengacara.
Pengangguran banyak acara. Huwaaaaaa!
.
Satu bulan kemudian, aku dipanggil untuk tes tertulis di sebuah kantor. Ratusan orang mengikuti tes ini, pdahal yang diterima hanya 20 orang saja.
Lembar demi lembar kuisi, setelah selesai aku segera keluar. Tidak perlu menunggu waktu mengerjakan habis. Mengambil tas, lalu menuju ke kantin sekitar, perutku lapar.
Sesampainya di kantin, aku duduk di bangku pojokan, tetiba ada seseorang yang duduk di hadapan. "Permisi, aku boleh duduk di sini," katanya seraya menaruh tas. Aku hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Toh, ini juga bangku umum, sah-sah saja, nggak ada yang melarang.
Aku melahap pesanan yang sudah tersedia di hadapan. Tak peduli ada cowok di depan, cacing di perutku lebih perlu diberi perhatian.
Selesai makan, aku langsung membayar dan pergi begitu saja. Sore hari, pengumuman hasil tes tertulis. Buka akun, liat pengumuman.
'Fika Saputri, LULUS' Alhamdulillah, besok aku lanjut tes wawancara.
Next
----
#Fika Mendadak Nikah 2
Jam tiga sore. Aku bersiap menuju kantor tempatku mengadu nasib. Aku mengenakan baju putih, rok, dan jilbab senada berwarna hitam. Sesuai persyaratan.
Aku duduk di bangku panjang-samping pintu masuk ruangan menegangkan itu. Berjejer rapi para pelamar lainnya di sisiku. Ada yang membetulkan kerah baju, merapikan rambut, menatap cermin di depan wajah dengan bibir bergincu-mencucu.
"Aneh," ucapku lirih.
Cuek, itulah yang selalu dikatakan teman-teman tentang diriku. Wajahku polos tanpa bedak, lipstik, dan hanya bros kecil di bahu sebelah kanan menghiasi jilbab. Bukan tomboy karena aku selalu mengenakan rok kemanapun pergi.
Satu per satu orang-orang dipanggil memasuki ruangan. Hampir dua jam aku menunggu giliran.
"Tahu gini, aku memilih untuk mengisi perut sebelum ke sini!" kesalku, lalu berdiri menuju kantin.
Dua puluh menit, aku kembali. Kulihat sisa dua orang saja. Aku dan seorang cowok yang baru saja dipanggil.
Aku menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. Memainkan jari-jari kaki di balik sepatu, sedangkan tangan bergenggaman di atas pangkuan.
Pintu terbuka, cowok itu pun keluar.
"Sekarang giliranku," ucapku.
Lima menit, belum ada panggilan.
"Sabar ... mungkin masih pada sibuk di dalam." Aku menyandarkan punggung di tembok.
Sepuluh menit berlalu, namaku belum juga dipanggil.
"Apa orangnya ketiduran, ya?" tanyaku sambil mendekati pintu berwarna hijau tua itu.
Kuketuk pintu pelan, namun tak ada jawaban. Ketuk lagi lebih kuat, masih tak ada jawaban.
"Ini orang nggak profesional banget, sih! Ketiduran di jam tugas, uh!" gerutuku di balik pimtu.
Tanpa aba-aba, dengan emosi di dada, aku masuk ke ruangan itu.
"Pak, saya kok nggak dipanggil-panggil!" kesalku pada seorang bapak seusia abangku yang berusia dua puluh sembilan tahunan.
"Kamu, siapa?" Dia terlihat santai, tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Membuatku semakin esmosi eh, emosi.
"Saya udah nunggu lama di luar, nunggu dipanggil untuk wawancara. Bapak nggak perhatiin penampilan saya, sudah kayak saleswomen gini!" Dengan tangan mengepal ingin melampiaskan kekesalan.
"Ooo ... nama kamu siapa?"
"Fika Saputri!" kesalku.
Aku masih berdiri di hadapannya, kulihat wajahnya biasa saja. Harusnya kan, aku disuruh duduk dulu. Nyebelin!.
"Nama kamu sudah dicoret, tadi dipanggil tidak ada."
What?! Apa katanya, dicoret.
"Nggak bisa gitu, dong, Pak. Aku menunggu giliran hampir dua jam, perutku lapar. Bapak mau aku pingsan karena belum makan. Lagian nggak sopan kalau wawancara perutku bunyi keroncongan," jelasku panjang kali lebar padanya.
Sudut bibirnya sedikit tertarik kesamping, Entah itu senyum mengejek atau karena aku lucu.
"Yaudah, kamu duduk, kita wawancara."
"Dari tadi, kek. Capek berdiri, tau!" kesalku.
"Siapa namamu?" tanyanya
"Kan, tadi udah, Pak! Fika Saputri!" ketusku
"Oiya, maaf. Alamatmu dimana?" Masih dengan gaya coolnya.
"Kok, tanya-tanya alamat rumah, buat apa?"
"Jawab saja, atau stop wawancara ini."
Aku menjawab alamat lengkap rumah beserta nomor HP yang bisa dhubungi. Sesuai pertanyaannya.
"Oke, sekarang silahkan keluar. Kamu tunggu undangan panggilan kerja ke alamat rumahmu atau di HPmu."
"Dah, gitu, doang!" Aku mengernyitkan dahi. Lalu, berdiri. Meninggalkan sesebapak itu.
"Wawancara aneh," ucapku lirih mendekati pintu.
Sepertinya dia mendengar ucapanku. Terlihat dia tersenyum mengejekku saat berpamitan. Bodo amat.
"Sebel ....!" Aku menghentak-hentakkan kakiku, hingga sampai di parkiran motor.
"Ibu, Bapak, maafin Fika belum dapat kerja," ucapku sembari menaiki motor.
Kustarter motor, lalu melaju dengan kecepatan tinggi, mumpung jalanan lagi sepi.
"Ya Allah ... daripada jadi pengangguran dan ngelamar kerjaan nggak dapat-dapat, mending kirim cowok buat ngelamar," gumamku.
.
Menjelang maghrib, aku sampai di rumah. Mengucap salam, namun tak ada jawaban. Tentu saja, saat ini ibu dan bapak berada di mushalla untuk melaksanakan ibadah. Aku pun segera berwudlu menunaikan kewajibanku.
.
"Gimana wawancaranya hari ini, Nduk?" tanya ibu saat kami duduk di sofa, tangannya sembari menyelipkan rambutku di balik telinga.
"Hemm ..." Aku hanya menjawab dengan senyum simpul. Antara ingin bercerita, tapi takut ibu sedih.
"Kenapa? Biasanya kamu pasti cerita sama Ibu." Ibu menatap lekat mataku, seolah ia tahu jika anaknya sedang gundah. "Ayo ... cerita sama Ibu," pintanya.
"Bu, kalo Fika belum dapat kerjaan juga, Ibu sama Bapak kecewa, nggak?" tanyaku dengan wajah sendu.
"Owalah, ya nggaklah, Nduk. Memangnya kamu nggak keterima lagi?" tanya Ibu.
"Hu'um." Kepalaku menunduk sembari mengangguk-angguk.
"Yaudah, jangan sedih gitu." Ibu merangkul bahuku, lalu kami bergerak ke kiri-ke kanan. Aku pun dibuat tersenyum.
Ibu menasihatiku agar tetap merajut asa. Tidak ada usaha yang sia-sia karena Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
"Assalammu'alaikum ....!" Suara Bapak menggelegar dari teras rumah. Aku dan ibu menjawab salam secara bersamaan.
"Kok, udah pulang, Pak? Bukannya tadi, Bapak bilang rapat er-te sampai malam. Ini baru jam tujuh, toh," ucap Ibu dengan raut muka heran.
"Iya, sebenarnya belum mau pulang. Ini, Bapak dapat sms dari nomer nggak dikenal. Dia sebutin nama Bapak salah, tapi nama anaknya bener. Teman kamu, Fika?" tanya Bapak padaku.
"Emang apa isinya, Pak. Mana, sini, Fika lihat." Bapak memberikan HPnya, lalu kubaca sms itu.
Seketika dahiku mengernyit, disertai pandangan menerawang ke langit-langit rumah. Nomor siapa, ya?
----
#Fika Mendadak Nikah 3
.
Aku mencoba mengetik nomor si pengirim pesan di HP Bapak, ke daftar kontak HPku. Namun, tidak ditemukan.
Bapak pun sudah mau kembali lagi ke mushalla, ngelanjutin rapat er-te. Maklum, bapakku seorang kapiten eh, Pak RT.
"Nggak tau, Pak. Nih!" Kuberikan HP bapakku.
Bapak baru saja melangkah beberapa langkah, suara dj ayam berkokok dari HPnya berbunyi, tanda pesan masuk. Kulihat tangan Bapak meraih HP dari saku bajunya.
"Ilham? Sopo toh, iki?" gumam Bapak yang masih dapat kudengar.
"Sms dari siapa, Pak. Kok, mulutnya komat-kamit gitu," ucap Ibu yang juga memperhatikan Bapak.
"Ini loh, Bu. Masih yang Bapak kira temannya Fika, ngirim pesan lagi. Namanya Ilham. Ada nggak, Fika, temanmu yang namanya Ilham?" Bapak mendelik ke arahku, kedua alisnya terangkat.
Aku menggeleng, lalu mengangkat kedua bahu.
"Mbuh. Nggak ada, Pak. Temanku namanya itu keren-keren semua, korea-korean gitu. Ada yang Liemon, Beerouk, Ginsoul, gitulah, Pak."
"Owalah, nama temanmu, kok, wuuaaneh ngono. Jadi beneran, nggak ada yang namanya Ilham?" tanya Bapak lagi.
"Nggak ada, abaikan saja, Pak. Orang iseng paling," ucapku dengan nada meyakinkan.
"Mana, sih, Pak. Ibu baca." Ibu mendekati Bapak, lalu mengambil HP di tangannya.
Pesan pertama, [apa benar ini nomernya Pak Yitno, Bapaknya Fika Saputri?]
Pesan kedua, [saya Ilham, Pak. Kebetulan saya dapat nomer Bapak dari Fika langsung. Maaf jika mengganggu waktunya.]
Ibu juga terlihat mengernyitkan dahi, lalu memberikan HP itu ke Bapak.
"Udah dibalas saja, Pak." Ibu menyarankan Bapak untuk membalas pesan itu.
"Balas apa?" tanya Bapak pada Ibu.
"Sini, Fika yang ngetik balasan," ucapku sembari mengambil HP Bapak. Entah dapat wangsit dari mana, tapi yang jelas ideku sangat cemerlang.
[Benar, anak saya namanya Fika Saputri, tapi nama Bapak bukan Yitno, melainkan Supatmo. Gini saja, karena kamu sudah sangat menggangu waktu Bapak, ditambah salah sebutin nama. Silahkan datang ke rumah untuk minta maaf. Bapak tunggu!] Pesan terkirim.
Aku tertawa jahat saat mengirim pesan itu. Syukurin dan biar kapok tuh orang, biar nggak ngerjain bapakku. Kukembalikan HP ke tangan Bapak.
.
-----
#Fika Mendadak Nikah 4
Tiga hari rasa setahun, mungkin karena hobiku keluyuran bersama Nuni, sahabatku. Biasanya, kami menjelajahi Kota Wong Kito Galo, sambil duduk di emperan jalan, menikmati kuliner pempek tercinta. Hampir setiap hari menu sarapan kami adonan tepung, ikan, dan cuko.
Kubuka gawai, tekan aplikasi berwarna biru, berharap ada panggilan kerja dadakan dari sepuluh tempat aku melamar kerja, tapi tetap saja, zonk!.
Tak tahu sudah berapa uang ibu dan bapak yang kupinta untuk fotokopi ijazah, transkrip nilai, dan portfolioku.
Apa ini? 234 inbox!
Kubuka satu per per satu, isinya membuat mukaku merah merona, bukan terpesona tapi nahan malu, pengen benamin wajah di dada bidangmu, eh.
Liemon : [Hai ... Fika, yuk ke KUA , Kandang Ujung Ampera. Wkwkwk].
Eiiits dah, kurang diajar nih anak. Awas, ya!
Beerouk : [Kau betulan mau kawin, Fik? Tuh kucingku ada satu yang masih bujang, mau? Haahaa ....]
Minta ditonjok nih, dasar omes!
Ginseol : [sabar Fik, tunggu aku dapat kerjaan dan mapan dulu, baru kita ke penghulu.]
Jiiiaaah ... dia juga belum dapat kerjaan ternyata. Keburu tua nungguinnya.
Nuni: [Semangat my best friend. Diiih, jangan buru-buru nikah Fik, ntar aku nggak ada teman jalan lagi. Hiiiks]
Nuni memang sahabatku yang paling pengertian. Yang lain mah, ke laut aja.
"Kak, beli minyak satu liter." kata seorang bocah, mengagetkanku.
"Iya, bentar." Aku mengambilkan bocah itu satu liter minyak curah.
Tiga hari ini kegiatanku membantu ibu menjaga warung di samping rumah. Sesekali bikin ibu seneng. Walaupun sebenarnya rasa bosan, sudah menggelayuti pikiran. Huuufht.
.
"Fikaa ... kamu baik-baik saja. Kan?" tanya Nuni, saat kami janjian ketemuan di warung pempek langganan. Tangannya memeriksaku dari ujung kepala hingga kaki.
"Hmmm ...." Aku hanya mengangguk.
"Kamu kenapa, Fik? Statusmu tempo hari, kok, gitu. Ntar beneran ada yang ngelamar, baru tahu rasa, loh." Ia langsung menimpaliku pertanyaan sebelum aku duduk.
"Bodo amat!" ucapku jutek.
"Iiish ... nih, anak." Nuni melempar tasnya ke arahku, "cueknya, ampun ....! Siapa yang mau sama kamu kalo gini terus. Fik?" lanjutnya.
"Kamu tahu, nggak. Kenapa kamu gagal tiap kali wawancara?"
Aku mengangkat kedua bahu.
"Karena mereka nggak profesional," jawabku, sambil menyesap es teh yang ada di hadapan.
"Ya ampun ... itu karrna penampilanmu yang kurang menarik. Fik. Di mana-mana kriteria yang dicari itu berpenampilan menarik." Nuni menjelaskan panjang lebar tentang semua itu.
"Menarik itu dari hati, bukan sekadar penampilan, Nun." Aku memotong bicaranya yang amat sangat mengganggu pelanggan lainnya.
Bibirnya berhenti bergerak, kaku, dan bengong.
"Yaudah, terserah kamu deh." sambil tangannya meraih gelas, menyesap es jeruk miliknya.
"Nun?"
"Hmm ... ada apa?"
"Aku mau minta tolong, cariin aku kerja. Please ...." Aku memohon dengan wajah imut dan menangkupkan telapak tangan.
"Apa saja, yang penting ada pemasukan, dan harus halal." Aku akhirnya mengatakan tujuanku mengajaknya bertemu. Ia terlihat seperti sedang berpikir keras dengan jari telunjuk dan jempol di dagu.
"Kerja jaga perpustakaan, mau? Kebetulan Ayahku kemarin minta aku carikan." Aku berdiam diri sejenak, menimbang pekerjaan yang ditawarinya itu.
"Hey! Malah bengong. Nuni menepuk pundakku,"temui saja dulu Ayahku. Sekalian tanya tugas dan gajinya," ucapnya sambil menggerak-gerakan alisnya.
"Oke. Besok, ya," ucapku."
"Jangan besok, Ayahku lagi keluar kota. Ntar aku kabari, oke.
Akupun mengangguk mengiyakan . Kami pun larut dalam cerita masing-masing. Nuni bercerita tentang pengalaman pertamanya menjadi seorang karyawati di sebuah bank. Sedangkan aku dengan kisah menyedihkan seperti sms iseng di HP bapak.
.
Aku sampai di rumah pukul sembilan malam. Ibu dan Bapak sedang menyaksikan siaran tivi kesukaan mereka. Tentu saja mereka tidak khawatir dan bertanya macam-macam, karena sejak awal aku sudah pamitan, dan lagi mereka tahu sahabatku itu cuma, Nuni.
"Fika, tadi Bapak dapat sms lagi dari Nak Ilham," ucap Bapak, matanya masih menatap layar tivi di depan.
"Hmmm ...." Aku hanya berdehem. Enggan menanggapi orang iseng.
"Lusa, katanya mau ke rumah, temui Bapak."
Aku tersedak gorengan yang baru saja kukunyah, Ibu langsung memberikanku segelas air putih.
"Pelan-pelan toh, Nduk. Jangan buru-buru makannya." Ibu menepuk punggungku. Aku berusaha menarik napas mengembuskan perlahan.
"Beneran, Pak? Bukannya orang iseng saja. Ngapain dia mau ke sini?" tanyaku pada Bapak yang terlihat menggeleng-geleng melihatku.
"Loh, kan, kamu yang minta dia ke sini untuk minta maaf." Bapak menatapku
Oiya. Itukan aku yang suruh ke rumah. Kukira iseng doang! biarin datang, kan urusannya sama Bapak, bukan sama aku.
"Kamu temui, ya. Hari minggu ini bapak ada acara kelurahan. Ada rapat," kata Bapak. Yaelah, rapat terus Bapak ini, nggak kelar-kelar dari sebulan lalu.
"Kok, Fika? Hari minggu, aku ada janji ke rumah Nuni, Pak. Soal kerjaan," ucapku
"Lah, ini kan ulahmu. Ya harus tanggung jawab!" ketus Bapak.
"Fika udah janji, Pak. Nggak enak sama ayahnya Nuni. Lagian, si Ilham kan maunya minta maaf ke Bapak, bukan aku," jelasku dengan bibir maju tiga senti.
Bapak terlihat menghela napas dalam, mengambil HP, lalu mrmberinya padaku.
"Noh, baca smsnya!"
Kuambil HP itu, buka folder pesan masuk dari hp Nokia jadul, milik Bapak.
[Hari minggu insyaAllah saya akan ke rumah Bapak unttuk meminta maaf, sekalian mau ketemu Fika.]
What?! Siapa, sih, ini? Aku penasaran, tapi nggak mungkin batalin janji sama Nuni, bisa jadi dia juga kasih tahu ayahnya. Aku hapal betul sahabatku itu. Orangnya lincah dan cekatan.
"Nggak mau!" Kuletakkan HP Bapak di atas meja, lalu pergi ke kamar.
.
Siapa, sih, Ilham itu? Aku penasaran.
.
Kamu, ikut penasaran juga, nggak, ya?
.
.
Maaf sedikit, ngetik lewat HP terbatas jumlah katanya. Tapi diusahakan update secepatnya. Thanks udah baca tulisanku.
-----
#Fika Mendadak Nikah 5
.
Hari minggu. Pukul tujuh pagi, aku sudah berpamitan pada ibu, ke rumah Nuni. Bapak sedang sibuk dengan motornya. Sengaja pergi pagi, karena akudan Nuni ingin wisata kuliner terlebih dahulu.
Jam sembilan, kami melaju ke rumah orang tua Nuni. Kami memasuki rumah, lalu menyalami seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk di teras sambil membaca koran. Aku dan Nuni segera mendekatinya, mengucapkan salam, dan duduk dalam satu ruangan.
"Jadi, beneran kamu mau kerja, jaga perpustakaan daerah, loh, Fik?" Om Surya, ayahnya Nuni menanyakan keseriusanku.
Aku dan Nuni sudah berteman sejak kami SMA. Om Surya sudah menganggapku seperti anaknya, karena kedekatanku dengan Nuni.
"Iya. Kerjanya apa saja, ya, Om?" tanyaku
"Menata buku, memastikan buku-buku pada tempatnya, mencatat buku yang dipinjam- dikembalikan, dan masih banyak lagi. Nanti Kepala Kantor Perpustakaan Daerah akan menjelaskan lebih rinci."
"Maaf, gajinya berapa ya, Om?"
"Nah, itu. Gajinya kecil, mungkin tidak sesuai dengan keinginanmu. Gaji ini sekitar lima-enam ratusan per bulan, menyesuaikan dengan pendapatan daerah. Gimana, apa kamu masih mau, Fika?"
"Baiklah, Om," jawabku sembari tersenyum. Daripada nganggur mending kerja. Walau gaji kecil, nggak masalah.
"Serius, Fika? Baiklah kalau begitu besok kamu ke pusda, temui Pak Rahmat, bilang saya yang suruh" Aku mengangguk tanda menyetujui. Akhirnya aku bisa dapat kerjaan. Tak lupa aku mengucapkan terimaa kasih pada Om Surya dan Nuni, sahabatku.
.
Senja mulai menyapa, jam lima sore aku sampai di rumah. Kulihat ada sebuah mobil terparkir di halaman.
"Tamu Bapak palingan," gumamku.
Langkah santai sambil memainkan anak kunci motor di jari telunjuk-kanan. Hari ini aku bahagia.
Mengucapkan salam, lalu terdengar suara bapak, Ibu, dan seorang lelaki yang hanya tampak punggungnya, menjawab secara serentak-kompak.
Melepas sepatu, lalu masuk menyalami ibu dan bapak. Ketika menoleh ke arah lelaki itu.
"Kamu ...?!" Mataku membulat. Alis terangkat, kaget. Ngapain dia di sini?
Kupu-kupu yang berterbangan di hatiku tiba-tiba menghilang berganti kumbang penyengat yang ingin ku cabik-cabik sayapnya..
"Hai ... Fika, apa kabar?" tanyanya yang sok ramah.
Rasanya ingin aku teriak, lalu seret dia keluar rumah, tapi mana mungkin. Ini, kan di rumah, ada ibu sama bapak. Mereka tahunya aku anak baik, walaupun penampilan ala kadarnya. Mungkin dia ada urusan sama bapak. Lagipula, sudah seumuran abang, pasti udah punya anak istri. Huh, Dasar, genit!
"Kamu kenal, Fika juga, toh?" ucap Bapak pada lelaki itu. "Heh, ditanyain kabar ya dijawab, Fik. Malah bengong." Bapak memukul pelan tubuhku yang berdiri disampingnya, menatap sinis lelaki itu.
"Aauu! Iya, Pak. Kabarku baik. Aku masuk dulu, ya, Pak, Bu. Capek, mau istirahat." Alibiku karena tak ingin berlama-lama bertemu orang yang telah merusak suasana hatiku.
"Loh, Nduk, piye, toh. Wong Nak Ilham ini datang mau ketemu sama kamu, kok," ucap Ibu mencegahku ke kamar.
"Itu ... aku ... anu ... What?! Ilham, Bu?" Aku terkejut, setengah berteriak, saat menyadari ucapan Ibu. Ibu pun mengangguk.
"Huuss! Jangan teriak gitu, bikin Bapak jantungan. Ini Nak Ilham datang mau minta maaf juga sama kamu, Fika. Katanya kemarin bikin kamu marah."
Bapak menjelaskan sambil menarikku untuk duduk. Dengan terpaksa aku menurut. Sedangkan dia, yang namanya Ilham, pasti senyum-senyum kemenangan karena aku tak berkutik sama sekali.
"Iya, udah aku maafin. Udah, kan, Pak. Aku mau ke kamar." Aku berucap tak ingin berlama-lama.
"Beneran, udah maafin?" tanyanya padaku.
"Hmm ...." Aku hanya bergumam, malas adu argumen sama lelaki di hadapanku.
"Beneran?" tanyanya lagi
"Hmm ...." Aku bergumam dengan penekanan.
""Serius?" tanyanya lagi yang membuat kesabaranku habis.
"Udah, deh, Pak! Aku nggak mau bahas itu lagi. Aku udah lupain semua kejadian kemarin, udah aku maafin. Sekarang pulang, sana!" teriakku dengan mengembuskan napas kasar.
Ibu dan Bapak bengong melihatku. Mereka menatapku tajam, seperti ada tanda tanya besar di kepala.
"Ntar dulu, ini ada apa, toh, sebenarnya?" tanya Bapak padaku.
"Ini, salah saya, Pak, sudah bikin Fika marah." lelaki itu menjawab pertanyaan Bapak.
"Sepertinya, ini urusan pribadi mereka berdua, Pak. Baiknya diselesaikan baik-baik. Yuk, Pak, kita ke belakang." Ibu menyahut pembicaraan. Lalu, mengajak Bapak pergi. Sebelum beranjak, Ibu sempat mengelus pundakku dan berbisik di telinga "selesaikan dengan kepala dingin, cemburu berlebihan itu nggak baik," lirih suara Ibu.
Apa?! Cemburu?!
"Bu, Pak, kalian salah paham. Jangan per--" Aku memutus omongan karena keduanya sudah menjauh dari pandangan.
Kini, hanya ada aku dan lelaki nyebelin itu. Liat tuh, lagi-lagi dia menahan senyum kemenangan. Aku menghirup udara lalu mengembuskan secara kasar, menunduk tanda tak berdaya.
bersambung
.
[Susah dapat kerjaan? Ada yang sama kayak aku? Melamar pekerjaan, nggak dapat panggilan. Eh, sekalinya dipanggil mentok wawancara, tok! ]
[Kamu, yang baca tulisanku. Daripada ngelamar kerjaan, mending ngelamar aku. Yuk, kita ke penghulu.]
.
Begitulah isi timelineku hari ini, seketika statusku itu bikin heboh dunia maya, nyata, dan alam ghoib, eh.
Ribuan like, komen, dan share memenuhi notifikasiku. Tentu saja saat ini aku mau sembunyi. Pergi ke ujung dunia, hipotermia di kutub utara, hilang di segitiga bermuda. Eh, itu kan lagu, yak.
Nggak tahu, pokoknya aku mau menghilang dari kehidupanku.
Ting! Satu pesan masuk ke WA-ku.
[Beneran mau dilamar? Minggu depan, aku ke rumah ya?]
Siapa dia? Aku nggak kenal. Kubuka profilnya, telusuri semua info tentangnya. Foto nggak ada, alamat tempat tinggal 'Kediri, Jawa Timur'. Aahh ... aman. Paling orang iseng doang ini mah.
[Iya. Kalo berani datang ke rumah, temui bapakku]
Kukirim pesan itu.
Lima detik kemudian.
[Okey]
Heeem ... Emang aku percaya gitu? Nggaklah. Cowok sekarang mah ... Melempem! Mana ada yang gentlemen, datang ke rumah langsung lamar? Mimpi kali, yee.
.
.
Grup alumni almamaterku heboh, ratusan chat sengaja nggak kubuka.
Aku sudah tau apa yang bikin heboh. Tentu saja, statusku.
[Fik, kamu jadi bahan gosip di grup almamater kece. Wkwk]
[Bodo amat!]
Begitulah pesan dari Nuni, sahabatku.
Mau viral, kek!
Spiral, Kek!
Engklek-engklek!
Ra urus!
Mending rencanain besok mau masukin lamaran kemana. Oooo... sedihnya jadi pengacara.
Pengangguran banyak acara. Huwaaaaaa!
.
Satu bulan kemudian, aku dipanggil untuk tes tertulis di sebuah kantor. Ratusan orang mengikuti tes ini, pdahal yang diterima hanya 20 orang saja.
Lembar demi lembar kuisi, setelah selesai aku segera keluar. Tidak perlu menunggu waktu mengerjakan habis. Mengambil tas, lalu menuju ke kantin sekitar, perutku lapar.
Sesampainya di kantin, aku duduk di bangku pojokan, tetiba ada seseorang yang duduk di hadapan. "Permisi, aku boleh duduk di sini," katanya seraya menaruh tas. Aku hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Toh, ini juga bangku umum, sah-sah saja, nggak ada yang melarang.
Aku melahap pesanan yang sudah tersedia di hadapan. Tak peduli ada cowok di depan, cacing di perutku lebih perlu diberi perhatian.
Selesai makan, aku langsung membayar dan pergi begitu saja. Sore hari, pengumuman hasil tes tertulis. Buka akun, liat pengumuman.
'Fika Saputri, LULUS' Alhamdulillah, besok aku lanjut tes wawancara.
Next
----
#Fika Mendadak Nikah 2
Jam tiga sore. Aku bersiap menuju kantor tempatku mengadu nasib. Aku mengenakan baju putih, rok, dan jilbab senada berwarna hitam. Sesuai persyaratan.
Aku duduk di bangku panjang-samping pintu masuk ruangan menegangkan itu. Berjejer rapi para pelamar lainnya di sisiku. Ada yang membetulkan kerah baju, merapikan rambut, menatap cermin di depan wajah dengan bibir bergincu-mencucu.
"Aneh," ucapku lirih.
Cuek, itulah yang selalu dikatakan teman-teman tentang diriku. Wajahku polos tanpa bedak, lipstik, dan hanya bros kecil di bahu sebelah kanan menghiasi jilbab. Bukan tomboy karena aku selalu mengenakan rok kemanapun pergi.
Satu per satu orang-orang dipanggil memasuki ruangan. Hampir dua jam aku menunggu giliran.
"Tahu gini, aku memilih untuk mengisi perut sebelum ke sini!" kesalku, lalu berdiri menuju kantin.
Dua puluh menit, aku kembali. Kulihat sisa dua orang saja. Aku dan seorang cowok yang baru saja dipanggil.
Aku menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. Memainkan jari-jari kaki di balik sepatu, sedangkan tangan bergenggaman di atas pangkuan.
Pintu terbuka, cowok itu pun keluar.
"Sekarang giliranku," ucapku.
Lima menit, belum ada panggilan.
"Sabar ... mungkin masih pada sibuk di dalam." Aku menyandarkan punggung di tembok.
Sepuluh menit berlalu, namaku belum juga dipanggil.
"Apa orangnya ketiduran, ya?" tanyaku sambil mendekati pintu berwarna hijau tua itu.
Kuketuk pintu pelan, namun tak ada jawaban. Ketuk lagi lebih kuat, masih tak ada jawaban.
"Ini orang nggak profesional banget, sih! Ketiduran di jam tugas, uh!" gerutuku di balik pimtu.
Tanpa aba-aba, dengan emosi di dada, aku masuk ke ruangan itu.
"Pak, saya kok nggak dipanggil-panggil!" kesalku pada seorang bapak seusia abangku yang berusia dua puluh sembilan tahunan.
"Kamu, siapa?" Dia terlihat santai, tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Membuatku semakin esmosi eh, emosi.
"Saya udah nunggu lama di luar, nunggu dipanggil untuk wawancara. Bapak nggak perhatiin penampilan saya, sudah kayak saleswomen gini!" Dengan tangan mengepal ingin melampiaskan kekesalan.
"Ooo ... nama kamu siapa?"
"Fika Saputri!" kesalku.
Aku masih berdiri di hadapannya, kulihat wajahnya biasa saja. Harusnya kan, aku disuruh duduk dulu. Nyebelin!.
"Nama kamu sudah dicoret, tadi dipanggil tidak ada."
What?! Apa katanya, dicoret.
"Nggak bisa gitu, dong, Pak. Aku menunggu giliran hampir dua jam, perutku lapar. Bapak mau aku pingsan karena belum makan. Lagian nggak sopan kalau wawancara perutku bunyi keroncongan," jelasku panjang kali lebar padanya.
Sudut bibirnya sedikit tertarik kesamping, Entah itu senyum mengejek atau karena aku lucu.
"Yaudah, kamu duduk, kita wawancara."
"Dari tadi, kek. Capek berdiri, tau!" kesalku.
"Siapa namamu?" tanyanya
"Kan, tadi udah, Pak! Fika Saputri!" ketusku
"Oiya, maaf. Alamatmu dimana?" Masih dengan gaya coolnya.
"Kok, tanya-tanya alamat rumah, buat apa?"
"Jawab saja, atau stop wawancara ini."
Aku menjawab alamat lengkap rumah beserta nomor HP yang bisa dhubungi. Sesuai pertanyaannya.
"Oke, sekarang silahkan keluar. Kamu tunggu undangan panggilan kerja ke alamat rumahmu atau di HPmu."
"Dah, gitu, doang!" Aku mengernyitkan dahi. Lalu, berdiri. Meninggalkan sesebapak itu.
"Wawancara aneh," ucapku lirih mendekati pintu.
Sepertinya dia mendengar ucapanku. Terlihat dia tersenyum mengejekku saat berpamitan. Bodo amat.
"Sebel ....!" Aku menghentak-hentakkan kakiku, hingga sampai di parkiran motor.
"Ibu, Bapak, maafin Fika belum dapat kerja," ucapku sembari menaiki motor.
Kustarter motor, lalu melaju dengan kecepatan tinggi, mumpung jalanan lagi sepi.
"Ya Allah ... daripada jadi pengangguran dan ngelamar kerjaan nggak dapat-dapat, mending kirim cowok buat ngelamar," gumamku.
.
Menjelang maghrib, aku sampai di rumah. Mengucap salam, namun tak ada jawaban. Tentu saja, saat ini ibu dan bapak berada di mushalla untuk melaksanakan ibadah. Aku pun segera berwudlu menunaikan kewajibanku.
.
"Gimana wawancaranya hari ini, Nduk?" tanya ibu saat kami duduk di sofa, tangannya sembari menyelipkan rambutku di balik telinga.
"Hemm ..." Aku hanya menjawab dengan senyum simpul. Antara ingin bercerita, tapi takut ibu sedih.
"Kenapa? Biasanya kamu pasti cerita sama Ibu." Ibu menatap lekat mataku, seolah ia tahu jika anaknya sedang gundah. "Ayo ... cerita sama Ibu," pintanya.
"Bu, kalo Fika belum dapat kerjaan juga, Ibu sama Bapak kecewa, nggak?" tanyaku dengan wajah sendu.
"Owalah, ya nggaklah, Nduk. Memangnya kamu nggak keterima lagi?" tanya Ibu.
"Hu'um." Kepalaku menunduk sembari mengangguk-angguk.
"Yaudah, jangan sedih gitu." Ibu merangkul bahuku, lalu kami bergerak ke kiri-ke kanan. Aku pun dibuat tersenyum.
Ibu menasihatiku agar tetap merajut asa. Tidak ada usaha yang sia-sia karena Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
"Assalammu'alaikum ....!" Suara Bapak menggelegar dari teras rumah. Aku dan ibu menjawab salam secara bersamaan.
"Kok, udah pulang, Pak? Bukannya tadi, Bapak bilang rapat er-te sampai malam. Ini baru jam tujuh, toh," ucap Ibu dengan raut muka heran.
"Iya, sebenarnya belum mau pulang. Ini, Bapak dapat sms dari nomer nggak dikenal. Dia sebutin nama Bapak salah, tapi nama anaknya bener. Teman kamu, Fika?" tanya Bapak padaku.
"Emang apa isinya, Pak. Mana, sini, Fika lihat." Bapak memberikan HPnya, lalu kubaca sms itu.
Seketika dahiku mengernyit, disertai pandangan menerawang ke langit-langit rumah. Nomor siapa, ya?
----
#Fika Mendadak Nikah 3
.
Aku mencoba mengetik nomor si pengirim pesan di HP Bapak, ke daftar kontak HPku. Namun, tidak ditemukan.
Bapak pun sudah mau kembali lagi ke mushalla, ngelanjutin rapat er-te. Maklum, bapakku seorang kapiten eh, Pak RT.
"Nggak tau, Pak. Nih!" Kuberikan HP bapakku.
Bapak baru saja melangkah beberapa langkah, suara dj ayam berkokok dari HPnya berbunyi, tanda pesan masuk. Kulihat tangan Bapak meraih HP dari saku bajunya.
"Ilham? Sopo toh, iki?" gumam Bapak yang masih dapat kudengar.
"Sms dari siapa, Pak. Kok, mulutnya komat-kamit gitu," ucap Ibu yang juga memperhatikan Bapak.
"Ini loh, Bu. Masih yang Bapak kira temannya Fika, ngirim pesan lagi. Namanya Ilham. Ada nggak, Fika, temanmu yang namanya Ilham?" Bapak mendelik ke arahku, kedua alisnya terangkat.
Aku menggeleng, lalu mengangkat kedua bahu.
"Mbuh. Nggak ada, Pak. Temanku namanya itu keren-keren semua, korea-korean gitu. Ada yang Liemon, Beerouk, Ginsoul, gitulah, Pak."
"Owalah, nama temanmu, kok, wuuaaneh ngono. Jadi beneran, nggak ada yang namanya Ilham?" tanya Bapak lagi.
"Nggak ada, abaikan saja, Pak. Orang iseng paling," ucapku dengan nada meyakinkan.
"Mana, sih, Pak. Ibu baca." Ibu mendekati Bapak, lalu mengambil HP di tangannya.
Pesan pertama, [apa benar ini nomernya Pak Yitno, Bapaknya Fika Saputri?]
Pesan kedua, [saya Ilham, Pak. Kebetulan saya dapat nomer Bapak dari Fika langsung. Maaf jika mengganggu waktunya.]
Ibu juga terlihat mengernyitkan dahi, lalu memberikan HP itu ke Bapak.
"Udah dibalas saja, Pak." Ibu menyarankan Bapak untuk membalas pesan itu.
"Balas apa?" tanya Bapak pada Ibu.
"Sini, Fika yang ngetik balasan," ucapku sembari mengambil HP Bapak. Entah dapat wangsit dari mana, tapi yang jelas ideku sangat cemerlang.
[Benar, anak saya namanya Fika Saputri, tapi nama Bapak bukan Yitno, melainkan Supatmo. Gini saja, karena kamu sudah sangat menggangu waktu Bapak, ditambah salah sebutin nama. Silahkan datang ke rumah untuk minta maaf. Bapak tunggu!] Pesan terkirim.
Aku tertawa jahat saat mengirim pesan itu. Syukurin dan biar kapok tuh orang, biar nggak ngerjain bapakku. Kukembalikan HP ke tangan Bapak.
.
-----
#Fika Mendadak Nikah 4
Tiga hari rasa setahun, mungkin karena hobiku keluyuran bersama Nuni, sahabatku. Biasanya, kami menjelajahi Kota Wong Kito Galo, sambil duduk di emperan jalan, menikmati kuliner pempek tercinta. Hampir setiap hari menu sarapan kami adonan tepung, ikan, dan cuko.
Kubuka gawai, tekan aplikasi berwarna biru, berharap ada panggilan kerja dadakan dari sepuluh tempat aku melamar kerja, tapi tetap saja, zonk!.
Tak tahu sudah berapa uang ibu dan bapak yang kupinta untuk fotokopi ijazah, transkrip nilai, dan portfolioku.
Apa ini? 234 inbox!
Kubuka satu per per satu, isinya membuat mukaku merah merona, bukan terpesona tapi nahan malu, pengen benamin wajah di dada bidangmu, eh.
Liemon : [Hai ... Fika, yuk ke KUA , Kandang Ujung Ampera. Wkwkwk].
Eiiits dah, kurang diajar nih anak. Awas, ya!
Beerouk : [Kau betulan mau kawin, Fik? Tuh kucingku ada satu yang masih bujang, mau? Haahaa ....]
Minta ditonjok nih, dasar omes!
Ginseol : [sabar Fik, tunggu aku dapat kerjaan dan mapan dulu, baru kita ke penghulu.]
Jiiiaaah ... dia juga belum dapat kerjaan ternyata. Keburu tua nungguinnya.
Nuni: [Semangat my best friend. Diiih, jangan buru-buru nikah Fik, ntar aku nggak ada teman jalan lagi. Hiiiks]
Nuni memang sahabatku yang paling pengertian. Yang lain mah, ke laut aja.
"Kak, beli minyak satu liter." kata seorang bocah, mengagetkanku.
"Iya, bentar." Aku mengambilkan bocah itu satu liter minyak curah.
Tiga hari ini kegiatanku membantu ibu menjaga warung di samping rumah. Sesekali bikin ibu seneng. Walaupun sebenarnya rasa bosan, sudah menggelayuti pikiran. Huuufht.
.
"Fikaa ... kamu baik-baik saja. Kan?" tanya Nuni, saat kami janjian ketemuan di warung pempek langganan. Tangannya memeriksaku dari ujung kepala hingga kaki.
"Hmmm ...." Aku hanya mengangguk.
"Kamu kenapa, Fik? Statusmu tempo hari, kok, gitu. Ntar beneran ada yang ngelamar, baru tahu rasa, loh." Ia langsung menimpaliku pertanyaan sebelum aku duduk.
"Bodo amat!" ucapku jutek.
"Iiish ... nih, anak." Nuni melempar tasnya ke arahku, "cueknya, ampun ....! Siapa yang mau sama kamu kalo gini terus. Fik?" lanjutnya.
"Kamu tahu, nggak. Kenapa kamu gagal tiap kali wawancara?"
Aku mengangkat kedua bahu.
"Karena mereka nggak profesional," jawabku, sambil menyesap es teh yang ada di hadapan.
"Ya ampun ... itu karrna penampilanmu yang kurang menarik. Fik. Di mana-mana kriteria yang dicari itu berpenampilan menarik." Nuni menjelaskan panjang lebar tentang semua itu.
"Menarik itu dari hati, bukan sekadar penampilan, Nun." Aku memotong bicaranya yang amat sangat mengganggu pelanggan lainnya.
Bibirnya berhenti bergerak, kaku, dan bengong.
"Yaudah, terserah kamu deh." sambil tangannya meraih gelas, menyesap es jeruk miliknya.
"Nun?"
"Hmm ... ada apa?"
"Aku mau minta tolong, cariin aku kerja. Please ...." Aku memohon dengan wajah imut dan menangkupkan telapak tangan.
"Apa saja, yang penting ada pemasukan, dan harus halal." Aku akhirnya mengatakan tujuanku mengajaknya bertemu. Ia terlihat seperti sedang berpikir keras dengan jari telunjuk dan jempol di dagu.
"Kerja jaga perpustakaan, mau? Kebetulan Ayahku kemarin minta aku carikan." Aku berdiam diri sejenak, menimbang pekerjaan yang ditawarinya itu.
"Hey! Malah bengong. Nuni menepuk pundakku,"temui saja dulu Ayahku. Sekalian tanya tugas dan gajinya," ucapnya sambil menggerak-gerakan alisnya.
"Oke. Besok, ya," ucapku."
"Jangan besok, Ayahku lagi keluar kota. Ntar aku kabari, oke.
Akupun mengangguk mengiyakan . Kami pun larut dalam cerita masing-masing. Nuni bercerita tentang pengalaman pertamanya menjadi seorang karyawati di sebuah bank. Sedangkan aku dengan kisah menyedihkan seperti sms iseng di HP bapak.
.
Aku sampai di rumah pukul sembilan malam. Ibu dan Bapak sedang menyaksikan siaran tivi kesukaan mereka. Tentu saja mereka tidak khawatir dan bertanya macam-macam, karena sejak awal aku sudah pamitan, dan lagi mereka tahu sahabatku itu cuma, Nuni.
"Fika, tadi Bapak dapat sms lagi dari Nak Ilham," ucap Bapak, matanya masih menatap layar tivi di depan.
"Hmmm ...." Aku hanya berdehem. Enggan menanggapi orang iseng.
"Lusa, katanya mau ke rumah, temui Bapak."
Aku tersedak gorengan yang baru saja kukunyah, Ibu langsung memberikanku segelas air putih.
"Pelan-pelan toh, Nduk. Jangan buru-buru makannya." Ibu menepuk punggungku. Aku berusaha menarik napas mengembuskan perlahan.
"Beneran, Pak? Bukannya orang iseng saja. Ngapain dia mau ke sini?" tanyaku pada Bapak yang terlihat menggeleng-geleng melihatku.
"Loh, kan, kamu yang minta dia ke sini untuk minta maaf." Bapak menatapku
Oiya. Itukan aku yang suruh ke rumah. Kukira iseng doang! biarin datang, kan urusannya sama Bapak, bukan sama aku.
"Kamu temui, ya. Hari minggu ini bapak ada acara kelurahan. Ada rapat," kata Bapak. Yaelah, rapat terus Bapak ini, nggak kelar-kelar dari sebulan lalu.
"Kok, Fika? Hari minggu, aku ada janji ke rumah Nuni, Pak. Soal kerjaan," ucapku
"Lah, ini kan ulahmu. Ya harus tanggung jawab!" ketus Bapak.
"Fika udah janji, Pak. Nggak enak sama ayahnya Nuni. Lagian, si Ilham kan maunya minta maaf ke Bapak, bukan aku," jelasku dengan bibir maju tiga senti.
Bapak terlihat menghela napas dalam, mengambil HP, lalu mrmberinya padaku.
"Noh, baca smsnya!"
Kuambil HP itu, buka folder pesan masuk dari hp Nokia jadul, milik Bapak.
[Hari minggu insyaAllah saya akan ke rumah Bapak unttuk meminta maaf, sekalian mau ketemu Fika.]
What?! Siapa, sih, ini? Aku penasaran, tapi nggak mungkin batalin janji sama Nuni, bisa jadi dia juga kasih tahu ayahnya. Aku hapal betul sahabatku itu. Orangnya lincah dan cekatan.
"Nggak mau!" Kuletakkan HP Bapak di atas meja, lalu pergi ke kamar.
.
Siapa, sih, Ilham itu? Aku penasaran.
.
Kamu, ikut penasaran juga, nggak, ya?
.
.
Maaf sedikit, ngetik lewat HP terbatas jumlah katanya. Tapi diusahakan update secepatnya. Thanks udah baca tulisanku.
-----
#Fika Mendadak Nikah 5
.
Hari minggu. Pukul tujuh pagi, aku sudah berpamitan pada ibu, ke rumah Nuni. Bapak sedang sibuk dengan motornya. Sengaja pergi pagi, karena akudan Nuni ingin wisata kuliner terlebih dahulu.
Jam sembilan, kami melaju ke rumah orang tua Nuni. Kami memasuki rumah, lalu menyalami seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk di teras sambil membaca koran. Aku dan Nuni segera mendekatinya, mengucapkan salam, dan duduk dalam satu ruangan.
"Jadi, beneran kamu mau kerja, jaga perpustakaan daerah, loh, Fik?" Om Surya, ayahnya Nuni menanyakan keseriusanku.
Aku dan Nuni sudah berteman sejak kami SMA. Om Surya sudah menganggapku seperti anaknya, karena kedekatanku dengan Nuni.
"Iya. Kerjanya apa saja, ya, Om?" tanyaku
"Menata buku, memastikan buku-buku pada tempatnya, mencatat buku yang dipinjam- dikembalikan, dan masih banyak lagi. Nanti Kepala Kantor Perpustakaan Daerah akan menjelaskan lebih rinci."
"Maaf, gajinya berapa ya, Om?"
"Nah, itu. Gajinya kecil, mungkin tidak sesuai dengan keinginanmu. Gaji ini sekitar lima-enam ratusan per bulan, menyesuaikan dengan pendapatan daerah. Gimana, apa kamu masih mau, Fika?"
"Baiklah, Om," jawabku sembari tersenyum. Daripada nganggur mending kerja. Walau gaji kecil, nggak masalah.
"Serius, Fika? Baiklah kalau begitu besok kamu ke pusda, temui Pak Rahmat, bilang saya yang suruh" Aku mengangguk tanda menyetujui. Akhirnya aku bisa dapat kerjaan. Tak lupa aku mengucapkan terimaa kasih pada Om Surya dan Nuni, sahabatku.
.
Senja mulai menyapa, jam lima sore aku sampai di rumah. Kulihat ada sebuah mobil terparkir di halaman.
"Tamu Bapak palingan," gumamku.
Langkah santai sambil memainkan anak kunci motor di jari telunjuk-kanan. Hari ini aku bahagia.
Mengucapkan salam, lalu terdengar suara bapak, Ibu, dan seorang lelaki yang hanya tampak punggungnya, menjawab secara serentak-kompak.
Melepas sepatu, lalu masuk menyalami ibu dan bapak. Ketika menoleh ke arah lelaki itu.
"Kamu ...?!" Mataku membulat. Alis terangkat, kaget. Ngapain dia di sini?
Kupu-kupu yang berterbangan di hatiku tiba-tiba menghilang berganti kumbang penyengat yang ingin ku cabik-cabik sayapnya..
"Hai ... Fika, apa kabar?" tanyanya yang sok ramah.
Rasanya ingin aku teriak, lalu seret dia keluar rumah, tapi mana mungkin. Ini, kan di rumah, ada ibu sama bapak. Mereka tahunya aku anak baik, walaupun penampilan ala kadarnya. Mungkin dia ada urusan sama bapak. Lagipula, sudah seumuran abang, pasti udah punya anak istri. Huh, Dasar, genit!
"Kamu kenal, Fika juga, toh?" ucap Bapak pada lelaki itu. "Heh, ditanyain kabar ya dijawab, Fik. Malah bengong." Bapak memukul pelan tubuhku yang berdiri disampingnya, menatap sinis lelaki itu.
"Aauu! Iya, Pak. Kabarku baik. Aku masuk dulu, ya, Pak, Bu. Capek, mau istirahat." Alibiku karena tak ingin berlama-lama bertemu orang yang telah merusak suasana hatiku.
"Loh, Nduk, piye, toh. Wong Nak Ilham ini datang mau ketemu sama kamu, kok," ucap Ibu mencegahku ke kamar.
"Itu ... aku ... anu ... What?! Ilham, Bu?" Aku terkejut, setengah berteriak, saat menyadari ucapan Ibu. Ibu pun mengangguk.
"Huuss! Jangan teriak gitu, bikin Bapak jantungan. Ini Nak Ilham datang mau minta maaf juga sama kamu, Fika. Katanya kemarin bikin kamu marah."
Bapak menjelaskan sambil menarikku untuk duduk. Dengan terpaksa aku menurut. Sedangkan dia, yang namanya Ilham, pasti senyum-senyum kemenangan karena aku tak berkutik sama sekali.
"Iya, udah aku maafin. Udah, kan, Pak. Aku mau ke kamar." Aku berucap tak ingin berlama-lama.
"Beneran, udah maafin?" tanyanya padaku.
"Hmm ...." Aku hanya bergumam, malas adu argumen sama lelaki di hadapanku.
"Beneran?" tanyanya lagi
"Hmm ...." Aku bergumam dengan penekanan.
""Serius?" tanyanya lagi yang membuat kesabaranku habis.
"Udah, deh, Pak! Aku nggak mau bahas itu lagi. Aku udah lupain semua kejadian kemarin, udah aku maafin. Sekarang pulang, sana!" teriakku dengan mengembuskan napas kasar.
Ibu dan Bapak bengong melihatku. Mereka menatapku tajam, seperti ada tanda tanya besar di kepala.
"Ntar dulu, ini ada apa, toh, sebenarnya?" tanya Bapak padaku.
"Ini, salah saya, Pak, sudah bikin Fika marah." lelaki itu menjawab pertanyaan Bapak.
"Sepertinya, ini urusan pribadi mereka berdua, Pak. Baiknya diselesaikan baik-baik. Yuk, Pak, kita ke belakang." Ibu menyahut pembicaraan. Lalu, mengajak Bapak pergi. Sebelum beranjak, Ibu sempat mengelus pundakku dan berbisik di telinga "selesaikan dengan kepala dingin, cemburu berlebihan itu nggak baik," lirih suara Ibu.
Apa?! Cemburu?!
"Bu, Pak, kalian salah paham. Jangan per--" Aku memutus omongan karena keduanya sudah menjauh dari pandangan.
Kini, hanya ada aku dan lelaki nyebelin itu. Liat tuh, lagi-lagi dia menahan senyum kemenangan. Aku menghirup udara lalu mengembuskan secara kasar, menunduk tanda tak berdaya.
bersambung
.