Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

FIKA - Mendadak Nikah 11 - 15

#Fika Mendadak Nikah 11, by Mimi Luy

*
Langit tertutup awan gelap, hari ini sepertinya akan turun hujan. Aku tetap memaksakan diri berangkat ke tempat kerja.

Gedung perpustakaan ini sepi, rinai hujan terdengar bersamaan jatuh menyentuh atap bangunan ini.
Aku berdiri di depan pintu, memandangi indahnya ciptaanmu.
'Allahumma soyyiban naafi'an. Ya Allah, di waktu yang mustajab berdo'a ini, berikanlah hamba jawaban yang terbaik agar lebih dekat padaMu'.


Seseorang baru saja memarkirkan mobil di depan perpustakaan. Aku memilih untuk masuk dan kembali duduk.

"Hai, Ka." Sapaan seorang lelaki yang kukenal.
"Dennis! Ngapain hujan deras ke sini?" tanyaku padanya yang baru saja muncul di depan pintu.
"Ya mau pinjam bukulah, masa mau ketemu kamu," ucapnya sambil mendekatiku.
"Ooo...." Aku hanya menjawab seadanya.

Dennis duduk di depan meja, menghadapku, memperhatikanku. Hingga membuatku salah tingkah.
"Apaan, sih, kok, liatinya gitu banget," ucapku yang risih dengan tatapannya.
"Kamu, nggak masuk kerja kemarin, kenapa?" tanyanya masih dengan tatapan yang sama.
"Hee ..." Aku hanya menarik ujung bibir ke samping, menoleh ke arahnya sebentar, lalu. menatap komputer kembali.

"Kamu sakit, Ka? Sakit apa?" tanya lagi padaku.
"Pusing aja, kok," jawabku singkat.
"Mukamu pucat sekali, boleh aku periksa dahimu?" tanyanya sambil mendekatkan telapak tangan, namun aku segera menjauh, tak ingin di sentuh.
Dennis langsung mengerti. Ia pun kembali meletakkan tangannya di meja.
"Kamu sudah makan, belum? Aku traktir makan, mau?" Tak bosan ia selalu bertanya padaku.
"Belum, tapi aku lagi nggak nafsu makan, Den. Kamu tadi ke sini katanya mau pinjam buku. Dah, sana, cari bukunya!" perintahku pada Dennis.

"Nggak jadi, aku mau ngeliatin kamu aja. Mumpung belum ramai orang," katanya yang membuat degub jantungku berdetak lebih cepat.
"Aku mau traktir kamu pulang kerja nanti. Kalau iya, baru aku akan beranjak dari hadapanmu." Dennis berkata penuh penekanan.
"Aku nggak nafsu makan, Den," jawabku yang mulai salah tingkah dengan tatapannya.
"Mau, ya! Kalau nggak, Aku tetap akan menatapmu seperti ini."
Ya ampun! Kenapa, sih, cowok sukanya maksa mulu.
"Ya, baiklah." Akhirnya aku mengalah. Bukan karena kalah tapi tak nyaman dibuatnya.
"Oke, sip. Aku ke sana dulu." Dennis beranjak dari hadapanku, lalu menuju rak buku.

*

Ramai pengunjung berdatangan di warung pinggir jalan, tak jauh dari sungai musi. Aku memilihkan tempat makan karena lagi-lagi Dennis yang memaksa. Jadilah kami di warung Pak Tuo, yang menjual aneka pempek khas Palembang, dan menu lainnya.
"Pesan apa, Den. Di sini ada pempek, tekwan, model. Pempeknya macam-macam ada lenjer, adaan, kulit, dan kapal selam," ucapku sambil melihat menu di tangan.
"Terserah, Ika, aja." Dennis pun menyerahkan padaku.
Aku meletakkan telunjuk di bibir.

"Pak, pesan model dan kapal selam masing-masing dua porsi." Aku mendekati pemilik warung, memesankan makanan, lalu kembali ke tempat duduk.
"Dari tadi, aku belum liat senyum manismu, Ka. Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dennis.
Aku menggeleng.
"Nggaklah, cuma masalah kecil, kok. Nggak penting." Aku beralibi tak ingin Dennis tahu beban pikiranku.
"Tapi, matamu mengatakan hal lain. Saat kamu menatapku sekilas tadi, pikiranmu berada di lain tempat," ucap Dennis.
"Nggaklah, sok, tahu," sungutku.

"Kalo gitu, coba katakan sambil menatap mataku," ucap Dennis.
Aku bergeming. Tak melakukan apa yang ia pinta. Sesaat pesanan kami sampai dan tertata di meja.
"Yuk, makan, aku sudah lapar," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Kudengar Dennis mengembuskan napas agak keras. Mungkin ia kesal, karena aku telah berbohong dan tak mau menatapnya. Aku khawatir, jika ia tahu soal lamaran itu, membuatnya tak mau lagi menemuiku. Aku takut kehilangannya lagi.
"Enak, kan?" tanyaku padanya yang sedang lahap.
Dennis mengangguk.

"Aku baru pertama kali merasakan dan ini sangat enak," ucap Dennis yang tak berhenti menyendok makanan.
Aku tersenyum, lalu suasana yang sempat kaku menjadi cair.
"Hujannya sudah berhenti. Antar aku mengambil motor di pusda, yuk. Den." Aku meminta kepada Dennis.
Dennis pun mengangguk, kami menuju mobil, dan melaju menuju pusda.
Turun dari mobil, aku melangkah ke tempat motorku terparkir. Dennis pun ikut turun dan mengantarkanku.
"Ka, kamu tahu nggak, selama hampir tujuh tahun aku merasa kehilanganmu," ucap Dennis, membuatku menoleh ke arahnya.
"Oiya? Masa?" tanyaku
Dennis mengangguk pelan.

"Seminggu setelah kelulusan, aku ke rumahmu. Tapi kata Mas Reno, kamu sudah pindah ke Palembang," ucapnya
Aku mendengarkan ceritanya dengan langkah yang semakin lamban.
"Sejak saat itu, aku bertekad, lulus kuliah akan mencari kerja di Palembang. Tujuanku cuma satu, menemuimu." Dennis berucap lalu menghentikan langkahnya.
Aku pun terdiam.

"Aku diberi tahu Mas Reno alamat tempat tinggalmu, tapi karena aku belum begitu mengenal kota ini, akhirnya kuurungkan untuk mendatangi rumahmu. Dan lebih memilih mengikuti status FBmu." Dennis bercerita panjang lebar. Membuat dahiku mengernyit.
"Jadi kamu pantau aku lewat FB. Kita temanan? Kok, aku nggak tahu," ucapku penasaran.
"Iyalah, kamu nggak tahu. Aku, kan, pakai nama lain," ucap Dennis sambil tertawa.
"Apa nama FBmu?" tanyaku dengan dahi yang mengernyit.
"Pernah inbox, kok. Waktu kamu bikin status heboh itu." Dennis memberikanku clue soal inbox.
"Nggak ada! Semua yang inbox ke aku orang usil bin nyebelin semua."
"Jodi, kamu ingat nggak? Inboxnya minggu depan mau datang ke rumah, melamarmu," ucapnya dengan senyuman di wajah.

Aku mencoba mengingat nama Jodi beserta isi inboxnya. Sedikit mendongak, lalu melihat ke atas, meletakkan jari telunjuk di bibir.
"Jodi? Jodi? Jodi? Hmm ...." Aku bergumam, "Jodi yang tanpa foto profil, tinggal di Kediri, Jawa Timur? Itu, kamu?" Aku mengungkapkan isi pikiranku.
Dennis mengangguk.
"Gila, kamu, Den. Pakai bikin FB dan tempat tinggal palsu, namanya Jodi pula, apa itu?Jomblo ditinggal mati, ya? haaha" Aku tertawa terbahak karena kelakuannya.
"Biar nggak ketahuan, buktinya kamu nantangin aku untuk datang," ucapnya.
"Ya, itu karena nggak mungkin dari Kediri minggu depan bisa ke Palembang," sungutku.
"Mungkin aja. Ini, sekarang aku ada di hadapanmu."

Aku mencebik, memutar bola mata.
"Aku, serius!" ucapnya lantang, "Fika Saputri maukah kamu menjadi istriku?" Dennis menatap tajam ke arahku. Terlihat sorot matanya yanh tajam, membuat denyaran di jantungku.
Aku bergeming. Semilir angin menerpa tubuhku. Waktu terasa berhenti. Aku menatapnya tak berkedip. Lagi, degub jantung semakin tak bisa berkompromi.
Ya Allah ... kenapa aku harus di hadapkan oleh situasi seperti ini. Dua lelaki, melamarku dalam satu waktu. Apa yang harus kulakukan? Mana yang harus aku pilih?

*

Tuh, kan. Dilema dan bingung deh si Fika.
Fika Harus memilih siapa?

-----


#Fika Mendadak Nikah 12

*
"Kamu serius, Den?" tanyaku
"Iya, aku sangat serius ingin menjadikanmu pendamping hidupku," ucap Dennis.
"Kenapa harus aku? Apa alasanmu?" tanyaku masih tak percaya.
"Aku tak ingin kehilanganmu!" tegasnya padaku.

Dennis, kamu juga merasakan apa yang aku rasakan. Sama-sama takut kehilangan.
"Aku tidak bisa memberikan jawaban, Den. Karena aku ...." Aku mencoba mengatakan soal lamaran Pak Ilham, namun tak mau menyakitinya.
"Aku, apa?" tanyanya penasaran dengan ucapanku.
"Aku ...."
"Apa sudah ada seseorang di hatimu?" tanyanya.

Aku tak menjawab. Jika bisa kukatakan, kamulah satu-satunya lelaki yang dekat denganku.
"Aku punya Bapak dan Ibu. Aku tak bisa memberi keputusan tanpa sepengetahuan mereka," kataku padanya.
Dennis, seandainya kamu melamarku lebih cepat dari Pak Ilham. Mungkin, aku akan langsung menerimamu.
"Baiklah, besok aku ke rumahmu." Dennis berkata sambil menatapku.
"Jangan besok, aku butuh waktu untuk memberitahukan kepada mereka akan kedatanganmu," ucapku.

"Lusa. Aku akan datang! Beritahukan orang tuamu tentang kedatanganku."
Aku tidak menjawab.
"Sebaiknya, kita segera pulang. Awan semakin tebal, sepertinya akan hujan lagi. Nanti kamu kehujanan di jalan, atau aku antar saja, ya?" pintanya padaku.
Aku menggeleng.
"Baiklah, aku pulang dulu," ucapku sambil mendekati sepeda motor, menstarter, lalu melaju. Tak lupa kami saling melambaikan tangan dengan senyuman.

*

Dalam perjalanan pulang, pikiranku melayang.
Bagaimana ini? apa harus kuceritakan pada ibuku. Tentang Dennis yang esok lusa, akan datang menemui orang tuaku.
Lusa? Hari Sabtu? Bukankah hari itu aku juga harus memberikan keputusan kepada Pak Ilham!
Ciittt ....!!!
Suara gesekan ban motorku ke aspal, aku mengerem mendadak, saat ada jalan yang berlubang, tak sempat mengelak.
Bruug!!
Motorku menabrak lubang dan aku terhempas ke tengah jalan, kemudian semua terlihat gelap.

*

Saat membuka mata, sudah ada ibu di sisiku.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nduk" ucap Ibu lalu memelukku.
"Aauu!" Aku memegang pundakku yang sakit saat dipeluk Ibu.
"Sakit, ya, Nduk? Maaf Ibu nggak tahu." Ia berkata sambil melepaskan pelukan.
"Nggak apa-apa, Bu. Namanya juga nggak tahu. Heee." Aku tersenyum, saat hendak duduk, aku meringis menahan sakit di sekujur tubuh.
"Udah, tiduran saja dulu." Ibu memintaku untuk tetap merebahkan tubuhku.
"Di mana ini, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Di Klinik Assyifa, kamu habis jatuh dari motor. Kata perawat, tadi ada seorang pemuda yang mengantarmu ke sini, lalu memintanya menghubungi Ibu dan Bapak."
"Siapa?" tanyaku
"Ibu nggak ketemu, saat tiba di sini, kata perawat dia sudah pergi."
"Bapak, mana?"
"Bapak lagi menyelesaikan pembayaran, ntar lagi kita pulang."
Tak lama kemudian, Bapak datang.
"Itu, Bapak," ucap Ibu.

Aku menoleh.
"Gimana, Pak. Sudah bisa pulang?" tanya Ibu
"Iya, sudah. Tapi tadi katanya ada yang melunasi pembayaran perawatan Fika, Bu. Perawat bilang pemuda yang mengantar Fika ke sini," ucap Bapak
Siapa yang telah menolongku? Jangan-jangan, dia?
*
-----
 
#Fika Mendadak Nikah 13

*

Jam tiga dini hari, aku terbangun karena sekujur tubuh terasa sakit. Aku mencoba berdiri dengan berpegangan pada sisi ranjang dan tangan lain memegang kursi yang ada di hadapan.
Aku berdiri perlahan, melepaskan pegangan, berjalan dengan kaki yang sedikit bergetar, dan sempoyongan. Kepalaku masih terasa pusing, tapi aku harus menunaikan hajatku.
Sebelum sampai di kamar mandi, aku berhenti mematut diri di depan cermin. Lihatlah , ada goresan sepanjang lima senti dengan lebar dua senti di pipi kananku, luka akibat kecelakaan.
Aku tersenyum meringis melihat sosok di balik cermin itu.

"Apa istimewamu Fika? Kenapa kamu dilamar oleh dua orang lelaki?" gumamku.
Aku berhenti memandangi diriku, menunduk, lalu buliran bening jatuh dari sudut mata.
Maafkan aku ... aku harus memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku. Aku khawatir, sepertinya kau mendengar gumamanku ketika jatuh tadi, kemudian memilih untuk pergi.
Maafkan aku ....
Maafkan aku ....
Dengan langkah tertatih, aku melangkah menuju kamar mandi, membasuh anggota tubuh. Walau perih luka saat tersentuh air, namun keinginan memantapkan hati di sepertiga malam-MU lebih berarti.

*

"Di mana aku?" Aku bertanya pada diri sendiri.
Mataku melihat ke sekitar, diikuti tubuh yang ikut berputar.
"Tempat apa ini?" tanyaku lagi.
Aku seperti berada di zaman dulu, sebuah kerajaan. Ada banyak pengawal yang menjaga di depan pintu gerbang, juga beberapa hilir-mudik bergantian. Mereka mengenakan celana yang dililit sarung dan ikatan kain di kepala, di bagian pinggang terikat golok yang disarungkan.

Aku mendekati mereka, namun yang dilakukan malah menunduk memberikan penghormatan.
"Permisi, ini tempat apa? Mengapa aku ada di sini?" tanyaku pada pengawal. Mereka hanya tersenyum, dan membungkukkan tubuh.
"Hey! Kenapa kallian seperti ini terhadapku? Mengapa kalian tidak menjawab pertanyaanku?" tanyaku setengah berteriak.
Aku berlari ke suatu tempat, mungkin dapat kutemukan seseorang yang dapat memberiku penjelasan.
Bruug!

Aku tersandung sebuah ranting di jalan, mencoba berdiri sambil mengibaskan pakaian dengan tangan. Ada yang aneh dengan pakaianku.
Apa yang kupakai ini? Kain bermotif warna merah dan sulaman benang emas yang menghiasi.
Kepalaku pun seperti mengenakan sebuah mahkota, terasa berat dengan untaian hiasan di pinggiran.
Seorang ibu paruh baya mengenakan kain dengan baju kebaya berwarna putih polos, datang menghampiriku. Ia lalu mengajakku ke suatu tempat, aku pun mengikutinya.
Sampailah kami di sebuah pelataran tempat menenun. Ibu tersebut mempersilakanku duduk, berhadapan dengannya. Tangannya memegang kain, mengambil benda lain seperti jarum besar, kemudian tangan terampilnya menusuk, mencungkit dengan sebuah benang emas.

"Ibu sedang apa?" tanyaku
"Ibu sedang menenun kain songket, seperti yang kamu kenakan"
"Songket? Mengapa pakaianku seperti pengantin? Mengapa aku ada di sini? Zaman apa ini?" Beruntun pertanyaan kuberikan.
Ibu itu tersenyum, lalu memandangiku.
"Tuan putri, apa tidak ingat dengan tempat tinggalnya sendiri?" tanyanya, membuatku mengernyitkan dahi.

"Tuan putri? Kenapa Ibu memanggilku seperti itu? Tempat tinggalku? Setahuku, aku sedang dalam perjalanan pulang, motorku terjatuh, semua gelap, dan sekarang berada di sini. Aku benar-benar tak tahu tempat apa ini?" ucapku pada seseibu di hadapan.
"Ini adalah sebuah kerajaan Sriwijaya, sedangkan Tuan Putri adalah anak raja. Sebentar lagi putri akan dinikahkan dengan pangeran," ucap Ibu itu, membuatku semakin tidak mengerti.
"Putri Kerajaan Sriwijaya? Menikah dengan pangeran?"
Ibu tersebut mengangguk lalu tersenyum.
"Lihatlah, ada dua orang lelaki yang sedang mendekat. Keduanya mengenakan pakaian songket Palembang. Perhatikan yang memiliki corak dan motif sama persis dengan pakaianmu, dialah pangeranmu," ucap Ibu itu, lalu mengarahkan telunjuk ke arah dua orang lelaki.
Aku pun mengikuti arah tangannya.
"Pak Ilham ... Dennis ...." Kulihat mereka mendekat, dan salah satu dari mereka mengenakan motif dan corak kain songket yang sama denganku.

*

Kukenakan mukena, membentangkan sajadah, bersimpuh pada sepertiga malam-Nya.
"Ya Allah ... jika ia memang pilihan terbaik untukku, mudahkanlah jalan kami menuju rida-Mu."
*

Jum'at pagi, ibu sudah datang ke kamar membawakanku sarapan.
"Sudah bangun anak Ibu ...." Ibu memasuki kamar, tangannya memegang nampan di atasnya sebuah mangkok dan segelas air putih.
Aku tersenyum dan mengangguk.

"Sarapan dulu, Ibu bikinin kamu bubur ayam, biar cepat sembuh." Ibu lalu meletakkan nampan di meja.
Kami duduk di pinggir kasur, Ibu lalu mengambil semangkok bubur, menyendok, lalu menyuapiku.
Suapan kelima, aku memegang tangan Ibu.
"Bu, boleh Fika bertanya sesuatu?" tanyaku pada Ibu.
Ibu mengangguk

"Boleh, tanya saja. Semoga Ibu bisa menjawabnya," ucap Ibu lalu meletakkan sendok ke dalam mangkok.
"Menurut Ibu, Dennis gimana?" tanyaku
Ibu tersenyum

"Menurut Ibu, Dennis anaknya baik, kamu keliatan akrab sekali. Kalian saling menjaga satu sama lain, membuat Ibu tenang ketika kamu bersamanya." Ibu mengutarakan pendapatnya.
"Bagaimana kalau Dennis mau ke rumah?" tanyaku lagi
"Iya, tentu boleh. Ibu juga pingin liat, dia sekarang seperti apa, beneran seperti yang kamu bilang nggak? Ganteng, tinggi, atletis, giginya putih, Hee." Ibu berkata, tertawa, saat mengulangi perkataanku tempo hari tentang Dennis

Pipiku merona, tersenyum karena malu digodain Ibu.
"Aaa ... Ibu. Aku, kan, jadi malu, tapi beneran Dennis mau ke sini besok, Bu. Hanya saja ...." Aku menghentikan pembicaraan.
Ibu menatapku lekat.
"Hanya saja, apa, Nduk?" tanya Ibu padaku.
"Hanya saja, dia datang bukan sekadar silahturahmi melainkan ingin melamarku." Aku mengatakan alasan Dennis akan datang.

Ibu menarik napas dalam, lalu mengembuskan perlahan.
"Ooo.. apakah karena kepikiran ini, membuat anak Ibu nggak memperhatikan jalan waktu berkendara?" tanya Ibu.
Aku menggeleng.

"Bukan hanya karena Dennis. Waktu di jalan, aku baru teringat kalau harus memberi jawaban lamarannya Pak Ilham. Sedangkan Dennis juga akan datang. Saat itu memikirkan itu, aku melihat mobil Pak Ilham dari arah berlawanan, terlihat dirinya dari kaca mobil yang terbuka. Tanpa disadari aku sudah tidak bisa mengelak lubang di jalan itu." Aku menjelaskan panjang kali lebar kronologis kejadian.

Ibu memegang tanganku.
"Sepertinya aku tahu siapa lelaki yang sudah menolongku, karena sayup-sayup terdengar suaranya memanggil namaku." Aku menghela napas.
Ibu semakin erat menggengam tanganku.
"Mungkin alasannya pergi karena aku menyebut seseorang dalam tidurku. Aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Kamu sudah istikharah, Nduk?" tanya Ibu
Aku mengangguk.
"Sudah mendapatkan jawabannya?" tanya Ibu lagi.
Aku mengangguk.
"Waktu tak sadarkan diri, aku seperti berada si suatu tempat dan di sana aku menemukan jawaban. Aku juga sudah sholat tahajud di sepertiga malam tadi, memantapkan hatiku, Bu," jelasku pada Ibu.
"Kalau begitu, pilihan Allah yang terbaik untukmu. Ibu mendo'akan yang terbaik untukmu, Nduk."
Ibu memelukku, lalu kembali memasukkan sendok berisi bubur ke mulutku
Besok adalah hari terpenting dalam hidupku.
*

-----

#Fika Mendadak Nikah 14 (END)
*
“Cantik,” ucap Ibu saat aku keluar dari kamar.

Aku mengenakan gamis berwarna abu-abu dan jilbab pink. Tentu saja, Ibu yang memilihkannya untukku, padahal aku kurang suka dengan warna jilbabnya, terlalu feminim menurutku. Tapi, membuat Ibu senang, kurasa tak masalah, asalkan jangan terlalu sering.hee
“Siapa dulu Ibunya?” candaku pada Ibu. Kami pun tertawa
“Kamu, beneran sudah siap, Nduk?” tanya Ibu sambil memegang tanganku.
Aku tersenyum, lalu mengangguk.

“Harus dihadapi, kan, Bu,” ucapku pada Ibu.
Ibu tersenyum dan memapahku menuju tempat duduk, lalu berlalu ke dapur.
Hari semakin gelap, kulirik jam menunjukkan setengah delapan malam. Belum ada tanda seorang pun datang. Aku gelisah, menggerakkan jari –jari tangan, dan kaki.
Sesaat kemudian, terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Detak jantungku tak beraturan dibuatnya.

“Assalammu’alaikum ….” Suara Bas menggema memasuki ruangan.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku, “Bapak, toh! Kirain tamu,” ucapku sambil memutar bola mata.
“Ealah, sama suara Bapaknya sendiri sampe nggak ngenalin, piye, toh, Fik … Fik.” Bapak berucap sambil menggelengkan kepala.
“Kenal, kok, Pak.” Aku membalas santun ucapan Bapak
“Apa? itu tadi, kok, Bapak dikira tamu. Mukanya jadi suntuk gitu. Bukannya senyum Bapaknya datang.” Bapak bersuara, mulai menggoda.

“Kenal, kok, Pak. Tapi beneran, tadi suara Bapak kayak anak muda. Hee,” ucapku merayu Bapak dan tersenyum manis dari tempat duduk.
“Apa, iya? Bilang saja kamu lagi nungguin Nak Ilham dan Dennis, toh,” Bapak berkata sambil mendekatiku.
Aku pun senyum cengir, lalu Bapak mengusap kepalaku.

Siang tadi, aku sudah menceritakan perihal Dennis pada Bapak Beliau pun sama seperti Ibu, menyerahkan semua keputusan padaku.


“Hayo! Ada apa ini?” tanya Ibu yang baru saja datang menghampiri kami.

“Ini, Fika, Bu. Sudah nggak kenalin suara Bapaknya lagi.” Bapak melirik ke arahku sambil mencebik.

“Suara Bapak kayak anak muda, bukan, nggak kenal,” sungutku membalas dengan cengiran.
Bapak kembali mencebik, Ibu dan aku pun terkekeh. Kami tertawa bertiga-bersamaan.
Suara mobil terdengar di halaman, kami pun berhenti bersenda-gurau.
“Assalammu’alaikum ….” Suaranya sangat kukenal.
Kami bertiga menjawab salam. Ibu dan Bapak segera menghampiri pintu depan, lalu kemudian kembali ke ruang tamu.
Seorang lelaki mengenakan celana hitam, baju kaos putih, dan jaket berwana cokelat, berada di hadapan.

“Dennis,” ucapku lirih. Aku pun tersenyum. “Pak, Bu, ini Dennis teman SMPku dulu waktu di Jogja.
Ibu dan Bapak sudah bisa mengenali, mereka pun banyak memuji penampilan Dennis yang sekarang. Beberapa pertanyaan mereka lontarkan padanya, Dennis pun menjawab dengan santai dan bersahaja.
“Pak, Bu, sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini karena ingin melamar Fika.” Suaranya terdengar tanpa beban,begitu pun aku yang mendengarnya.
Ibu dan Bapak pun menampakkan mimik wajah biasa, tidak kaget, tidak pula mengabaikan. Seperti sudah siap mendengarkan tutur katanya.

“Kami tidak bisa memberikan jawaban, semua tergantung Fika, Nak Dennis,” ucap Bapak sambil tersenyum. Ibu pun mengangguk.
“Tiga hari sebelumnya, Fika juga ada yang melamar, namanya Ilham. Dia datang ke sini bersama orang tuanya.” Bapak berucap memberitahu perihal lamaran Pak Ilham.
Dennis tampak terkejut, lalu melihat ke arahku. Aku pun menunduk.
“Lamaran, Pak?” tanya Dennis.

“Iya, tapi Fika belum memberikan jawaban. Hari ini baru akan memutuskannya. Sebentar lagi, mungkin Nak Ilham datang,” kata Bapak kepada Dennis.
Dapat kudengar Dennis menghela napas keras-tertahan.
Tak lama kemudian, seseorang mengucapkan salam di depan pintu. Kami pun menjawab salam, Bapak melihat ke arah pintu, Ibu menghampiri lelaki itu, sedangkan Dennis menatapku tajam seperti meminta penjelasan.

Ibu datang dengan seorang lelaki memakai kemeja biru-list hitam di ujung lengan panjangnya, sepadan dengan celana hitam yang ia kenakan. Lelaki yang selalu berpakaian rapi itu, Pak Ilham. Ia pun menyalami semua orang kecuali aku, termasuk Dennis.
“Ilham”
“Dennis”
Suara yang keluar bersamaan, saling mengulurkan tangan dan menjabatnya, tepat di hadapanku.
Pemandangan yang membuat denyaran di jantungku. Ia berdetak seperti ingin terlepas dari tempatnya. Tanpa sadar,aku menggerakkan tangan ke dada, menahan degub yang semakin kencang. ’Kuatkan aku, Ya Allah.’

Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.
“Hai … Fika, sudah baikan?” tanya Pak Ilham, membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum dan mengangguk, lidahku keluh.

“Kamu sakit, Ka?” tanya Dennis padaku
“A-“ Belum sempat aku menjawab, Pak Ilham sudah mendahuluiku.
“Fika kecelakaan saat pulang kerja, coba kamu lihat pipinya, ada bekas goresan di sana.”
Aku langsung menyentuh luka di pipi, Dennis memperhatikan wajahku. Aku jadi semakin menunduk, malu.

“iya, Fika kecelakaan hari kamis-sore lalu, karena melamun, itu,” ucap Bapak kepada Dennis
“Cuma pipi saja, yang lain nggak ada yang terluka?” tanya Dennis mengkhawatirkanku, tangannya hampir saja menyentuhku. Tapi, ia segera sadar menjauh, tanpa perlu aku menghindar.
“Maaf, aku khawatir sama kamu, ka,” Dennis mengungkapkan kekhawatirannya.
Bersamaan dengan itu, dapat kulihat tangan Pak Ilham mengepal, mungkin dia … ah! Sudahlah. Hanya pikiranku saja.


“Ini hidangan dan tehnya, silahkan di cicipi,” ucap Ibu sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir teh dan toples, lalu meletakkannya di atas meja.
Suasana tegang, menjadi cair seketika.
“Pak Rete (RT maksudnya), diminta hadir kasih sambutan di acaranya Pak Budi, sekarang!” Terdengar suara seorang Bapak dari luar, Bapak pun menghampiri. Tak lama, ia pun pamitan kepada kami untuk menghadiri acara tersebut. Sambil berlalu Bapak melihat ke arahku, dan memberi kode jempol tangannya.

Seketika dahiku mengernyit dengan ulah Bapak, lalu tersenyum dan melakukan hal yang sama.
“Nak Ilham, Dennis ini temannya Fika waktu SMP, yang pernah Ibu ceritakan dulu,” ucap Ibu kepada Pak Ilham.
“Iya, Bu. Saya sudah tahu. Fika pernah menyebut namanya saat tak sadarkan diri,” ucap Pak Ilham, membuatku menoleh ke arahnya, ia pun menatapku, datar.
“Syukurlah kalo begitu, maksud Nak Dennis ke sini juga untuk me--“ Suara Ibu tercekat
“Melamar Fika! Aku ingin mempersuntingnya menjadi istriku,” ucap Dennis lantang, menatap Pak Ilham.

Bagaimana ini? Dihadapanku, raut wajah mereka terlihat serius, dengan rahang yang mengeras. Sepertinya pertarungan dua orang bangsawan, bedanya mereka tanpa senjata, hanya tatapan yang tajam, saling menghujam.
Aku menatap Ibu, meringis, meminta bantuannya mengurai ketegangan yang ada.
“Benar yang dikatakan Nak Dennis, tapi di sini Nak Ilham juga datang dengan tujuan yang sama. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Kami menyerahkan semua keputusan kepada Fika.”
Ibu melihat ke arahku, matanya mengatakan bahwa aku harus yakin.
“Ibu akan meninggalkan kalian bertiga. Silakan dengarkan keputusan Fika, terima dengan hati yang lapang. Apapun itu, Ibu harap jangan sampai ada permusuhan, teruslah menjalin silaturahmi,” ucap Ibu, “Fika, Ibu tinggal ya, beri keputusan sesuai dengan hatimu,” bisik Ibu di telingaku.

*

Sekarang, hanya ada aku, Dennis, dan Pak Ilham di ruangan ini. Suasana hening, hanya detik jam terdengar nyaring di telinga. Aku tak tahu harus memulai dari mana.
“A-a-ku ….” Suaraku gugup.
Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskan secara kasar.
“Aku akan memberikan keputusan terpenting dalam hidupku. Namun sebelumnya izinkan aku mengatakan sesuatu kepada kalian, satu per satu.” Aku berucap sambil memandangi mereka bergantian.

Sunyi, Pak Ilham dan Dennis tak berbicara satu kata pun.
“Pak Ilham,” ucapku mengarahkan pandangan padanya, namun kali ini ia memilih menunduk, menghindari tatapanku.
Mungkinkah ia sakit hati padaku? Karena perkataanku waktu tak sadarkan diri itu? Apa yang telah kukatakan? Tolong beritahu aku! Mencoba menguasai hati yang terasa nyilu karena perlakuannya saat ini, aku memilih meneruskan bicara.

“Aku belum terlalu mengenalmu, Pak. Bagaimana bisa, kamu begitu yakin menjadikanku istrimu? Kamu juga belum terlalu mengenalku. Bapak belum tahu apa kesukaan, hobi, sifat asli, dan kejelekanku?” ucapku yang meminta jawaban darinya.
Dia tetap diam, tak bersuara. Ada apa dengannya? Mengapa dia diam saja?
Aku menepis semua pikiran burukku, lalu mengarahkan pandangan pada Dennis.
“Den, aku sudah mengenalmu sejak lama, meskipun selama tujuh tahun tak bersama. Namun, kamu masih seperti Dennis yang aku kenal dulu, tetap menjadi sahabat terbaikku.” Aku menatap Dennis, ia pun sama dengan senyuman manisnya padaku.

“Aku berterima kasih, kepada kalian berdua karena berniat baik memilihku menjadi pendamping hidup kalian. Walaupun aku merasa tak pantas dengan semua itu.” Aku berkata sambil menunduk.
“Kamu pantas, Ka. Kamu memang wanita baik,” ucap Dennis.
Aku menggeleng.

“Tapi, ini adalah keputusan yang tersulit untukku. Aku takut setelah ini menjadi orang jahat, telah menyakiti salah satu dari kalian, sehingga membenciku.”
Mereka diam. Terutama Pak Ilham, yang sedari tadi mengepalkan tangannya.
“Kamu tidak perlu memutuskan apapun,” ucap Pak Ilham, membuatku tersentak.
“Maksud Bapak?” tanyaku

“Saat aku sedang mengendarai mobil, terdengar suara kecelakaan dari arah berlawanan. Karena masih sepi, tidak ada pengendara. Aku memutarbalik mobil, bermaksud memberikan tumpangan pada orang itu. Betapa terkejutnya aku, saat tahu itu kamu. Spontan aku memanggil namamu, berharap kamu sadar. Tanpa berpikir panjang, aku membopongmu ke dalam mobil, maaf aku tidak bermaksud menyentuhmu.” Pak Ilham menghentikan bicaranya.

“Tidak apa-apa, justru aku berterima kasih pada Bapak karena telah menolongku,” ucapku.
“Saat dalam perjalanan, kamu mengigau, menyebut nama seseorang ‘Dennis’. Aku tak tahu siapa itu? Yang kupikirkan segera membawamu ke klinik terdekat.” Pak Ilham melanjutkan cerita, lalu menghela napas.

“Aku kembali membopongmu, di saat itulah kamu mengatakan sesuatu, sehingga aku sadar bahwa di hatimu hanya ada dia,” ucap Pak Ilham
“Apa? Apa yang kukatakan?” tanyaku menggebu
“Aku mencintaimu Dennis, jangan tinggalkan aku!” Pak Ilham mengucapkannya secara jelas, kini ia pun langsung menatapku.

Aku pun terpaku mendengar ucapannya, bergeming, menatapnya lekat.
“Aku sudah tahu, karena itu aku tak membawa kedua orang tuaku ke sini, aku takut mereka berkecil hati,” ucapnya lagi.
“A-a-ku” lidahkku kaku berucap.
“Kamu tak perlu mengatakan apapun, aku akan terima dengan lapang dada.”
Aku terdiam.

“Benarkah, itu, Ka?” tanya Dennis padaku
Aku bergeming, tak bersuara.
“Kamu mencintaiku?” lagi-lagi dia bertanya padaku.
“Ya, aku memang mencintaimu,” jawabku
“Sejak kapan?” tanyanya lagi
“Sejak aku kehilanganmu,” ucapku.
“Kenapa kamu tidak mengatakannya?”
“Karena kita jauh dan aku takut kamu akan menjauhiku ketika tahu tentang perasaanku,” jawabku.
Dennis bergeming

“Sebaiknya, aku pulang, aku sudah tidak ada keperluan di sini” ucap Pak ilham
“Bapak mau pergi? Meninggalkanku?” tanyaku padanya
“Kamu sudah memilih, aku harus segera pergi. Meninggalkan kalian berdua.”
“Jangan pergi! Aku belum memberi keputusan!” ucapku lantang
“Kenapa aku tidak boleh pergi? Kamu mau melihatku cemburu melihat keakraban kalian!” ketusnya membuatku tercengang.
“Bapak cemburu?!” ucapku setengah tak percaya.

“Maafkan aku, baiklah aku pergi, salam untuk Ibu, assalammu’alaikum,” ucapnya membuatku tersadar.
“Pak Ilham, jangan pergi!” Aku mencoba mengikutinya, tak perduli rasa sakit pada kaki, berjalan tertatih, terus memanggil namanya. Ia seperti tak mendengarkanku, saat di depan pintu aku berteriak.
“Aku memilihmu!” ucapku lantang memenuhi seisi ruangan, sudah tak perduli dengan keadaan sekitar.
Langkahnya terhenti, diam beberapa detik, lalu membalikkan tubuh.
“Maksudmu, memilihku?”

“Saat aku tak sadarkan diri, aku bermimpi berada di suatu tempat asing. Aku melihatmu menggunakan kain songket yang sama corak dan motifnya denganku. Mimpi itu jawaban dari istikharahku.”
“Lalu mengapa Dennis yang kau sebut?
“Saat itu Dennis ada di sampingmu, ia pergi meninggalkanku-menjauh. Aku tak ingin kehilangan sahabatku, aku mencintainya sebagai sahabat.” Aku menjelaskan semua yang ada dimimpiku.
“Benarkah itu?” tanyanya padaku

Aku mengangguk, lalu menatapnya.
“Masih berniatkah Bapak menjadikanku istri?” tanyaku
Ia seperti meragu, membuat bola mataku mulai tertutup awan tebal yang siap menumpahkan bahnya.
“Bagaimana dengan Dennis?” tanyanya sambil mengarahkan pandangan pada Dennis.
“Aku tak apa-apa,” ucap Dennis, “terima kasih sudah mencintaiku, Ka, walau sebatas sahabat.” Ia mendekatiku. “Kamu akan tetap jadi sahabatku, aku takkan meninggalkanmu seperti dimimpimu itu.” Aku terperanjat dengan ucapannya.

“Dennis ... maafkan aku."
“Tidak perlu meminta maaf, aku akan selalu ada untukmu. Jika Ilham menyakitimu, datanglah padaku.”
“Aku tidak akan menyakitinya, akan berusaha membahagiakannya.” Pak Ilham berkata pada Dennis.
“Buktikan! Jika tidak ingin Fika kembali padaku.” Dennis menantang Pak Ilham.
"Akan aku buktikan, ucapanku!"

Mereka pun berjabat tangan, aku tersenyum lega melihatnya. Semua ketakutanku sirna, Dennis tetap menjadi sahabatku dan aku pun tidak menyakiti Pak Ilham.
Akan tetapi sebenarnya aku masih sangat penasaran, apa yang menyebabkan Pak Ilham suka padaku? aah ... nanti saja kutanya setelah resmi menjadi suamiku. hihii
END
*
*
 -----
 
#Fika Mendadak Nikah 15
#Ampera_Bridge
#POV Ilham

"Saya terima nikahnya Fika Saputri binti Supatmo dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai." Aku ucapkan dalam satu tarikan nafas.
"Sah!" teriak penghulu, diikuti oleh beberapa saksi, dan juga keluarga.
Jantungku berdetak lebih cepat saat melihatnya berjalan mendekat. Ia menunduk tak menampakkan wajah, mengenakan gamis dan jilbab putih yang dilapisi selendang berkilau, anggun dalam balutan kesederhanaan.

Kini, Fika telah resmi menjadi istri Ilham Sriwijaya, gabungan dari nama kedua orang tuaku, Ibu Sri dan Bapak Wijaya.
Tanpa kusadari, Fika sudah ada di hadapan. Sepertinya aku terpana menatapnya, ia memanggil namaku dan melambaikan tangan di depanku. Aku terkesikap, membuat semua orang tertawa dengan tingkah konyolku.

Sekian tahun aku memperhatikan, baru kali ini aku melihat polesan di wajahnya.
"Cantik," ucapku lirih membuatnya tersipu malu.
Mereka memintaku menyematkan cincin di jari. Ketika akan menyentuh tangannya, keringat dingin bercucuran dan tanganku bergetar. Tak biasanya aku seperti ini. Mungkinkah karena ini pertama kalinya aku menyentuhnya. Aneh, tapi begitulah yang kurasa. Berulangkali mencoba, namun belum juga disematkan.

"Sudah halal, kok, Nak Ilham," ucap sesebapak di belakang.
Aku pun menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. Bismillah, kusentuh tangannya yang terulur sejak tadi, menyematkan cincin di jari manisnya. Aku tersenyum lega.

*

Pertama kali aku berada di kamar bersama seorang wanita, ah bukan, ia isteriku sekarang. Ruangan bernuansa putih, bertabur bunga mawar dengan aroma yang sama.
Duduk di sisi ranjang, memegang ubun-ubun kepalanya, tangan satunya menengadah, membacakan do'a.

"Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa."
Ku ajak ia untuk berwudlu, lalu melaksanakan sholat sunnah dua rakaat.
Tentu saja aku belajar dari seorang ustad, satu bulan, sebelum akad ini dilaksanakan.
Tok! Tok!

Suara ketukan pintu kamar. Aku mendekat, membuka pintu.
"Ini, diminum susunya," kata Ibu di balik pintu.
Aku mengambil, duduk, meminumnya setengah, kemudian kuberikan pada wanita cantik yang ada di sisiku. Ia pun malu-malu dan hanya meminum sedikit dari gelas itu.
Sekarang aku menjadi paham, ternyata si Fika yang kukenal selama ini aslinya seorang pemalu. Aku semakin cinta.

"Pak, terus kita ngapain?" tanyanya lugu.
Aku meletakkan jari jempol dan telunjuk di dagu, lalu memainkan alis.
"Apaan?" tanyanya penasaran, mengernyitkan dahi.
Aku memajukan bibir tiga senti, lalu mendekat.
Plak!
Satu tamparan di pipiku.

"Maaf, Pak, spontan," ucapnya dengan raut wajah menyesal. "Sakit, ya? Maaf , Fika nggak sengaja." Lagi ia meminta maaf dan mengelus pipiku.
Aku bergeming, lalu meraih tangannya.
"Kali ini kumaafkan, tapi ada satu lagi," ucapku menatapnya lekat dan memegang tangannya erat. Khawatir ia menamparku lagi.
"Apa itu?" tanyanya

"Panggil aku Mas Ilham," ucapku, matanya membulat, berusaha menarik tangannya, aku pun menahannya.
"Atau sayang," aku menggodanya, ia menunduk-menggeleng.
"Atau cinta, honey, kekasihku," Terus aku menggodanya hingga Ia menyerah.
"Baiklah, Mas Ilham! lepasin tangannya!" ucapnya.
"Hemm ... kurang tulus, kayak orang marah gitu," kataku.
"Baiklah, Mas Ilham sayang, cinta, suamiku ...." Ia berbicara dengan senyum manisnya.
Kulepaskan pegangan perlahan.

"Mau ke mana?" tanyaku padanya
"Mau ke kamar mandi, ganti baju," ucapnya
"Ikut, ya." Lagi aku menggodanya.
Ia melotot, menggeleng cepat, lalu berlari ke kamar mandi.
Braak!
Kliik!
Suara pintu kamar mandi ditutup dan terkunci dari dalam.
Aah ... sepertinya perjuanganku masih panjang untuk menakhlukannya, aku tak akan memaksanya, satu tamparan cukup sebagai peringatan.
Kubaringkan tubuh, mengusap pipi yang masih terasa nyeri.

*

Enam tahun yang lalu, aku bersama teman-teman pergi wisata ke jembatan ampera, Kota Palembang.
Kami menyisir pinggir jembatan berwarna merah, sambil bersenda gurau. Kami merayakan kelulusan ujian skripsi yang baru selesai disidangkan.
Di sisi tengah jembatan, seorang wanita belia berdiri, pandangannya lurus ke arah sungai musi, namun bergeming, tatapannya kosong-mematung.

Aku memperhatikannya, saat ada seorang lelaki yang mendekat, mengambil dompet dari tas terselempang di pundaknya. Ia menoleh ke arah lelaki tersebut, sejenak, lalu kembali menatap lurus. Seperti tak sadar jika sesuatu telah diambil darinya.
Aku yang melihat itu tak bisa tinggal diam. Aku berjalan, mendekati pencopet itu.
"Mau ke mana, Ham?" tanya teman-teman.

"Ada urusan, kalian di sini saja." Mereka pun melanjutkan pembicaraan
Aku terus berjalan-berlawanan arah dari pencopet itu. Saat sudah dekat, kuhadang dengan satu tangan, tanganku yang lain di saku celana.
"Kembalikan dompet anak itu," ucapku lirih masih menatap lurus.
Ia tak menghiraukan, tetap melangkah maju.
Kucengkram tangan terdekat, menekuknya ke belakang, tangannya hendak menarik bajuku. Aku menghindar, lalu menekuk lututnya, hingga ia terduduk. Kuraih tangan satunya dan melipat ke belakang, menekan kuat ke punggungnya.

"Kembalikan atau kulaporkan polisi!" teriakku di telinganya. Ia pun mengangguk, meraih benda di saku, lalu memberikannya padaku.
Saat ku lihat ke arah gadis itu, ia sudah tak ada di tempat semula, membuat cengkramanku longgar, hingga pencopet itu berhasil lepas dan kabur entah kemana.
Aku berusaha mengejar, namun di sisi lain harus mengembalikan dompet di tangan. Akhirnya kuputuskan untuk mencari gadis tersebut.

Suasana di jembatan tak terlalu ramai, hingga mudah untuk menemukannya.
"Ini, dompetmu." Aku mengulurkan dompet miliknya.
Ia bergeming tak menatapku sama sekali. Ia melangkah-menjauh dariku. Seorang bapak paruh baya menyuruhnya menaiki kendaraan roda dua berwarna hitam-biru, lalu menghilang dari pandanganku.
Mengapa ia tak meraih dompet ini? Tak adakah benda berharga miliknya?
Terpaksa aku membuka isi dompet di tanganku, hanya ada beberapa lembar uang berwarna abu-abu, dan kartu identitas pelajar.
"Fika Saputri, SMPN 1 Yogyakarta, kelas sembilan," ucapku lirih.
"Bukan asli orang sini, dasar! Bocah ingusan." Aku bergumam dan mengulum senyuman di bibir.

*
"Pagi, cantik," ucapku memandangi wajahnya yang masih terpejam.
Perlahan, Ia membuka mata, melihatku, berkedip seolah takjub ada lelaki tampan di hadapan.
"Aah! Ngapain Bapak di sini?" tanyanya sembari duduk lalu menjauh.

Aku menarik napas dalam, lalu menunduk meratapi perlakuannya.
"Sampai kapan kamu mau manggil aku Bapak? Aku sudah resmi jadi suamimu ... Fika Saputri, sekarang kamu jadi Nyonya Ilham." Aku berbicara menatapnya.
Terdengar ia menghela napas.

"Tadi malam, Bapak, eh, Mas nggak ngapa-ngapain aku, 'kan?" tanyanya masih dengan memeluk bantal.
"Emang, maunya diapain?" tanyaku menggodanya.
Mukanya memerah, lalu menutupnya dengan bantal.

"Dah, Mas nggak ngapa-ngapain kamu, kok. Wudlu sana, kita sholat subuh." Aku berkata sambil mengusap kepalanya.
Ia mengangguk, lalu menghilang dari pandangan.
Aku mengimami sholatnya, selesai ia menerima uluran tanganku, dan kukecup puncak kepalanya.
"Pak Ilham," ucapnya, aku pun melotot, ia pun sadar.

"Eh, Mas Ilham. Boleh tanya sesuatu?" tanyanya
"Boleh," kataku
"Kenapa Mas mau sama Fika?" tanyanya
"Jodoh," jawabku singkat.
"Issh! Tapi, kan, pasti ada alasannya. Nggak mungkin Bap--" ucapnya sengaja kuputus.
"Hmmm!" geramku karena masih memanggilku Bapak.

"Kita, kan, baru sekali ketemu, itupun by accident alias marah-marah di kantor Mas. Masa, iya, Mas suka sama aku karena marah-marah itu," sungutnya.
"Siapa bilang aku nggak kenal kamu," ucapku.
"Maksudnya?" tanyanya
"Aku sangat mengenalmu, bahkan semua aktivitas dan hobimu, aku tahu," ucapku sambil menahan tawa melihat ekspresinya yang kebingungan.
"Aku nggak ngerti!" sungutnya lagi.
"Kamu beneran mau tahu?" tanyaku menatapnya lekat.
Ia mengangguk.

"Beneran?" tanyaku lagi, semakin mendekatkan wajah.
Ia mengangguk.
"Serius mahu tahu?" tanyaku, sekarang kami hanya berjarak sejengkal.
Ia langsung menggeleng, lalu berdiri. Aku memegang tangannya.
"Ikut aku, kita ke jembatan Ampera, akan kuceritakan semuanya di sana."
*
Masih mau lanjut, nggak, ya? Udah nggak penasaran, 'kan?
*
 bersambung