Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU 6-10

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 6
Oleh: Khayzuran

Handini semakin mengeratkan pelukannya pada Maura. Setengah berlari Handini menjauhi Fahri dan Dewi.
"Handini tunggu."
Fahri hendak mengejar Handini, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti.
"Mas Fahri...."

Suara Dewi berhasil menghentikan langkah Fahri. Fahri urung mengejar Handini dan berbalik ke arah Dewi.
"Gak usah ngejar Mbak Handini, nanti dia jadi manja dan ngelunjak, biarin aja Mas, biar Mbak Handini berpikir dan sadar kalau dia memang salah sudah menghalangi kebahagiaan kita."
Sementara Handini berlari semakin menjauhi Fahri dan Dewi. Tangis Maura semakin kencang, seolah bayi berusia 4,5 bulan itu turut merasakan kesedihan yang sedang melanda hati ibunya.

"Maafkan ibu sayang, maafkan ayah juga ya, Maura kaget ya Nak, udah gak apa-apa kok, Maura bobo lagi ya."
Handini membelai-belai kepala dan pipi Maura, tangis bayi mungil itu sedikit mereda, matanya mengerjap-ngerjap jenaka.

"Kita jemput kakak Arkania ya, Maura pasti kangen sama kakak Arania, abis itu kita main sambil temenin kakak Arkania terapi di rumah sakit."
Handini terus menghibur Maura. Handini merasa bersalah karena bayi itu telah menyaksikan apa yang seharusnya tidak disaksikannya.

Dengan menggunakan angkutan umum Handini kembali ke sekolah Arkania.
"Bu Handini....."
Bu Ratih guru Arkania menyongsong kedatangan Handini.
"Arkania Bu, Arkania...."
"Arkania kenapa Bu?"

Handini mulai cemas.
"Dari tadi kami sudah mencari Arkania tapi kami belum menemukan keberadaan Arkania."
"Arkania menghilang?"
Handini panik, otaknya berpikir cepat mencari berbagai kemungkinan keberadaan Arkania.
Handini mencari handphonenya, tangannya cepat menghubungi nomor handphone Fahri. Telepon tersambung, tapi tidak dangkat juga. Handini mencoba telepon lagi, alhamdulillah kali ini dangkat.
"Mas Fahri, Arkania menghilang, tolong bantu aku nyari Arkania Mas, aku khawatir terjadi apa-apa sama Arkania."

Terdengar suara tawa yang meledak dari seberang telepon sana.
"Hahahaha....Mbak Handini drama apa lagi sih ini? hobi banget menjadikan anak sebagai tameng. Mbak pikir aku perempuan bodoh yang gampang banget ditipu dan dipermainkan Mbak?"
"Aku mau bicara sama Mas Fahri, penting. Tolong handphonenya kasihkan ke Mas Fahri."
"Mas Fahri lagi nyetir, gak bisa diganggu. Mbak sengaja mau gangguin Mas Fahri yang lagi nyetir biar kita kecelakaan? jahat banget sih Mbak jadi orang. Kalau mau menghalangi pernikahan aku sama Mas Fahri bukan dengan ngarep kita kecelakaan, yang elegan dikit dong Mbak, jangan kayak anak kecil."

"Dewi...Mbak gak main-main, Arkania menghilang di sekolah, tolong Mas Fahri bantu cari Arkania, anak itu berbeda denga anak lain yang seusianya, Arkania tidak bisa bicara, tidak mengerti diajak bicara, tolong Dewi, aku mohon, aku gak mau terjadi apa-apa sama Arkania."
"Kalaupun Arkania beneran menghilang, itu karma buat Mbak karena Mbak sering bikin aku sama Mas Fahri susah. Sudah deh Mbak jangan bikin aku jengkel terus, ngeselin deh."

Dewi memutus sambungan telepon.
"Handini bilang apa?"
"Katanya Arkania menghiang di sekolah."
"Kok bisa?"
"Paling itu akal-akalan Mbak Handini aja buat nyari perhatian Mas Fahri."
"Handini gak pernah main-main kalau soal Arkania."

"Yaudah kita ke sekolah Arkania aja dulu buat buktiin kalau omongan aku benar, Mbak Handini cuma nyari perhatian Mas Fahri aja."

Suasana di sekolah inklusi tempat Arkania sekolah masih ramai, semua mencari keberadaan Arkania. Semua ruang kelas, kamar mandi, tempat bermain, gudang dan seluruh penjuru sekolah sudah didatangi. Guru-guru Arkania, penjaga sekolah, satpam dan semua orang tua murid ikut serta mencari Arkania tapi nihil, Arkania belum juga ditemukan.

"Apa mungkin Arkania kabur dari sekolah?, tadi saat Bu Ratih menyadari Arkania tidak ada di kelas, Bu Ratih melihat pintu gerbang dalam keadaan terbuka atau tertutup?"

Handini menyelidik, dalam bayangan Handini kalau pintu gerbang dalam keadaan terbuka besar kemungkinan Arkania pergi ke luar lingkungan sekolah.

"Arkania tidak pernah berani keluar area sekolah sendirian Bu, kalaupun keluar kelas biasanya hanya mencari ibu, kalau ibu tidak adapun asal melihat mobil ibu ada di parkiran saja biasanya Arkania kembali tenang."

Jelas Bu Ratih. Ya, tadi saat menemui Dewi Handini sengaja tidak membawa mobilnya agar Arkania mengira Handini ada di lingkungan sekolah, jadi kondisi Arkania akan lebih mudah dikendalikan.
"Mobil....ya mobil"

Handini bergumam pelan, langkahnya cepat menuju mobil yang ada di parkiran. Maura mengerjap-ngerjapkan mata, menatap Handini lekat. Sambil berlari Handini memluk Maura, meminimalisir goncangan yang dirasakan bayi mungil itu.

"Arkania sayang ini ibu Nak, Arkania dimana?"

Mata Handini awas mengamati seluruh area parkir. Detak jantungnya serasa berhenti saat melihat ada sesuatu yang tergeletak di bawah kolong mobilnya. Handini memperlambat langkah kakinya, mengendap pelan mendekati mobilnya.

Air mata Handini tumpah ruah, bibirnya bergetar mengucap rasa syukur saat melihat Arkania sedang tertidur pulas di kolong mobilnya. Handini menekuk lututya memgimbangi Arkania yang tertidur beralaskan tanah.

"Arkania sayang...."
Tangan Handini membelai kepala Arkania penuh haru, kali ini Handini benar-benar menangis.
"Tuh kan Mas, benar apa yang aku bilang. Mbak Handini cuma mau nyari perhatian Mas Fahri aja dengan alasan Arkania, itu buktinya Arkania ada, gak hilang kan? Mbak Handini ini perempuan macam apa sih? kok gaya nyari perhatian Mas Fahrinya murahan banget, seperti gak punya harga diri"

Suara Dewi yang melengking membangunkan Arkania. Arkania menangis ketakutan.
Entah sejak kapan Dewi dan Fahri ada di dekat Handini dan Arkania.

-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 7
Oleh: Khayzuran

"Tolong Dewi jangan keras-keras bicaranya, anak-anakku tidak terbiasa mendengarnya."
Setengah berbisik Handini meminta pengertian Dewi. Handini kesusahan menarik Arkania dari kolong mobil karena ada Maura dalam gendongannya. Fahri bukannya membantu Handini yang berusaha membujuk Arkania yang menangis sambil jerit-jerit agar mau keluar dari kolong mobil, Arkania berguling-guling sambi menjambak rambutnya sendri.

"Aku sudah benar-benar muak sama kamu Handini, kamu berubah, dulu kamu istri yang lembut, penurut, tapi sekarang kamu sudah berani membohongi aku."
Fahri menatap Handini penuh kemarahan.

Bu Ratih dan guru Arkania yang lain datag, mereka terlihat menarik nafas panjang, lega saat melihat Akania ada di kolong mobil. Bu Ratih berhasil membujuk Arkania keluar dari kolong mobil, anak itu masih menjerit-jerit ketakutan.

"Bu Ratih tolong titip Arkania dan Maura dulu ya, saya mau bicara dulu sama suami saya."
Handini menyerahkan Maura pada Bu Ratih, guru-guru yang lain menuntun Arkania menjauhi Handini, Fahri dan Dewi.
"Sudah sering aku bilang Mas, jangan berbicara dengan nada tinggi di depan anak-anak, bukan hanya akan membuat mereka ketakutan tapi bisa menimbulkan trauma juga pada kondisi psikis mereka."
"Mbak sendiri yang memancing emosi aku dan Mas Fahri...."

"Diam kamu Dewi, ini urusan rumah tangga aku dan Mas Fahri dan detik ini kamu belum menjadi bagian dari keluarga kami...."
Handini memotong kalimat Dewi.

".....dari tadi aku berusaha sabar dan tidak terpancing emosi karena aku tidak mau kelepasan berbicara keras dan kasar di depan anak-anakku. Kamu boleh menyakiti aku sesukamu tapi jangan pernah menyakiti anak-anakku. Dan kamu Mas, sampai kapanpun aku tidak mau kamu ceraikan, aku akan berusaha mempertahankan rumah tangga kita."

"Mbak Handini jahat, keterlaluan, egois....."
Dewi berteriak, Fahri berusaha menenangkan Dewi. Handini berlari ke arah sekolah meninggalkan Dewi yang sedang merajuk manja pada Fahri.

Ba'da dzuhur Handini bergegas ke Rumah Sakit, hari ini jadwal terapi Arkania. Alhamdulillah Arkania sudah tenang, tangannya sedang sibuk memukul-mukul kaca mobil dengan stik drum. Maura sedang tertidur pulas di kursi belakang yang sudah di set Handini seperti tempat tidur. Biasanya Arkaniapun sering tertidur disana.

Arkania sudah masuk kelas terapinya. Setelah pamit pada Arkania dan therapist Arkania, Handini bergegas menuju mushola rumah sakit yang ada di lantai empat, sudah hampir jam satu siang, Handini belum sholat dzuhur.

Lift yang dinaiki Handini hampir tertutup saat seseorang menahan pintunya dan memaksa masuk, sepertinya orang itu sedang terburu-buru.
"Alhamdulilah....."
Laki-laki itu mengucap syukur, punggunya bersandar pada dinding lift.
"Handini? aku kira siapa, lagi nganter Arkania terapi?"

Handini mengangguk.
"Iya Ga."
"Kamu terlihat lelah sekali."
Handini tidak menjawab, hanya menyunggingkan ujung bibirnya.
"Mau kemana? bukannya ruangan terapi Arkania ada di lantai dasar?"
"Aku mau sholat dzuhur di mushola."

Laki-laki itu mengangguk-angguk.
"Assalamualaikum Maura cantik."
Laki-laki itu melirik ke arah Maura yang ada dalam gendongan Handini. Maura mengerlingkan matanya lalu tersenyum, membuat laki-laki itu melebarkan tawanya.
"Maura ngegemesin banget ya."

"Riga, kamu gak mau punya anak lucu seperti Maura? anak-anak itu obat dari segala obat lho Ga, penyejuk hati."
Riga tersenyum getir.
"Sudah lantai empat Din, see you, take care ya."
Handini mengangguk, lalu mengucapkan salam saat keluar lift. Tujuan Riga masih satu lantai lagi, siang ini ada rapat di aula lantai lima yang harus Riga pimpin.

_______________________

"Ibu Handini?"
Tanya office boy itu ramah.
"Iya, ada apa ya Mas?"
"Ini dari Pak Riga."

Office boy itu menyerahkan segelas jus alpukat dan roti isi nenas.
"Sahabatmu tidak suka melihat sahabatnya kurus, makanlah."
Handini mebaca kertas kecil yang terselip dalam bungkusan roti. Riga sahabatnya waktu kuliah dulu masih saja hafal makanan kesukaannya. Handini memang sangat lapar, tadi pagi tidak sempat sarapan karena Akania membuat keajaiban dengan tingkahnya, semua sarapan yang ada di meja makan ditaburi deterjen.

__________________________

Riga tidak bisa konsentrasi memimpin rapat. Wajah kusut Handini terus saja melayang-layang di pelupuk matanya, terlihat sekali kalau Handini sedang tertekan. Semoga saja bukan kelakuan Fahri yang menyebabkan Handini terlihat seperti mayat berjalan, pucat seperti tak bernyawa.
Walau bagaimanapun Riga belum bisa sepenuhnya melupakan Handini, mungkin Handinilah salah satu alasan Riga hingga kini belum menikah padahal Riga sudah sangat sukses dalam kariernya. Ada ruang kosong di hati Riga yang masih terasa nyeri.

Di usia yang belum genap tiga puluh lima tahun Riga sudah mempunyai Rumah sakit besar yang dipimpinnya langsung meski Riga bukan seorang dokter.

_____________________________________

Menjelang ashar Handini sudah sampai rumah. Hari ini terasa melelahkan sekali baginya.
"Jam segini baru pulang, keluyuran kemana dulu?"
Fahri menghadang kedatangan Handini di pintu. Arkania bersembunyi di belakang badan Handini, menghindari ayahnya. Arkania selalu ketakutan setiap melihat orang marah.

"Biarkan aku masuk dan istirahat dulu sebentar Mas."
"Besok aku akan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan."
"Sudah aku bilang aku tidak mau bercerai."
"Kamu jangan keras kepala Handini."

"Jangan berteriak Mas, nanti malam saja kita lanjutkan pembicaraan kita saat anak-anak sudah tidur."
"Jangan mengelak terus Handini, kalau kamu tidak ingin masalah kita berlarut-larut kamu tinggal tanda tangan saja surat perceraian kita."

"Sudah aku bilang, aku tidak mau bercerai Mas, aku ingin anak-anak kita hidup bahagia. Anak-anak kita perempuan dua-duanya, dalam tumbuh kembang mereka, mereka memerlukan sosok laki-laki sebagai ayah dan kalaupun nanti ketika mereka sudah besar dan akan menikah mereka perlu ayahnya untuk nenjadi wali pernikahan mereka."

Fahri tertawa sinis.
"Lama-lama aku bisa gila menghadapi kamu."
Fahri membanting pintu dan keluar rumah, entah hendak kemana.

______________________

Arkania dan Maura sudah tertidur pulas, Handini menatap keduanya penuh cinta.
"Ibu akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk kalian."

Air mata Handini menggenang, dikecupnya kening Arkania dan Maura bergantian.
Gedoran di pintu depan mengusik ketenangan Handini. Handini bergegas turun dari kamar dan membuka pintu depan setelah menyambar kerudung dan memakainya.

"Mana Mas Fahri?"
Dewi dan ibunya berdiri di depan pintu. Sorot mata penuh kebencian Dewi seakan bersiap melumat Handini hidup-hidup.
"Mas Fahri tadi keluar dan belum pulang, memangnya ada apa?"

Handini masih berusaha ramah.
"Kamu sembunyikan dimana Fahri? hari ini Fahri dan Dewi janjian fitting gaun pengantin tapi Fahri tidak datang, tidak memberi kabar dan ponselnya tidak bisa dihubungi."

Ibunya Dewi angkat suara, sorot matanya berkilat-kilat, menakutkan.
"Aku tidak tahu Mas Fahri ada dimana."
Dewi dan ibunya menerobos masuk ke dalam rumah lalu keduanya berteriak-teriak memanggil Fahri.
"Sudah aku bilang Mas Fahri tidak ada di rumah, tolong jangan membuat keributan, anak-anakku baru saja tidur."

"Dasar perempuan tidak tahu diri, beraninya menyembunyikan calon suami anakku."
Ibunya Dewi menghardik, pandangannya beredar ke setiap penjuru rumah.
"Tolong jangan bikin keributan di rumahku, silahkan kalian keluar."
Dari lantai atas terdengar jeritan Arkania, sepertinya anak itu terbangun mendengar suara ibunya Dewi yang keras.

"Dengar ya Handini, aku tidak akan segan-segan untuk melukai perempuan sialan yang tega merebut kebahagiaan anakku."
Ibunya Dewi mengancam, Handini tidak peduli. Jeritan Arkania semakin melengking disusul suara tangis Maura.

-----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 8
Oleh: Khayzuran

Handini terpekur dalam sujudnya. Isak tangisnya sungguh menyayat hati, hati Handini hancur.
"Ayah, ibu, maafkan Dini jika Dini tidak dapat memenuhi janji untuk bisa jadi istri yang baik untuk Mas Fahri. Maaf jika Dini menyerah, Dini harap ayah dan ibu akan mengerti jika pada akhirnya Dini menyanggupi untuk bercerai dengan Mas Fahri. Perceraian memang halal, tapi dibenci Allah, setan akan bersorak menertawakan. Kalaupun kelak Dini bercerai sama Mas Fahri semoga saja hubungan Dini dan Mas Fahri juga Arkania dan Maura tetap baik, Mas Fahri tetap bisa jadi ayah yang baik untuk Arkania dan Maura."

Handini menumpahkan kesedihanya diatas sajadah, hawa dingin udara sepertiga malam terasa menggigit tulang, menambah kebekuan rasa di hatinya.
Handini mengadukan semua kemelut di hatinya pada Allah, sebaik-baik tempat untuk mengadu dan berserah diri.

Handini mengecup kening Maura dan Arkania yang sedang tertidur bersebelahan.
"Maafkan ibu sayang jika nanti ibu gagal mempertahankan ayah untuk kalian, kalian harus kuat ya, harus tetap sayang sama ayah apapun yang terjadi, tapi ibu akan berusaha semampu ibu agar ayah tetap berada disisi kalian, doakan ibu bisa mempertahankan ayah untuk Maura dan Arkania ya."

_______________________

Fahri tidak juga pulang sampai pagi. Sebelum berangkat mengantar Arkania sekolah, Handini menyiapkan handuk untuk mandi Fahri dan baju kerjanya, siapa tahu Fahri akan pulang setelah Handini pergi bersama anak-anak.

Di meja makan sudah tersedia hidangan sarapan untuk Fahri juga lunch box berisi bekal makan siang Fahri di kantor.

Maura sudah selesei di mandikan, Arkania juga sudah bersiap pergi ke sekolah tanpa drama dulu pagi ini. Handini tersenyum bahagia melihat anak-anaknya, merekalah penguat kerapuhan Handini, penyejuk mata, pelipur lara.
"Aku sudah menikah siri tadi malam dengan Dewi."

Suara Fahri seperti petir di pagi hari yang mnyambar gendang telinga Handini, mengagetkan Handini yang sedang memakaikan sepatu Arkania.

"Dewi sudah sah jadi istri aku dan hari ini aku Fahri Wicaksono menceraikanmu Handini Kartikasari binti almarhum Suwito."
Talak Fahri sudah jatuh pada Handini pagi ini. Hati Handini terkoyak, air matanya berjatuhan, sebagian menimpa kaki Arkania.

"Aaa....aaaa....aaa....."
Arkania menendang-nendangkan kakinya, lalu berlari berputar-putar, tangannya meraih apa saja yang bisa diraih dan melemparkannya sembarang.
"Arkania sini sayang."
Handini mengerjar Arkania.
"Aaa...aaa...aaa..."
Arkania memang tidak bisa berbicara tapi hatinya sangat sensitif, dia bisa merasa tanpa memahami.
"Sini anak sholehahnya ibu, sini Nak...."
"Brak..."

Arkania menyundul kaca jendela dengan kepalanya, berusaha menerobos seperti ingin keluar, tapi usahanya sia-sia karena teralis jendela terlalu kuat untuk dipatahkan dengan tangan mungil Arkania atau dengan sundulan kepalanya.
Darah segar mengalir ke pelipis dan kening Arkania, membentuk aliran sungai kecil.
"Arkaniaaa..."

Handini berhasil mengakap dan memeluk Arkania erat. Kerudung yang dekenakanya ditekankan pada kepala Arkania.
Maura yang sedang ditidurkan di boucher menangis mendengar keributan itu.
"Mas Fahri tolong jaga Maura dulu, aku akan membawa Arkania ke rumah sakit."
"Memangnya tidak bisa diobati sendiri di rumah? jangan pergi dulu kita seleseikan dulu urusan kita."
"Kepala Arkania terluka kena pecahan kaca Mas, perdarahannya banyak, dilukanya ada pecahan kaca yang harus dibersihkan."

Handini meradang melihat Fahri yang seperti sudah mati rasa bahkan saat melihat putrinya celaka.
Baju dan kerudung Handini sudah banyak terkena noda darah dari Arkania, tak jelas rupa.
"Tolong jaga Maura."
Handini menyambar kunci mobil yang tergantug di lemari. Dengan kecepatan tinggi Handini menjalankan mobilnya menuju rumah sakit, beberapa kali nyaris tabrakan.

Arkania di dudukkan di samping Handini, darah terus saja mengalir dari luka dikepala Arkania, sesekali Handini mengusap wajah Arkania dengan tissue yang ada di mobil sambil berusaha menenangkan Arkania.
Arkania masih meraung-raung, beberapa kali tangannya berusaha meraih setir yang sedang dikendalikan Handini, kadang memukul-mukul Handini.

"Sabar sayang sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Arkania sholehah, ibu tidak apa-apa Nak, Arkania juga tidak apa-apa kan?"

_______________________

Suara rem mobil Handini berdecit di parkiran depan ruangan IGD. Handini menggendong Arkania dan memaksanya untuk keluar dari Mobil.
"Arkania kenapa Din?"

Riga yang baru keluar dari mobil memburu Handini yang tampak kacau dan kepayahan.
"Sini sama aku saja."
Riga mengambil alih Arkania dari gendongan Handini, memeluknya erat karena Arkania berontak. Baju kerja Riga yang rapi dan wangi kini sudah berdarah-darah juga, sama seperti baju Handini. Riga seperti seorang ayah yang sedang memberikan perlindungan untuk Arkania.

_______________________

Akania sedang ditangani tim medis. Handini duduk gusar di kursi penunggu pasien, matanya tidak beralih dari pintu IGD tempat Arkania di obati, berharap pintu itu segera terbuka dan memberikan kabar baik untuk Handini.
"Minum dulu Din."
Riga menyodorkan segelas teh hangat, Handini menggeleng.
"Minum dulu, sedikit aja, ayo."

Riga membujuk Handini yang masih menampakkan ekspresi penuh kecemasan.
"Fahri kemana?"
"Jagain Maura."
"Kenapa bukan kamu yang jaga Maura dan Fahri mengantar Arkania kesini?"
Handini Diam, sudut matanya berkaca-kaca.

"Kamu dan Fahri baik-baik saja kan?"
Kini raut muka Riga tak beda dengan raut Muka Handini, sama-sama terlihat cemas dengan alasan yang berbeda. Handini mencemaskan kondisi Arkania dan Riga mencemaskan kondisi Handini.
Haruskan Handini mengatakan yang sebenarnya pada Riga? bahwa beberapa menit yang lalu Fahri baru saja menjatuhkan talak cerai untuknya.

"Akhir-akhir ini aku hampir tidak pernah lagi melihat Fahri mengantar Arkania terapi, selalu kamu sendirian."
"Mas Fahri kan kerja, lagian Arkania terapi kan pulang sekolah, jadi sekalian jalan."
Handini masih saja membela Fahri meski laki-laki itu telah megahancurkan hidupnya.

"Aku masih sahabat kamu kan Din? kamu masih boleh cerita apapun sama aku, aku akan selalu siap mendengarnya, syukur-syukur bisa bantu kamu."
Handini mendengar ketulusan dalam kalimat Riga. Dari dulu Riga selalu baik pada Handini, selalu bisa jadi pendengar yang baik meski belum tentu bisa memberikan solusi yang baik. Ya perempuan itu kadang hanya butuh di dengar, itu sudah cukup untuk mengurai beban yang membelit hidupnya.
"Terimakasih Riga, tapi aku sama Mas Fahri baik-baik saja kok, kejadian hari ini yang menimpa Arkania itu sudah jadi resiko bagi aku dan Mas Fahri sebagai orang tua yang punya anak berkebutuhan khusus."

Riga mengangguk, senyumnya tersungging. Bagi Riga, Handini adalah sosok perempuan luar biasa yang selalu punya kedudukan istimewa di hati Riga yang belum bisa digantikan siapapun.
"Riga, ini kan rumah sakit kamu, aku mau minta dispesasi, bolehkah aku masuk menemui Arkania sekarang?"
"Sebentar."

Riga masuk ke dalam IGD, tidak lama Riga sudah kembali lagi.
"Ayo ikut aku."
Riga mengajak Handini masuk ke ruangan IGD. Arkania baru selesei ditangni. Handini memeluk Arkania yang sekarang sudah terlihat lebih tenang.
"Assalamualaikum anak cantik, sebentar lagi Arkania boleh pulang, nanti Om Riga antar ya, nanti kita beli boneka barby dulu, Arkania mau kan?"
Arkania menarik-narik kerudung Handini, senyumnya terkulum.

_______________________

"Beneran kamu tidak mau aku antar pulang?"
"Iya Ga, tidak usah, aku kan bawa mobil."
"Handini, bagaimana kalau sementara aku pinjamkan Mbok Darti buat bantu kamu dulu, biar kamu tidak kerepotan setiap hari, sementara saja sampai Arkania sembuh."

Mbok Darti itu asisten rumah tangga di rumah Riga.
"Tidak usah, aku bisa urus semuanya, percaya deh sama aku, thanks ya."
Riga melepas kepergian Handini dan Arkania, tapi Riga tidak pergi ke kantornya di lantai lima rumah sakit namun kembali menuju mobil.

________________________

Handini sampai rumah tepat waktu, bertepatan dengan Fahri yang keluar rumah dengan membawa tiga koper besar dan Dewi yang menggendong Maura.
"Biar Maura aku asuh aja sama Mas Fahri, Mbak Handini asuh Arkania, jadi kita impas."
Dewi menghadang kedatangan Handini dan Arkania.

"Sekarang Mbak Handini sudah bukan istrinya Mas Fahri lagi, kalian sudah bercerai secara agama dan akupun sudah menikah dengan Mas Fahri, sudah sah secara agama. Mulai sekarang Mas Fahri akan tinggal sama aku dan Maura."

"Kalian boleh pergi tapi jangan bawa Maura, dia anakku."
"Anak Mbak sama Mas Fahri kan? kalau anak Mas Fahri berarti anak aku juga dong, kan aku sudah jadi istrinya Mas Fahri. Kalau Mbak mau punya anak lagi, Mbak tinggal bikin lagi aja sama suami baru Mbak nanti, gampang kan? jadi Maura buat aku aja."
Dewi masih ngotot.

"Jangan bawa Maura..."
Handini hendak merebut Maura dari gendogan Dewi tapi Fahri segera menghalangi.
"Maura ini anak aku juga jadi aku punya hak juga untuk merawat dan mengasuhnya."
"Tapi aku ibunya, Maura masih sangat tergantung sama aku, Maura masih minum full ASI, tolong berikan Maura padaku."

Handini mengemis pada Fahri dan Dewi, air matanya tumpah ruah. Handini tidak mungkin bisa jauh dari Maura dan Maura lebih tidak mungkin lagi karena seluruh kebutuhan nutrsi Maura masih di suplay penuh sama Handini melalui ASI.
Arkania sibuk memainkan tanah di halaman sambil sesekali mengunyah kerikil yang ia temui lalu memuntahkannya kembali.

"Baiklah, aku akan menyerahkan Maura sama kamu dengan satu syarat."
"Apa? syarat apa? aku akan penuhi tapi tolong kembalikan Maura padaku."
Fahri mengeluarkan sebuah map dari tasnya.

"Tandatangani ini dan aku akan menyerahkan Maura sama kamu."
Handini menangis, dengan kasar merebut ballpoint dan kertas yang diserahkan Fahri. Dengan berlinang air mata dan tangan gemetar Handini menandatangani surat cerai, seketika bayangan wajah ayah dan ibunya berkelebat membuat hati Handini semakin nyeri.

"Nih..."
Dengan kasar pula Dewi menyerahkan Maura pada Handini. Senyum Dewi menyeringai penuh kemenangan, berbarengan dengan senyum kemenangan seseorang yang menyaksikan kejadian itu dari balik kemudi mobilnya di kejauhan.

"Good job Dewi"
Senyum laki-laki itu melebar, jempolnya sibuk menari-nari di atas touch screen poselnya.
"Upahnya setengah untuk utang pembayaran kemotrapi ibu kamu di rumah sakit aku, setengahnya lagi akan segera aku transfer ke rekeningmu, thanks nona manis, senang bekerjasama denganmu, selamat berbulan madu dengan uang yang akan segera aku transferkan".

Send.
"Ini harga yang pantas untuk seseorang yang meninggalkan orang yang sangat mencintainya demi menikah dengan laki-laki lain, delapan tahun bukan waktu yang sebentar Handini, sekarang sudah waktunya kamu kembali padaku." Laki-laki itu bergumam pada dirinya sendiri, kembali tertawa penuh kemenangan, tertawa jahat.
Dengan santai ia memutar mobil dan melaju menuju kantornya di lantai lima rumah sakit miliknya.

-----


CERBUNG
#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 9
Oleh: Khayzuran
Lelaki berdasi merah marun itu sampai di Rumah sakit miliknya dengan bahagia, senyum manis tidak lepas dari bibirnya, mempertegas lesung pipit di pipi kanannya. Selamat datang kembali dalam hidupku Handini.
"Pak Riga sudah ditunggu di aula, hari ini ada rapat dengan tim BPJS."
"Oke."
____________________

Handini menyambut Maura yang diulurkan dengan kasar oleh Dewi, Maura kecil di dekap Handini penuh rasa cinta. Sekarang kamu aman sama ibu Nak...
Fahri menutup map kertas berisi surat cerai yang baru saja ditanda tangani Handini, memasukkannya ke dalam tas, namun pada detik yang bersamaan Handini menyambar map kertas itu sebelum masuk ke dalam tas, tangan Handini dengan cepat merobek-robek surat cerai lalu menjejalkan serpihan kertasnya ke dalam mulut, mengunyahnya dengan kasar, melumat dan menelannya tak bersisa.
Mulut Dewi dan Fahri menganga tanpa kata, keduanya speechless dengan apa yang baru saja dilakukan Handini yang sungguh diluar dugaan keduanya.

"Apa yang Mbak lakukan?"
Dewi menjerit histeris.
"Sekarang kamu memang sudah sah menjadi istri Mas Fahri secara agama, tapi di mata hukum aku yang masih sah menjadi istri Mas Fahri dan aku akan tetap mempertahankan Mas Fahri, aku akan memperjuangkan hak aku sebagai istri juga hak anak-anakku, kalau kamu dan Mas Fahri berani tinggal satu rumah aku tidak akan segan-segan melaporkan kalian ke polisi dengan pasal perzinaan."
"Handini kamu ini sungguh sudah keterlaluan, mau kamu apa sih? kamu mengacaukan segalanya."
Fahri mulai berang, matanya memerah, rahangnya mengatup.

"Mas Fahri tahu kan mau aku apa? aku mau Mas Fahri tetap jadi suami aku, tidak menceraikan aku dan silahkan Mas Fahri menikah dengan Dewi, aku tidak keberatan di poligami, tapi jangan ceraikan aku."
Fahri mendekat pada Handini, Handini mundur, Handini tahu Fahri sedang marah besar. Orang yang sedang marah rasionalitasnya sering hilang jadi bisa melakukan apapun diluar kendalinya.
Tangan Fahri bersiap mencengkram Handini, Handini mengelak, berlari ke arah Arkania yang masih asyik melumuri badannya dengan tanah. Handini menyeret Arkania mengajaknya masuk ke mobil, Handini sungguh sangat kepayahan denga Maura yang ada di pelukannya dan Arkania yang ia seret dengan tangan kanannya sambil berlari.

Fahri dan Dewi berlari menyusul, mengejar Handini. Dengan sisa tenaga Handini berhasil menjebloskan Arkania ke dalam mobil, lalu menyusul Handini dan Maura masuk dari pintu yang sama.
Ahlamdulillah...sesaat Handini bernafas lega, tak peduli dengan gedoran Fahri dan Dewi pada kaca mobil.

"Buka...."
Dewi memukul-mukul kaca mobil, Fahri berusaha membuka pintu dan jendela mobil yang sudah terkunci sempurna.
"Mau kamu bawa kabur kemana anak-anakku?"
Tanya Fahri saat kaki Handini memginjak gas mobil, melaju dengan gigi empat.

Maura mulai menangis, Arkania memukul-mukul dasboard mobil, sesekali menendangnya. Sangat beresiko menyetir sambil menggendong bayi apalagi dengan pikiran yang kalut, Handini sadar akan itu. Setelah dirasa cukup aman dari kemungkinan kejaran Dewi dan Fahri, Handini menepi ke bahu jalan, dipasangkannya seat belt untuk Arkania dan menyusui Maura yang masih menangis, entah karena haus, entah karena ketakutan.

Hari hampir senja, Handini memarkir mobilnya di pinggir danau kecil. Handini belum tahu akan membawa anak-anaknya kemana, saat ini rumah belum mejadi tempat yang aman dan sehat untuk mereka.
"Arkania sini main bola sama ibu."

Handini melemparkan bola yang baru saja diambil dari mobil, Maura tertidur pulas dalam bouncher yang diletakkan Handini dibawah pohon, semilir angin sore yang lembut seperti membelai Maura.
Arkania sepertinya tidak tertarik dengan ajakan Handini, gadis kecil itu hanya duduk diatas rumput sambil memandang lepas air danau.

Handini mendekati Arkania, mereka duduk bersebelahan, sama-sama saling membisu. Mereka seperti kedua sahabat yang sedang bernostalgia sambil menikmat senja.
Handini membelai kepala Arkania yang berbalut verban, verban itu sudah kotor karena tadi Arkania melumurinya dengan tanah basah sisa hujan semalam, demikianpun dengan baju Arkania, kotor.

"Anak sholehahnya ibu, laper gak? Arkania mau makan apa sayang?"
Arkania masih membisu sambil meremas-remas jemari tangannya.
"Gimana kalau makan ini aja? Arkania pasti suka deh."
Seseorang menyerahkan box makan berbentuk persegi.
Aahh...kenapa orang itu selalu tahu jika Handini ke danau ini?
"Arkania tidak boleh makan gluten."

"Iya aku tahu, ini bubur brokoli susu kedelai, makanan kesukaan Arkania bukan? Om Riga suapin ya mumpung masih hangat, Arkania mau kan?"
Riga tiba-tiba saja muncul, entah dari mana Riga tahu keberadaan Handini disini.
Riga menggulung lengan kemejanya, tangannya mulai meyuapkan sesendok bubur brokoli ke mulut Arkania. Arkania makan dengan lahap tanpa berekspersi dan bertingkah ajaib, sangat manis.
"Makanlah dulu, di mobilku ada roti isi selai nanas dan susu kotak, ambil sana, makin hari tubuhmu makin kurus saja."

Riga menyodorkan kunci mobilnya pada Handini.
"Aku tidak lapar."
"Ada apa Handini? kondisi kamu dan Arkania terlihat kacau sekali."
"Aku tidak apa-apa."
"Aku belum lupa, tempat ini tempat favorit yang selalu kamu kunjungi jika kamu sedang ada masalah, tadi aku mencarimu ke rumah, tapi tidak ada siapa-siapa, aku mau mengantarkan obat untuk Arkania, tadi pagi aku lupa memberikannya sama kamu."

Handini tertunduk, butiran bening berloncatan dari kedua matanya. Riga tidak bertanya lagi, membiarkan Handini melepas semua beban berat di dadanya.
"Waahh anak pinter, habis makannya, ini bubur bikinan Mbok Darti, di rumah Om masih ada lho, Arkania mau ikut ke rumah Om?"

Yang ditanya tidak menjawab, malah asyik menarik-narik kerah baju Riga. Riga mendudukkan Arkania di pangkuannya, tangan Riga membelai kepala Arkania.
"Hampir malam Din, ayo aku antar kalian pulang, kasihan Maura dan Arkania, udara malam tidak bagus unuk mereka."
Handini bergeming. Pulang kemana?

"Tidak usah, aku bawa mobil kok, kalau kamu mau pulang silahkan duluan saja. Arkania sini sama ibu, Om Riga mau pulang."

"Kita pulang sama-sama, kamu dan anak-anak di mobil kamu, mobilku mengikuti kalian dari belakang, aku hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja sampai rumah."
"Aku belum mau pulang."

"Tapi anak-anak harus pulang sekarang sebelum malam."
Riga memaksa. Handini menatap Maura yang sepertinya sudah bangun dari tidurnya, bayi kecil itu alergi dingin, nafasnya sering sesak karena asmanya kambuh. Maura mewarisi asma dari Fahri.
Ba'da magrib mobil Handini dan mobil Riga sampai di depan rumah Handini. Betapa terkejutnya Handini saat membaca tulisan besar yang tergantung di pagar rumah. "DIJUAL" ada nomor ponsel Fahri dibawah tulisan itu.

Pagar rumah di gembok, Handini tidak bisa masuk rumahnya sendiri, rumah warisan dari kedua orang tuanya.
Handini tersungkur di depan pintu gerbang rumah, isaknya menyayat telinga. Riga memperhatikan Handini dengan hati perih. Kalau saja dulu dirinya bisa memprtahankan Handini dan mencegah Handini menikah dengan Fahri pasti Handini tidak akan mengalami hal seperti ini, pasti akan hidup bahagia dengan dirinya. Rasa sesal menyelimuti Riga saat melihat Handini tepuruk seperti ini.
"Ayo ikut aku, mobilmu biar nanti diambil sopirku, kamu sedang dalam kondisi tidak aman untuk menyetir sendiri, apalagi ada anak-anak."

Kali ini Handini menurut, tubuh kurusnya mendekap Maura. Riga menggendong Arkania, Handini membuntuti dari belakang.

______________________________

"Untuk sementara kamu dan anak-anak tinggal di apartemenku dulu, nanti ditemani Mbok Darti."
Riga menurunkan Arkania dari gendogannya di depan pintu apartemen miliknya. Disana sudah ada Mbok Darti karena tadi saat di dalam perjalanan Riga meminta Mbok Darti untuk datang ke apartemennya.
"Masuklah".

Riga membukakan pintu, memerintahkan Handini, anak-anak dan Mbok Darti masuk.
"Mbok, kalau ada apa-apa atau perlu apa-apa segera hubungi aku ya, tolong jaga Handini dan anak-anak, aku ada urusan dulu."
"Baik Pak."
"Handini, aku pergi dulu, beristirahatlah, jangan lupa berikan obat untuk Arkania biar luka di kepalanya tidak infeksi."
Handini mengangguk.
"Thanks Ga."
Bisiknya lirih.

________________________

Riga benar-benar menjadi malaikat penolong untuk Handini, Arkania dan Maura. Bukan hanya meminjamkan tempat yang nyaman untuk mereka tinggali, menyiapkan dan mencukupi semua kebutuhan mereka, mendatangkan guru private untuk Arkania karena untuk sementara Arkania belum memungkinkan untuk sekolah karena kondisi Handini yang belum stabil, Riga juga selalu memantau kodisi Handini dan anak-anak melalui Mbok Darti.

"Bu, kata bapak nanti bapak akan menjemput Arkania karena hari ini jadwal terapi dan kontrol luka jahitan di kepala Arkania. Biar nanti Mbok sama Bapak saja yang antar, ibu istirahat saja dulu."
Mbok Darti tahu kalau beberapa hari ini Handini sedang demam.

"Biar aku saja yang antar Arkania terapi Mbok, Mbok tolong jaga Maura saja."
Dengan muka pucat Handini merapihkan Arkania dan bersiap untuk ke Rumah Sakit, tapi baru saja hendak membuka pintu apartemen, Handini ambruk. Tubuhnya benar-benar lemah, bebapa hari ini Handini jarang makan dan saat malampun jarang tertidur, pikirannya terbagi antara nasib dirinya, anak-anak dan Fahri, tubuh Handini semakin terlihat kurus.

___________________________________

Handini mgedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan yang asing baginya. Ada canule oksigen yang memasuki lubang hidungnya, ada botol infus tergantung yang selangnya terhubug pada jarum yang tertusuk di punggug tagan kirinya.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar Din?"

Wajah Riga muncul di depan Handini. Senyum bahagianya terukir demi melihat Handini tersadar.
"Aku kenapa? mana Maura dan Arkania?"
"Mereka ada di apartemen sama Mbok Darti, ada mama juga yang bantu jaga mereka."
"Sorry ya Ga aku jadi ngerepotin kamu terus, apa ada kabar dari Mas Fahri?" tolong kabari Mas Fahri ya Ga."

Riga menarik nafas dalam, sungguh Riga sangat tidak senang Handini menyebut nama laki-laki itu.
"Kamu istirahat saja dulu, aku akan menemuni dokter Chandra untuk menanyakan kondisimu."

___________________

"Biar saya saja yang menandatangani surat ijinnya dok, apa bisa?"
Dokter Chandra membutuhkan satu jenis pemeriksaan darah lagi untuk memastikan diagnosa penyakit Handini.

"Menurut SOP nya jika pasien sadar maka pasien yang harus menandatangani ijin pemeriksaannya, jika pasien tidak sadar maka keluarganya yang harus menandatangani."
"Saya ini satu-satunya orang dekat Handini saat ini, apapun yang terjadi dengan Handini saya yang bertanggungjawab."

"Biklah, silahkan tandatangan disini."
"Kapan hasil lab ini keluar? bisa hari ini kan? Bilang saja saya yang minta dipercepat."

_____________________________

Riga meremas rambut di kepalanya, matanya terpejam sesaat.
"Apa hasil lab ini masih ada kemungkinan salah?"
"Kami sudah melakukan pemeriksaan ulang dengan sample darah yang berbeda, tapi hasinya tetap sama, bu Handini positif HIV."

__________________________________

Ada apa dengan Handini? kok bisa sampai terkena HIV? apakah ini ada hubungannya dengan masa lalu Handini? atau mungkin ada andil Dewi?

-----

CERBUNG
#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 10
Oleh: Khayzuran

Dengan langkah gontai Riga masuk ke ruang perawatan Handini di kamar VVIP. Sebelum masuk, di depan pintu Riga merapihkan diri dulu, menyusut matanya yang tadi basah juga merapikan rambutnya.

"Assalamualaikum, Din boleh masuk?"
Riga menyembul dari balik pintu dengan senyumnya yang manis padahal hatinya masih terasa perih dengan kabar Handini yang baru saja Riga dengar dari dr. Chandra.
"Alaikumsalaam, masuk aja Ga."
"Gimana kamu sekarang? feel better?"

"Alhamdulillah, aku sakit apa Ga? kapan boleh pulang? aku kangen anak-anak."
"Kamu cuma kecapaian saja kok, dua atau tiga hari istirahat disini juga insyaa Allah sembuh, oh iya sepertinya kamu terlihat makin kurus, kamu gak lagi diet kan? kamu kan lagi menyusui jadi harusnya gak boleh diet."
"Aku gak pernah diet Ga, mungkin karena sering sariawan jadi aku sering males makan."
"Atau kamu sering minum obat pencahar biar kurus?"
"Gak minum obat pencaharpun BAB aku sering mencret, kalau sudah mencret bisa lama banget sampai dua minggu tapi gak bikin sakit perut sih karena frekuensi BAB nya juga gak sering cuma konsistensinya aja yang berubah."

"Ohhh..."
Riga manggut-manggut. Tadi dr. Chandra menjelaskan orang yang sudah terjangkit virus HIV bisa tampak sehat dan tidak menampakkan gejala apapun, tapi kalau virusnya sudah menginfeksi organ-organ dalam tubuh biasanya organ itu yang bereaksi dengan menunjukkan gejala infeksi. Virus HIV paling senang tinggal di mukosa dalam tubuh sehingga gejala awal HIV sering diangap sakit biasa, karena jika menyerang mukosa mulut biasanya pasien menderita sariawan yang susah sembuh, jika menyerang mukosa usus biasanya pasien akan mengalami mencret dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan. Penderita HIV juga sering mengalami penurunan berat badan secara drastis.

"Assalamualaikum Bu Handini, Pak Riga maaf mengganggu. Hari ini dokter Chandra tidak bisa visite jadi saya asistennya dr. Chandra yang visite hari ini, saya dokter Ameera."
Seorang dokter cantik berkerudug peach diantar oleh dua orang perawat masuk ke kamar rawat inap Handini, dr. Ameera Salsabila, nama yang tertulis di name tag yang dipakainya.

"Silahkan dr. Ameera."
Riga memberi ruang agar dokter Ameera lebih leluasa memeriksa Handini.
"Saya harus keluar atau bisa tetap disini?"
"Pak Riga bisa tetap disini, saya cuma periksa sebentar kok, saya diminta dr. Chandra untuk memeriksa sariawannya Bu Handini untuk dilaporan padanya. Maaf Bu, bisa buku mulutnya sebentar?"

Handini menurut, Riga ikut memperhatikan dengan seksama.
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan fisik dr. Ameera pamit bersama dua orang perawat yang menyertainya.

"Dr. Ameera cantik ya Ga, masih single?"
"Ya"
"Kamu gak tertarik sama dia atau sama dokter-dokter muda yang bekerja di rumah sakitmu? kamu bukan gay kan Ga?"

Riga terkekeh dengan pertanyaan Handini.
"Kalau aku gay, dulu aku gak akan jatuh cinta dan melamar kamu kan Din?"
Riga menghentikan senyumnya, Handini menyesali prtanyaannya, sesaat keduanya saling diam, saling melempar pandang, suasana menjadi kaku.
"Din, kamu istirahat dulu ya, kalau perlu apa-apa pencet bel aja nanti suster akan segera datang, aku mau keluar dulu ada keperluan."
"Thanks ya Ga, maaf aku ngerepotin trus."

______________________

Riga meluncur dengan Rubicon putihnya menuju sebuah rumah sederhana dipiggiran kota.
"Dug..dug...dug..."
Riga menggedor pintu dengan tidak sabar, tanpa mengucapkan salam.
"Iya sebentar." Suara dari dalam rumah, tidak lama kemudia seorang perempuan membuka pintu.
"Pak Riga?"

"Dasar perempuan jalang kenapa tidak bilang kalau kamu HIV, Fahri mana, akan aku bunuh dia?"
Riga berteriak dengan nafas memburu, amarahnya pada perempuan itu tidak dapat di sembunyikan, juga pada Fahri.
Perempuan menutup daun pintu pelan-pelan.
"Bicaranya jangan keras-keras Pak, ibu saya baru bisa tidur, kondisinya ngedrop setelah kemarin kemoterapi."

"Kenapa tidak bilang kalau kamu HIV!"
Riga mengulang pertanyaannya, geram.
"Maksud Pak Riga apa? aku gak ngerti Pak, siapa yang HIV?"
"Handini positif HIV, ini pasti dari kamu kan Dewi? kamu berhubungan badan dengan Fahri lalu Fahri menularkan pada Handini, harusnya aku tidak kenal perempuan brengsek seperti kamu."
Riga masih meradang, tangannya mengepal ingin sekali memukul Dewi.

"Maksud Pak Riga.....?"
Dewi tidak kuasa melanjutakan kalimatnya, tubuhnya lemas seketika, tangisnya pecah, bahu Dewi naik turun menahan isak, Dewi tidak mau ibu mendengarnya menangis.
"Tidak mungkin dari aku Pak, aku tidak pernah tidur dengan siapun, aku berani tidur sama Mas Fahripun setelah aku menikah siri sama Mas Fahri." Jelas Dewi masih dalam isak tangisny.
"Jangan bersandiwara kamu Dewi, aku tahu Fahri itu laki-laki yang baik sebelum kenal kamu, aku sudah lama mengenalnya karena aku, Fahri dan Handini dulu bersahabat. Fahri itu anak ustadz, dia lulusan pesantren besar di Jawa Timur, pemahaman agamanya bagus makanya Handini lebih memilih menikah dengan Fahri dari pada menerima lamaranku. Jadi Fahri tidak mungkin HIV kalau bukan dari kamu."

"Pak, dulu aku kenal Mas Fahri saat aku magang di kantornya. Mas Fahri sangat baik sama aku, tulus membimbing dan ngasih tau aku kalau aku ada kesulitan, sampai akhirnya aku bersimpati sama Mas Fahri, aku kagum sama sosoknya yang baik. Tapi aku cuma kagum aja, aku berusahan melawan rasa suka aku sama Mas Fahri karena aku tahu Mas Fahri sudah menikah dan punya anak. Tapi suatu kondisi mempertemukan aku sama Pak Riga dan Pak Riga memintaku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah terlintas dari pikiranku. Aku memang menyukai Mas Fahri tapi tidak sampai hati merebutnya dari Mbak Handini, tapi Pak Riga memberikanku pilihan yang sangat sulit hingga aku tidak punya pilihan lain selain menurti rencana jahat Pak Riga, demi ibu. Tapi karena aku sering bertemu dan bersama Mas Fahri lama-lama rasa cinta aku sama Mas Fahri tumbuh subur dan semakin besar, aku terjebak dalam rasa cinta dan permainan jahat dalam waktu yang bersamaan."

Dewi menjelaskan panjang lebar, namun Riga tidak percaya begitu saja.
"Dimana Fahri? kamu dan Fahri harus cek darah di laboratorium secepatnya, kalau kamu dan Fahri bersih berarti ada kemungkinan lain penyebab Handini HIV."
"Mas Fahri sudah dua hari ada perjalanan dinas sama bosnya, baru pulang Sabtu nanti."
"Kemana?"
"Kata Mas Fahri keluar kota tapi tidak bilang kemana."
"Nanti ada orang yang akan menjemputmu, kamu temui dokter Chandra, ikuti semua perintah dan sarannya."

______________________

Dokter Chandra mengabarkan hasil pemeriksaan darah Dewi non reaktif artinya Dewi negatif, tidak terjangkit HIV.
"Masa inkubasi HIV itu antara tiga sampai sepuluh tahun, kalau seseorang berhububgan badan dengan penderita HIV baru beberapa minggu atau beberapa bulan pasti dia masih negatif meski virus HIV sudah ada di tubuh orang tersebut, itu disebut window periode. Beberapa tahun kemudian virusnya baru bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah di laboratorium."
Jelas dokter Chandra pada Riga.

_____________________

Hari ini Handini sudah di ijinkan pulang dari Rumah Sakit tetapi harus kontrol rutin.
"Din, nanti akan ada suster yang menjaga kamu. Mbok Darti tugasnya menjaga anak-anak. Mama sudah kembali lagi ke Singapur, katanya kasihan papa disana sendirian. Aku ada workshop Akreditasi Rumah Sakit selama empat hari di Bali dengan ketua-ketua tim pokja akreditasi Rumah sakit. Kamu jangan lupa istirahat dan minum obat yang disiapkan suster, kalau ada apa-apa segera hubungi aku ya Din. Bu Ratih juga masih rutin datang untuk Arkania home schooling"

"Ga, sudah bisa menghubungi Mas Fahri?"
Riga menggeleng.
"Katanya Fahri sedang tugas ke luar kota menemani bosnya, nomor ponselnya tidak aktif."
"Ga, boleh aku ngerepotin kamu lagi?"
"Kenapa Din? sama sekali kamu gak pernah ngerepotin aku kok."
"Tolong bantu jualin mobil aku Ga, lumayan bisa buat ngontrak rumah untuk sementara dan untuk biaya hidup sehari-hari."

"Kenapa harus ngontrak rumah? kamu bisa tinggal di apartemenku sesukamu, toh apartemnya tidak aku tempati, aku kan masih tinggal di rumah mama. Lagian kamu kan memerlukan mobil itu untuk operasional bisnis sepatu kamu."
"Ga, sebenarnya Mas Fahri sudah menjatuhkan talak sama aku, jadi aku ingin mulai menata hidup mandiri."

Pelan suara Handini, hatinya nelangsa mengingat saat Fahri menjatuhkan talak cerai untuknya dengan cara yang tidak makruf.
"Sudah Din jangan dulu memikirkan itu, kamu fokus saja sama kesehatanmu dan anak-anak."

_________________________

Riga berangkat ke Bali tidak bareng dengan tim Rumah Sakitnya. Riga ingin menikmati perjalanan sambil memikirkan cara terbaik apa yang harus ia lakukan untuk memberitahukan pada Handini perihal penyakitnya.

"Bli, antar saya ke pantai kuta dulu ya, drop saya disana, nanti barang-barang saya simpen saja di hotel."

Perintah Riga pada sopir yang menjemputnya dari bandara Ngurahrai.
Seperti biasa, suasana pagi di pantai Kuta selalu hangat dengan sinar matahari. Memandang laut lepas beralaskan hamparan pasir adalah salah satu relaksan terbaik bagi Riga.

Sesekali keasyikannya terusik dengan lalu lalang wisatawan lokal dan wisatawan luar yang berjoging atau bersepeda di sepanjang garis pantai, ada juga beberapa wisatawan yang sedang bersiap dengan papan seluncurnya untuk menaklukkan ombak pantai Kuta, salah satu ombak favorit bagi para peselancar.

Handini, apa kabarmu disana?
Tetap saja Handini yang memenuhi setiap ruang dalam pikiran Riga. Ada rasa bersalah yang teramat sangat yang sulit Riga terjemahkan.

"Sorry..."
Bahu Riga tersenggol ujung papan seluncur yang dibawa oleh seseorang, tidak jauh dari tempat Riga duduk dua orang laki-laki bertelanjang dada berdiri dengan papan seluncur yang diapait tangannya. Mata Riga terbelalak, spontan berdiri, tanpa pikir panjang Riga langsung mendaratkan pukulan keras ke tubuh laki-laki berbadan tegap yang sedang dirangkul laki-laki bertubuh tambun.
"Bajingan, mati kau."

Tanpa ampun Riga terus menghajar laki-laki itu, tak peduli dengan jeritan histeris laki-laki yang berbadan tambun yang berdiri di dekat merek.
"Stop...Stop...!" Laki-laki berbadan tambun memeluk laki-laki yang sedang Riga pukuli, melindungi tubuh laki-laki itu dari serangan Riga yang tanpa jeda.
"Kamu tidak apa-apa sayang? bibir kamu berdarah."

Laki-laki bertubuh tambun membelai-belai pipi memar laki-laki yang sedang dipeluknya.
"Bajingan kau Fahri!"
Desis Riga dengan suara terengah sambil melemparkan papan seluncur pada Fahri dan Pak Anggodo, bos Fahri. Seketika keduanya terjungkal kena hantaman papan seluncur.
Riga cukup mengenal Pak Anggodo. Perusahaan alat kesehatan milik Pak Anggodo adalah rekanan Rumah Sakit Riga. Riga juga sudah lama megetahui kalau Pak Aggodo itu seorang homoseksual tapi tidak pernah menyangka kalau teman kencan Pak Anggodo adalah Fahri. Ternyata Fahri seorang biseksual.

bersambung ...