Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

FIKA - Mendadak Nikah 16 - 18 ( tamat )

#Fika Mendadak Nikah 16, by Mimi Luy
#Ampera_Bridge2
#POV Ilham
*
Matahari mulai beranjak dari peraduan, bias cahaya menyelinap di celah jendela, tersenyum manis menyapa manusia agar memulai aktifitasnya.
Aku keluar dari kamar menuju ruang keluarga, di sana sudah ada Pak Supatmo dan Bu Retno, mertuaku.

"Pagi, Bu, Pak." Aku menyapa mereka yang sedang asyik menyaksikan siaran berita di televisi.
"Monggo, Nak Ilham. Duduk sini." Bapak mempersilakanku duduk sambil menepuk kursi di sampingnya.
Aku pun mengangguk, seraya duduk di sebelah Bapak.

"Gimana, Nak Ilham, nyenyak tidurnya?" tanya Bapak menatapku sembari menurunkan kacamatanya.
"Alhamdulillah," jawabku dengan senyum simpul.
Aku tak ingin Ibu dan Bapak tahu kalau sebenarnya badanku terasa sedikit pegal karena harus tidur di lantai.

"Fika masih di kamar, ya, Nak Ilham?" tanya Ibu.
Aku mengangguk, tak lama Fika keluar dari kamar. Ia mengenakan baju kuning gading dan Jilbab hitam. Entah mengapa aku kurang suka melihat penampilannya.
"Bu, Pak, Ilham izin mau ajak Fika jalan-jalan ke Jembatan Ampera," ucapku pada mereka.
"Ya, silahkan. Jaga Fika, ya, Nak Ilham. Kalo perlu pegang yang erat tangannya, jangan dilepasin, suka hilang anaknya." Bapak berkata padaku sembari melirik Fika.
"Bapak ....!" Dapat kudengar teriakan manja istriku, menghentakkan satu kaki, dan memajukan bibirnya lima senti.

Kami terkekeh melihat tingkahnya.
"Kalian, nggak sarapan dulu?" tanya Ibu.
"Mas Ilham mau sekalian ngajak sarapan di luar, Bu," ucap Fika menghampiri Ibu, lalu memeluknya.
Hey! Tidakkah kamu mau memeluk suamimu?
"Hati-hati di jalan, ya," ucap Ibu.

Kami pun menyalami mereka berdua. Akan tetapi aku melupakan dompet yang kuletakkan di kamar.
Aku pun menggandeng tangan Fika memasuki kamar karena kutahu jika di depan orangtuanya, ia tidak akan berani menolak ajakanku.
Sesampainya di dalam, kututup pintu lalu merapatkan tubuhnya di sana, kedua lenganku mengunci pundaknya. Dapat kulihat saat ini wajahnya merah-merona.
"Pak!" ketusnya mengarahkan pandanganku ke arah kepalan tangannya.
Aku tersenyum geli, malah rasanya semakin ingin ....
Kuarahkan tangan kananku ke bibirnya.

"Ini! aku hanya ingin menghapus warna merah di bibirmu." Aku membersihkan lipstik itu. "Juga bedak yang terlalu tebal ini." Tanganku mengusap wajahnya lembut. "Jika di luar tak perlu cantik, aku cemburu!" ucapku sambil tersenyum.
"Issh! Nyebelin! Aku bisa sendiri," sungutnya sambil mendorongku menjauh, lalu mengusap-usap bibir dan pipinya.
Aku terkekeh melihatnya, segera kucuci tangan, lalu kami pun keluar kamar.
Dapat kulihat Fika masih cemberut sambil berjalan di depanku, Ibu dan Bapak pun menggeleng melihatnya, lalu aku pun mengucapkan salam, disusul Fika.

*

Perjalanan menggunakan mobil menuju Jembatan Ampera menghabiskan waktu tiga puluh menit dari rumah. Aku memarkirkan mobil tak jauh dari sana. Keluar dari mobil, kugandeng erat tangannya. Ia menolak dan mendelik.

"Kamu ingat, 'kan pesan Bapak tadi di rumah? Pegang yang erat dan jangan dilepaskan!" ucapku tegas, menahan senyum melihat ekspresi pasrahnya.
Ia mengikuti langkahku, berjalan menyusuri tangga ke atas jembatan.
"Udah sampai, 'kan? Lepasin, dong, tangannya," pintanya sambil berusaha melepaskan genggamanku dengan bantuan tangan satunya.
Aku menggeleng.

"Kenapa, sih, nggak mau dipegang?" tanyaku heran.
"Malu diliatin orang, kayak anak kecil," ucapnya.
"Kamu, kan, memang masih kecil ... lebih kecil dariku, tuh, liat. Haha." Aku berkata sambil memandangi tubuhnya yang hanya sepundakku.
Ia marah, lalu membuang muka.

"Dah, yuk, kita ke tengah," ucapku sambil menarik tangannya.
"Kamu liat tulisan 'AMPERA' itu?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Itu singkatan dari amanat penderitaan rakyat. Jembatan ini dibangun untuk menghubungkan daerah ilir dan ulu Sungai Musi." Aku bercerita sambil mengarahkan telunjuk pada kata ampera, daerah ilir, dan ulu.

Aku tersenyum melihat matanya berbinar mendengarkan celotehku.
"Jembatan ini dibangun pada tahun 1962 atas persetujuan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno dan diresmikan oleh Jenderal Ahmad Yani pada bulan September 1965." Kuceritakan pelajaran sejarah padanya.

Ia menatapku, matanya yang indah membuatku terdiam-terpana.
"Terus," ucapnya membuatku terkesikap dan melanjutkan perjalanan perlahan.
"Kamu liat bandul-bandul seperti tali yang tersambung itu?" Aku mengarahkan telunjuk ke benda yang dimaksud.
Ia mengangguk.

"Dahulu itu berfungsi untuk mengangkat bagian tengah jembatan ini, agar kapal tidak terhalang badan jembatan saat melewatinya. Namun, sekarang sudah tidak berfungsi karena selain sudah tidak ada kapal yang lewat, juga membutuhkan sekitar tiga puluh menit untuk mengangkatnya, membuat jalur lalu lintas terhambat," jelasku disertai anggukan kecilnya berulang kali.
"Sesuai janjiku, pertama kali aku melihatmu di jembatan bernuansa merah ini, waktu itu kamu berdiri di sana, menghadap Sungai Musi," ucapku sambil menunjuk lokasi yang kumaksud.
Aku menceritakan semuanya dari peristiwa pencopetan sampai mengeluarkan sebuah dompet di saku celana.

"Ini, milikmu, 'kan?" tanyaku sambil menyodorkan dompet miliknya.
Ia meraihnya, membuka dompet, mengeluarkan isinya yang masih sama persis seperti dulu.
Ia tersenyum, lalu mengangguk.
"Iya, ini milikku. Terima kasih sudah menyimpannya selama ini." Ia memeluk dompet mungil warna biru bergambar kartun doraemon itu.

Aku tersenyum, menikmati senyuman indah di wajahnya.
"Lalu, gimana Bapak bisa tahu semua aktifitas dan hobiku hanya melalui dompet ini?" tanyanya tanpa menyadari kesalahannya.
Aku diam, memasang muka tak suka dengan sebutannya.
"Sepertinya kita harus bikin perjanjian, nih!" ketusku.

"Perjanjian, Pak? Untuk apa?" tanyanya masih memanggilku Bapak.
"Jika satu kali kamu panggil aku Bapak berarti satu kali kecupan, dua kali plus pelukan, tiga kali plus ...." Aku memainkan alis naik-turun.
"No!" teriaknya, "baiklah, Mas Ilham, aku takkan memanggilmu Bapak lagi," ucapnya mengacungkan dua jari tengah dan telunjuk ke samping
"Baiklah ... kita liat saja nanti," ucapku meremehkannya. Ia mencebik.

*

Bagaimana aku bisa menemukan alamat bocah itu? Sedangkan tidak ada alamat petunjuk apapun kecuali kartu pelajar ini, heem ... Fika Saputri, kelas sembilan," gumamku.
Aku duduk di kursi tempat biasa mengerjakan tugas kuliah, meletakkan dompet di meja. Kubuka laptop, mulai merevisi skripsi yang disarankan penguji. Entah kenapa justru wajah polos bocah itu yang muncul di benakku. Ah, mungkin karena dompet itu! Sepertinya aku harus kembali ke Jembatan Ampera besok, mungkin Ia akan datang lagi.

Keesokan harinya, aku ke sana, namun tak ada satu pun tanda-tanda kemunculannya. Apa ia hanya seorang wisatawan? Mungkin sudah pulang ke Jogja.
Selama satu minggu, aku terus memantau jembatan itu, nihil! Tak ada orang.
"Sial! Kenapa aku begitu ingin mengembalikan dompet ini?!" kesalku tak kunjung berjumpa dengan pemiliknya.

Satu bulan sudah terlewati dari peristiwa itu.
"Ham, setelah wisuda, kamu harus siap kerja di perusahaan Ayah," ucap Ayah yang menghampiriku di kamar.
Aku mengangguk. Ia pun berlalu.

Dua bulan sudah aku tak memikirkan si pemilik dompet. Aku mulai bekerja di perusahaan mulai dari bawahan, bekerja sebagai pegawai biasa terlebih dahulu Jika kinerjaku bagus, ayah akan menaikkan jabatanku. Begitulah Ia mengajarkan arti sebuah kerja keras dan tanggung jawab.
Enam bulan setelah itu, teman-teman mengajak untuk berkumpul kembali di Jembatan Ampera.
"Gimana, kabarnya, Mas Ilham?" tanya seorang wanita bernama Gisella padaku. Ia adik temanku, Miko, dan baru akan menyelesai skripsi tahun ini.

"Baik," jawabku singkat. Caranya bertanya dan memperhatikanku berbeda terhadap yang lainnya. Entahlah, masa bodo dengan itu.
"Hey, adakah di antara kalian yang punya cara menghadapi ABG yang pendiam?" tanya Donny temanku.

"Kamu, Gisel. Kan, cewek," jawab temanku yang lain.
"Menurutku, sih. Cewek itu kalo lagi ada masalah butuhnya tempat curhat, jadi baiknya dideketin, ditanya dari hati ke hati tentang masalahnya," jawab Gisella.
"Ya, nggak mungkinlah, orang murid di kelasku. Masa, murid cewek curhatnya ke guru cowok ganteng kayak gini. Kalo jatuh cinta, kan. Bahaya! Hahaa," ucap Donny sambil mengusap rambut lalu tertawa. "Lagian, tuh, anak dari awal masuk sampai setengah semester, melamun mulu. Kita para guru, sudah nggak tahu cara ngadepinnya." Donny mengeluarkan uneg-unegnya.
"Temui orang tuanya, Don," saran teman yang lain.

"Sudah, tapi nihil. Orang tuanya bilang dulu waktu di Jogja nggak seperti itu, sejak pindah ke Palembang jadi pemurung," jelas Donny.
Jogja-Palembang, enam bulan yang lalu.
"Siapa nama anak itu?" tanyaku pada Donny, membuat semua terdiam. "Fika Saputri, bukan?" tanyaku lagi. Semua tercengang.
Donny mengangguk.

"Kok, kamu tahu, Ham. Kamu kenal?" tanya Donny.
Aku menggeleng.
"Kebetulan aku pernah bertemu dengannya di Jembatan Ampera. Hanya sebatas itu, selebihnya aku tak tahu." Aku berkata namun tak menceritakan soal dompet itu, semua kembali melanjutkan percakapan, kecuali Gisella yang menatapku curiga.
Ketika akan pulang, aku mengikuti Donny di parkiran.
"Don, bisa minta nama dan alamat sekolah tempatmu mengajar?" tanyaku. Ia pun memberikannya padaku. Aku pun berterima kasih dan berlalu darinya.

*

"Jadi, Pak Donny itu, teman Bapak?!" tanyanya kaget mendengar ceritaku.
Mmuaaach !
Satu ciuman di pipinya berhasil ku daratkan.
Fika yang sedang memandang ke arah sungai Musi, terkejut, menatapku tajam, lalu mengusap pipi.
"Kamu barusan panggil aku Bapak! Sekali lagi, plus pelukan." Aku tersenyum puas.
Ia cemberut, lalu ....
"Apa melalui Pak Donny, P--", Ia tercekat, tersadar. "Mas Ilham jadi tahu semua aktivitas dan kegiatanku? Perasaan aku, nggak pernah menceritakan apapun pada Pak guru itu," ucapnya menatapku.

Aku menggeleng.
"Lalu, bagaimana ... Mas bisa tahu semua tentangku. Mas Ilham, bohong, ya?" tanyanya mencurigaiku.
"Heem ... nggaklah. Aku tahu hobimu jajan dan baca novel, hampir setiap hari sarapan di warung Pak Tuo, warna kesukaanmu biru, binatang kesayanganmu kucing tapi nggak pernah memelihara di rumah, payah!" ucapku mencebik ke arahnya.
"Kok, tahu dari mana semua itu?" Ia membelalakkan matanya.

*

Ternyata kamu pindah sekolah di sini, pantas saja.
Aku pergi berkunjung ke rumah Om Surya, adik Ibuku. Ada sesuatu yang sedang aku rencanakan, menemui sepupuku,
Om Surya mempersilakanku duduk, tak lama sepupuku keluar kamar. Kami memang sangat dekat, karena aku sering menuruti keinginan dan membantunya.
"Mas, tumben ke sini. Pasti ada sesuatu,," ucapnya heran dengan kedatanganku.
Aku memang tidak akan datang menemui sepupuku itu kecuali penting. Kuceritakan semuanya tentang Fika.

"Apa?! Mas minta aku pindah sekolah," ucapnya setengah teriak.
Aku mengangguk.
"Nanti aku yang membayar semua biaya dan kebutuhanmu, apa pun itu, minta saja padaku. Asalkan kamu mau pindah dan mendekati orang yang kumaksud."
"Tapi, aku sudah setengah semester, nanggung, tunggu kenaikan kelas dua saja, ya, Mas?" Ia bernegosiasi padaku.
Aku menggeleng. Ia pun mencebik. Dan akhirnya menyetujui permintaanku.

*

"Sepupuku adalah sahabatmu, sekarang." Aku berucap sambil tersenyum.
"Maksud, Mas, Nuni?" tanyanya tak percaya.
Aku mengangguk.
"Nuni, sahabatku? Sepupu Mas? Nggak mungkin! aku, nggak pernah tahu dia punya sepupu bernama Ilham. Yang kutahu Nuni pernah bilang kalau punya sepupu ganteng, tajir, semua cewek naksir kalau melihatnya. Apa yang dimaksud itu ... Mas Ilham?" tanyanya lagi.
Aku tersenyum.
"Nuni ....! Awas, ya, kalau ketemu nanti," ucapnya sambil mengomel, nggak jelas.
Aku terkekeh melihat tingkahnya.

"Sudah mulai panas di sini, kita jalan, Yuk," ajakku
Ia menggeleng . Mungkin masih kesal.
"Ayoo!" Aku menarik tangannya sambil terus mendengarnya bercoleh tak jelas.
"Kita makan dulu di tempat ini, tadi belum sempat sarapan. Setelah itu, aku lanjut ceritanya lagi. Kita ke pulau kemaro."
Ia mengangguk, lalu menyendok mangkok di hadapan. Ini pertama kali, aku makan berdua dengannya di tepi Sungai Musi.

*
Mau lanjutin perjalanan mereka di Pulau Kemaro? Pulau apa itu? Stop sampai di sini juga boleh, karena Ilham sudah cerita semua. Horeee!! Author lega ....
*


#Fika_Mendadak_Nikah_17
#Pulau_Kemaro_Palembang
#POV_Ilham

*

Alkisah, Tan Bun An seorang Pangeran Tiongkok jatuh cinta kepada Putri Raja Palembang bernama Siti Fatimah. Ia pun resmi mempersunting dan mengajak sang putri untuk ikut berlayar ke daratan Tiongkok menemui orang tuanya. Beberapa hari di sana mereka berpamitan pulang ke Palembang. Sang ayah memberikannya tujuh guci sebagai hadiah. Ketika sampai di perairan Sungai Musi, Tan Bun An tidak sabar ingin mengetahui isi guci tersebut. Ia terkejut saat melihat guci berisi sawi-sawi asin, tanpa berpikir panjang langsung membuangnya ke sungai. Guci ke tujuh terjatuh di dek perahu, ternyata di dalamnya terdapat emas. Pangeran pun langsung menyelam ke sungai, diikuti oleh seorang pengawalnya untuk mengambil kembali guci-guci yang dibuang. Lama mereka tak muncul di permukaan, akhirnya Siti Fatimah ikut terjun ke sungai. Mereka bertiga tenggelam di sana.

*

"Ada banyak versi cerita tentang Pulau Kemaro," sahut Bapak penjual pempek, "ada yang mengatakan bahwa pulau itu adalah makamnya Pangeran Tan Bun An dan Putri Siti Fatimah, versi lain bilang sebenarnya sembilan guci bukan tujuh," ucap sesebapak itu.

Aku mengangguk, sedangkan wajah istriku terlihat serius mendengarkannya.
"Jika ditarik benang merah, cerita itu mengisahkan tentang cinta sejati dua sejoli, hee." Bapak tersebut melanjutkan lalu tertawa kecil.

"Kasian, ya, kisah cinta mereka," ucap Fika sambil mengaduk-aduk kuah cuko di mangkok.
"Yuk, kita ke sana," ajakku padanya.
Ia menggeleng, membuat dahiku mengernyit.
"Kenapa?" tanyaku melihatnya murung.
"Aku takut," ucapnya lirih dengan wajah tertunduk.
"Kan, ada aku. Sebagai suami sudah berjanji akan selalu menjagamu." Aku mengangkat dagunya supaya menatap mataku.

Sesaat mata kami beradu pandang, pipinya merona sedang aku selalu terpesona memandangnya.
"Bukan takut ke pulau kemaro, tapi sejak pindah ke Palembang belum sekalipun naik perahu ketek atau speedboat." Ia berucap lalu mengulum bibirnya.
"Hahahaa ...." Aku tertawa terbahak mendengar pengakuannya.
Ia pun langsung cemberut, lalu membuang muka.
"Maaf, maafin aku sayang. Kamu beneran belum pernah naik itu?" tanyaku sambil menunjuk perahu yang terapung di sungai.

Ia menggeleng. Aku pun menarik napas mengembuskannya perlahan.
"Baiklah, aku akan menghilangkan rasa takutmu itu, kita naik perahu ketek. Kalau kamu takut, peluk saja suamimu ini selama yang kamu mau." Aku berucap sambil tersenyum lebar.
"Nggak! Curi kesempatan," sungutnya sambil menjulurkan lidah.

"Yaudah, kalo gitu, kita pulang saja, Yuk,” ucapku sembari melirik ke arahnya.
Ia bergeming, sesekali mendongak,meletakkan jari telunjuk, dan jempol di dagu.
“Nggak penasaran dengan cerita lanjutannya, Mas?” tanyaku memancing rasa penasarannya.
Ia masih diam, tak ada suara.

“Kenapa, ya … Mas Ilham bisa suka sama Fika Saputri?” godaku padanya.
Ia terdiam, belum tertarik, mungkin rasa takut lebih menguasai dirinya.
"Yuuk, kita pulang!" ajakku sambil meraih tangannya.
"Tunggu, baiklah kita ke Pulau Kemaro," ucapnya membuatku tersenyum lebar.
Perjalanan menggunakan perahu ketek dari Jembatan Ampera ke Pulau Kemaro sekitar tiga puluh menit lebih dan hanya lima belas menit dengan speedboat Aku memilih perahu ketek agar dapat menikmati perjalanan mengarungi Sungai Musi bersama wanita cantik di sisiku. Selain itu, jika ia ketakutan, aku dapat merasakan pelukannya lebih lama.

Aku melangkah menaiki perahu lebih dulu, mengulurkan tangan, kuraih dan pegang erat tangan membantunya.
"Mau tahu apa yang membuatku semakin jatuh cinta padamu setelah menjadi istriku?" bisikku di telinganya saat ia mendarat di perahu. "Saat kamu tersipu malu hingga merah-merona pipimu."
“Gombal!” Ia pun memukul pelan dadaku, lalu mendorong agar menjauh.

Lagi-lagi aku tersenyum melihatnya seperti itu. Entah kenapa hobiku jadi bertambah, yaitu suka menggodanya.
Ia duduk di tengah badan perahu dekat dengan pinggir sungai, aku pun berada di sampingnya.
Mesin dihidupkan, suara ciri khas perahu ketek pun terdengar. Kami melaju,semilir angin membelai rambut, wajah, dan jilbab hitam istriku. Kupandangi kapal besar yang mengapung di perairan sambil saling berpegangan erat.

"Sayang, nggak jadi takut?! Aku selalu siap dipeluk, kok!” kataku dengan volume suara yang dikeraskan di telinganya, karena angin dan suara perahu yang saling beradu mengalahkan suaraku.
Ia menggeleng, lalu mencebik. "Ngarep!" katanya masih dapat kudengar.
“Hahaha ….” Aku tertawa.
Perahu menepi di sebuah pulau kecil di tengah sungai. Aku kecewa karena tak sedikitpun ia memelukku walau sebentar saja. Huuufht!

"Kenapa mukanya ditekuk gitu, Mas?" tanyanya sambil berjalan di daratan Pulau Kemaro.
"Karena kamu nggak p--" Belum selesai aku berbicara ia sudah berlari meninggalkanku.
"Waah!! Cantik sekali tempatnya, sejuk, asri, banyak pohon besar di sini," ucapnya masih dapat ku dengar walau berada jauh di depanku.

Pulau kemaro, yang berarti kemarau. Dinamakan demikian karena pulau ini tidak pernah terendam air, tetap kering meskipun air sungai sedang pasang. Pulau bernuansa warna merah dan kuning yang menjadi ciri khas etnis tionghoa, sering dijadikan tempat ibadah perayaan Cap Go Meh agama Konghucu.

"Itu bangunan apa?" tanyanya sambil telunjuk mengarah ke menara tinggi.
"Itu pagoda, terdiri dari sembilan lantai," jawabku singkat.
“Wow! Bagus, ya,” ucapnya.

Aku mengangguk.
Fika terus berjalan, sedangkan aku hanya mengikuti dari belakang, sesekali berlari kecil mengejarnya agar tak menghilang. Benar kata bapak, kalo Fika suka menghilang.
Hap! Kutangkap tangannya, agar berhenti berlarian.
"Kamu benar-benar membuatku seperti sedang menjaga anak kecil," ucapku sambil membungkuk, mengatur napas.

"Emangnya, kenapa?." Tanyanya heran.
“Barusan, lari-lari, ntar hilang.” Aku berkata sambil mengatur napas.
“Nggaklah, pulau sekecil gini gampang nyariinnya. Nggak mungkin hilang.” Ia berkata bola mata mengitari sekitar.
"Iya, tapi aku suamimu, harusnya kita jalan berdua, bergandengan tangan," ucapku menangkupkan kedua tangan di pipinya.

Lagi, pipinya merona, lalu ia menarik napas,dan mengembuskan perlahan.
“Baiklah, Mas Ilham, suamiku,” ucapnya dengan senyuman manis.
“Nah, gitu. Ini baru namanya istri sholihah,” ucapku sambil mengusap kepalanya.
Ia mencebik.

Aku menggandeng tangannya, lalu berjalan-beriringan menyusuri Pulau Kemaro.
“Apa alasan Mas Ilham menyukaiku?” tanyanya sambil berjalan.
“Heem … cinta pada pandangan pertama, mungkin,” jawabku.
“Issh ….!” gerutunya lalu menyubit pinggangku.

Aku menghentikan langkah, begitu pun dengannya. Kami berada tepat di bawah pohon besar, yang dinamakan pohon cinta dengan pagar berwarna merah-kuning disekelilingnya.
“Sejak kamu menjadi sahabat Nuni, aku selalu diberitahukan informasi tentangmu. Awalnya aku hanya berencana untuk membantu agar Fika memiliki seorang teman dan kembali ceria. Namun, entah kenapa sering itu menjadi canduku. Setiap hari aku kepo, menanti kabar dari Nuni sampai nomorku diblokir olehnya,” ucapku sambil tersenyum.

“Benarkah?” tanyanya, “kami suka bergantian HP, tapi tak satu pun kulihat pesan, telepon dari selain teman-teman sekolah di sana,” ucapnya.

“Ya, iyalah nggak ada. Nuni kuberikan dua gawai, satu untuk sekolah dan satu lagi khusus menghubungiku.” Ucapku sembari mendekati wajahnya, “karena kalian saling bertukar itu, Nuni jadi bisa mengecek siapa saja yang sudah menghubungimu. Iapun memberitahuku bahwa tak ada seorang pun lelaki yang dekat denganmu, ah,bukan, lebih tepatnya kamu menjaga jarak dari cowok, dan itu membuatku simpati padamu, ingin rasanya aku menjadi lelaki pertama yang dekat denganmu.” Aku berkata lalu memasukkan kedua tangan di saku celana.

Fika terdiam dan serius mendengarkan ucapanku.
“Setelah kelulusan, kamu melamar kerja di mana pun tak di terima, ‘kan?” tanyaku padanya.
Ia mengangguk.

“Itu karena Nuni memberitahu semua tempatmu mengirim lamaran, kemudian aku menghubungi pemiliknya dan membatalkan lamaran kerjamu,” ucapku.
“What?!” teriaknya dengan mata membelalak, kaget mendengar ceritaku.
Aku pun terkekeh.

“Lalu, Nuni bilang kalo akhirnya kamu memasukkan lamaran di perusahaanku Saat itu aku mulai menyusun rencana. Setelah tes tertulis, kamu pergi ke kantin,’kan? Adakah seorang lelaki duduk untuk makan satu meja denganmu?” tanyaku
Ia mencoba mengingat, lalu mengangguk.

"Lelaki itu, aku!.” Aku berkata lalu menatapnya lekat. “Sayangnya kamu hanya menunduk, menikmati sajian makanan di hadapanmu, tanpa melirik apalagi menoleh padaku,” lanjutku.
Fika bergeming, matanya sesekali berkedip perlahan, mungkin takjub dengan ceritaku.
“Benarkah?” tanyanya.
Aku mengangguk.

“Aku semakin suka karena sikap cuekmu itu. Maksudku sebelum menjadi istriku, Fika sangat menjaga dirinya dari seorang lelaki.”
Fika menunduk malu.

“Saat tes wawancara, aku sengaja mencari namamu dan meletakkannya di paling bawah. Kemudian, memanggil satu per satu peserta lainnya, hingga tersisa namamu diakhiir. Aku sengaja tak memanggil Fika Saputri sampai ia masuk sendiri ke ruanganku, marah-marah!” jelasku sambil tertawa kecil mengingat kejadian itu.

“Jadi, sebenarnya namaku, nggak dicoret!” ucapnya kaget, “Bapak, Curang!” sungutnya.
“Kamu panggil aku Bapak, aku cium,,nih,” ucapku.
“Biarin, aku kesal! Pak Ilham curang, nyebelin ….!” Ucapnya berteriak dan ingin memukulku, aku menghindar.

“Dua kali panggil Pak, aku peluk, loh,” ucapku.
“Bodo amat! Bapak … Pak Ilham, jahaaattt!” teriaknya lagi.
Aku tertawa terbahak, masih menghindari pukulannya, lalu dengan sigap aku tangkap kedua pergelangan tangannya. Kutatap lekat, matanya memerah.

“Maaf, semua kulakukan karena aku mencintaimu, Fika Saputri,” ucapku lalu membenamkan wajahnya di dada bidangku. Kulepas pegangan perlahan, lalu mengusap lembut kepalanya.
Tangannya bergerak merangkulku, lalu menangis sesegukan.
“Hey! Apa kamu menyesal, setelah mengetahui semuanya?” tanyaku khawatir.
Ia menggeleng.

“Lalu, kenapa menangis? Apa kamu menyesal menjadi istriku?” tanyaku lagi.
“A-aku ….” Ia tak mampu berucap.
Aku memegang pundaknya, lalu mata kami beradu pandang. Kutatap lekat wajahnya, semakin dekat, matanya terpejam, hanya berjarak satu senti aku dapat merasakan manis dari bibirnya.
“Eheem!!” Suara sesebapak berdehem, “ini tempat umum dan sakral, dilarang bermaksiat!” ketusnya melihat kami.

“Kami sudah menikah, Pak,” jawabku.
“Kalau begitu, lakukan di rumah!” ketusnya lagi.
Fika salah tingkah, aku pun merasa sial.
“Baiklah, terima kasih sudah mengingatkan. Pak siapa namanya?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.

“Saya Pak Boy, pengawas Pulau Kemaro ini.” Ia berkata sambil meraih tanganku.
Kami saling berjabat tangan, aku dan Fika berpamitan pulang, lalu berjalan sambil bergandengan tangan.
“Sudah mau dzuhur, setelah ini kita sholat di Masjid Agung Sultan Badaruddin, ya,” ucapku disertai anggukannya.

Kami berjalan menuju perahu, kali ini aku memutuskan untuk naik perahu speedboat agar cepat sampai. Perahu melaju dengan kecepatan tinggi di perairan Sungai Musi, aku sesekali melihat kea rah istriku, meremas-remas tangannya yang sejak tadi menggenggam tanganku, semoga Fika mulai membuka hatinya untukku.

“Andaikan aku menjadi Pangeran Tan Bun An dan kamu Putri Siti Fatimah, akankah mau ikut terjun ke sungai menyelamatkanku?” tanyaku berandai- andai.
Ia menggeleng. Dahiku mengernyit.
“Kamu rela kehilangan suamimu?” tanyaku lagi.
“Bukan itu, aku tak mau karena tidak bisa berenang,” ucapnya, aku pun tersenyum.
“Apa kamu mencintaiku?” tanyaku, memandanginya.
Braaakk!

Suara benturan keras pada perahu yang kami tumpangi, membuat aku terhuyung dan genggaman tangan pun terlepas. Perahu kami terbalik, aku berada di kedalaman Sungai Musi.
Saat tersadar, aku mencoba naik ke daratan, teringat seseorang yang harus aku jaga.
“Fika ….!” teriakku di atas air.

Mataku mencari di sekeliling, namun tak kutemui tanda-tanda kemunculannya. Aku mencoba mendekati perahu, lalu membalikkannya. Berharap menemukan Fika di dalam. Namun, tak ada siapa pun di sana.
Aku mencoba menyelam. Air sungai yang berwarna cokelat pekat menghalangi pandangan, begitu pun arus sungai di bawah sangat deras sehingga aku tak bisa menemukannya.
“Fika ….!” teriakku saat berada di atas air.
“Fika ....! Di mana kamu?” Kamu dengar aku, Fika ….!” teriakku sekuat tenaga.
Ya Allah, tolong selamatkan istriku. Bukankah ia berkata tidak bisa berenang. Jantungku berdetak lebih kencang, mengkhawatirkannya. Aku takut kehilangannya.
“Fika …..!” Aku teriak sekencang-kencangnya.

*

-----



#Fika_Mendadak_Nikah_18
#POV_Ilham

*

Awan putih berantai menutupi langit yang cerah, angin bertiup kencang disertai aliran sungai yang semakin deras.

Aku masih terapung di atas air, tangan dan kaki terus bergerak agar tetap berada di permukaan.

"Fikaaa .....! Jawab aku!" teriakku sambil terus memperhatikan sekitar.

Ya Allah, aku mohon selamatkan istriku. Aku mohon ....

"Fikaaa ...!" Suaraku menggema di Sungai Musi.

"Paaakk ... tolooong!" Suara itu dapat kudengar, tapi di mana?

"Aku mencoba melihat ke arah kanan-kiri, tapi tidak ada siapa pun. Apa hanya khayalanku.

"Pak Ilhaaamm ....!" Sayup kudengar suara  yang terbawa angin itu. Aku berenang secepat kilat menuju perahu, naik dan melihat sekeliling dari atasnya.

"Allahuakbar!" Aku berteriak melihat istriku sedang berusaha bertahan, mencoba tetap berada di permukaan.

Segera aku melompat menuju arahnya yang terbawa arus sungai. Secepat mungkin aku akan menolongnya, sebelum ia kehabisan napas.

"Paaak!" teriaknya yang timbul tenggelam tertelan air sungai.

Aku datang! bertahanlah untukku.
Sedikit lagi aku sampai, bertahanlah sayang.

Saat akan sampai, tak kudengar lagi suaranya, Ia pun berhenti bergerak.

Aku menyelam, mengambil uluran tangannya, segera kuangkat menuju permukaan, kurangkulkan tangan ke tubuhnya, berenang dengan gaya dada menuju pinggiran sungai.

Sebuah speedboat datang, meluncurkan ban karet yang terikat, aku segera meraihnya. Mereka pun  menarikku bersama Fika ke dek perahu.

"Fikaa ... ayoo, bertahan sayang." Aku membaringkannya,  lalu melakukan kompresi dada.

"Fikaa ... aku mohon, bertahanlah!" lagi kuulangi kompresi dada sampai berulang kali, lalu memberikan napas buatan.
Sesekali aku meraba denyut nadi di lehernya. Masih berdenyut.

"Kamu masih hidup, bertahanlah ... Fikaaa!" Lagi kuteriakkan namanya, melakukan kompresi dada, dan napas buatan.

Aku tidak mau kehilanganmu. Lagi kuberikan napas buatan sebanyak-banyaknya.

"Uhuuuk ... uhuuuk!! Ia terbatuk, mengeluarkan air yang tertelan dari mulutnya.

"Syukurlah ... Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah." Aku segera menopang tubuhnya bersandar di tubuhku.

"Sayang ...." Kuusap wajahnya yang basah, mengecup kepalanya berulangkali, dan menyelimuti tubuhnya dengan handuk yang diberikan sesebapak yang telah menolong kami.

"Kamu kedinginan?" tanyaku. Ia mengangguk pelan. Akupun memeluknya erat.

"Terima kasih," ucapnya lirih masih dengan tubuh yang lemah.

Aku tersenyum, semakin mengeratkan pelukan.

"Kita ke rumah sakit untuk memastikan keadaanmu," ucapku.

Ia mengangguk.

"Bisakah Bapak membawa kami ke rumah sakit terdekat?" tanyaku pada pemilik perahu.

"Bisa, saya antar kalian ke Rumah Sakit Sungai Musi." Ia lalu melajukan perahu lebih cepat.

Kecelakaan yang kami alami karena tabrakan antar perahu. Sama-sama dengan kecepatan tinggi sehingga tak terkendali, akhirnya speedboat tersebut menabrak perahu yang kami tumpangi.

"Mas minta maaf, telah membuatmu seperti ini," ucapku masih memeluknya.

Ia menggeleng.

"Bukan salah Mas. Ini kecelakaan," ucapnya lirih.

"Mas takut kehilanganmu." Aku berkata semakin mengeratkan pelukan.

Ia lalu mengangkat tangannya dan mengenggam lenganku yang merangkulnya.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku," ucapnya, "aku pikir, ini akhir dari hidupku." Ia berkata sambil menghela napas.

Aku mengangguk, lalu mengecup kepalanya.

Perahu berhenti di tepi sungai, aku membopong Fika menuju rumah sakit yang terletak tak jauh dari sini. Awal Ia menolak dengan alasan sudah mampu berjalan sendiri, tapi aku tak mempedulikan, dan tetap membopongnya. Seketika mata orang-orang melihat ke arah kami, Fika pun mengatakan malu dilihat seperti itu. Tetap saja, aku terus berjalan sampai di rumah sakit dan membaringkannya di brankar UGD.

Aku terus menemaninya saat diperiksa, sampai dokter mengatakan keadaannya baik dan butuh istirahat di rumah.

Aku memintanya untuk menunggu di rumah sakit sembari mengambil mobil yang terparkir di dekat Jembatan Ampera.

Kustarter mobil, mampir ke Pasar 16 Ilir, membeli pakaian ganti untukku dan Fika.

Sampai di pasar, kudapatkan baju yang pas, segera memakainya. Saatnya berburu baju istriku. Ah, aku lupa berapa ukuran baju dan pakaian dalamnya. Mau bertanya pada penjaga toko tapi muka mau taruh di mana? Akhirnya aku teringat Nuni, mungkin Ia tahu semuanya. Saat mengambil gawai di kantong, ternyata HPku mati karena terendam air.

"Sial!" ucapku setengah berteriak.

Bagaimana ini?  Jika tidak segera kubeli, Fika akan semakin kedinginan di sana.

Aku menghela napas dalam, kuhilangkan gengsi ini sementara.

"Yuk, tolong carikan pakaian dalam, jilbab samo baju cewek. Seukuran ayuklah caknyo, untuk hadiah ke istri (Yuk, tolong carikan pakaian dalam, jilbab dan baju cewek. Seukuran ayuk sepertinya, untuk hadiah ke istri)." Aku berkata sambil menahan malu. Seumur hidup baru kali ini membelikan pakaian dalam untuk wanita.

Ia pun mengangguk seolah mengerti raut wajahku, lalu mencarikan benda yang kumaksud, dan langsung membungkusnya. Segera kubayar dan mengucapkan terima kasih.

Aku melaju menuju rumah sakit, sesampainya di sana, kulihat Fika masih berbaring, tubuhnya ditutupi selimut. Aku pun memberikan bingkisan yang kubeli tadi, lalu memintanya berganti pakaian.

Ia pun mengenakannya, terlihat sedikit kebesaran, tapi masih pantas dikenakan.

"Terima kasih bajunya dan pakaian dalamnya" katanya sambil menatapku.

Aku mengangguk.

"Mau Mas gendong lagi?" tanyaku.

Ia menggeleng, lalu merangkul tanganku dan kami berjalan menuju mobil di halaman rumah sakit.

Di perjalanan, sesekali aku melirik melihatnya tertidur pulas karena kelelahan.  Kupegang tangannya yang terkulai, lalu meletakkan di dada. Aku bersyukur masih diberi kesempatan membersamainya.

*

Sampai di halaman rumah. Mesin mobil kumatikan, membuka safety belt milikku. Fika terbangun saat aku akan menggendongnya.

"Sudah sampai, ya?" tanyanya, "tak perlu digendong, aku bisa sendiri. Aku tak ingin Bapak dan Ibu khawatir melihatku." Ia berkata sambil perlahan turun dari mobil. "Maaf selalu merepotkan Mas," ucapnya sambil meraih uluran tanganku.

"Aku suamimu, sudah sepantasnya direpotkan oleh istri, kamu tanggung jawabku," ucapku.

Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lalu, kurangkul menuju rumah.

Kami mengucap salam, Ibu segera menyambut dengan tatapan heran melihat wajah pucat Fika, serta jalannya yang tertatih.

"Fika kenapa, Nak Ilham?" tanya Ibu.

Baru akan membuka mulut, Fika sudah menjawab terlebih dahulu.

"Tadi ... ada sedikit kecelakaan, Bu. Alhamdulillah Mas Ilham yang menolong Fika," ucapnya disertai senyuman tipis. "Fika lelah, boleh istirahat, kan, Bu?" tanyanya meminta izin Ibu untuk ke kamar.

Ibu menggangguk dan tersenyum, membiarkan kami berlalu.

Aku menuntunnya, sampai di kamar, Fika berbaring, aku pun menyelimuti tubuhnya.

"Istirahat, Sayang. Semoga cepat pulih dan bisa kugoda lagi," ucapku disertai senyuman dan kecupan di dahinya.

Ia hanya mengangguk, matanya terpejam. Sepertinya tenggelam membuatnya kehabisan tenaga.

Aku memilih menemui Ibu, menceritakan semua yang terjadi. Ibu kaget, kemudian bersyukur Fika masih tertolong. Ia pun berinisiatif untuk memasakkan sayur kesukaan putrinya, sedangkan aku kembali ke kamar menunaikan sholat dzuhur, lalu berbaring di sampingnya hingga mata ikut terpejam.

*
Sore aku terbangun karena kurasakan ada sentuhan di pipiku. Kubuka mata seketika, ia pun kaget dan langsung menarik tangannya, pura-pura memejamkan mata.

Aku tersenyum melihat itu, langsung saja aku pencet hidung bangirnya.

"Aauuu! ... sakit," teriaknya memegang hidung yang memerah.

"Nggak perlu pura-pura pejam mata gitu, udah ketahuan juga." Aku berucap lalu menatapnya yang sedang mengelus hidung.

Ia mencebik.

"Alhamdulillah, istriku sudah membaik dan kembali menggemaskan," ucapku sambil mencubit pipinya.

"aduuh ... sakit, toh, Mas," sungutnya.

"Yuuk, kita makan, tadi Ibu bilang bangun tidur segera makan." Aku berkata sambil mengusap kepalanya.

Ia menggeleng. "Aku belum lapar," ucapnya.

Aku menghela napas.

"Aku ambilkan, kamu harus makan atau mau aku suapin ...." Aku menatapnya. Ia pun mengulum bibir.

"Baiklah, tunggu di sini," ucapku.

Saat akan pergi, Fika meraih tanganku, membuatku menoleh-menatapnya.

"Aku mencintaimu, Mas." Ia berkata, menatap mataku.

Aku pun berhambur memeluknya, dan tersenyum lebar. Kutatap matanya yang indah memastikan semua ini nyata, ia terpejam, membuat gejolak di jiwa untuk merasakan manis di bibirnya yang sempat tertunda. Dan kami pun larut dalam mahligai cinta.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menghentikan kami, aku pun meraih handle pintu, lalu membukanya.

"Taraaa ... masih sore. Ngapain, sih, pake kunci pintu segala." Suara cemprengnya menggema di seluruh ruangan.

"Fikaaa ... aku kangen sama kamu," ucapnya berhambur masuk kamar tanpa seizinku dan memeluk istriku

"Nuni, kapan datang? Kok, nggak kasih kabar dulu," ucap Fika salah tingkah.

Emang dasar sepupu satu ini! Menggangguku yang baru saja meneguk manisnya cinta. Harusnya kubiarkan saja tadi pintu itu.

"Aah!!" Aku mengusap wajah kasar.

Nuni menoleh, menatapku heran, sedangkan Fika mengulum senyum di bibirnya.

*

*

*

Hai ... terima kasih yang sudah setia membaca cerbungku. Tak lupa pula kuucapkan beribu terima kasih untuk semua teman-teman yang telah mendo'akan kesehatanku. Semoga di awal tahun ini, semuanya diberi kesehatan dan menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. aamiin.