Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU 26 - 32 (tamat) +

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 26
Oleh: Khayzuran

Riga menstarter mobilnya, pulang. I will, lagunya Armada mengiringi Riga sepanjang jalan.
Aku telah jatuh cinta
Sejak pertama kutatap matamu
Kamu mencuri hatiku

Meluluhkan aku tiada berdaya
Tuhan berikan jalannya
Untuk kita berdua
Jadikan aku halal bagimu
Sayang menikahlah denganku
Kau jawaban dari semua doaku
Kau cinta sejati yang telah lama kutunggu
And I will always loving you
Kamu mencuri hatiku
Sejak pertama kutatap matamu
Tuhan berikan jalannya
Untuk kita berdua

Jadikan aku halal bagimu
Sayang menikahlah denganku
Kau jawaban dari semua doaku
Kau cinta sejati yang telah lama kutunggu
And I will always loving you
Sayang menikahlah denganku
Kau jawaban dari semua doaku
Kau cinta sejati yang telah lama kutunggu
Aku milikmu kau milikku
Kau jawaban dari semua doaku
Aku hanya ingin hidup bersama denganmu
And I will always loving you
And I will always loving you

Riga ikut bersenandug, bayangan wajah Handini dan Ameera muncul bergantian.
Handini belum tentu akan menerima cinta Riga dan bersedia menikah dengannya. Cinta Ameerapun belum tentu bisa Riga dapatkan, mengingat Ameera sendiri telah meralat apa yang ia rasakan. Ameera memaksa Riga menikahinya dengan cara mengancam, Rigapun menyanggupi untuk menikahi Ameera karena tekanan dari ancaman Ameera.

___________________________________________

"Ada apa Pak Riga? Kok wajahnya kusut begitu, calon pengantin itu harusnya bahagia."
Dr. Chandra mengamati raut muka Riga.
"Apa resiko untukku jika aku menikah dengan pengidap HIV?"
"Innalillahi, Ameera HIV?"

"Bukan, bukan Ameera, tapi Handini."
"Jadi, selain menikahi Ameera, Pak Riga juga berniat menikahi Bu Handini?"
Riga tertegun, bahkan salah satu dari keduanya pun belum tentu bisa Riga dapatkan, apalagi kedua-duanya.

"Berapa persen kemungkinan aku tertular HIV jika menikah dengan pengidap HIV?"
Dr. Chandra menarik nafas panjang. Riga, lagi-laki kaya raya berwajah rupawan dan berkarir bagus tapi sangat tidak beruntung dalam urusan hati dan cinta.

"Hubungan seks tanpa kondom salah satu resiko tinggi penularan HIV. Hubungan seks melalui anus seperti yang biasa dilakukan pasangan homoseksual resikonya jauh lebih tinggi karena lapisan mukosa di daerah anus itu sangat tipis sehingga mudah terjadi perlukaan saat berhubungan seks. Luka tersebut bisa menjadi pintu masuk virus HIV pada tubuh pasangan. Hubungan seks melalui vaginapun resikonya cukup besar meski lapisan mukosa vagina lebih kuat dari lapisan mukosa di daerah anus. Dengan luka yang tidak kasat matapun penularan bisa terjadi. Memakai kondom saja tidak cukup mencegah penularan virus HIV karena kondom bisa saja robek. Kalau digunakan dengan benar, kondom cukup efektif untuk mengurangi resiko penularan HIV. Pada laki-laki, kondom bisa mengurangi penularan HIV sebesar 63 persen sedangkan pada perempuan sekitar 73 persen."
Panjang lebar dr. Chandra menjelaskan pada Riga.

"Bagaimana kalau ingin punya anak? Beresiko juga kan?"

"Pak Riga jangan khawatir, istri atau suami yang mengidap HIV masih bisa memiliki anak tanpa menularkan pada bayi atau pasangan yang negatif HIV. Nanti bisa konsultasi pada dokter jika ingin program hamil, atau bisa juga melakukan cara lain untuk memiliki keturunan tanpa takut tertular misalnya dengan program kehamilan in vitro fertilization atau lebih kita kenal dengan istilah bayi tabung dan bisa juga dengan inseminasi buatan. Ada banyak pasangan yang HIV memiliki anak tanpa menularkan virus itu pada anaknya maupun pasangannya, asalkan rajin minum ARV dan rutin check up. Pikirkan dulu dengan matang sebelum mengambil keputusan, pilih yang paling kecil menimbulkan madharat, bukankah menikah dengan seseorang yang mempunyai penyakit yang bisa membahayakan pasangannya itu hukumnya makruh?"

Riga mengerutkan keningnya.

"Ameera melepaskanku dan menyuruhku menikahi Handini."
Riga bergumam pelan, serasa ada bongkahan batu besar yang menghimpit dadanya.

"Kemarin saya tidak faham kenapa tiba-tiba Pak Riga akan menikah dengan dr. Ameera meskipun saya sudah lama tahu dr. Ameera menyukai Pak Riga meski tidak pernah mengungkapkannya, saya berfikir mungkin kebaikan dr. Ameera akhirnya bisa meluluhkan hati Pak Riga, saya termasuk salah seorang yang ikut berbahagia dengan berita itu. Tapi hari ini saya justru bingung ketika Pak Riga seolah akan menikahi Bu Handini. Sebenarnya siapa yang saat ini ada di hati Pak Riga?"

Riga menggeleng, dia sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang sekarang ada di hati dan dicintainya.

___________________________________________

"Pagi ini ada waktu? ada yang ingin aku sampaikan. Kalau bisa, pagi-pagi sebelum aku pelayanan ke pasien."
Pagi Riga dibuka dengan pesan dari Ameera via WA
"Dimana?"
"Ruang dokter PICU."
"Oke."

__________________________________________

Dari balik kaca ruang PICU, Riga memperhatikan Ameera dari kejauhan. Ameera sedang menggendong Maura yang sejak kemarin ventilatornya sudah di buka, kondisi Maura sudah jauh membaik. Tak berkedip mata Riga tertuju pada perempuan berjas dokter lengan pendek yang sepertinya sedang mengajak Maura berbicara meski bayi mungil itu belum bisa berbicara. Riga tersenyum, ada rasa damai yang dia rasakan saat melihat Ameera tersenyum meski hanya dari kejauhan padahal kemarin Riga sangat marah dan kecewa saat Ameera lebih memilih pergi dengan Rado ke Sukabumi dan melihat Ameera bermain bersama dan tertawa, bermain di panti sore kemarin.

"Suster, saya mau nitip ini untuk dr. Ameera, bisa?"

Seorang laki-laki bertubuh atletis tiba-tiba menyembul dari balik pintu dan menghampiri perawat jaga di nurse station.

Riga mundur, menyingkir, tidak ingin keberadaannya diketahui laki-laki itu.
"Bisa, maaf dari siapa?"
"Bilang saja dari Rado, itu sudah ada tulisannya kok."
"Baik."

Tak lama, Rado sudah keluar lagi, entah bagaimana caranya Rado bisa masuk, padahal ini bukan jam berkunjung pasien, biasanya semua akses masuk dijaga ketat.
"Biar saya yang sampaikan itu ke dr. Ameera."
Riga mengambil bingkisan yang tadi dibawa Rado dan membawanya ke ruang dokter.
"Jangan lupa sarapan biar tetap cantik. Have a nice day."
Rado.

Riga meremas kertas kecil berwarna pink yang ditempelkan pada setangkai mawar putih yang diletakkan diatas breakfast box yang dibawa Rado untuk Ameera. Kertas itu dilemparkannya ke tempat sampah, tidak suka.

Ada ketukan halus di pintu disusul dengan ucapan salam. Itu suara lembut milik Ameera.
Ameera duduk di ujung sofa sebelah kiri dan Riga duduk di ujung sofa sebalah kanan, dibiarkannya pintu masuk terbuka lebar.

"Mau sarapan dulu?"
Riga mnyerahkan bingkisan yang dibawa Rado pada Ameera tanpa menyebutkan itu dari Rado.
Ameera menatap sekilas pada setangkai mawar putih diatas breakfast box yang diserahkan Riga. Setiap wanita normal pasti akan sangat bahagia saat laki-laki yang dicintainya menghadiahi setangkai mawar, begitu juga dengan Ameera. Perhatian pertama, bunga pertama, sekaligus terakhir, mawar perpisahan. Mawar putih, mewakili bendera putih yang akan dikibarkan Ameera.

"Ada Maura disini, maaf aku tidak cerita dari awal tentang keberadaan Maura disini karena kemarin-kemarin kondisi kesehatan Maura sangat buruk, aku tidak mau Pak Riga khawatir dengan kondisi Maura jadi aku berniat memberitahu Pak Riga setelah kondisi Maura membaik seperti sekarang."
Ameera bercerita tanpa melihat ke arah Riga, seperti bicara pada diri sendiri sehingga Ameera tidak tahu sepasang mata elang milik Riga tajam menatap kearahnya, perempuan yang sejak kemarin dirindukannya.

"Aku sudah tahu, kemarin aku bertemu Dewi."
Hening sesaat, Ameera dan Riga seperti sedang sama-sama menata hati.

"Aku ingin menegaskan apa yang aku katakan kemarin. Aku ingin membatalkan rencana pernikahan, maaf bukan aku mempermainkan prosesi sakral pernikahan yang bernilai ibadah, justru kalau aku melanjutkan rencana pernikahan itu aku salah, karena aku telah memaksa orang yang tidak mencintaiku untuk menikahiku karena terpaksa, karena ancaman. Aku tahu, pak Riga bersedia menuruti permintaan untuk menikahiku karena cinta Pak Riga yang begitu besar pada ibu Handini, Pak Riga tidak mau kehilangan ibu Handini."

Suara Ameera tercekat, seperti ada yang mencekik tenggerokannya sehingga terasa sesak dan perih. Ameera menggigit bibir, lalu menarik nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Sebagai kompensasi kerugian karena pasti Pak Riga sudah mengeluarkan banyak uang untuk persiapan resepsi pernikahan aku akan bekerja di Rumah Sakit ini tanpa dibayar, aku akan menunda rencana melanjutkan sekolah program pendidikan dokter spesialis sampai semua utangku lunas."

Riga terdiam, matanya melirik pada setangkai bunga mawar putih dan breakfast box yang tadi dibawa Rado untuk Ameera. Kehadiran Rado kah penyebab semua ini?
"Di tunda atau batal?"

Tanya Riga, suara dan ekspresi wajahnya datar.
"Batal."
"Apa karena cintamu padaku sudah berpindah pada Rado?"

"Mungkin aku tidak pernah mencintai Pak Riga, aku hanya terobsesi. Aku menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan cinta Pak Riga. Aku seperti pengemis yang mengiba kasih, tapi ternyata cinta Pak Riga pada Ibu Handini tidak pernah memberi ruang pada orang lain mengganggunya."
"Lalu apa bedanya rasa cintaku pada Handini dengan rasa cintamu padaku? Kalau kamu terobsesi padaku, bukankah aku terobsesi juga pada Handini?"

Ameera menggeleng.

"Setidaknya keberadaan Ibu Handini di sisi Pak Riga bisa memberi Pak Riga kebahagiaan, bisa membuat Pak Riga tersenyum, sedangkan aku? Pak Riga tidak pernah sekalipun tersenyum saat berada dekat denganku, ada dan tiada aku sama saja bukan? Ada tak berarti, tiada tidak di cari."
Entahlah, hati Riga terasa hancur saat mendengar semua yang dikatakan Ameera. Mungkin benar Ameera tidak pernah mencintainya, buktinya Ameera begitu tenang saat mengatakan semuanya, tidak ada riak sedih dari ekspresi wajah Ameera.

"Kamu tidak bahagia saat dekat denganku?"
"Aku bahagia atau tidak, tidak penting untuk Pak Riga. Sudahlah Pak, kita lupakan saja semua, kita belum sama-sama terlambat untuk mencari kebahagiaan masing-masing dengan jalan yang berbeda."
Ameera tersenyum pada Riga, Riga tak membalas senyum Ameera, hanya menatap wajahnya tak berkedip. Riga mencari kejujuran dalam sorot bening mata Ameera. Ameera menunduk, menghindari mereka beradu pandang.

"Maafkan aku."
Hanya kata itu yang mampu Riga ucapkan, dadanya terlalu sesak dan hatinya terlalu perih saat menyadari akan kehilangan Ameera.

"Arkania ada di rumah, aku meminta Dewi untuk menjaganya. Aku sudah memita ijin kepala rutan agar mengijinkan Arkania bertemu Ibu Handini. Ajaklah Arkania dan Dewi untuk bertemu ibu Handini. Ibu Handini sepertinya sudah sangat kangen dengan Arkania. Nanti jangan bawa Arkania ke ruang berkunjung rutan, ajaklah ke taman, Ibu Handini akan menunggu disana. Aku sudah menitipkan obat ARV pada Dewi untuk ibu Handini. Aku permisi dulu Pak, harus segera pelayanan ke pasien."

Tanpa menunggu jawaban dari Riga, Ameera bangkit dari duduknya dan bergegas ke luar tanpa menoleh lagi ke arah Riga. Riga membeku.

_____________________________________________

Ameera menutup pintu ruang kerjanya, tubuhnya bersandar pada daun pintu, tangisnya pecah. Ameera tersungkur, bahunya terguncang.
Kenapa mencintaimu harus sesakit ini?

_____________________________________________

Riga, Dewi dan Arkania menuju taman rutan setelah meminta ijin pada sipir rutan, disana sudah ada Handini sedang duduk di bangku taman.
Handini langsung berhambur memeluk Arkania, Arkania memukul-mukul bahu Handini.
"Aaaaa...Aaaaaa...."

"Iya Nak, ibu juga kangen sama Arkania."
Handini mengusap pipinya yang basah.

Kini Handini memeluk Dewi, mereka saling berpelukan dengan isak tangis tanpa kata. Cukup lama keduanya berpelukan seolah ingin saling berbagi beban yang telah ditumpahkan laki-laki bejat bernama Fahri.

"Maafkan Mbak ya Dewi. Terimakasih banyak sudah merawat Arkania dan Maura."
Dewi mengangguk, tangisnya belum reda.
"Mbak, kapan Mbak keluar dari sini?"

"Doain secepatnya, tolong tetap jaga anak-anak Mbak sampai Mbak bisa keluar dari sini, anggaplah mereka anak kamu sendiri, karena mereka anak-anak Mas Fahri, suami kamu."

"Suami yang bikin kita sengsara. Aku benci."
Dewi sungguh kesal ketika mendengar nama Fahri.

"Dewi, ajak Arkania main disana, saya mau bicara dulu sama Handini."
Dewi mengajak Arkania main ayunan di taman.

"Ini obat ARV, kamu masih meminumnya dengan rutin kan?"
"Iya masih, karena aku masih ingin hidup lama bersama anak-anak."
"Pengacaramu sudah mengumpulkan banyak bukti, dugaan terkuat mengarah pada Fahri. Tapi Fahri masih belum kembali ke Indonesia. Apa rencanamu jika sudah keluar nanti?"
"Aku belum tahu, saat ini aku fokus ingin keluar saja dulu, aku sudah tidak tahan tinggal disini."
"Aku akan membantumu sebisaku, kita sudah lama bersahabat, jadi jangan sungkan meminta apapun sama aku ya."

Riga tersemyum pada Handini, memberi kekutan dan keyakinan pada Handini bahwa apa yang dikatakannya sungguh-sungguh, dia akan selalu ada untuk Handini.
"Terimakasih selalu ada untukku, maafkan aku dulu pernah menyakiti hatimu."

"Lupakan saja hal pahit yang pernah kita alami dan rasakan di masa lalu, karena kita hidup untuk masa depan, bukan untuk masa lalu."
"Kamu kenapa Ga, sakit? Terlihat pucat, kamu lagi banyak pikiran?"
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja kok, mungkin agak sedikit lelah saja karena banyak pikiran. Mikirin kamu."
Handini tersipu.

______________________________________________

Ameera dan Rania masuk ke sebuah cafe, mereka berencana makan malam.
"Bagaimana kondisi Mas Arjuna?"
"Masih belum sadar juga, perdarahan di otaknya lumayan banyak. Ibu Dibyo masih belum mengijinkan Mas Arjuna untuk operasi, masih takut katanya."

"Ibu Dibyo itu mantan calon mertuamu? Oh ya kemarin aku bertemu dr. Fauzan, bilangin tuh jangan dipakai cincinya, laki-laki kan haram pakai perhiasan mas dan segala sesutu berbahan mas."
Ameera melirik cincin yang dipakai dijari manis Rania.

"Iya nanti aku bilangin. Bagaimana kabar kamu dengan Pak Riga?"
Ameera mengaduk-aduk jus stawbery yang ada dihadapannya, menu utama makan malam yang dipesannya belum datang.

"Nanti aja deh ceritanya abis makan, biar nafsu makanku gak hilang."
Rania mengelus bahu Ameera, dia tahu suasana hati sahabatnya sedang tidak baik, mata Ameera masih terlihat sembam.

"Kabar Mas Rado bagaimana? Pulang jam berapa tadi malam dari panti? Kalau tidak bisa bersama Pak Riga, mungkin kamu bisa jadi pembuka jalan kebaikan untuk Rado."
Ameera tidak menanggapi perkataan Rania, ada yang mengusik pandangan matanya. Dari arah pintu masuk cafe terlihat dua orang laki-laki bertubuh atletis berjalan sambil berangkulan mesra, keduanya saling tertawa bahagia, seperti sepasang kekasih yang sedang saling melepas rindu. Rado dan Satya.

-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 27
Oleh: Khayzuran

Ameera membuka jedela kamarnya di lantai dua, menengadahkan kepala ke atas langit malam, ada taburan bintang kerlap-kerlip, ada rembulan sepasi yang bersinar dalam gelap. Hari ini sangat sempurna, pagi diawali dengan melepaskan Riga dan malam diakhiri dengan mendapati Rado bermesraan dengan Satya.

Dunia memang sering begitu, terasa tidak adil bagi orang-orang yang tidak faham makna qodo dan qodar juga takdir.

Ameera menggenggam ponselnya yang sedari tadi dimatikan. Rasanya perlu waktu untuk bisa berdamai dengan sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Hidup memang tidak selalu manis, ada kalanya kita harus merasakan rasa pahit atau asamnya hidup agar kita bisa lebih pandai bersyukur, menyadari kita hanya sebagai mahluk dari Sang Khalik yang Maha penggenggam hati.

Namun luka tetaplah luka, terasa perih dan entah kapan bisa sembuh terlebih jika penyebab luka itu ada terus dalam jangkauan mata. Bukan, bukan Riga penyebab perih dari luka yang kini dirasakan hati Ameera tapi kegeosian yang memaksa Ameera untuk memiliki Riga meski laki-laki itu nyata tidak ingin dimiliki Ameera. Jatuh cinta terkadang memang sakit jika tertambat pada hati yang salah. Belajar mengikhlaskan adalah hal terbaik yang saat ini harus dilakukan Ameera, mengikhlaskan kepergian seseorang yang tak pernah singgah di hati namun selalu merajai hati. Tak ada luka yang lebih perih selain melukai diri karena mengejar cinta yang tak berbalas.

"Aku mencintaimu tanpa alasan, jadi tak perlu alasan untuk melepaskanmu, namun ijinkan aku tetap bahagia saat melihat senyummu meski senyum itu bukan untukku."
Lirih suara Ameera, berbisik pada dirinya sendiri.

Bintang di langit kian temaram. Cahaya rembulan sudah meredup tertutup awan. Langit yang kini menaungi Ameera adalah langit yang sama yang sedang menanungi Riga. Riga sedang menatap Ameera dari balik jendela mobilnya yang terparkir di seberang jalan rumah Ameera. Riga sendiri tidak tahu dorongan apa yang menyebabkan dirinya memacu mobil menuju rumah Ameera. Riga tidak berani masuk ke rumah Ameera padahal sangat ingin menemuinya dan hanya memperhatikan perempuan yang akhir-akhir ini membuat Riga tidak bisa tidur itu dari balik kaca mobilnya.
Riga tidak beranjak sampai Ameera menutup jendela dan mematikan lampu kamarnya.

__________________________________________

Handini sedang asyik menyiangi bunga mawar yang tumbuh di taman rutan, bibirnya merekah seperti mawar-mawar yang sedang mekar. Hari ini Riga berjanji akan menemuinya, ada kebahagiaan terselip di serambi hati Handini. Riga, laki-laki yang selalu ada untuk Handini dengan segala kebaikannya. Perempuan mana yang hatinya tidak berbunga-bunga saat ada laki-laki baik hati yang selalu memberi perhatian dan mengerti semua keadaanya. Handini masih bisa melihat cinta dan ketulusan dari sorot mata Riga, cinta yang tak berkurang meski Handini beberapa kali mengecewakan dan membuat Riga sakit hati. Riga bagai cahaya dalam hidup Handini yang gelap.

"Bu Handini, ada tamu di ruang tamu."

Seorang sipir memberi tahu Handini. Handini merapihkan baju dan kerudung yang dipakainya lalu menarik nafas dalam, menata detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Riga tersenyum saat melihat Handini tampak segar dan sehat.

"Ada kabar baik untukmu, pengacaramu sudah bisa mendapatkan banyak bukti bahwa kamu bukan pelaku pembunuhan itu, kamu hanya dijebak. Mudah-mudahan kamu bisa keluar dari sini secepatnya."

"Alhamdulillah...."
Handini berseru, matanya berkaca-kaca.
"Setelah keluar dari sini mulailah hidup baru denganku, kamu sudah terlalu lama menderita, kamu berhak bahagia, ijinkan aku untuk menjadi bagian dari kebahagiaanmu."
Handini terkesima dengan apa yang baru saja Riga katakan.
"Maksud kamu?"
"Setelah selesei masa iddah, maukah kamu menikah denganku?

__________________________________________

Riga keluar dari rutan dengan langkah pelan, pandangan matanya kosong.
"Apa yang kamu lakukan sudah benar Riga."
Riga menguatkan dirinya. Ditepisnya bayangan seorang perempuan berpenampilan sederhana yang akhir-akhir ini bertahta di otak dan hatinya. Mengatakan apa yang tidak ingin kita katakan itu seperti menjerumuskan diri pada lembah sesal.

Ameera, aku sudah melakukannya untukmu.

Riga mengetuk pintu sebuah rumah, hanya ketukan, tidak diiringi ucapan salam.
Daun pintu terkuak perlahan. Ingin rasanya Riga berhambur ke pelukan perempuan yang berdiri dihadapannya untuk meminta pertanggungjawaban karena telah membuatnya tidak bisa memejamkan mata sedetikpun tadi malam.

"Aku....Aku...Mau bertemu Arkania."
Cepat Riga mengatasi kegugupannya. Ameera tidak boleh tahu kalau Riga bersegera kesini setelah mendapatkan kabar dari dr. Chandra bahwa hari ini Ameera ijin tidak masuk kerja karena sedang sakit. Riga bertambah khawatir karena ponsel Ameera tidak aktif dari kemarin.
"Arkania sudah berangkat sekolah diantar Dewi."
"Ohh...."

Riga dan Ameera masih berdiri saling bergadapan. Keduanya saling diam, tak bicara, seperti sedang menyelami perasaan masing-masing.
"Boleh aku menunggu Arkania disini?"

Riga mencari cara agar bisa lebih lama berada di dekat Ameera.
"Maura baru saja berangkat, baru pulang nanti siang, pasti akan lama kalau ditunggu."
Pulanglah Pak Riga, jangan biarkan hatiku merasa bahagia sesaat karena ada di dekatmu lalu kau remukkan lagi karena menjauh.

"Hari ini tidak ada jadwal penting di Rumah Sakit, tidak apa-apa kan kalau aku menunggu disini?"
Riga masih memaksa dan Ameera masih bertahan dengan tidak mempersilahkan Riga duduk.
"Oh ya, ini ada roti isi nanas dan jus alpukat untuk Arknia."

Riga menyodorkan paper bag berisi beberapa roti isi nans dan beberapa botol jus alpukat.
"Pak Riga pasti lagi kangen Bu Handini ya? Itu kan makanan dan minuman kesukaan Bu Handini, Arkania tidak boleh makan roti dan jus alpukat yang pakai gula dan susu."

"Sorry aku tidak tahu."
Riga menarik tangannya, meletakkan bawaanya di atas meja teras.
"Makanan anak autis itu harus gluten free, casein free dan sugar free. Karena membahayakan jaringan saraf pada tubuh anak dengan autisme. Pak Riga harus tahu, nanti kalau jadi ayahnya Arkania tidak akan salah bawa makanan."

Semoga saja Riga tidak menangkap suara Ameera yang bergetar.
Diet untuk anak autis itu harus gluten free, casein free dan sugar free. Sumber gluten itu tepung terigu, gandum, mie dan produk olahannya, cake, makaroni, biskuit, sereal, roti dan lain-lain. Sedangkan sumber casein itu seperti susu sapi segar, olahan susu seperti keju, mentega, es krim, yogurt, susu kedelai.

Di Amerika dan Eropa para ahli melakukan penelitian yang hasilnya bahwa penderita autis memiliki lubang-lubang kecil pada mukosa (lendir usus) sehingga mengalami kesulitan dalam mencerna casein dan gluten. Lubang pada mukosa tersebut juga membuat anak autis menjadi alergi terhadap makanan-makanan tertentu.

Efek konsumsi gula pada sistem pencernaan akan mempengaruhi perilaku anak seperti menjadi hiperaktif, sulit tidur, banyak stimulasi diri dan tahan terhadap rasa sakit.
"Bisakah kamu beri tahu aku tentang makanan untuk anak autis? Biar aku bisa jadi ayah yang baik untuk Arkania."

Riga menjatuhkan tubuhnya di kursi teras rumah Ameera. Sikap Ameera yang tawar semakin mempertegas bahwa Ameera sungguh tidak pernah mencintainya.
"Mau minum apa?"

"Tidak usah, kamu duduk saja disini, temani aku."
Riga memperhatikan Ameera yang sedang merapatkan sweater yang sedang dikenakannya.
"Sudah minum obat?"
"Aku tidak sakit."

Ameera salah tingkah saat menyadari sepasang mata teduh milik Riga sedang mengamatinya. Riga yang hari ini tampak tak biasa, matanya sedikit memerah seperti kurang tidur, mungkin karena mencemaskan Bu Handini.

"Mungkin aku yang sedang sakit."
Riga bergumam. Ameera memandang sekilas ke arah Riga yang ternyata masih melihat ke arahnya.
"Melihat orang yang kita cintai sedang menderita pasti akan terasa sakit. Pak Riga tenang saja, orang yang menderita HIV masih bisa hidup normal dan insya Allah Bu Handini juga akan segera keluar. Pak Riga sudah memilihkan pengacara terbaik untuk Ibu Handini kan?"

"Ya, Handini mungkin akan segera keluar dari rutan. Kemarin aku menemuinya dan aku mengajak Handini menikah jika masa iddahnya sudah selesei."

Ameera menggguk, menarik kedua ujung bibirnya ke atas, tak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun karena pasti tangis yang akan keluar.
Keduanya terdiam. Riga menatap Ameera yang menunduk.

"Ameera...."
Panggil Riga lembut.
"Ya."
"Aku menyayangi Handini......"
"Aku tahu."
Ameera memotong kalimat Riga, tak ingin mendengar lebih banyak lagi Riga bercerita tentang Handini, terlalu sakit mendengarnya.
Aku menyayangi Handini tapi aku mencintai kamu. Itu kalimat yang tadi hendak dikatakan Riga.

"Assalamualaikum....ya ampun aku bilang salam dari tadi gak ada yang nyahut, malah pada bengong."
Rado tiba-tiba saja muncul di hadapan Ameera dan Riga.

"Mama bilang kamu lagi sakit, jadi ini aku bawakan sop andalan restaurant aku, kamu pasti suka deh, ayo makan biar cepet sembuh."

Rado, selalu hadir sebagai sosok penyelamat untuk Ameera, sangat gentle dan care, aahh...seandainya Rado bukan seorang penyuka sesama jenis mungkin ceritanya akan berbeda.
Riga menatap sinis pada Rado, laki-laki itu lagi.

"Kamu sakit apa?"
Punggung tangan Rado nyaris menyentuh kening Ameera, reflek Ameera menghindar.
"Aku gak sakit kok, mungkin cuma kecapean aja."

"Cape? Cape mengejar cinta Riga atau cape lari dari kenyataan kalau Riga tidak mencintai kamu?"
"Rado udah ah jangan ngelantur, sini mana sopnya biar aku makan."

Ameera mengambil bingkisan yang dibawa Rado, langsung membukanya dan bersiap menyantap sop hangat itu. Rado keterlaluan, mempermalukan Ameera di depan Riga.

"Siapa bilang aku tidak mencintai Ameera?"
Nada suara Riga meninggi, sungguh tidak suka dengan Rado dan apa yang dikatakannya. Ameera hampir tersedak saat mendengar ucapan Riga.

____________________________________________

"Rania kamu dimana? Aku ini habis dari PICU nengok Maura, mampir ke ICU, kirain kamu ada disini nungguin Arjuna."

"Aku lagi di kampung, ini lagi ziarah ke makam kang Farhan."
"Kapan balik?"
"Insyaa Allah besok, ada apa?"

"Riga akan menikah dengan Bu Handini, Rado positif HIV."
"Aku tahu ini pasti berat untuk kamu. Aku pernah ada di posisi seperti itu, mencintai tapi tidak dicintai, sakit rasanya."

"Aku ambil cuti 3 hari, nanti tolong sering-sering jengukin Maura ya, aku akan ke Sukabumi, pengen istirahat di panti."

____________________________________________

Fahri melemparkan G-string yang baru dipakainya, melumuri tubunya dengan air dari shower di kamar mandi, belum pernah ia merasa jijik seperti ini dengan dirinya sendiri.

Fahri terpaksa menjadi penari striptis di sebuah klub gay di Petpong demi bertahan hidup. Fahri belum bisa kembali ke Pattaya karena dia tidak punya uang yang cukup untuk kembali kesana dan untuk membiayai pengobatan Anggodo di Memorial Hospital Pattaya dan untuk biaya pengobatan dirinya sendiri yang sudah mulai sakit-sakitan.

Fahri bisa saja kembali ke Indonesia dengan meminta pengacaranya untuk membelikan tiket pesawat tapi jika Fahri pulang ke Indonesia ia harus bersiap untuk hidup dibalik jeruji besi.
Tak ada seorangpun di Pattaya yang tahu kalau Fahri menderita AIDS, jadi dia bisa bebas berkencan dengan siapa saja yang penting menghasilkan uang, tak peduli berapa banyak laki-laki penyuka sesama jenis yang memanfaatkan jasanya yang akan terinfeksi HIV karena tertular dari Fahri.

____________________________________________

Marzuki berjalan terpincang-pincang, menyembunyikan tubuh ringkihnya dibalik pohon besar yang tumbuh di hutan kecil di belakang panti. Sudah tidak lagi terlihat olehnya beberapa orang yang berjaga di sekitar panti, itu sebabnya Marzuki mulai berani untuk keluar dari persembunyiannya.
Nanti malam Marzuki berencana melanjutkan aksinya, kalau dia tidak bisa mendapatkan salah satu dari anak panti untuk memuaskan nafsunya, Marzuki berencana akan membakar panti itu tengah malam, saat semua penghuni panti sedang terlelap tidur. Dendam telah menguasai akal sehat Marzuki. Kalau anak-anak itu tidak bisa dinikmati lebih baik mereka mati.

_______________________________________________

"Pak Riga....Pak Riga...."

Dewi menggedor-gedor pintu ruang kerja Riga.
"Ada apa? Pagi-pagi sudah bikin keributan."
"Kenapa ponsel Pak Riga tidak akatif, itu dokter Ameera...itu..."
Dewi mengatur nafasnya yang terengah-engah.

"Ameera kenapa?"
"Panti asuhan Kasih Pertiwi terbakar, dokter Ameera sedang menginap disana."

-----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 28
Oleh: Khayzuran

Riga berlari menuju puing-puing bangunan panti yang terbakar, bau asap dan bau daging yang terpanggang sangat menyengat hidung. Tak peduli garis polisi sudah melingkari area yang terbakar, ia menerobosnya. Riga mengais-ngais arang yang masih memgepul mengeluarkan asap, panas dan beresiko membuat kedua tangannya melepuh.
"Ameeraaaa........"

Riga tersungkur, menjatuhkan dirinya pada debu-debu panas sisa dari bangunan dan tubuh penghuni panti yang terbakar tadi malam. Riga menangis, hatinya hancur.
"Pak Riga mohon maaf, kami masih melakukan evakuasi korban agar segera bisa di otopsi, bapak tidak diperkenankan untuk berada di area yang sudah diberi garis polisi."
Dua orang polisi memapah dan memaksa Riga untuk keluar dari area bekas bangunan panti yang terbakar.

"Tolong temukan Ameera"

___________________________________________

"Kamu kenapa Riga? Lagi sakit? Kamu tidak bahagia hari ini aku bebas dari tuduhan dan bisa keluar dari rutan?"

"Tentu saja aku bahagia Handini, ini yang aku usahakan selama berbulan-bulan ini, kamu bebas dari tuduhan, keluar dari rutan, berkumpul lagi dengan anak-anak dan fokus dengan pengobatan penyakit kamu."

"Tapi kenapa kamu terlihat murung?"

Handini kian mendesak Riga yang sejak datang mengunjunginya seperti sedang banyak pikiran.
"Mungkin aku sedang sedikit lelah, Rumah Sakit aku baru saja akreditasi SNARS edisi 1, kemarin-kemarin banyak kerjaan yang harus diseleseikan."

"Obat ARV aku hanya cukup untuk tiga hari lagi, tolong sampikan ya ke dr. Ameera, aku juga ada sedikit keluhan di pernafasan aku, kalau malam sering batuk."

"Oke nanti aku sampaikan."
Gumam Riga pelan.
Ameera? Riga sendiri hingga kini belum tahu nasib Ameera. Dari beberapa kerangka mayat yang ditemukan di tempat kejadian, setelah dilakukan tes DNA belum ada satupun yang cocok dengan Ameera.

"Handini, maukah nanti kamu menikah denganku?"
"Aku ini penderita HIV Ga, jangan sia-siakan masa depanmu dengan menikahiku."
"Minggu depan saat kamu keluar dari rutan, bertepatan dengan seleseinya masa iddah kamu kan?"
"Sebenarnya masa iddahku sudah lama selesei. Aku tidak pernah menyatakan rujuk dengan Mas Fahri sejak Mas Fahri menjatuhkan talak dulu. Waktu itu aku kabur dari apartemenmu dengan Mas Fahri bukan karena ingin rujuk dengan Mas Fahri tapi karena aku ingin tahu dari siapa aku tertular HIV. Secara agama aku sudah bercerai dengan Mas Fahri, namun secara hukum administratif aku masih harus menunggu sampai Minggu depan sesuai dengan akta cerai."

"Baguslah kalau begitu, jadi kita bisa segera menikah."
"Apa kamu sudah memikirkan dengan matang jika menikah dengan seorang pengidap HIV seperti aku?"

"Sudah, aku sudah berkonsultasi dengan dr. Chandra dan Ameera, kamu jangan khawatir, semua akan baik-baik saja dan akan berjalan dengan normal."
"Tapi...."

"Kamu masih meragukan cinta aku sama kamu?"
Riga menatap mata Handini, ada kesungguhan yang bisa ditangkap Handini dari sorot mata Riga.
Handini menggeleng.

Perhatian dan pengorbanan Riga untuk Handini dan anak-anak selama ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa yang Riga lakukan itu tulus.

"Bagaimana dengan dr. Ameera? Aku bisa merasakan kalau dr. Ameera punya perasaan khusus sama kamu, bukankah dia itu cantik dan pintar? Apakah kamu tidak tertarik padanya?"

Riga terkekeh, ada perih dihati yang berusaha ia sembunyikan dibalik tawanya.
"Ameera tidak pernah mencintaiku karena tahu cinta aku hanya untuk kamu Handini."

Wajah Handini bersemu merah, hatinya sungguh bahagia mendengar bahwa Riga masih menyimpan cinta untuknya dengan sempurna.
"Aku akan mengurus semua persiapan pernikahan kita, kita akan menikah di hari yang sama saat kamu di bebaskan."

_________________________________________

Riga berdiri di depan pintu ruangan tempat biasa Ameera bekerja. Ada kerinduan yang sangat yang medera relung hati Riga.

Riga membuka pintu perlahan, melangkah masuk dan mengamati ruang kerja lalu duduk di kursi yang biasa di duduki Ameera. Riga menyalakan laptop inventaris yang biasa dipakai Ameera bekerja berharap ada beberapa foto Ameera yang tersimpan di laptop itu untuk mengobati kerinduannya namun nihil, yang ada justru foto-foto Riga saat sedang memimpin rapat.

Rumah sakit milik Riga sudah memakai sistem komputerisasi sehingga laptop dan iPhone menjadi perangkat kerja yang dimiliki banyak karyawan. Laptop Ameera hanya berisi data-data pasien dan program kerja.

"Ameera, dimanapun sekarang kamu berada, aku harap kamu baik-baik saja. Aku mencintai kamu meski tak sempat aku katakan. Aku terlambat Ameera, aku menyesal telah membiarkanmu pergi. Aku akan menikah dengan Handini, sesuai keinginanmu."

Ponsel Riga berbunyi, ada kabar dari pihak kepolisian.
"Semua hasil tes DNA sudah keluar, salah satunya milik Ameera. Kami sudah memberitahukan pihak keluarga, jenazahnya akan kami kirim ke rumah siang ini."
Air mata Riga jatuh menyentuh layar ponsel yang ada di genggamannya.

-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 29
Oleh: Khayzuran

Ponsel Riga berbunyi, ada kabar dari pihak kepolisian.
"Semua hasil tes DNA sudah keluar, salah satunya milik Ameera. Kami sudah memberitahukan pihak keluarga, jenazahnya akan kami kirim ke rumah siang ini."
Air mata Riga jatuh menyentuh layar ponsel yang ada di genggamannya.
"Maafkan aku Ameera." Lirih suara Riga menahan isak.
__________________________________________

Riga sudah mempersiapkan apartemennya untuk menyambut Handini. Hari ini Handini bebas dari tuduhan dan semua berkas administratif sebagai syarat keluarnya dari rutan sudah selesei.
Handini sudah bersiap menunggu Riga yang hari ini sudah berjanji akan menjemputnya di rutan. Handini sudah pamitan sama teman-teman satu selnya yang kini sebagian sudah bersikap ramah terhadapnya sejak Handini berani melawan semua kekerasan dari para seniornya sesama penghuni rutan. Handini juga sudah berpamitan pada beberapa sipir yang sedang berjaga.

"Maaf menunggu lama, tadi jalanan macet, sudah siap?"
Handini mengangguk menyambut Riga, ada senyum manis terkembang dari bibir Handini.
Riga membukakan pintu mobil untuk Handini.
"Kita langsung ke apartemen saja ya, kamu istirahat saja dulu, biar nanti aku yang jemput Arkania dan Dewi."

"Aku ingin ikut menjemput Arkania dan Dewi, aku sudah kangen banget sama mereka. Aku juga ingin segera bertemu Maura."
"Kamu ke rumah sakit saja, sebenarnya Maura sudah bisa pulang sejak seminggu yang lalu, sudah bisa rawat jalan. Aku antar kamu dulu ke Rumah Sakit, kamu tunggu disana. Aku akan menjemput Arkania dan Dewi nanti aku jemput kamu lagi, kita pulang sama-sama ke apartemen."
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggu kalian."

Riga mengantar Handini ke ruang perawatan anak VVIP tempat Maura dirawat. Sungguh sangat mengharukan melihat Handini bisa memeluk dan menggendong lagi Maura setelah mereka berpisah berbulan-bulan.
_____________________________________

Riga melangkah pelan memasuki halaman rumah Ameera, langkahnya terhenti sesaat lalu matanya menatap jendela kamar Ameera yang tertutup gorden. Dari seberang jalan, di balik kaca mobilnya Riga sering menatap Ameera yang sedang berdiri di jendela secara diam-diam. Menatap gadis yang menggetarkan hatinya itu selama berjam-jam hingga Ameera menutup jendela dan mematikan lampu kamarnya. Kini Riga sudah tidak bisa lagi melakukan hal itu jika dia merindukan Ameera. Kerinduannya pada Ameera kini sudah tidak bertuan.

"Pak Riga sudah dateng, aku dan Arkania sudah siap."
Dewi menyembul dari balik pintu, langsung memburu Riga. Disampingnya ada Arkania yang menarik-narik baju Dewi.
"Aaaa...Aaaa....Aaaa..."
Arkania berputar-putar, tangannya meraih taplak meja di teras lalu menariknya.
"Hallo Arkania cantik, apa kabar?"
Riga mengulurkan tangan pada Arkania namun Arkania sedang sibuk memukul-mukul meja. Riga memeluk Arkania, Arkania berontak.

"Arkania ayo pamit dulu sama omah."
Ajak Dewi pada Arkania bertepatan dengan ibu Ameera yang keluar dari dalam rumah.
Riga langsung berhambur mencium tangan ibu takzim.

"Maaf Bu, kemarin saya tidak bisa ikut mengantar jenazah Ameera ke pemakaman."
Sesal Riga.
"Pemakaman Ameera?"

"Pak Riga tolong bantu angkat tas-tas ini ke mobil, aku akan merapihkan Arkania dulu. Arkania ayo salam sama Omah, bilang makasih sama Omah karena sudah mengizinkan kita tinggal di rumah Omah."
Dewi menarik Arkania dan membawanya mendekati ibu.

"Anak sholehah, nanti sering-sering ya main ke rumah Omah, Omah pasti kangen Arkania."
Ibu mengelus kepala Arkania. Dewipun pamit pada ibu setelah mengucapkan terimakasih. Lalu menuju mobil Riga.

Kini tinggal Riga dan Ibu.
"Ibu, maafkan saya tidak sempat membahagiakan Ameera. Selama ini saya terlambat untuk jujur pada diri saya sendiri dan pada Ameera. Saya mencintai Ameera Bu, tapi saya takut mengatakannya pada Ameera karena saya tahu Ameera tidak mencintai saya. Saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri, saya tidak tahu sejak kapan saya jatuh cinta pada Ameera, saya tidak mengerti kenapa saya sangat cemburu pada Rado, saya juga tidak tahu kenapa setiap bertemu Ameera hati saya merasa bahagia, saya juga tidak tahu kenapa hati saya merasa sakit saat Ameera mengatakan kalau dia tidak pernah mencintai saya. Sekarang setelah Ameera tiada saya faham kalau saya benar-benar mencintai Ameera dan rasanya saya belum siap untuk kehilangan dia secepat ini."

Riga mengelap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan, bahunya sedikit naik turun, ada isak tangis yang sekuat tenaga ia tahan.

Ibu hanya diam, tangannya lembut merengkuh bahu Riga.
"Ibu dengar dari Dewi katanya Nak Riga akan menikah dengan ibunya Arkania dalam waktu dekat, betul begitu?"

Riga mengangguk pelan.
"Jadilah suami yang baik untuk ibunya Arkania dan jadilah ayah yang baik untuk Arkania dan adiknya. Terimakasih sudah mencintai Ameera, kita memang tidak selalu harus menikah dengan orang yang kita cintai tapi kita wajib mencintai orang yang sudah kita nikahi."

"Ameera menginginkan saya untuk menikah dengan Handini karena Ameera tahu dulu saya mencintai Handini. Saya tidak mungkin menikah dengan Ameera yang saya cintai jadi saya akan menikah dengan Handini sebagai bukti cinta saya pada Ameera dan saya berjanji akan berusaha mencintai Handini lagi agar Ameera bahagia disana."

Ibu memeluk Riga, tangis keduanya tertahan dalam isak masing-masing.
Dari balik pintu ada sepasang telinga yang mendengarkan dialog antara Riga dan ibu dengan sangat jelas.
"Aku tidak pantas dicintai, aku sudah kotor. Aku benci Marzuki, benci...."

___________________________________________

Handini sangat berbahagia akhirnya bisa berkumpul lagi dengan anak-anak yang sangat dicintainya. Handini belum tahu kalau Maura sudah positif HIV, Riga hanya memberitahu Handini kalau Maura terkena infeksi paru-paru berat.

"Sore ini akan ada tim dari WO yang mengurusi pernikahan kita untuk fitting gaun pengantin kamu, sekalian saja minta siapkan baju untuk anak-anak dan Dewi. Pernikahan kita tinggal dua hari lagi, mudah-mudahan ada gaun yang pas untuk kamu jadi tidak usah bikin lagi, khawatir waktunya tidak cukup."

"Semua keperluan kamu sudah siap?"
"Sudah, kamu mau mahar apa?"
"Apa saja, yang penting tidak memberatkan."
Riga tersenyum getir, perkataan Handini barusan mengingatkan Riga pada Ameera. Dulu saat Ameera ditanya mau mahar apa, jawaban Ameera pun sama, Ameera tidak ingin mahar yang mahal dan mewah, hanya ingin hafalan surat An-Nisa ayat 1-10 dan buku Tarikh Khulafa. Waktu itu Riga sampai mendatangkan ustadz untuk mengajari dan membimbingnya menghafalkan surat An-Nisa ayat 1-10 agar tajwid dan makharijul hurufnya benar.

"Aku akan ke hotel, untuk mengecek semua persiapan disana. Mau ikut?"
Acara pernikahan Handini dan Riga akan diselenggarakan di Ballroom hotel bintang lima yang dulu sempat di booking Riga untuk pernikahannya dengan Ameera.

"Tidak usah, aku sedikit lelah, ingin istirahat."
"Baiklah, jangan lupa minum obat ARV, kalau masih tidak enak badan juga nanti hubungi aku, kita berobat ke Rumah Sakit. Pernikahan kita sebentar lagi, kamu harus fit."
Handini mengangguk sambil tersenyum, sudah lama Handini tidak merasakan getaran-getaran halus di hatinya saat ada seorang laki-laki yang begitu perhatian padanya. Benih-benih cinta itu sudah mulai tumbuh dengan subur, perhatian Riga selama ini mampu meluruhkan hati Handini.

_____________________________________________

Rania mengelus-elus punggung sahabatnya yang berbalut selimut, tubuh itu terlihat ringkih, sudah beberapa hari menolak makan.

"Ameera, kalau kamu tidak mau di visum bagaimana kamu akan tahu kebenaran dari semua yang terjadi? Tapi aku yakin Marzuki tidak melakukan apapun sama kamu."
"Aku kotor Rania, kotorrr...."

Tangis Ameera kembali pecah, berkelebat kembali rentetan kejadian malam itu yang membuatnya trauma berat.
Api berkobar melahap bangunan panti saat semua penghuni sedang terlelap tidur tidak terkecuali Ameera. Ameera menerobos api lalu loncat ke kolam yang ada di samping panti saat menyadari sebagian bajunya sudah terbakar, namun saat Ameera hendak menyelamatkan penghuni panti ada yang menarik tangan Ameera dan memukul kepalanya hingga Ameera tidak sadarkan diri. Saat tersadar Ameera sudah dalam keadaan nyaris tak berbusana dan ada Marzuki disampingnya sedang terkapar, mereka berada di sebuah gubuk kecil di hutan yang ada di belakang panti.

Ameera menjerit histeris, menutup sebagian tubuhnya dengan sisa-sisa pakaian yang sudah compang camping. Ameera menginjak-injak Marzuki yang saat itu entah masih hidup atau tidak. Ameera menangis tak henti sambil berteriak histeris dan setelah itu Ameera kembali tidak sadarkan diri,tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu karena saat siuman Ameera sudah berada di kamarnya, ada ibu dan Rania disampingnya.

Sejak saat itu Ameera tidak berhenti menangis, tidak mau keluar kamar bahkan dia juga menolak untuk di visum. Tapi Rania dengan sabar membujuk Ameera untuk di visum agar semuanya menjadi jelas.

"Menangislah jika itu membuat hatimu lega, tapi setelah ini kamu harus bangkit."
Suara Rania memotong ingatan Ameera pada kejadian malam itu.
"Aku kotor....".
Lirih suara Ameera.

"Ayo kita lapor polisi untuk mendapatkan surat perintah visum, terus kita langsung ke Rumah Sakit untuk visum, semoga semuanya baik. Kemarin kan Rado sudah cerita, kalau Marzuki baru merobek baju kamu tapi Rado keburu datang dan menghajar Marzuki sampai pingsan, waktu itu Rado pergi lagi untuk mencari baju yang bisa kamu kenakan karena kondisi kamu saat itu, maaf tidak berbaju dengan layak. Rado ingin menjaga kehormatan kamu karena kamu juga pasti malu kalau dibawa Rado sementara kondisi kamu seperti itu."

Ameera menggeleng keras.
"Aku tidak siap kalau hasil visumnya tidak sesuai dengan yang aku harapkan, aku takut Rania...."
Kedua sahabat itupun saling berpelukan, menumpahkan tangis di pundak, Rania sangat faham suasan hati Ameera, pasti hancur.

"Atau begini aja, aku visum kamu sekarang disini, kita hanya butuh kepastian, tapi aku yakin kamu tidak sempat di apa-apa kan Marzuki, kamu sendiri tidak ada keluhan kan di daerah vagina atau anus?"
Ameera menggeleng lagi.

_______________________________________________

"Berarti aku tidak usah membuat laporan ke polisi kan?"
Mendung di wajah Ameera sedikit memudar setelah Rania melakukan visum pada Ameera dan ternyata tidak ada sedikitpun perlukaan di organ kewanitaan ataupun anus Ameera.
"Marzuki kan sudah ada di rutan sekarang, sebaiknya kamu tetap membuat laporan agar dakwaan terhadap Marzuki bertambah banyak jadi bisa memperberat hukuman dia. Mau aku antar ke kantor polisi untuk membuat laporan?"

"Boleh, tapi setelah itu antar aku ke apartemennya Pak Riga yang sekarang ditempati Bu Handini, anak-anak dan Dewi."
"Mau ngapain?"

"Aku sudah berjanji pada Bu Handini dan Pak Riga untuk membantu mengurusi pernikahan mereka."
"Tidak perlu Ameera, pernikahan mereka sudah diurusi WO terbaik, jadi kamu tidak usah repot-repot."

"Setidaknya ijinkan aku untuk ikut andil mewujudkan kebahagiaan orang yang aku cintai."

"Tidak usah menyakiti diri sendiri dengan pura-pura kuat, pura-pura ikhlas, tidak kah cukup luka di hatimu dengan menghilang dari orang yang kamu cintai dan membiarkannya menikahi orang lain untuk melupakanmu?"

"Sudah cukup selama ini Pak Riga singgah di hatiku, sekarang sudah saatnya bagi dia untuk melangkah menuju masa depan, mewujudkan cinta pertamanya dalam pernikahan."
"Bahagia itu melihat orang yang kita cintai bahagia meski tanpa kehadiran kita disampingnya? Itu kata-kata mutiara kuno Ameera. Aku sudah pernah merasakan apa yang sedang kamu rasakan saat ini dan itu menyakitkan. Aku menghindari Mas Arjuna dan menolak cintanya padahal aku mencintainya, aku mengambil keputusan untuk menikah dengan Kang Farhan, dulu aku merasa itu adalah tindakan yang tepat, tapi ternyata aku salah. Sekarang setelah Kang Farhan meninggal karena serangan jantung waktu ada perempuan ODGJ yang mengaku hamil anaknya kang Farhan di saat kami sedang melangsungkan aqad nikah, aku sadar Ameera, yang aku cintai bukan Kang Farhan tapi Mas Arjuna, jadi sekarang aku akan sabar menunggu Mas Arjuna siuman agar dia tahu aku juga mempunyai rasa yang sama dengan yang Mas Arjuna rasakan."

"Aku bukan kamu Rania."
"Iya, kita beda, aku berani mempertahankan Mas Arjuna untuk masa depan sedangkan kamu berani melepaskan Pak Riga untuk masa depan."

"Aku hanya berusaha bersikap adil untuk Bu Handini dan Pak Riga. Selama ini Bu Handini sudah cukup menderita, apa dia tidak berhak bahagia?"

"Tentu saja Bu Handini berhak bahagia tapi kamu juga berhak bahagia kan?"
"Sudahlah Rania, sekarang antar aku ke kantor polisi untuk membuat laporan dan setelah itu antar aku untuk menemui Bu Handini."

"Aku mau mengantarmu ke kantor polisi tapi tidak untuk menemui Bu Handini. Aku harus segera ke Rumah Sakit, kondisi Mas Arjuna sudah membaik, aku ingin akulah orang yang pertama di lihat Mas Arjuna setelah dia koma berbulan-bulan. Oh ya, aku sudah mengembalikan cincin hadiah pernikahan dari Mas Fauzan dan aku juga sudah mengingatkan dia untuk tidak memakai cincin emas karena hukumnya haram."

_____________________________________________

Ameera menata hati sebelum jarinya yang lentik mengetuk daun pintu sebuah apartemen, diucapkannya salam dengan rasa tak menentu. Daun pintu terkuak, Handini berdiri dihadapan Ameera.
"Masyaa Allah, dokter Ameera."

Handini memeluk Ameera erat, Ameera membalas pelukan Handini tidak kalah erat.
"Apa kabar Bu, senang sekali akhirnya bisa bertemu ibu lagi disini."
"Alhamdulillah baik dok, ayo silahkan masuk, sini duduk."
"Arkania kemana Bu?"
"Arkania sedang diajak Dewi ke taman, Maura baru saja tidur."

Ameera mengedarkan pandangan matanya ke setiap penjuru ruangan, ada foto Riga tergantung di dinding, Riga sedang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya, benar-benar mirip Choi Siwon dengan mata sedikit lebih besar.
"Bagaimana persiapan pernikahannya Bu? Semua sudah oke?"

"Alhamdulillah Riga sudah mengurus semuanya dengan baik, tapi masih ada satu yang kurang, tadi tim WO kesini untuk fitting gaun pengantin tapi semua tidak ada yang pas."
"Kebetulan sekali Bu, ini aku bawa gaun pengantin sepertinya cocok dan pas di badan ibu, mau di coba?"

Ameera menyerahkan papper bag besar yang dibawanya.
"Wah cantik sekali gaunnya, apa ini gaun pernikahan dr. Ameera?"
"Iya Bu, beberapa waktu yang lalu saya sempat melamar seseorang dan mengajaknya menikah, tapi belakangan saya sadar kalau pernikahan tanpa didasari cinta mungkin akan sangat beresiko kegagalan."

"Apa laki-laki itu tidak mencintai dr. Ameera? Kok bisa? dr. Ameera kan cantik dan pintar, apa ada laki-laki yang berani menolak cinta dr. Ameera?"
"Laki-laki yang saya cintai mencintai orang lain Bu dan dia akan menikah dalam waktu dekat."
"Sabar ya, insyaa Allah dr. Ameera akan mendapat pengganti yang jauh lebih baik."
"Aamiin."

Ameera tersenyum perih.
"Saya coba ya gaunnya, sebentar, tunggu disini ya."
Handini berlalu menuju kamar dengan wajah sumringah.
Sekali lagi Ameera menatap foto Riga yang sedang tersenyum.

"Ijinkan aku tetap mencintaimu sebentar saja, setelah ini aku janji akan mengubur semua rasa ini. Maafkan aku jika masih merasa bahagia saat melihatmu tersenyum, maafkan aku yang masih sering merindukanmu."
"Pas banget, lihat deh bagus kan?"
Handini berseru, segera Ameera mengelap matanya dengan ujung kerudung lalu berbalik menghadap Handini.

"Masyaa Allah, Pak Riga memang tidak salah memilih Ibu Handini dan tetap setia berjuang untuk Bu Handini, Bu Handini cantik sekali."

Ameera mengamati Handini dari ujung kepala sampai ujung kaki. Handini terlihat cantik memakai gaun pengantin yang sedianya akan dipakai Ameera di pernikahannya dengan Riga.
"Handini memang lebih pantas dan lebih berhak mengenakan gaun itu, bukan aku."
Bisik hati Ameera.

"Dua hari lagi ibu Handini akan resmi menjadi istrinya Pak Riga, ibu harus tetap sehat ya, jangan lupa rutin minum ARV nya, ini saya sudah bawakan untuk satu bulan dan ini, jangan lupa Pak Riga harus memakai ini di malam pertama kalian."

Ameera menyodorkan beberapa lembar ARV dan beberapa dus kondom.
Handini terkekeh, melihat apa yang dibawa Ameera.
"Tenang dr. Ameera aku sudah tahu dan mempersiapkan banyak hal, jangan khawatirkan bos mu, dia akan aman bersamaku."

"Save sex ya Bu, jaga Pak Riga."

____________________________________________

"Dr. Ameera bisa ke hotel sekarang? Aku perlu bantuan."
Pesan via WA dari Handini, Ameera baru saja selesei sholat subuh. Ada doa yang panjang dalam sujudnya, mata Ameera yang sembab cukup sebagai bukti bahwa gadis cantik itu menghabiskan malamnya dengan menangis.

Tanpa pikir panjang Ameera langsung melipat mukena dan pamit pada ibu untuk menemui Handini.

________________________________________________

Ameera menuju kamar hotel tempat Handini berada.
"Dr. Ameera, aku tidak suka dengan riasan wajahku, terlalu menor, tabarruj jadinya."
Handini sedang membersihkan make up di wajahnya saat Ameera datang. Ada seorang MUA dan beberapa asistennya yang berdiri tak jauh dari Handini dengan muka masam, mungkin tidak suka dengan sikap Handini yang membersihkan kembali hasil make up nya.

"Sini biar aku saja yang rias, ibuku juga seorang perias pengantin, jadi aku juga bisa merias."
Dengan lembut Ameera mulai merias wajah Handini.

"Alisnya tidak boleh di cukur untuk dirapihkan, haram Bu. Ibu juga tidak usah memakai bulu mata palsu ya, haram juga hukumnya karena sama dengan menyambung rambut. Bu Handini sudah cantik, dengan riasan sederhana saja sudah cukup, Pak Riga pasti akan semakin jatuh cinta pada Bu Handini."

Gemetar tangan Ameera menyapukan kuas pada wajah Handini, dipolesnya bibir Handini dengan lipstik warna peach.
"Dr. Ameera menangis?"

Selidik Handini saat melihat Ameera yang sedang merias Handini matanya berkaca kaca.
"Bukan Bu, sepertinya ada bulu kuas yang terbang ke mata."
Ameera menggigit bibir, hatinya perih. Memoleskan make up di wajah Handini serasa sedang mengiris hatinya dengan sembilu, sakit.

"Pakai head pieces saja ya Bu hiasan di kerudungnya jangan pakai flower crown, flower crown itu biasa dipakai pada acara-acara keagamaan untuk mengormati dewa dan dewi pada masa Yunani kuno jadi kalau kita memakai flower crown termasuk tasabbuh bil kuffar."

Pada masa Yunani kuno flower crown ini biasa dipakai pada acara-acara keagamaan untuk menghormati para dewa dan dewi.

Pada abad pertengahan di Eropa flower crown ini juga sering digunakan untuk menghiasi patung dewa dewi dan sering digunakan dalam upacara keagamaan.
Dan sekarang di Indonesia flower crown ini sering digunakan oleh para perempuan untuk berbagai acara.

Ameera menyematkan head pieces di kerudung bagian kepala kanan Handini, bertepatan dengan ketukan di pintu.
"Masuk saja sudah selesei kok."

Teriak Handini, Ameera menyematkan jarum pentul terakhir untuk menguatkan posisi kerudung Handini.
"Handini, tepat jam 8 acara akan dimulai, jangan terlambat turun ke ball room ya."

Ameera terpaku, kedua kaki dan tangannya terasa lemas, jarinya semakin bergetar, detak jantungnya bertalu, untung saja posisi Ameera membelakangi pintu.
"Oke. Riga aku nervous."
Ucap Handini manja.

"Berdoa saja. Gaun kamu bagus Handini, seperti gaun Am...."
Riga tidak meneruskan kalimatnya.
"Aku tunggu di bawah."

___________________________________________

Beberapa menit lagi prosesi aqad nikah Riga dan Handini akan digelar. Riga sudah duduk di meja aqad bersama penghulu, wali hakim untuk Handini dan dua orang saksi.

Semua mata tertuju pada arah pintu masuk, ada Handini yang berjalan anggun dengan gaun pengantin dan buket bunga mawar putih di genggamannya. Disampinnya ada Ameera yang menjadi bridesmaid Handini, berjalan bersisian dengan Handini. Handini berjalan melangkah di karpet merah dengan bibir tersenyum, Ameera berusaha tersenyum juga, menetralisir semua rasa yang berkecamuk di hatinya.

Dari kejauhan sepasang mata milik Riga menatap lekat pada sosok yang berjalan di samping calon mempelai wanitanya, detak jantung Riga nyaris berhenti saat sosok itu semakin dekat dan wajahnya semakin jelas terlihat. Ameera...

Handini dan Ameera duduk di sisi kanan ballroom, bersama keluarga dan tamu perempuan.
Mata Riga masih lekat mengikuti sosok Ameera dan pada saat yang bersamaan Ameera melihat ke arah Riga. Keduanya saling bersitatap, tak berkedip, seolah sedang saling melepas kerinduan dengan sorot matanya masing-masing. Saling berbicara dalam diam, merengkuh hati yang sama-sama terasa sakit.

Suara MC mengingatkan bahwa acara akan segera di mulai.
Penghulu memulai prosesi aqad nikah. Riga masih mencuri-curi pandang ke arah Ameera yang sedang menundukkan kepalanya.

Wali nikah Handini mengucapkan kalimat ijab, lalu giliran Riga mengucapkan kalimat kabul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Handini Kartika Sari binti Suwito dengan maskawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat seratus gram dibayar tunai."

-----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 30
Oleh: Khayzuran

"Saya terima nikah dan kawinnya Handini Kartika Sari binti Suwito dengan maskawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat seratus gram dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi, sah?"

"Tidakkk....kamu jahat Riga, aku sudah berkorban untuk kamu, aku sudah putuskan Satya, aku sudah menolong Ameera, tapi apa balasan kamu Riga, apa? Kamu mengkhianati aku dengan menikahi Handini, kurang bukti apa cinta aku sama kamu Riga."

Teriakan Rado membahana ke seluruh penjuru ballroom.
Rado mengeluarkan sebuah pistol dari balik jas yang dipakainya dan bersiap memuntahkan peluru yang ada di dalamnya ke arah Riga.

"Aku cinta kamu Riga, kamu tidak boleh menikah dengan siapapun, kamu lebih baik mati dari pada tidak menjadi milikku."

Rado menarik platuk pistolnya, Ameera meloncat dari kursi yang sedang di dudukinya, melesat menuju majelis aqad dan melindungi tubuh Riga dengan tubuhnya dan "Dorrr...."

Darah membuncah dari dada kiri Ameera setelah peluru Rado menembus dada kiri Ameera tepat mengenai jantungnya. Ameera ambruk seketika, darah segar mengalir membasahi lantai.
"Ameeraaa..... Bangun Ameera, jangan tinggalkan aku, tolong bangun Ameera, bertahanlah Ameera...."
"Dooorr...."

Rado memuntahkan peluru dari pistolnya lagi, kali ini tepat mengenai kepala Riga, Rigapun ambruk bersimbah Darah.

Teriakan histeris menggema, tangisan anak-anak nyaring terdengar, sangat mengerikan, suasana mencekam.
"Pak Riga....jangan mati...jangan mati, Pak Rigaa...."

"Ameera...Bangun Ameera, istighfar Nak."
Ibu mengguncang-guncang tubuh Ameera.

Ameera bangun dengan keringat membasahi tubuhnya dan nafas terengah-engah.
"Kamu mimpi buruk Nak? Kamu demam tinggi."
Ibu mengelus kepala Ameera, kondisi putri kesayangannya masih memprihatinkan.
"Sudah beberapa hari ini kamu hanya mengurung diri, kamu tidak makan, ayolah Ameera, jangan menyiksa diri seperti ini."
"Aku tidak apa-apa Bu."

___________________________________________

Ameera semakin merasa tidak enak dengan perutnya, demamnya kian tinggi, mencapai 42°C, disertai mual dan muntah, mulutnya terasa pahit.

Ibu tidak ada, sedang ada arisan di rumah Tante Mia, ibunya Rado.
Ameera memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur, meski kepalanya terasa sangat pusing, ia merapihkan diri dan meraih kunci mobil.

Ameera tahu kondisinya makin memburuk, sepertinya dia kena penyakit tifes. Demam yang tinggi dan keringat yang berlebihan di tambah lagi dengan kurang minum membuat Ameera dehidrasi.
Ameera mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit, dia memerlukan beberapa botol cairan infus untuk rehidrasi cairan di tubuhnya.

__________________________________________

"Code blue...Code blue....Code blue di lobi utama dekat meja resepsionis."
Terdengar pengumuman lewat pengeras suara yang memberitahukan bahwa ada orang yang tidak sadarkan diri di area lobi utama Rumah Sakit dekat meja resepsionis.
Ponsel dr. Chandra berdering.

"Sebentar ya Pak Riga saya angkat telepon dulu."
Dr. Chandra memohon ijin pada Riga yang sedang berdiskusi dengannya.
"Baik, oke saya segera kesana."

Terdengar dr. Chandra berbicara dengan orang yang meneleponnya.
"Ameera pingsan di lobi utama."
"Ameera??"

Riga memastika kalau telinganya tidak salah dengar.
"Iya dr. Ameera pingsan di lobi utama, sekarang sedang ditangani di IGD, maaf Pak Riga saya harus segera kesana."

"Ameera? dr. Ameera? Bukannya Ameera sudah...?"
Tidak menunggu Riga menyelesaikan kalimatnya, dr. Chandra langsung memotong.

"Waktu Pak Riga meminta Rumah Sakit untuk mengirimkan karangan bunga duka cita ke rumah Ameera, saya sebenarnya heran, tapi waktu itu saya sedang meeting jadi lupa mau bertanya pada Pak Riga. Saya sampai memastikan langsung ke pihak kepolisian yang menangani kasus kebakaran panti, apakah benar ada korban yang bernama Ameera yang sudah terdeteksi melalui tes DNA? Memang benar ada korban meninggal karena kebakaran itu yang bernama Ameera, tapi usianya baru delapan tahun dan dia salah satu penghuni panti, bukan dr. Ameera."

__________________________________________

Riga tak berkedip memperhatikan Ameera, gadis itu tampak lemah dengan selang oksigen di lubang hidung dan jarum infus di tangan kirinya. Ada cairan infus yang tergantung di sisi kirinya.
Ingin sekali Riga menemui Ameera secara langsung, kalau boleh ingin memeluknya dengan erat dan tak ingin melepaskannya lagi. Riga sangat bersyukur Ameera selamat dari kebakaran itu, rasanya seperti potongan hati Riga kembali utuh. Namun apa daya, Riga hanya bisa memandang Ameera dari layar tv setelah meminta salah satu stafnya untuk mengarahkan cctv ke arah Ameera yang sedang terbaring lemah di salah satu tempat tidur di IGD.

Satu bagian hati Riga ingin menemui Ameera, mengatakan semua apa yang tersimpan di hatinya, namun sisi hati Riga yang lain mengingatkannya kalau lusa Riga akan menikah dengan Handini.

_____________________________________________

Petpong, Thailand dini hari.
"Brakkk...."
Seseorang menendang Fahri keluar dari kamar, darah segar menetes dari ujung bibirnya, hasil tamparan keras orang yang tadi menendang Fahri dengan kasar.

Fahri tersungkur di sudut jalan kota Petpong yang masih hingar bingar meski malam hampir menjelang pagi. Tak tahu lagi harus pergi ke mana, bahkan kini kondisinya sudah sangat mengenaskan. Selama ini Fahri bisa bertahan hidup dengan menjajakan diri pada laki-laki pelangi penyuka sesama jenis yang sengaja datang ke kota Petpong untuk berwisata memuaskan nafsu liarnya. Namun kini setelah penyakit sarkoma kaposi yang mulai menjangkiti Fahri semakin banyak minimbulkan bintik-bintik merah keunguan pada beberapa permukaan kulit di tubuhnya membuat para pelanggan Fahri enggan untuk menggunakan jasanya. Sarkoma Kaposi adalah salah satu jenis kanker langka yang muncul akibat infeksi virus human herpesvirus 8 (HHV8). Virus ini menyerang sel-sel yang melapisi saluran dan kelenjar getah bening serta atau pembuluh darah.

Diantara laki-laki penyuka sesama jenis mereka banyak yang hafal berbagai penyakit yang muncul sebagai penyakit oportunistik yang biasa diderita mereka yang sudah terkena AIDS sebagai antisipasi bagi mereka agar menghindari berhubungan seks dengan pasangannya yang sudah jelas-jelas menderita AIDS. Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), resiko penularan HIV Aids tertinggi terjadi pada anus, vagina, dan mulut (seks oral), sehingga kaum homoseksual memiliki resiko tertinggi tertular penyakit mematikan ini karena mereka biasanya melakukan dua resiko sekaligus, sex via anus dan oral seks.

Seks via anus adalah perbuatan terlaknat, oral seks juga perbuatan terlarang. Allah sudah berfirman dalam Al Qur'an, "Maka setubuhilah mereka di tempat yang Allah perintahkan kepadamu.” (QS. Al-Baqoroh: 222). Tempat yang Allah perintahkan adalah farji dan bukan mulut.
Beberapa ulama yang berpendapat bahwa oral seks terlarang diantaranya Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan Syaikh Masyhur Al-Salma.

-----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 31

Riga mematikan tv di ruangannya lalu berjalan tergesa menuju IGD.
"Dr. Ameera di observasi dimana?"
Tanya Riga pada seorang dokter jaga IGD yang memberi hormat padanya.
"Baru saja di pindahkan ke ruang VVIP Pak."
"Apa diagnosa penyakitnya."

"Typhoid Pak, dari hasil cek lab, titer O dr. Ameera meningkat sampai 360."
"Kondisinya stabil kan?"
"Stabil Pak, hanya perlu bedrest beberapa hari."
"Oke, terimakasih."

Riga berlari kecil menuju ruang VVIP.
Seorang perawat jaga menyambutnya di pintu masuk.
"Dr. Ameera di rawat di kamar berapa?"
"302 Pak, mari saya antar."
"Tidak usah, terimakasih."
Riga berdiri di depan kamar 302, agak lama, lalu menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengetuk pintu.

Hening, tidak terdengar suara apapun dari dalam kamar.
Pintu di ketuk lagi disetartai ucapan salam, masih hening, tidak ada jawaban apapun dari dalam.
Riga memberanikan diri untuk membuka pintu perlahan, pintu tidak di kunci.
Tampak Ameera sedang tidur berbalut selimut, wajahnya pucat, bibirnya terlihat kering. Riga sedikit mendekat hingga wajah Ameera yang pucat semakin jelas terlihat.

"Alhamdulillah kamu masih hidup."
Tangan Riga hampir membelai kepala Ameera namun seketika ditarik lagi, Ameera pasti tidak suka diperlakukan kurang ajar seperti itu. Ameera sosok perempuan yang menjaga diri dari laki-laki, pergaulannya dengan laki-laki sangat dibatasi.

Tatapan Riga masih lekat pada wajah Ameera, perempuan yang sangat dirindukannya. Ameera begitu dekat namun tetap tidak terjangkau, Ameera kian menjaga jarak dari Riga.

"Ameera, lusa aku akan menikah dengan Handini, seperti maumu, doakan kami bahagia, akupun tak akan berhenti berdoa untuk kebahagiaanmu. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, jangan membuatku khawatir. Tetaplah tersenyum saat bertemu denganku dimanapun, karena aku bahagia saat melihat kamu bahagia dan tersenyum. Menikahlah dengan laki-laki baik yang bisa membahagiakanmu, tapi ijinkan aku tetap mencintaimu dalam diamku. Mungkin ini tidak adil bagi Handini, tapi percayalah aku tidak akan pernah menyakiti Handini, aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Handini dan ayah yang baik untuk anak-anak. Selamat tinggal Ameera, maafkan aku karena mencintaimu tapi menikah dengan Handini."

Sudut mata Riga menghangat, ada butiran bening yang siap berloncatan namun segera dihapus dengan punggung tangannya.

Mata Riga masih menatap Ameera yang tertidur pulas.
"Jaga diri baik-baik Ameera, setelah ini aku pasti akan sangat merindukaanmu."

Riga berjalan mundur, matanya masih belum lepas dari Ameera yang seperti bayi tertidur lelap, terlihat sangat tenang, Riga berjalan mundur perlahan hingga punggungnya menyentuh pintu keluar.
Riga berbalik, membuka pintu dan keluar dari kamar Ameera dengan hati tersayat.

Perlahan Ameera membuka mata.
"Selamat berbahagia Pak Riga, akupun pasti akan sangat merindukan Pak Riga."
Ameera menarik selimut dan menenggelamkan kepalanya, air matanya meleleh di balik selimut.....

_____________________________________________

Hari bahagia Handini dan Riga tiba, Handini sudah tampil cantik dengan gaun yang beberapa hari yang lalu diberikan Ameera, demikian juga dengan Riga, sudah tampak gagah dengan tuxedo hitam yang dikenakannya.

"Kamu yakin Nak?"
Perempuan paruh baya itu merengkuh bahu Riga, ada sorot kecemasan dalam matanya.
"Insyaa Allah Riga yakin Mih, mamih sama palih tidak usah khawatir, doakan saja agar pernikahan kami Allah berkahi."

Mamih mengangguk lemah, lalu keluar dari kamar tempat Riga berdandan di ikuti papih. Mata mamih berkaca-kaca, pernikahan ini seperti mempertaruhkan masa depan anak semata wayangnya dan masa depan keluarganya, bersiap untuk terhenti di Riga saja, tanpa generasi penerus.
Riga tahu betul kecemasan yang dirasakan kedua orang tuanya. Riga anak tunggal, hanya dari Rigalah orang tuanya berharap punya keturunan yang mewarisi keluarganya.
"Sudah selesei Ga?"

Handini dengan gaun broken whitenya menyembul dari balik pintu, memastikan kalau calon suaminya sudah siap untuk ijab qabul beberapa menit lagi.
"Gaun kamu bagus Handini, membuat kamu semakin terlihat cantik."
Riga hafal sekali siapa pemilik gaun pengantin itu.

"Ini gaun pengantinnya dr. Ameera, beberapa hari yang lalu dia ke apartemen mewarkan aku untuk memakai gaun ini. Katanya ini gaun pengantinnya yang tidak jadi di pakai karena dr. Ameera tidak jadi menikah. Ga, apa di Rumah Sakitmu tidak ada dokter yang masih muda atau karyawan di bagian lain yang bisa kamu jodohkan dengan dr. Ameera? Kasihan banget lho dia, dia tidak jadi menikah karena laki-laki yang dilamarnya tidak mencintainya malah akan menikah dengan orang lain. Padahal kurang apa coba dr. Ameera itu, cantik, pintar, baik, perhatian dan religius banget."
Riga menelan ludah, lalu tersenyum kecut.

"Bersiaplah, sebentar lagi acara akan dimulai."
Riga berbalik, hendak keluar, namun suara Handini membuat langkahnya terhenti.
"Ga, aku boleh minta satu hal?"

"Untuk kamu apapun akan aku penuhi selama aku mampu."
"Aku pernah merasakan sakitnya di khianati, aku sudah tau bagaimana rasanya di duakan. Bolehkah aku minta sama kamu untuk menjadikanku satu-satunya istrimu? Aku tidak mau berbagi, ilmuku tentang poligami masih sedikit, aku khawatir jika itu terjadi justru akan membuat penyakit di hatiku, aku tidak mau berdosa Ga. Aku tau poligami itu mubah, aku setuju dengan itu."
Riga tersenyum.

"Jangan khawatir Handini, sebentar lagi kamu akan sah menjadi istriku, bantu aku untuk menjadi suami yang baik untukmu, aku tidak bisa berjanji untuk selalu setia tapi aku akan berusaha untuk tetap menjadikanmu satu-satunya istriku hingga maut memisahkan kita, aku menyayangimu dan anak-anak, kita sudah bersahabat sangat lama, aku ingin kita tetap bersama."
Mata Handini berkaca-kaca mendengar ketulusan cinta Riga untuknya.

"Terimakasih sudah menyayangi dan menerimaku apa adanya, semoga aku bisa jadi istri yang baik untukmu."
"Aamiin."

Riga kembali tersenyum pada Handini sebelum pamit keluar untuk menuju tempat berlangsungnya acara aqad dan resepsi pernikahan.

"Astaghfirullahal'adzim...."
Riga bertabrakan dengan seseorang saat membuka pintu dan ternyata ada orang yang hendak masuk juga.
Seketika muka keduanya pucat, jarak mereka teramat dekat, bahkan mereka bisa saling mendengar suara nafas masing-masing, bisa saling mencium aroma tubuh masing-masing. Tak saling berbicara, hanya saling terpana, mereka seperti sedang berbicara dengan bahasa sorot mata tentang kerinduan dan juga tentang keikhlasan untuk saling melepaskan.

"Eh dr. Ameera sudah datang, ayo sini masuk dok, head piece dan buket bunganya dibawa?"
"Iya ini ada Bu, maaf Pak Riga boleh saya masuk?"
Riga masih berdiri di pintu masuk sehingga Ameera terhalang untuk masuk.

Riga menggeser tubuhnya dan membiarkan Ameera menemui Handini, bahu mereka bersentuhan karena Riga hanya bergeser sedikit.

"Ga, tolong pegangin dulu buket bunganya, aku pengen ke toilet dulu sebentar. Dr. Ameera sebentar ya."
Handini berlalu meninggalkan dua mahluk yang masih juga saling membisu.
"Ini buket bunga mawarnya Pak, tolong peganingin dulu, jangan disimpan di atas meja nanti bunganya rusak."

Ameera menyerahkan buket bunga itu pada Riga tanpa melihat ke arah Riga, tangannya bergetar, lututnya terasa lemas, hatinya pilu karena merindu namun tidak bertuan.
"Bukannya kamu masih harus bedrest di rumah sakit? Kenapa ada disini?"

"Tidak bolehkah aku menjadi saksi momen yang membahagiakan orang yang aku cintai?"
Jawab Ameera dalam hati.

"Aku sudah membaik, Alhamdulillah."
Ameera menjawab pelan.

Hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Ameera mengangkat wajahnya lalu melirik ke arah Riga yang ternyata sedang memandang ke arahnya.

"Terimakasih selama ini sudah sangat baik pada Handini dan anak-anak."
"Terimaksih juga Pak Riga selama ini tidak marah padaku karena aku sempat berusaha memisahkan Pak Riga dengan ibu Handini, maaf aku sempat memaksa Pak Riga untuk jatuh cinta padaku. Tapi Alhamdulillah akhirnya aku segera menyadari bahwa yang aku lakukan itu salah sebelum Pak Riga jatuh cinta padaku. Cinta itu memang tidak bisa di paksakan, bisa hadir tanpa kita minta dan rencanakan juga bisa hilang tanpa alasan."

"Ameera, aku....."
"Dr. Ameera, boleh sekalian minta pasangkan head piecenya? MUA sudah pada keluar semua."
Kedatangan Handini memotong kalimat Riga.

"Boleh Bu, mudah kok pasangnya cuma pakai jarum pentul saja."
"Ga, siniin buket bunganya, kamu keluar aja sana, tunggu aku dibawah ya."
"Oke."
"Ga, inget ya yang tadi kita bicarakan, cariin jodoh buat dr. Ameera."
Mata Handini mengerling pada Ameera lalu tersenyum manis. Riga tidak menjawab, hanya tersenyum hambar.

_____________________________________________

"Saya terima nikah dan kawinnya Handini Kartika Sari binti Suwito dengan maskawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas sebarat 21,11 gram dibayar tunai."
Lantang suara Riga mengucapkan qabul atas ijab yang diucapkan wali nikah Handini.
"Bagaimana para saksi, sah?
"Sah."
"Sah."

"Alhamdulillah, Barakllahuma wabaraka 'alaika wajamaa bainakuma fi khair."
Sudut mata Riga melirik ke arah Ameera yang duduk sambil menunduk di belakang Handini, ada Rania disebalahnya sedang menggenggam tangan Ameera erat.

Rania kian mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Ameera yang sedingin es.
"Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa."

Bisik Rania di telinga Ameera. Ameera mengangguk, ia menggigit bibir agar tangisnya tidak pecah.
"Ayo kita kembali lagi ke Rumah Sakit, kamu belum pulih, masih harus bedrest, tadi kan janjinya setelah menyaksikan aqad Pak Riga dan Bu Handini kamu akan segera masuk rawat inap lagi."
"Aku ingin pulang, istirahat di rumah saja."

___________________________________________

Sepulang Rania mengantarkannya ke rumah, Ameera langsung mengunci diri di kamar, tangisnya terdengar menyayat hati.

"Allah, maafkan aku telah mencintai mahlukmu sebesar ini, tolong hilangkan semua rasa cinta dan sayang di hatiku untuknya. Aku masih punya cinta-Mu yang besar, aku masih punya kasih sayang-Mu yang luas, jangan biarkan cintaku pada mahluk-Mu membuatku berpaling dari cinta-Mu, ampuni aku ya Allah...."

___________________________________________

Hari pertama bekerja bagi Ameera setelah cuti sakit dan dilanjut dengan cuti tahunan. Ameera rindu pekerjaannya tapi tidak kantornya. Saat kakinya melangkah memasuki gedung Rumah Sakit serasa ada yang menekan ulu hatinya, sakit dan terasa sesak.

Hari ini dr. Chandra mengisi talk show tentang HIV/AIDS di balai kota jadi meminta Ameera untuk menggantikan tugasnya di Rumah Sakit.

Ameera duduk di kursi kebesaran dr. Chandra, ruangan yang asing baginya karena selama ini Ameera punya ruangan sendiri.

"Mau visite dulu atau mau konseling dulu dok?"
Tawar perawat yang hari ini menjadi asistennya.
"Konseling aja dulu, saya belum bisa visite hari ini, badan saya masih kurang fit, sepertinya nanti dr. Chandra yang akan visite sepulang ngisi talk show."
"Baik dok, bisa kita mulai?"

"Boleh, sudah ada pasiennya?"
"Ada dok, sebentar saya telepon dulu."
Terlihat suster itu sibuk menelepon dan tidak lama kemudian terdengar ketukan di pintu.
"Silahkan masuk Pak, Bu, hari ini dr. Chandra sedang dinas luar jadi digantikan oleh dr. Ameera, silahkan duduk."

Ameera mengangkat wajah, lalu tersenyum manis pada dua orang pasien pertamanya.
"Wahh pengantin baru, senang sekali bisa bertemu Bu Handini dan Pak Riga disini, apa kabar Bu, Pak?"

Ameera bangkit dari kursinya lalu memeluk Handini erat.
"Alhamdulillah kami baik, dr. Ameera apa kabar?"
"Alhamdulillah sehat, mari silahkan duduk, Bu, Pak."
Ameera mempersilahkan Riga dan Handini duduk.
"Suster, bisa tinggalkan kami dulu? Kalau ada perlu nanti saya panggil lagi."
"Baik dok."

Suster itupun keluar dari ruangan kerja Ameera.
"Ada yang bisa saya bantu? Kalian tampak berbahagia sekali, aura pengantinnya masih sangat jelas terlihat."
Dengan mata berbinar Ameera melihat pada Handini, senyumnya tidak lepas terukir dari bibir tipisnya.

Ameera meremas jarinya di bawah meja, ingin sekali dia melirik ke arah Riga, namun sekuat tenaga ia tahan. Ameera tidak mau melihat sorot mata Riga juga raut muka Riga, Ameera tidak siap melihat Riga yang tersenyum bahagia di samping Handini.
"Kita hanya ingin konsultasi saja sih, boleh kan?"

"Boleh dong, oh ya bagaimana malam pertama kalian? Insyaa Allah aman ya."
Ameera menggoda Handini yang tersipu.
"Aku dan Riga ingin program hamil, apa yang harus kami lakukan untuk menghindari resiko?"
"Kenapa tidak bulan madu saja dulu, baru program hamil."
"Bagaimana sayang? Apa kita jadikan saja rencana bulan madu kita ke New Delhi?"
Handini menyentuh tangan Riga lembut. Ameera melirik tangan Riga yang diremas Handini. Hanya melihat tangan Riga saja sudah membuat jantung Ameera berdetak kencang.
Sayang?

"Aku terserah kamu saja sayang, kalau kamu mau kita bulan madu dulu, ya bulan madu aja dulu, setelah itu kita baru program hamil, bagaimana?"

Suara Riga, suara yang masih saja menggetarkan sebagian relung hati Ameera meski Ameera sudah berusaha keras melupakan semua tentang Riga. Jatuh cinta itu bisa terjadi dalam hitungan detik, tapi menghapus rasa cinta seumur hidup pun belum tentu bisa meski sudah berusaha.
"Kalau boleh saya sarankan, sebaiknya jangan jauh-jauh dulu bulan madunya, kemarin kan Bu Handini baru saja menikah pasti masih lelah, jadi sebaiknya jangan melakukan aktivitas yang membuat lelah lagi untuk menjaga kondisi tetap fit."

"Aku setuju dengan dr. Ameera."
Suara Riga lagi, Riga memandang Ameera yang sejak bertemu tidak sekalipun melihat kearahnya.
Senyum Ameera begitu manis dan renyah, tidak sedikitpun terlihat ada tanda-tanda luka di senyum dan ekspresi wajahnya. Binar mata Ameera yang ceria semakin menambah keyakinan Riga kalau Ameera memang ikut bahagia dengan pernikahannya bersama Handini. Ameera baik-baik saja, Ameera tidak terluka karena Ameera memang tidak pernah ada sedikitpun rasa cinta untuknya. Karena, tidak mungkin ada orang yang tidak terluka saat orang yang dicintainya menikah dengan orang lain.

"Selama kalian bulan madu bagaimana dengan anak-anak? Apakah bersama Dewi?"
Tanya Ameera pada Handini yang tangannya masih berpegangan erat dengan Riga di atas meja kerja Ameera.

"Dewi sedang bersiap untuk melanjutkan kuliah dan akan fokus mengurus ibunya yang belum pulih. Riga sudah menyediakan babby sitter untuk Arkania, rencananya kita akan membawa serta Maura."
"Kondisi Maura masih dalam proses pemulihan Bu, Maura juga masih harus melakukan serangkaian pemeriksaan agar pengobatan untuk Maura tepat. Bagaima kalau selama ibu Handini dan Pak Riga bulan madu Maura dititipkan ke saya saja."

Tawar Ameera tulus.
"Memangnya Maura sakit apa? Kok masih harus di cek dan di obati?"
Ameera menarik nafas panjang, lupa kalau Handini belum tahu kondisi Maura yang sebenarnya. Tapi Handini harus tau agar bisa support perawatan dan pengobatan Maura.

"Mohon maaf Bu, saya belum sempat menjelaskan pada ibu kalau Maura juga sudah terinfeksi HIV."
"Ya Allah....."
Handini menangis, menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Riga. Handini dan Riga berpelukan di hadapan Ameera, hanya berjarak tidak lebih dari satu meter, hanya terhalang meja kerja.
"Bu Handini jangan khawatir saya akan bantu proses pengobatan Maura, saya akan dampingi ibu dan Maura."

"Apakah Maura tertular dari saya?"
Handini masih terisak.
"Sebagian besar anak terinfeksi HIV melalui infeksi vertikal yaitu 5-10 persen melalui ibu pada saat kehamilan, 10-20 persen pada saat proses kelahiran dan sekitar 5-20 persen melalui air susu ibu. Dan sebagian kecil anak, kurang dari 10 persen, dapat tertular melalui jarum yang terkontaminasi, transfusi darah, atau kekerasan seksual dari dewasa yang terinfeksi HIV."

Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 3 persen dari penderita HIV/AIDS di Indonesia adalah anak-anak berusia di bawah 14 tahun.

"Apa yang harus kami lakukan untuk Maura? Kami ingin Maura sehat seperti anak-anak yang lain."
"Pemberian obat anti retroviral seperti yang selama ini ibu Handini konsumsi dapat menurunkan jumlah virus di dalam darah dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga akhirnya anak jarang menderita sakit dan diharapkan dapat tetap tumbuh dan berkembang sesuai anak sebayanya. Pemberian ARV telah terbukti dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan anak yang terinfeksi HIV. ARV ini harus diberikan seumur hidup untuk tetap menjaga virus tidak terdeteksi di dalam darah. Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak dengan infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh pneumonia berat. Jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah menunjukkan gejala."

Tambahan imunisasi campak harus diberikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa memandang ada gejala atau tidak) pada umur 6 bulan, selain yang dianjurkan pada umur 9 bulan.
infeksi oportunistis yang sering diderita anak terinfeksi HIV adalah TBC, infeksi jamur terutama di saluran pencernaan, diare yang lama yang biasanya disebabkan oleh berbagai infeksi bakteri, pneumonia (radang paru ) berat, infeksi telinga kronik, ataupun sepsis (infeksi berat). Akibat dari infeksi yang berulang, timbullah masalah nutrisi, anak dapat menderita gizi kurang atau gizi buruk, bahkan, perkembangan anak dapat terganggu.

"Ada aku Handini, aku akan tetap ada untukmu dan Maura. Kita berjuang bersama-sama, ada dr. Ameera, dr. Chandra dan dr. Hanga juga yang akan membantu kita."

Handini kembali menangis di pelukan Riga, Ameera memalingkan arah pandangannya ke jendela. Hatinya sedang berusaha berdamai, tak ingin terkotori oleh penyakit hati yang bisa merusak amalnya.
"Maaf dok, ada yang ingin bertemu dr. Ameera, katanya penting."

Perawat asisten Ameera masuk ke ruang kerja Ameera.
"Suruh tunggu saja dulu, saya masih belum selesei dengan Pak Riga dan Bu Handini."
"Saya sudah bilang seperti itu dok tapi dia tetap maksa ingin menemui dr. Ameera sekarang."

"Aku boleh masuk kan?"

Rado nyelonong masuk ke ruang kerja Ameera, ditangannya ada sebuket bunga lili putih.
"Hai....ada pengantin baru, congratulation ya. Sorry kemarin gak bisa datang lagi ada kerjaan di luar."
Rado mengulurkan tangan pada Riga dan Handini.

"Iya tidak apa-apa, doain saja ya."
Riga membalas jabatan tangan Rado.
"Doain aku dan Ameera juga biar segera bisa menyusul kalian, menikah."
Mata Rado mengerling pada Ameera seraya tersenyum menggoda.

"Selamat ya, aku bangga deh sama kamu, sukses terus ya."
Buket bunga lili diserahkan Rado pada Ameera. Ameera menerimanya dengan senyum bahagia.
"Thanks Mas Rado."

Ameera mencium buket bunga lili pemberian Rado.
"Aku kira cukup untuk hari ini, terimakasih banyak untuk penjelasannya dr. Ameera. Ayo sayang kita pulang, sepertinya dr. Ameera ada tamu penting."

Riga berdiri dan menggandeng tangan Handini mesra, lalu jemarinya menghapus sisa air mata di pipi Handini. Kali itu untuk pertama kalinya Ameera melihat wajah Riga setelah dari tadi berusaha menghindarinya, wajah rupawan dengan pesona yang tak pernah pudar, wajah yang hingga kini masih dirindukan Ameera.

Kemesraan yang dipertontonkan Riga dan Handini dihadapan Ameera membuat Ameera harus berulangkali menggigit bibir. Ini cara Allah untuk mengingatkan Ameera bahwa mencintai manusia secara berlebihan itu bukan cinta yang akan di dapat, tapi rasa sakit. Allah Maha Pencemburu, Dia akan cemburu pada hamba-Nya yang lebih mencintai mahluk-Nya dari pada Allah.

Riga sosok yang tepat untuk menjadi pelindung dan pendamping Handini yang rapuh. Cintanya pada Handini sungguh besar membuat nyali Ameera menciut karena sudah jelas telah menjadi seorang pecundang yang bertepuk sebalah tangan. Tapi cinta adalah rasa, menghapusnya tidak semudah menghapus ingatan. Ameera tahu diri, dia tidak mungkin menjadi duri dalam rumah tangga Riga dan Handini.

"Baik, kalau ada yang perlu di konsultasikan, Bu Handini dan Pak Riga tidak usah segan untuk menghubungi saya, insyaa Allah saya akan selalu siap membantu."

Ucap Ameera tulus. Ameera sadar, kesempatannya untuk mendapatkan Riga sudah tertutup rapat, jadi langkah terbaik yang harus dilakukannya adalah berdamai dengan keadaan, menerima dengan lapang dada bahwa Riga hanya sebatas cinta dalam khayalannya yang harus segera ia singkirkan dari kehidupannya. Allah Maha Membolak balik hati, hari ini cinta bisa jadi besok tawar, hari ini luka siapa tau besok bahagia.

"Terimakasih banyak dr. Ameera, kami permisi dulu."

Handini dan Riga pamit pada Ameera dan Rado. Sudut mata Riga melirik ke arah Rado yang berdiri di samping Ameera, lalu pandangan mata Rado beralih pada Ameera yang sedang tersenyum pada Handini. Dari tadi Riga mengejar mata Ameera, namun sorot mata Ameera tak satu kalipun bisa Riga tangkap, mata itu selalu menghindar beradu pandang. Meski Ameera selalu tersenyum tapi Riga bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan senyum Ameera, senyum itu masih tampak manis tapi seperti menyimpan luka.

Riga dan Handini menghilang di balik pintu. Ameera menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Akting kamu bagus sekali Ameera."

Rado bertepuk tangan.
"Thanks sudah menjadi penyelamatku hari ini."

"Kalau mau menangis, menangislah jika itu bisa membuat lukamu sedikit mengering."
Ameera menutup muka dengan kedua telapak tangannya, bahunya berguncang naik turun, terdengar isak yang tertahan.

Rado membiarkan Ameera beberapa saat hingga gadis cantik itu mengambil beberapa tisu dan mengeringkan wajahnya yang basah dengan air mata.

Riga sungguh hebat, bisa membuat Ameera yang tegar, tegas, mandiri dan percaya diri menjadi sosok yang rapuh dan melankolis. Cinta seperti apa yang kalian punya sampai harus saling menyakiti seperti ini hanya demi kebahagiaan orang lain.

"Ada keperluan apa Mas Rado kesini?"
"Aku mendengar kabar baik dari ibumu, katanya kamu lulus PPDS penyakit dalam di UGM, selamat ya, semoga sukses dan lancar semuanya."
"Aamiin."

"Ameera, aku akan menikah dengan Satya di New York minggu depan."

____________________________________________

Belum tamat, masih ada satu part lagi.

-----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 31
Oleh:Khayzuran
Riga mematikan tv di ruangannya lalu berjalan tergesa menuju IGD.
"Dr. Ameera di observasi dimana?"

Tanya Riga pada seorang dokter jaga IGD yang memberi hormat padanya.
"Baru saja di pindahkan ke ruang VVIP Pak."
"Apa diagnosa penyakitnya."
"Typhoid Pak, dari hasil cek lab, titer O dr. Ameera meningkat sampai 320."
"Kondisinya stabil kan?"
"Stabil Pak, hanya perlu bedrest beberapa hari."
"Oke, terimakasih."
Riga berlari kecil menuju ruang VVIP.
Seorang perawat jaga menyambutnya di pintu masuk.
"Dr. Ameera di rawat di kamar berapa?"
"302 Pak, mari saya antar."
"Tidak usah, terimakasih."
Riga berdiri di depan kamar 302, agak lama, lalu menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengetuk pintu.
Hening, tidak terdengar suara apapun dari dalam kamar.
Pintu di ketuk lagi disetartai ucapan salam, masih hening, tidak ada jawaban apapun dari dalam.
Riga memberanikan diri untuk membuka pintu perlahan, pintu tidak di kunci.
Tampak Ameera sedang tidur berbalut selimut, wajahnya pucat, bibirnya terlihat kering. Riga sedikit mendekat hingga wajah Ameera yang pucat semakin jelas terlihat.
"Alhamdulillah kamu masih hidup."
Tangan Riga hampir membelai kepala Ameera namun seketika di tarik lagi, Ameera pasti tidak suka diperlakukan kurang ajar seperti itu. Ameera sosok perempuan yang menjaga diri dari laki-laki, pergaulannya dengan laki-laki sangat dibatasi.
Tatapan Riga masih lekat pada wajah Ameera, perempuan yang sangat dirindukannya. Ameera begitu dekat namun tetap tidak terjangkau, Ameera kian menjaga jarak dari Riga.
"Ameera, lusa aku akan menikah dengan Handini, seperti maumu, doakan kami bahagia, akupun tak akan berhenti berdoa untuk kebahagiaanmu. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, jangan membuatku khawatir. Tetaplah tersenyum saat bertemu denganku dimanapun, karena aku bahagia saat melihat kamu bahagia dan tersenyum. Menikahlah dengan laki-laki baik yang bisa membahagiakanmu, tapi ijinkan aku tetap mencintaimu dalam diamku. Mungkin ini tidak adil bagi Handini, tapi percayalah aku tidak akan pernah menyakiti Handini, aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Handini dan ayah yang baik untuk anak-anak. Selamat tinggal Ameera, maafkan aku karena mencintaimu tapi menikah dengan Handini."
Sudut mata Riga menghangat, ada butiran bening yang siap berloncatan namun segera dihapus dengan punggung tangannya.
Mata Riga masih menatap Ameera yang tertidur pulas.
"Jaga diri baik-baik Ameera, setelah ini aku pasti akan sangat merindukaanmu."
Riga berjalan mundur, matanya masih belum lepas dari Ameera yang seperti bayi tertidur lelap, terlihat sangat tenang, berjalan mundur perlahan hingga punggungnya menyentuh pintu keluar.
Riga berbalik, membuka pintu dan keluar dari kamar Ameera dengan hati tersayat.
Perlahan Ameera membuka mata.
"Selamat berbahagia Pak Riga, akupun pasti akan sangat merindukan Pak Riga."
Ameera menarik selimut dan menenggelamkan kepalanya, air matanya meleleh di balik selimut.....
Full part nya tungguin di KBM ya

-----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 32 (Part akhir)
Oleh: Khayzuran

"Ameera, aku akan menikah dengan Satya di New York minggu depan."
Mata Ameera yang masih berkabut terbelalak.
"Mas Rado becanda?"

"Aku serius, semua kelengkapan administrasinya sudah selesei kami urus, tinggal nunggu hari H nya saja, mungkin aku dan Satya akan berangkat kesana 3 hari sebelumnya."
"Kamu gila Rado, perbuatan kalian terlaknat, meski pernikahan kalian sah menurut hukum di negara tempat kalian menikah dan tercatat di catatan sipil disana tapi tetap saja pernikahan kalian haram dan terlaknat."

"Aku dan Satya saling mencintai dan kita akan memperjuangkan itu."
"Bukan cinta yang kalian miliki dan perjuangkan tapi nafsu binatang. Tidakkah kamu pikirkan orang tuamu? Mereka bukan hanya akan merasa malu tapi akan terluka juga. Please Rado, jangan lakukan itu."

"Aku bukan manusia pengecut seperti kamu Ameera, aku tidak akan lari dari orang yang aku cintai dan pura-pura bahagia meninggalkannya."
"Tapi yang aku lakukan tidak melanggar norma dan aturan agama, sedangkan yang kamu lakukan melanggar keduanya. Bertobat dan berobatlah Mas, aku akan bantu."
"Tidak Ameera aku mencintai Satya."

"Dan kamu rela membuat kedua orang tuamu terluka seumur hidup mereka? Satya itu sudah terinfeksi HIV."
Rado terdiam, seperti sedang berpikir.

"Aku juga sudah positif HIV, tapi aku merasa baik-baik saja, kita akan sekalian berobat di Amerika."
"Mas Rado, menikahlah denganku, aku akan membantu semua usaha dan proses kesembuhanmu. Di Sukabumi ada panti rehabilitasi untuk lagibete, Mas Rado bisa rehab disana, aku akan mendampingi."
"Aku tidak mau menikah denganmu, tapi aku perlu bantuanmu."
"Aku siap membantumu untuk sembuh."

"Aku perlu sel telur dan rahim mu untuk aku pinjam, aku ingin punya keturunan melalui proses bayi tabung, setidaknya jika aku mempunyai keturunan, orang tuaku tidak akan terlalu murka padaku."
"Tapi Allah akan tetap murka padamu. Aku tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti yang kamu inginkan."

Ameera benar-benar geram.
"Please bantu aku Ameera."
"Aku hanya ingin membantumu untuk sembuh, tidak ingin membantumu untuk urusan lain. Mas Rado, orang yang punya kelainan orientasi seksual seperti Mas Rado bisa kok sembuh total yang panting Mas Rado punya keinginan yang kuat untuk sembuh, aku dan keluarga Mas Rado juga pasti akan memberi dukungan penuh. Tinggalkanlah Satya, kita mulai kehidupan baru, buang semua hal-hal yang bisa membangkitkan gairah Mas Rado, buang semua barang-barang pemberian Satya, hapus nomor ponsel Satya, tinggalkan Satya dan kita pindah ke Sukabumi."

"Tidak Ameera, aku tidak bisa."
"Kamu bisa Mas, bisa, aku akan bantu."
"Keputusan aku sudah bulat Ameera, aku akan tetap menikah dengan Satya."
"Bersiaplah untuk mati muda, beriaplah untuk menderita karena berbagai penyakit, bersiaplah untuk menerima azab Allah."

Ameera bangkit dari duduknya dan meninggalkan Rado dengan air mata berderai. Luka dan kecewa menjadi satu.
Rado sudah menutup dirinya dari kebenaran, nafsu berbalut cinta sudah membutakan mata hati dan menghilangkan kewarasannya. Padahal kalau Rado mempunyai keinginan yang kuat untuk sembuh, besar kemungkinan Rado bisa sembuh jika dia rajin konseling dan memutus semua akses dengan dunia lagibete.

Jika ingin sembuh Rado memang harus punya keinginan yang kuat untuk sembuh, di dukung juga oleh keluarga dan lingkungan. Rado harus di ruqyah untuk menghilangkan semua hal buruk yang ada pada pribadinya, setelah itu di hipnotis dan diberikan sugesti agar Rado sadar betapa besar azab Allah terhadap para pelaku lagibete yang tidak mau bertaubat, Rado juga harus disadarkan akan bahaya-bahaya penyakit yang mengintai kaum lagibete. Rado harus mengganti ponsel dan membuang simcard lama untuk memutus semua akses dengan dunia lagibete. Mengganti kamar dan dekorasi kamar, membuang semua baju lama dan diganti dengan yang baru, merubah style rambut dan tempat hangout adalah hal-hal yang bisa dilakukan sebagai treatment untuk mempercepat proses penyembuhan lagibete.

____________________________________________

Ameera melangkahkan kakinya ke ICU, dia ingin menemui Rania yang pasti sedang menunggu Arjuna.

Dari balik kaca, Ameera memperhatikan Rania yang sedang membetulkan selang oksigen Arjuna. Rania begitu telaten merawat Arjuna.

Rania hampir setiap hari mengunjungi Arjuna dia tidak pernah lelah menunggu Arjuna membuka mata.

Rania melambaikan tangannya pada Ameera, sehingga tidak menyadari jari-jari tangan Arjuna yang bergerak. Perlahan kelopak mata Arjuna membuka, Arjuna merasa seperti baru bangun dari tidur yang pulas.

Arjuna berusaha mengumpulkan memorinya hingga sampai pada majelis aqad nikah Rania dan Farhan hingga mobilnya terjun ke jurang. Arjuna menatap perempuan yang ada dihadapannya yang sedang berbicara dengan bahasa isyarat dengan seseorang yang berdiri di kejauhan.

Arjuna menyesali diri kenapa harus Rania orang yang pertama kali dia lihat padahal saat ini Rania adalah orang yang paling ingin dilupakannya setelah Rania menikah dan sah menjadi istri Farhan.
Arjuna kembali menutup matanya saat Rania berbalik ke arahnya.

"Mas Arjuna, aku pergi dulu ya, besok aku kesini lagi, cepet sadar Mas, jangan membuatku terlalu lama menunggumu. Tidak kah Mas Arjuna rindu padaku seperti aku yang merindukan Mas Arjuna?"
Rania merapihkan selimut Arjuna sebelum berlalu.
"Masih bolehkah aku merindukanmu, Rania?"
Lirih suara Arjuna setelah Rania pergi meninggalkannya untuk menemui Ameera.

__________________________________________

Dengan diantar ibu dan Rania, Ameera berangkat ke Jogjakarta dengan menggunakan pesawat untuk menempuh program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam di UGM selama 8 semester.
Ketiganya sudah berada di terminal keberangkatan domestik.
"Kabari aku jika ada kabar baik darimu dan Arjuna, aku tidak sabar menunggu undangan dari kalian."
Rania dan Ameera berpelukan.

"Moving on Ameera, Allah sedang mempersiapkan seseorang yang terbaik untukmu. Keep fight ya, jika belum bisa melupakan Riga, tetaplah mencintainya sampai rasa sakitmu saat mengingatnya benar-benar hilang. Jangan memaksa untuk tetap tinggal orang yang ingin pergi, masih ada mimpi lain yang harus kamu kejar. Jadikan Riga sebagai masa lalu."

Sementara itu di terminal keberangkatan internasional tampak Riga dan Handini sedang bersiap untuk check in, mereka akan berbulan madu ke Thailand.

__________________________________________

Riga menyewa sebuah cottage di kawasan pantai Pattaya, ia benar-benar menyiapkan bulan madunya dengan sempurna, anggaplah ini sebagai hadiah kebebasan Handini setelah berbulan-bulan mendekam di penjara atas tuduhan kesalahan yang tidak ia lakukan.
"Pekerjaanmu tidak apa-apa lama ditinggalkan?"

Handini bersandar pada bahu Riga, mereka sedang memandang laut lepas di bibir pantai.
"Aku punya banyak staf yang handal, jadi aku bisa mempercayakan semuanya pada mereka saat aku tidak ada."
"Termasuk dr. Ameera?"

"Iya, salah satunya."
"Dr. Ameera itu cantik dan baik ya Ga, sayang dia tidak suka sama kamu, coba kalau dia suka sama kamu, kamu pasti gak nikah sama aku deh tapi milih dia."

Riga membelai kepala Handini. Ada yang berdesir di hatinya saat Handini menyebut nama Ameera.
"Ameera itu baik, pasti tidak sulit mendapatkan pasangan hidup yang baik."
"Kalian sedekat apa sih? Waktu aku di penjara kalian sering datang berdua menjenguk aku."
"Tidak sedekat kita saat ini. Hubungan aku dan Ameera hanya sebatas hubungan profesional antara atasan dan bawahan. Ameera banyak membantu aku."

"Kalian sering bareng, apa tidak pernah kalian saling tertarik dan jatuh cinta?"
Riga tersenyum getir.
"Cinta itu tidak bisa dipaksakan Handini, demikian juga dengan rasa di hati, bisa tiba-tiba hadir, bisa juga tiba-tiba menghilang. Sudahlah, kita tidak usah membicarakan orang lain, ini bulan madu kita, hanya boleh ada kita, tidak boleh ada yang lain."

"Aku hanya takut kamu berpaling pada perempuan lain Ga. Tapi aku yakin kamu tidak akan melalukan itu kan?"
"Tidak akan Handini. Ayo kita masuk, sudah maghrib. Abis maghrib aku ada undangan makan malam dari rekanan bisnis yang kebetulan sedang berlibur disini, kamu bisa ikut kan?"
"Aku di cottage aja deh, lelah."

____________________________________________

Riga sudah duduk di salah satu meja di restaurant ternama di kota Bangkok bersama beberapa orang rekan bisnisnya, mereka sudah mulai makan malam sambil membicarakan masalah bisnis.
"Salah satu pelayanan unggulan Rumah Sakit kamu kan pelayanan HIV/AIDS, ada waktu gak malam ini untuk menambah referensi?"

"Aku seminggu disini, tidak ada agenda apa-apa selain liburan, jadi waktuku lumayan longgar."
"Oke, kalau begitu ikut kita."

____________________________________________

Riga dan beberapa rekan bisnisnya menyusuri jalanan kota Bangkok dengan mobil yang melaju dengan kecepatan sedang.

Mobil melaju ke kawasan antara Siloam Road dan Surawong Road, kawasan yang lebih dikenal dengan istilah red light distric meski kawasan itu bernama Patpong.
"Kawasan ini penyumbang angka HIV/AIDS tertinggi bagi Thailand."
Ujar salah satu teman Riga yang menyetir mobil.

"Tidak usah turun dari mobil, kawasan ini terlalu gila bagi kita yang waras."
Lanjutnya lagi. Riga berkali-kali buang muka saat melihat kondisi di kiri-kanan jalan yang dipenuhi manusia-manusia yang nyaris tak berbusana sedang hilir mudik, baik laki-laki maupun perempuan."
"Disini pusat wisata seks kaum homoseksual, makanya penularan HIV/AIDS dikawasan ini sangat tinggi."

Riga mendengarkan penjelasan temannya namun telinganya tidak fokus karena justru mata Riga yang sedang fokus pada tempat sampah yang sedang diaduk-aduk seseorang bertubuh kurus kering sambil batuk-batuk.
"Aku ingin turun dulu disini, bisa stop disini kan?"
"Kamu mau menjajal wisata seks disini?"

Tanya teman Riga sambil menghentikan mobilnya. Riga tak sempat menjawab pertanyaan temannya karena ia bersegera turun dari mobil dan menghampiri tempat sampah yang tadi di lewati.
Riga berjalan perlahan, memperhatikan seseorang yang sedang memakan sisa makanan yang ia dapatkan dari tempat sampah. Orang itu makan dengan lahap makanan kotor yang ada di tangannya yang kotor. Laki-laki itu menghentikan kunyahan makanan dalam mulutnya karena batuk-batuk. Batuknya tidak berhenti hingga terlihat ada yang menyembur keluar dari mulutnya saat laki-laki itu batuk, sisa makanan yang sedang di kunyah beserta ceceran darah segar yang menyembur saat batuk. Dengan kasar laki-laki itu membersihkan mulut dengan punggung tangannya, masih ada sisa darah yang menempel di ujung bibirnya. Laki-laki itu berdiri dengan payah lalu berjalan tertatih, suara batuk masih terdengar mengiringi langkanya. Riga mengikuti dari belakang hingga jarak mereka kian dekat.

"Fahri?"
Laki-laki lusuh yang postur tubuhnya hanya terlihat seperti tulang berbalut kulit itu barbalik saat ada suara memanggil namanya.

___________________________________________

"Pemerintah Indonesia sudah mengekstradisi Fahri dan sekarang Fahri sudah ada di Indonesia sedang dirawat di Rumah Sakit karena kondisi kesehatannya buruk, kalau sudah membaik, Fahri akan segera di diproses secara hukum. Kemarin Fahri sempat dimasukkan kedalam rutan ketika baru datang tapi dia langsung histeris dan ngamuk saat bertemu dengan teman satu selnya yang bernama Marzuki.
Otak dari pembunuhan itu Anggodo tapi Anggodo kabarnya sudah meninggal di Pattaya Memorial Hospital minggu lalu karena kanker di daerah anusnya."

Riga meletakkan ponselnya di meja, ia baru saja menerima pesan dari pengacara Handini di Indonesia.
Pemerintah Indonesia bertindak cepat atas laporannya tentang keberadaan Fahri sehingga dalam waktu yang tidak lama, Fahri sudah bisa di ekstradisi ke Indonesia.

"Sayang.....Lagi apa sih?"
Seseorang memeluk Riga dari belakang, desahan suaranya menyapu daun telinga Riga. Handini dengan lingery merah yang dikenakannya sedang berusaha menggoda Riga. Riga menelan ludah.

____________________________________________

"Ameera, aku dan Mas Arjuna akan ke Jogja untuk menghadiri launching bukumu, sekalian honey moon."

Ameera tersenyum membaca pesan singkat yang dikirim sahabatnya, Rania. Rania dan Arjuna sudah menikah lima hari yang lalu namun sayang Ameera tidak bisa hadir karena berbarengan dengan ujian akhir.

"Honey moon ya honey moon aja gak usah manas-manasin aku, gak usah mampir ke tempatku deh nanti aku ganggu kalian lagi."

"Aku sudah kangen sama sahabatku yang sebentar lagi akan jadi Sp.PD."
Senyum Ameera semakin melebar. Ameera juga sangat merindukan Rania, ada kabar baik dari Ameera yang sangat ingin dibaginya dengan Rania.

Waktu begitu cepat berlalu, hampir lima tahun sudah Ameera menempuh pendidikan di kota pelajar ini. Kesibukan yang menderanya selama ini diharapkan mampu mengubur semua kenangan masa lalunya, namun ternyata Ameera belum bisa sepenuhnya menyingkirkan sosok Riga di hatinya. Riga masih merajai sebagian relung hatinya, bukan Ameera tidak berusaha maksimal hanya saja sepertinya masih perlu waktu yang lebih lama untuk menyembuhkan semuanya.

_____________________________________________

Launching buku Ameera tentang HIV/AIDS di kalangan remaja berjalan dengan sukses. Rania dan Arjuna tidak jadi datang karena mereka akhirnya memilih kota Malang sebagai tempat liburan mereka setelah menikah.

Antrian panjang audiens yang meminta tanda tangan Ameera sedikit demi sedikit sudah terurai, menyisakan satu orang lagi yang kini sudah ada di depan Ameera.

"Atas nama siapa ya?"
Tanya Ameera sambil tangannya membubuhkan tanda tangan pada buku yang disodorkan orang itu, bersiap untuk menuliskan nama si pemilik buku.
"Riga"

Aktivitas Ameera langsung terhenti, kepalnya yang dari tadi menunduk perlahan ia angkat.
Duhai rindu, beginikah caramu berlabuh?

_____________________________________________

"Assalamualaikum wr.wb.

Dr. Ameera apa kabar? Sedih sekali sepulang kami bulan madu dr. Ameera sudah tidak bekerja lagi di Rumah Sakit Riga, tapi tak mengapa jika itu untuk mewujudkan cita-cita menjadi dokter spesialis penyakit dalam agar dr. Ameera bisa lebih banyak membantu orang lain dengan ilmunya.

Alhamdulillah pernikahan kami berjalan dengan baik dan membahagiakan, Riga benar-benar sosok suami dan ayah yang baik, Riga mencintai kami dengan tulus, merawat kami tanpa lelah.
Dr. Ameera, aku tahu waktuku bersama Riga tidak banyak, tapi itu sudah lebih dari cukup untukku karena Riga selalu memberi kebahagiaan setiap waktu untuk kami. Aku berharap sepeninggalku Riga bisa tetap bahagia dan aku berharap dr. Ameera lah yang memberi kebahagiaan untuk Riga.

Riga laki-laki yang baik, tidak akan sulit bagi dr. Ameera untuk jatuh cinta pada Riga. Riga mempunyai semua yang dibutuhkan dan di inginkan perempuan manapun.

Dr. Ameera, jika kelak engkau menajdi istri dari Riga suamiku, cintailah Riga dengan tulus, jaga dan rawat dia dengan baik, penuhilah haknya sebagai suami dengan sempurna karena aku tidak pernah bisa memberikan hak itu. Aku tidak bisa memberinya nafkah batin akibat trauma mendalam dari mantan suamiku yang dulu. Tapi Riga tidak pernah sedikitpun komplain tentang masalah itu, Riga tetap mencintaiku dan menjagaku dengan baik.

Dr. Ameera, menikahlah dengan Riga agar aku merasa tenang telah menitipkan Riga pada orang yang tepat. Insyaa Allah Riga bisa belajar mencintaimu dan kelak bisa menjadi pendamping hidupmu yang baik."
Handini

Ameera melipat kertas surat yang ditulis tangan Handini yang tadi diberikan Riga padanya.
"Handini meninggal dua tahun lalu, kondisinya ngedrop setelah Maura meninggal karena radang selaput otaknya kambuh lagi. Sebelum meninggal Handini menitipkan surat itu untuk diberikan padamu dan melarang aku untuk membacanya."

"Aku turut berduka untuk Bu Handini dan Maura. Bagaimana dengan Arkania dan Dewi?"
"Arkania masih tinggal bersamaku, ada suster yang menjaganya. Dewi sudah jadi sarjana ekonomi, sekarang dia menjadi sekretaris pribadiku di Rumah Sakit, ibunya Dewi masih survive dengan penyakit kanker payudara yang di deritanya."

Ameera menganguk-anguk kecil mendengar cerita Riga.
"Bagaimana kabarmu Ameera?"

Riga menatap Ameera yang duduk di hadapannya, yang di tatap mengarahkan pandangannya pada gedung kantor pos. Riga dan Ameera sedang duduk di kursi-kursi yang berjajar di titik nol Jogja. Ameera menolak di ajak Riga untuk makan siang di restaurant.

"Kita bukan mahram, tidak boleh berkhlawat."
Demikian alasan Ameera saat tadi sepulang acara launching buku Riga mengajaknya makan siang di Raminten. Jadi Ameera memilih tempat terbuka untuk mereka bicara.
"Alhamdulillah aku baik."
Gumam Ameera pelan.

Hening, keduanya hanya memperhatikan lalu lalang lalulintas di titik nol tanpa saling bicara lagi.
"Sejak aku menerima surat pengunduran dirimu dari Rumah Sakit, aku berusaha mencarimu, tapi tidak seorangpun memberitahuku tentang keberadaanmu, ibumupun bungkam, dr. Chandra juga bungkam. Akhirnya aku menghubungi semua universitas yang menyelenggarakan program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam, Alhamdulillah akhirnya aku menemukan jejakmu. Setelah Handini meninggal aku sempat ke Jogja, aku mencarimu ke UGM tapi tidak ada, lalu aku ke Rumah Sakit Sardjito, aku melihatmu ada disana, di bangsal penyakut dalam, tapi aku hanya bisa memandangmu dari kejauhan, aku tidak berani mendekat, khawatir mengganggumu."

"Untuk apa mencariku? Aku mengundurkan diri sesuai prosedur, aku tidak membawa kabur uang Rumah Sakit, aku tidak mencuri apapun."
"Tapi kamu sudah mencuri hatiku."
Ameera menunduk, hatinya berdesir, ada yang terasa ngilu.

Kenapa kamu menampakkan diri hanya untuk membuat sayatan baru di luka hatiku Pak Riga? Sesal Ameera di hatinya.

"Sudahlah Pak Riga, jangan mengungkit masa lalu, semua sudah selesai aku buang."
"Tapi aku belum selesai. Aku menunggumu bertahun-tahun sampai kamu menyelesaikan studimu agar aku tidak mengganggumu. Aku sudah lama menunggu saat ini. Ameera, maukah kamu belajar mencintaiku? Menikahlah denganku, beri kesempatan aku untuk mencintaimu."
Ameera menggeleng.

"Maaf Pak Riga, aku tidak bisa. Tadi malam aku sudah dilamar dr. Fauzan."

____________________________________________
Walau kau menghapus

Menghempas diriku
Mengganti cintaku
Semua tak mampu
Hilangkan cinta
Yang telah kau beri
Walau kau berubah
Aku 'kan bertahan
Di sepanjang waktuku
Biarkan aku mencintaimu
Dengan caraku
Lagu "Dengan Caraku" yang dilantunkan Brisia Jodie dan Arsy Widianto menemani perjalanan Ameera di kereta malam dari Jogja menuju Bandung.

Lagu yang sama yang sedang di dengarkan Riga di kereta yang sama namun di gerbong yang berbeda.

Riga dan Ameera pulang dengan kereta yang sama tanpa saling mengetahui.
Pagi hari di Stasiun Gambir, 24 November 2019

Ameera berjalan tergesa menuju coffee shop, kepalanya sedikit terasa berat setelah menempuh perjalanan kereta selama 8 jam, mungkin secangkir moccacino late bisa sedikit meringankannya.
"Moccacino late sugar free."

Pesan Ameera sebelum memilih tempat duduk. Suasana coffee shop cukup ramai pagi ini, hanya tersisa satu meja yang kosong di pojok kanan.

Ameera mengeluarkan buku dari tas ranselnya, sudah lama tidak membaca novel, selama ini harinya disibukkan dengan membaca jurnal-jurnal kedokteran ratusan halaman.
Ameera memyeruput moccacino yang langsung terasa hangat ke lambungnya.

"Boleh duduk disini?"
Suara itu.....
Ameera mengangkat kepalanya dari novel yang sedang di baca.
"Semua meja penuh." Lanjutnya.

Laki-laki itu duduk di hadapan Ameera tanpa menunggu persetujuan, semua bangku di coffe shop ini memang terisi penuh.
"Langsung pulang ke rumah?"
Ameera menggeleng.

"Mau naik kereta ke Bogor, lanjut ke Sukabumi."
"Tidak cape?"
Aku lebih cape menghindarimu. Gerutu Ameera dalam hati.
Ameera menggeleng.
"Ada yang mengantarmu ke Sukabumi?"
Ameera kembali menggeleng.

"Kenapa Ameera, tidak nyaman berbicara denganku?"
Ameera kembali menggeleng lalu menarik nafas dalam.
"Jika aku boleh memohon sama Allah, aku akan meminta untuk tidak dipertemukan lagi denganmu setelah ini."

"Jika berlutut di hadapan dr. Fauzan bisa membuatnya mengurungkan niat untuk melamarmu, aku akan melakukannya."

"Aku pernah merasakan mencintai tapi tidak dicintai, aku pernah memperjuangkan cinta orang yang tidak pernah mau diperjuangkan, dan Pak Riga tahu rasanya seperti apa? Sakit. Jadi aku tidak akan melakukan itu pada Mas Fauzan."

Ameera mengemasi barangnya lalu bangkit dari duduk, bersiap pergi.
"Jika kamu tidak mau menemani sisa hidupku, setidaknya temanilah aku sampai aku menghabiskan sisa kopi ini. Ijinkan aku untuk bahagia sebentar saja karena berada di dekatmu, sebentar saja Ameera, sebentar."

__________________________________________

Sore hari di Sukabumi, 24 November 2019
"Aku akan membangun klinik disini, aku akan berjuang untuk menyembuhkan manusia-manusia sampah agar mereka tidak memakan korban lebih banyak lagi."
Ameera dan Riga memandang hamparan tanah yang terbentang.
"Manusia sampah?"
"Ya, seperti Fahri, Anggodo, Marzuki, Satya, Rado dan yang sejenisnya."
"Seperti Handini juga?"
"Bu Handini dan ribuan ibu rumah tangga di luar sana hanya sebagai korban dari manusia sampah. Pak Riga merindukan ibu Handini?"

Tanya Ameera hati-hati, yang ditanya menarik nafas panjang.
"Bolehkah aku merindukan perempuan lain selain Handini?"
Ameera terdiam, mereka duduk bersisian beralasakan rumput dan beratap langit.
"Ameera, aku boleh bertanya sesuatu?"
"Ya, tentu."
"Pernahkah kamu mencintaiku?"

"Pernah, jauh sebelum aku memaksa Pak Riga untuk menikahiku. Sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama, pada saat Pak Riga menginterview aku waktu aku melamar kerja di Rumah Sakit. Aku selalu degdegan setiap bertemu pak Riga, aku cemburu pada Bu Handini yang sangat dicintai Pak Riga, aku rasanya seperti tidak punya semangat hidup lagi saat menyaksikan Pak Riga menikah dengan Bu Handini."

"Maaf aku tidak menyadari itu."
"Tidak apa-apa, semua sudah berlalu."
"Ya semua sudah berlalu, waktu telah merubah semuanya, tapi bolehkan aku berkata jujur padamu? Meski aku tahu kejujuranku tidak akan berarti apa-apa dan tidak akan merubah apapun."
Riga menghentikan kalimatnya, lalu merubah posisi duduknya berhadapan dengan Ameera.

"Ameera, aku mencintaimu entah sajak kapan aku jatuh cinta padamu, aku cemburu pada Rado yang dekat denganmu, hatiku hancur saat mendengar kabar kamu terbakar di panti, aku frustasi saat kamu memintaku untuk menikah dengan Handini, aku seperti orang yang kehilangan arah selama bertahun-tahun mencari kebaradaanmu, aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu lagi. Ameera, aku sangat mencintaimu, terimalah cintaku, katakan kamu juga mencintaiku, berikanlah waktumu 5 menit saja untuk mencintaiku."

"Pak Riga akupun mencintaimu, sama sepertimu. Berikanlah 5 menit waktumu untuk mencintaiku."
Mata keduanya berkaca-kaca. Mereka saling menatap lalu keduanya sama-sama menunduk, menyelami suasana hati masing-masing. Mereka saling diam, ada bahagia yang mereka rasakan meski hanya 5 menit.

"Terimaksih Ameera, sekarang aku lega, kita sudah saling jujur, setidaknya kita tidak akan menyesal karena memendam rasa seumur hidup. Setelah ini kita akan jadi lebih mudah untuk saling memaafkan dan melupakan semua yang terjadi."

"Ya, terimaksih Pak Riga sudah menjadi bagian terindah di salah satu episode hidupku. Sekarang kita sama-sama melangkah dengan hati dan jiwa yang berbeda. Perkenalkan namaku Ameera Salsabila, maukah menjadi temanku?"

"Aku Riga Fahlevie, senang berkenalan denganmu, semoga kita bisa menjadi teman yang baik."
Ameera dan Riga tertawa renyah dengan sisa air mata, sepasang teman yang siap menyambut hari esok dengan langkah yang berbeda, dengan arah yang tak sama.

"Kita mungkin tidak bisa menjadi patner hidup karena sudah ada Fauzan di hidupmu, tapi kita masih bisa menjadi patner kerja kan? Aku ingin menjadi investor di Klinik Sampah yang akan kamu bangun."
"Serius?"
"Iya, tapi kenapa memilih Sukabumi?"

"Sukabumi menjadi penyumbang nomor 5 jumlah penderita HIV/AIDS di Jawa Barat setelah Kota Bandung, Kota Bekasi, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang. Dan Jawa Barat masuk empat besar provinsi yang memiliki kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Desember 2018, angka HIV di Jawa Barat mencapai 37.485 kasus, sedangkan AIDS mencapai 10.370 kasus.
Peningkatan kasus HIV dan AIDS paling signifikan dialami kalangan ibu rumah tangga, seperti Bu Handini, aku tidak ingin banyak Handini-Handini lain yang menjadi korban."

"Kamu memang luar biasa Ameera, tidak hanya cerdas tapi jiwa sosial kamu juga tinggi, semoga Allah menyisakan satu perempuan sepertimu untukku di dunia ini, jika tidak bisa di kehidupan saat ini aku akan menunggunya di kehidupan mendatang."

______TAMAT_____

Extra Part
Riga & Ameera

Ameera membuka jendela kamarnya, memandang langit yang bertabur bintang, disana ada bulan sepasi yang cahayanya redup.

Ameera memejamkan mata, ada perih di hati yang sedang berusaha ia redam, ada rindu yang sangat yang tak bisa lagi dipungkirinya. Ameera bisa saja membohongi orang lain tentang apa yang dirasakannya, membohongi Rania, membohongi Fauzan dan membohongi Riga, tapi Ameera tidak dapat membohongi dirinya sendiri, ia masih menyimpan hati yang utuh untuk Riga, hati yang penuh cinta yang tulus untuk seseorang yang tak pernah tergantikan posisinya oleh orang lain sedikitpun.
Ameera meraih ponselnya, haruskah ia menelepon Fauzan dan memberikan jawaban atas lamaran Fauzan yang hingga kini belum dijawabnya dengan pasti? Lalu menelepon Riga dan jujur mengatakan semuanya kalau Ameera tidak mencintai Fauzan dan sudah menolak lamaran Fauzan dan meminta pada Riga agar menikahinya sebelum pergi ke Gaza?

Ameera menelepon Fauzan, tidak aktif. Lalu menelepon Riga, tidak aktif juga. Berkali-kali kedua nomor ponsel itu di telepon tapi nomor keduanya memang sedang tidak aktif. Haruskah Ameera menyerah?

Malam kian larut, Ameera masih juga terjaga. Ibu sedang tidak ada di rumah, menginap di rumah Tante Mia, ibunya Rado yang masih sering berduka setelah kepergian Rado ke Amerika untuk menikah dengan Satya dan menetap disana.

Ameera menyambar kunci mobil, ia harus menuntaskan semuanya malam ini kalau tidak ingin menyesal seumur hidup.

Dengan kecepatan 120 km/jam, mobil Ameera melesat menuju Rumah Fauzan.
Lampu rumah mewah milik Fauzan masih menyala, itu tandanya pemilik rumah belum tidur, ada mobil yang masih terparkir di halaman, belum masuk garasi, tapi itu sepertinya bukan salah satu mobil milik Fauzan.

Pintu utama rumah Fauzan sedikit terbuka, sayup-sayup terdengar suara-suara orang yang sedang berbicara, sesekali suara itu bernada tinggi hingga Ameera bisa mendengarnya dengan jelas.
"Aku memang masih mencintai Arjuna meski sudah lama aku menikah dengan orang lain dan sudah memiliki anak, tapi aku tidak bisa terus menerus kamu manfaatkan untuk menghancurkan rumah tangga Arjuna dan Rania demi ambisi kamu untuk mendapatkan Rania."

"Mengertilah Michelle, tolong aku. Aku juga sedang mengupayakan usaha yang lain untuk bisa sering bertemu dan dekat dengan Rania. Aku akan menikahi Ameera, sahabat Rania. Setelah aku berhasil menikahi Ameera kamu masih harus tetap menggoda Arjuna. Dengan kerjasama kita, pasti tujuan kita akan semakin mudah, akhirnya kamu akan kembali mendapatkan Arjuna dan aku akan kembali mendapatkan Rania."

Itu suara Fauzan, jelas sekali kalimat yang terlontar dari mulut Fauzan itu terdengar di telinga Ameera.

Ameera melebarkan daun pintu yang sedikit terbuka.
"Aku akan pastikan kalian tidak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan."
Suara Ameera bergetar menahan amarah. Lalu kembali menutup pintu dengan membantingnya, meninggalkan Fauzan dan Michelle yang masih terperangah dengan kehadiran Ameera yang tiba-tiba.

Ameera kembali memacu mobilnya, kini menuju rumah Riga dengan rasa hati tak menentu. Tidak menyangka Fauzan akan memanfaatkannya demi mendapatkan kembali Rania.

__________________________________

Rumah Riga yang megah bergaya Eropa dengan design minimalis tampak sepi, ya Riga memang tinggal sendiri, Arkania disekolahkan Riga di Singapura, sekolah khusus untuk ABK yang semua siswanya tinggal di asrama. Arkania diasuh dan diurus oleh orang-orang profesional dibidangnya karena Riga sendiri tidak mampu untuk merawat Arkania karena keterbatasan ilmu dan waktu.
Ameera berkali-kali menekan bel, namun tak ada seorangpun yang keluar dari dalam rumah. Security yang biasanya berjaga di pos juga tidak ada. Apa mungkin Riga sudah memberhentikan semua pekerja di rumahnya karena akan segera meninggalkan rumah itu dan pergi ke Gaza?

Ameera mencoba menelepon Riga lagi, namun nomor ponsel Riga kini sibuk, panggilannya dialihkan terus.

"Kamu kemana Riga, bukankah baru besok kamu bertolak ke Gaza?", lirih suara Ameera sambil terus menekan bel, berharap Riga keluar dari dalam rumah dan membukakan pintu untuknya, menyambut kehadirannya dengan tangan terbuka dan tersenyum, namun rumah masih saja sepi.

Di tempat lain, ada seorang laki-laki yang sedang melakukan hal yang sama dengan Ameera. Berkali-kali menekan bel sebuah rumah sambil tangannya yang lain memegang ponsel menelepon seseorang.
"Kamu dimana Ameera?"

Dengan nada putus asa, Riga terus menghubungi nomor Ameera yang masih saja sibuk, panggilan Riga dialihkan.

"Ameera, please ... jangan biarkan ragaku pergi ke Gaza tapi hatiku masih tertinggal disini. Kamu dimana Ameera?"

Riga menekan "send" di layar ponselnya bertepatan dengan ponsel itu mati karena habis baterai.
Riga terus menunggu Ameera di depan pintu gerbang hingga terdengar suara tahrim dari masjid. Riga berjalan gontai menuju mobilnya, pukul 06.00 pagi Riga harus sudah ada di bandara karena tepat pukul tujuh pagi Riga harus sudah terbang ke Malaysia untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan menuju Mesir lalu masuk ke Gaza melalui pintu Rafah.

"Tunggu aku pulang Ameera, jangan menikah dengan siapapun. Jika nanti aku bisa pulang dengan selamat, kamu adalah orang pertama yang akan aku temui, tapi jika hanya namaku yang pulang, tolong doakan aku, semoga Allah mempertemukan kita lagi di surga-Nya, jadilah bidadariku dikehidupan abadi kita disana. Tolong jangan menikah dengan Fauzan, dia laki-laki brengsek yang hanya memanfaatkanmu untuk ambisi cintanya pada sahabatmu."

Riga memutar mobilnya, melaju menjauh dari rumah Ameera, hatinya terasa hampa, tatapannya kosong hingga tak menyadari saat mobilnya berpapasan dengan mobil Ameera. Ameera pun tidak menyadari saat mobilnya berpapasan di ujung jalan sebelum berbelok ke rumahnya.
Ameera meletakkan ponselnya yang mati karena habis baterai di atas meja. Jiwa dan pikirannya terasa lelah, malam ini ia habiskan dengan terjaga di depan rumah Riga, menunggu laki-laki yang dicintainya namun entah sudah berada dimana.

Ameera mengambil wudhu, lalu hanyut dalam doanya yang khusyuk dan panjang setelah sholat subuh.

"Berilah keselamatan untuknya, berkahi dan ridhoi setiap langkahnya. Wujudkan niat mulianya dengan perlindungan terbaik-Mu. Jika Engaku mengijinkan dia kembali, pertemukanlah kami lagi, ikat kami dalam ikatan suci yang Engaku ridhoi, tapi jika Engaku mengajaknya pulang kesisi-Mu, aku ridho, karena Engkau lebih berhak atasnya. Jika takdirmu tidak mengijinkan kami untuk saling mencintai dan bersama di dunia, ijinkan kami untuk kembali saling mencintai dan bersatu dalam cinta-Mu dikehidupan abadi kami kelak."

__________________________________

Tidak mudah bagi Riga dan rombongannya untuk masuk ke Gaza. Perlintasan Rafah adalah satu-satunya jalur yang bisa dilewati untuk masuk ke Gaza tanpa melalui Israel.
Otoritas Mesir mengijinkan Riga dan rombongan masuk jalur Gaza.

Seorang pegawai press center di imigrasi kota Rafah memanggil Riga dan meminta paspor Riga untuk di proses masuk Jalur Gaza. Dalam waktu sekitar satu jam urusan paspor Riga selesei tapi tidak dengan anggota rombongannya yang lain, yang lolos hanya Riga, Diwan dan satu lagi temannya yang lain. Anggota rombongan yang lain urusan paspornya belum selesei sehingga masih tertahan di imigrasi dan belum bisa melanjutkan perjalanan, entah apa sebabnya.

Seorang petugas imigrasi meminta Riga dan temannya untuk menandatangani sebuah surat yang isinya menyatakan bahwa masing-masing bertanggungjawab sendiri atas semua yang terjadi dengan dirinya masing-masing selama berada di Jalur Gaza.

Setelah Riga dan dua orang temannya menandatangani surat pernyataan tersebut, mereka dipersilakan menyeberang menuju Jalur Gaza.

Gaza adalah sebuah wilayah di Palestina yang sering menjadi sasaran serangan udara Isarel. Gaza adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur Laut Tengah, bagian dari wilayah Negara Palestina, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya dan Israel di sebelah timur dan utara. Jalur Gaza memiliki panjang sekitar 41 kilometer dan lebar antara 6 hingga 12 kilometer dengan luas total 365 kilometer persegi.

Setelah sampai di Palestina, Riga dan kedua temannya masih harus menjalani serangkaian pemeriksaan di imigrasi Palestina yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Setelah urusan imigrasi selesei, Riga dan kedua temannya bersiap menuju kota Gaza.
Riga sempat bertanya pada seorang perwira polisi Palestina mengenai cara paling aman menuju kota Gaza, namun perwira polisi itu hanya mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata,
"Innama Allahi wahdah yahmiina huna."
(Hanya Tuhan yang bisa melindungi kita disini).

Riga faham bahwa tidak ada yang bisa menjamin keamanannya selama berada di Jalur Gaza.
Riga langsung naik taksi umum, Diwan dan seorang temannya yang lain naik taksi yang berbeda. Taksi berupa mobil Mercedes tua berwarna kuning itu melaju dengan cepat sekali menyusuri Jalan Salahudin, jalan utama dari Rafah menuju Kota Gaza.

Jarak antara Rafah dan Gaza sekitar 35 km, Riga menyaksikan puing-puing bangunan yang hancur sepanjang jalan. Dalam hati Riga mulai muncul perasaan tegang karena perjalanannya ini berlangsung dalam situasi perang. Bunyi pesawat tanpa awak milik Israel yang terbang tidak henti diatas langit Gaza terus terdengar menemani perjalanan Riga sejak dari Rafah hingga sampai ke Gaza.

Taksi yang dinaiki Riga menyelinap masuk kejalan kecil di ikuti oleh satu taksi lainnya yang membawa teman Riga yang lain. Taksi itu berhenti di sebuah rumah sederhana.
"Ahlan wa sahlan, selamat datang di Gaza, Brother."

Seorang laki-laki muda menyambut kedatangan Riga dan rombongannya dengan hangat. Laki-laki itu memperkenalkan diri bernama Ibrahim.

"Situasi di Gaza semakin memanas, tapi insyaa Allah proyek pembangunan Rumah Sakit akan berjalan sesuai rencana. Saya sudah mengurus perijinannya, beberapa bahan baku yang diperlukan juga sudah dikirim dari Mesir melalui Rafah. Para pekerja juga sudah siap, hanya saja mungkin kita perlu hati-hati jangan sampai ada orang Israel yang menyusup sebagai perkerja."
Riga manggut-manggut, mengerti dengan penjelasan Ibrahim.

"Tanda pengenal dan semua dokumen keimigrasian kalian harus selalu dibawa, jangan ditinggal di rumah, karena kalau rumah dihancurkan Israel, akan susah untuk mencari atau mengurusnya kembali."

"Oke, untuk teknis pembangunan Rumah Sakit sepenuhnya saya serahkan sama kamu. Ini Diwan, dia arsitek untuk pembangunan Rumah Sakit, saya hanya support dana."
Riga memperkenalkan Diwan pada Ibrahim. Ibrahim sendiri sudah mengenal Riga karena beberapa kali mereka sempat video call untuk koordinasi masalah pembangunan Rumah Sakit.
"Malam ini kita tidak bisa menginap disini, sebaiknya kamu dan temanmu untuk sementara tinggal di penginapan saja."
Riga mengerutkan keningnya, Ibrahim mengerti.
"Saya masih menjadi target sasaran Israel, jadi malam ini kita tidur terpisah, kalau kalian bersamaku, nyawa kalian akan ikut terancam sepertiku."

_______________________________

Seminggu sudah Riga dan beberapa orang teman satu NGO nya berada di Gaza, sejauh ini proyek pembangunan Rumah Sakit berjalan lancar karena mendapatkan perlindungan dari beberapa NGO yang bermarkas di Mesir dan Turki.

Selepas isya Riga dan Ibrahim duduk di bangku sederhana di depan bangunan Rumah Sakit yang sedang dibangun. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras, disusul dengan dentuman lain yang tak kalah keras. Dari kejauhan terlihat asap mengepul, langit Gaza seketika berwarna merah saga.
"Sepertinya ada serangan udara di sebelah utara."

Ibrahim bangkit dari duduknya, lalu mengamati dari kejauhan.
"Kemarin ada warga Gaza Utara yang melukai tentara Israel dengan ketapelnya, mungkin Israel murka karena kejadian itu. Kamu masuklah ke rumah, kalau sampai besok aku tidak kembali, tidak usah mencari aku, semoga Allah mempertemukan kita lagi di jannah-Nya."

Tanpa menunggu jawaban Riga, Ibrahim langsung berlari secepat kilat menuju ke Gaza bagian Utara. Riga ikut berlari menyusul Ibarahim.
"Jangan ikut, kembalilah ke rumah", seru Ibrahim tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Tidak ada yang bisa kamu lakukan disana, kembalilah, selesaikan proyek pembangunan Rumah Sakit kita, kamu lebih dibutuhkan disana."

Riga memperlambat larinya sebelum akhirnya berhenti, Ibrahim sudah jauh meninggalkannya. Ibrahim benar, tidak ada yang bisa Riga lakukan di daerah yang sedang dihujani Israel dengan bom itu. Riga bukan seorang tenaga medis yang bisa mengobati mereka yang terluka, Riga juga tidak membawa senjata apapun dan tidak pandai juga mengoperasikan senjata jenis apapun. Akhirnya Riga kembali ke rumah, menatap langit Gaza Utara yang berwarna merah saga dari kejauhan.
"Semoga Allah melindungimu Ibrahim."

____________________________

"Paman, makanlah rotinya, kami hanya punya roti yang keras dan air putih saja."
Seorang gadis kecil meyodorkan sepiring roti kering dan segelas air putih, gadis kecil itu bernama Namira, anak yatim piatu yang dirawat Ibrahim.
"Pamanmu belum pulang?"

"Aku tidak tahu paman akan pulang ke rumah atau sudah dijemput Allah, kita tunggu saja pengumumannya siapa saja yang syahid tadi malam."
Gadis kecil itu begitu tegas menuturkan kalimatnya, kata "syahid" yang terucap dari bibir mungilnya seperti melodi kerinduan yang sangat didambakan semua orang.

Riga menarik nafas panjang, konflik berdarah yang dirasakan sepanjang usia Namira telah membuat gadis kecil itu sosok yang tangguh dan seperti tak mengenal kata takut.
"Paman Riga pergi ke proyek dulu, Namira pergi ke sekolah hari ini?"

"Jalan menuju sekolahku katanya sedang dijaga ketat tentara kera, jadi hari ini aku akan belajar di rumah saja. Paman Riga hati-hati di proyek, tentara kera bisa saja datang kesana membawa senjata untuk mencari orang-orang yang ingin mereka bunuh. Kalau tadi malam mereka tidak mendapatkan orang yang mereka cari, biasanya mereka akan terus mencari ke berbagai tempat."
Tentara kera adalah sebutan Namira untuk tentara Israel, karena Allah telah meyebutkan orang-orang Yahudi itu dalam Al Qur'an sebagai bangsa kera.

"Baik, Paman akan berhati-hati. Namira juga hati-hati di rumah ya, semoga paman Ibrahim segera kembali."
Gadis itu mengangguk, mengantarkan Riga sampai ke pintu.

"Paman, jika Paman Riga terluka segeralah berlari ke arah barat, katanya disana ada posko kesehatan tapi aku tidak tahu apakah disana masih ada obat atau tidak."
"Insyaa Allah Paman Riga akan baik-baik saja, Allah Hafidz."
"Allah Hafidz."

Riga memilih untuk berjalan kaki menuju proyek pembangunan Rumah Sakit yang jaraknya sekitar dua kilo meter dari rumah. Teman Riga yang lain tinggal di camp dekat proyek itu, hanya Riga yang tinggal di Rumah Ibarahim.
"Abdurahman tidak datang untuk bekerja hari ini, dia syahid tadi malam beserta anak dan istrinya. Rumah mereka hancur terkena serangan bom Israel."
Lapor salah seorang pimpinan pekerja proyek.
"Kenapa rumah Abdurahman yang menjadi sasaran?"

"Adiknya Abdurahman yang menyebabkan salah satu tentara Israel terluka terkena kerikil tajam yang dimuntahkan ketapelnya, jadi tentara Israel itu membidikkan serangan pada rumah Abdurahman karena adiknya tinggal satu rumah dengan Abdurahman."
Setiap hari hanya berita kematian yang didengar Riga. Gaza benar-benar negeri para syuhada.
"Dimana Ibrahim?"

Tiga orang tentara Israel menghampiri Riga yang sedang berbicara dengan pimpinan pekerja proyek. Entah dari arah mana mereka datang, tiba-tiba saja sudah ada didekat Riga, lengkap dengan senjata laras panjang yang mereka bawa.

"Tidak ada Ibrahim disini", jawab Riga sambil mencuri pandang ke arah senjata yang mereka tenteng.
"Cepat katakan dimana Ibrahim."
Salah satu tentara itu mulai mencengkram kerah baju Riga.
"Aku tidak tahu. Lepaskan, aku relawan Internasional utusan NGO internasional yang datang kesini secara resmi."

Riga mengibaskan tangan tentara Israel yang mencengkarmanya lalu mengeluarkan ID card dari tas kecil di pinggangnya.
"Brengsek!"

Dengan kesal tentara Israel itu melepaskan Riga, namun kini sasarannya berpindah pada para pekerja.
"Dimana Ibarahim? Kalian sembunyikan dimana Ibarahim?"
Teriak salah seorang tentara Israel dengan menodongkan sejata.
"Menyingkirlah kalian dari sini, ini zona bebas perang, ini proyek kemanusiaan yang dilindungi PBB."

Riga mengeluarkan kembali beberapa dokumen dari tas dan menunjukannya pada tentara-tentara itu.
"Manusia yang sedang bermimpi jadi pahlawan, besok lusa kamu akan membusuk disini."
Salah seorang tentara Israel itu meludahi dan mengumpat pada Riga, mendorong tubuh Riga dengan ujung senjatanya lalu mengajak kedua temannya untuk pergi.
Riga hendak mengejar tentara yang telah meludahi dan hampir membuatnya tersungkur, namun Diwan mencegahnya.

"Proyek kita masih belum selesai, kami masih membutuhkanmu disini."
Ya, sedikit saja kita berulah pada tentara-tentara kera itu maka nyawa kita yang menjadi taruhannya.
"Paman Riga ... Namira Paman, Namira ..."
Dawud, salah seorang teman main Namira datang tergopoh-gopoh mendatangi Riga.
"Namira kenapa Dawud?"

"Tentara kera menembak Namira dan membakar Rumah, mereka mencari Paman Ibarahim."
Riga langsung melesat berlari meuju rumah. Tampak asap mengepul dari rumah yang ditempati Ibarahim dan Namira, rumah tempat Riga menginap selama di Gaza.
"Terlaknat kalian, dimana Namira?"

Riga menendang seorang tentara yang sedang tersenyum sinis sambil memandang kobaran api. Serta merta tentara itu tersungkur membuat tentara lain spontan memuntahkan isi peluru senjatanya ke arah Riga. Dua peluru berhasil menembus tubuh Riga dan setelah itu Riga tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya, hanya suara tembakan yang bertubi-tubi yang sempat ia dengar sebelum seluruh fungsi tubuh Riga benar-benar tidak berfungsi, mungkin ini yang dinamakan mati, pikir Riga.

_______________________________

Perlahan Riga membuka kedua matanya, entah sudah berapa lama ia tertidur. Riga tersenyum haru, Allah telah mengabulkan doanya. Inikah surga yang telah Allah janjikan itu? Ada bidadari sedang tersenyum manis padanya tepat saat Riga membuka mata. Ya Allah, pantaskah aku memasuki surga-Mu dengan berlimpah dosa yang telah aku perbuat selama di dunia?

Air mata Riga mengalir membasahi kedua pelipisnya, ia memejamkan matanya lagi.
"Kenapa, masih terasa sakit? Jangan banyak bergerak dulu istirahatlah."
Suara itu ... ya Allah ... suara itu. Bidadari duniaku telah Allah kirimkan untukku di surga.
Batin Riga berkecamuk. Terasa ada yang sakit di dada dan kakinya. Sakit? Bukankah di surga tidak ada rasa sakit?

"Pak Riga, istirahatlah, aku akan merawat dan mengobatimu sampai pulih. Aku tidak akan meninggalkanmu, aku akan selalu ada untukmu dan tetaplah ada untukku, kita berjuang bersama-sana disini."

Riga kembali membuka kedua matanya saat mendengar suara lirih itu, suara milik orang yang sangat dirindukannya. Benarkah itu dia?
"Apakah aku sudah berada di surga?", tanya Riga pelan, matanya melirik pada sosok perempuan yang bayangan wajahnya selalu mengikuti kemanapun Riga pergi selama ini.
"Menyesalkah Pak Riga masih ada di dunia karena telah diselamatkan oleh perempuan yang menginginkan bersama Pak Riga di dunia dan di surga?"
"Ameera ... aku tak ingin tahu bagaimana kamu bisa ada disini, tapi kamu harus tahu aku tidak akan lagi melepaskanmu."

_________________________________

"Saya terima nikah dan kawinnya Ameera Salsabila binti Yusuf Soeherly dengan maskawin satu gram emas dibayar tunai."

Kalimat qabul yang diucapkan Riga dengan lantang sontak membuat air mata Ameera berjatuhan. Ada haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Tak ada gaun pengantin yang mewah, tak ada pelaminan yang menawan, hanya ada beberapa piring kue yang disajikan untuk para tamu yang menghadiri pernikahan Ameera dan Riga disebuah masjid kecil di pinggiran kota Gaza. Ameera dinikahkan oleh seorang wali hakim setelah terlebih dahulu meminta ijin pada Ibu dan memastikan tidak ada seorangpun dari keluarga yang berhak menjadi wali nikah Ameera.

"Ameera, maaf nama kita tidak bersanding didalam surat undangan yang mewah dan elegan."
"Tak mengapa, yang penting kita bisa selalu bersanding disepanjang sisa usia kita."
Riga mengecup kening Ameera yang kini sudah sah menjadi istrinya.

Ameera perempuan hebat yang sangat dicintai Riga. Datang ke Gaza untuk sebuah misi kemanusiaan dibidang medis, tergabung dengan NGO yang bergerak dibidang kesehatan dari berbagai negara,
mereka mendirikan posko kesehatan di sebelah barat kota Gaza. Riga adalah pasien pertama posko kesehatan yang dibawa Ibrahim. Riga menjadi korban penembakan brutal tentara Israel saat mencoba membantu warga sipil Gaza yang rumahnya dibakar tentara Israel. Beruntung Riga diselamatkan Ibrahim. Ibrahim pandai menggunakan senjata dan memiliki beberapa senjata, senjata itulah yang digunakan Ibrahim untuk menembaki tentara-tentara Israel yang berusaha membunuh Riga dengan cara menembakinya. Riga terkena dua tembakan, di bagian dada kanan dan di bagian kaki. Dokter bedah yang ada di posko kesehatan langsung melakukan operasi darurat untuk mengeluarkan peluru yang bersarang ditubuh Riga dengan dibantu Ameera.

Ameera dan Riga duduk di tembok bangunan Rumah Sakit yang masih setengah jadi. Keduanya memandang langit Gaza yang pekat.
Amera bersandar di bahu Riga, tangan Riga lembut membelai kepala Ameera.
"Ameera, tak inginkah kembali ke Indonesia dan menikmati kehidupan damai serta semua kemewahan disana?"

"Mas Riga ada di sampingku dan halal memelukku seperti saat ini, adalah kemewahan dunia yang sangat membahagiakan untukku."

Riga kian mengeratkan pelukannya pada Ameera. Udara Gaza sangat dingin malam ini.
"Setelah misi kita disini selesai kita pulang ke Indonesia dan mengembangkan klinik sampah kita bersama-sama. Aku ingin mewujudkan semua impianmu untuk menebus semua penyesalanku karena aku pernah melepaskanmu, pernah mengabaikanmu padahal aku sangat mencintaimu."
"Aku tak peduli kapan Mas Riga mulai mencintaiku, itu tak penting lagi, tapi aku berharap kita akan tetap saling mencintai selamanya, aku ingin kita tetap bersama hingga ke surga."

"Tentu sayang, kamu bidadariku di dunia dan di surga, bidadari yang selalu membuat hatiku bergetar karena berulang kali jatuh cinta padamu. Memandang wajahmu membuat detak jantungku debarannya semakin kecang, menggengam tanganmu seperti aku menggengam kebahagiaan dunia dan seisinya. Tetaplah ada dan mencintaiku, aku akan memberikan cinta yang lebih untukmu, teruslah membersamiku meniti jalan menuju surga, kamu adalah penyempurna setengah dari agamaku, aku akan menjagamu dengan cinta yang tak kan pernah selesai."
Riga mengecup kening Ameera penuh cinta.
"I love you", bisik Riga lembut di telinga Ameera.
"I love you more."


---- tamat ---