Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU 21-25

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 21
Oleh: Khayzuran

"Itu lebam apalagi Bu?"
Ameera mengamati luka lebam yang tampaknya masih baru yang ada di sudut bibir kiri Handini.
"Tidak ada rutan dan lapas yang tidak keras, kalau tidak berengsek tidak akan masuk kesini."

Tatapan Handini kosong, telapak tangannya menyentuh lebam-lebam dipipinya yang masih terasa sakit. Tadi malam dia berkelahi lagi, tepatnya di keroyok oleh teman-teman satu selnya setelah kemarin beberapa hari Handini sempat diungsikan ke ruang isolasi karena kejadian perkelahian sebelumnya di sel yang berbeda.


"Nanti saat pemeriksaan, berkatalah jujur apa yang sebenarnya terjadi, jangan ada yang ditutup-tutupi, ibu Handini tidak seharusnya ada disini atas tuduhan perbuatan yang sama sekali tidak ibu lakukan."

"Dari mana dokter Ameera yakin kalau aku bukan pelaku pembunuhan itu?"
"Karena saya percaya ibu orang baik. Oh iya ini saya bawakan lagi ARV nya, jangan lupa diminum ya Bu. Adakah keluhan terkait kesehatan ibu?"
Handini menggeleng.

"Aku ingin segera keluar dari sini, kehidupan disini bisa membuat aku gila. Ini rutan khusus perempuan tapi dipenuhi binatang berwujud perempuan. Banyak diantara mereka yang penyuka sesama jenis dan penghuni baru seperti aku mereka jadikan sasaran untuk melampiaskan nafsu mereka. Yang awalnya mempunyai orientasi seksual normal bisa jadi menyimpang karena mereka setiap hari di stimulasi oleh hal-hal yang menjurus ke arah penyimpangan seksual. Belum lagi peredaran narkoba yang mengerikan, rutan ini sebagian besar dihuni oleh mereka yang terkena kasus narkoba dan meski ada disini jaringan mereka dengan dunia luar masih kuat dan intens."

"Saya faham Bu, makanya katakan semua yang terjadi, biar kebenarannya segera terungkap."
"Hari Sabtu katanya keteranganku akan dikonfrontir dengan keterangan Mas Fahri, secara psikis aku belum siap bertemu Mas Fahri meski dia masih berstatus sebagai suamiku."
"Ibu Handini sudah mengajukan permohoan cerai pada Mas Fahri?"

"Aku ingin kasusku selesei dulu, baru nanti menyeleseikan urusan rumah tangga. Dokter Ameera bisakah aku minta tolong?"
"Iya, apa Bu?"
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku sudah tidak punya keluarga yang bisa aku mintai pertolongan, satu-satunya sahabatku adalah Riga. Tolong sampaikan pada Riga kalau bisa hari Sabtu nanti datanglah kesini, ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Riga, dan kalau penyidik membolehkan, aku ingin Riga menamniku saat pemeriksaan. Cuma Riga yang selalu bisa memberiku ketenangan. "

Hari Sabtu? itu adalah hari pernikahan Riga dan Ameera.
"Baik Bu, insyaa Allah nanti saya sampaikan."
"Dokter Ameera sudah bertemu Dewi? Bagaimana kabar anak-anakku?"
"Alhamdulillah sudah Bu, ibu jangan khawatir, saya akan bantu jaga mereka, mohon doanya semoga semua sehat."

__________________________

Pulang dari rutan Ameera langsung ke Rumah Sakit, siang ini ia ada janji bertemu Rado di poliklinik. Entah ada apa laki-laki kekar bertulang lunak itu tadi malam tiba-tiba mengirim pesan meminta untuk bertemu.

"Sorry mengganggu waktu sibukmu. Anggap saja aku pasienmu."
Rado duduk santai di depan meja kerja Ameera, persis seperti seorang pasien yang sedang berkonsultasi dengan dokterya.

"Oke, berbicaralah layaknya seorang pasien."
Ameera memberi isyarat agar Rado tidak lagi membahas soal perjodohan mereka. Ameera masih tidak terima dengan ancaman Rado tempo hari yang berencana menjadikan pernikahan mereka sebagai tameng untuk menutupi kebusukan kelakuan Rado dan Satya.
"Aku sedang belajar menjaga jarak dengan Satya."
"Bisa?"

Rado menggeleng.
"Masih cukup sulit, bukan karena Satya yang terus menggoda dan menghubungiku tapi karena memang aku masih menyimpan rasa sayang untuk dia, kami sudah seperti dua manusia yang saling membutuhkan."

"Meski kamu sudah tahu kalau Satya itu HIV? Kamu ingin seperti Jim Hutton yang tetap setia pada Freddie Mercury meski tahu Freddie menderita AIDS? Jangan egois Rado, pikirkan ibu dan ayahmu."

"Aku ingin cek darah di laboratrium, kalau hasil cek darahku negatif HIV, maukah kamu menikah denganku, bantu aku untuk sembuh."
"Kalau hasilnya positif?"

"Bukankah banyak penderita HIV yang bisa hidup normal seperti orang sehat lainnya? Menikah dan punya keturuanan yang sehat. Kamu kan tahu banyak tentang HIV/AIDS kamu pasti tahu yang terbaik untuk aku, untuk kita."
"Kamu kenapa mendadak insyaf? Kemarin-kemarin kemana saja? Jangan jadikan aku sebagai tumbal dari masalahmu."

Rado terdiam, memang sangat sulit melepaskan diri dari kenikmatan yang selama ini sudah dinikmatinya bersama Satya, laki-laki yang sudah memanjakan dan memberinya banyak kebahgiaan, menyuguhkan dunia yang berbeda.

"Tadi malam ibu mecoba bunuh diri setelah mengetahui tentang aku dan Satya dari ibumu."
Ameera menarik nafas panjang dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Berusahalah untuk sembuh karena memang kamu ingin sembuh, bukan karena orang lain, karena motivasi itu menentukan hasil akhir."

"Iya makanya bantu aku, kamu berhutang secara materi pada keluargaku, kamu bisa menjadi dokter karena bantuan keluargaku, sekarang giliran kamu untuk membantuku dan keluargaku."
"Ini isi formulir informed concent untuk pemeriksaan darahnya dulu. Jangan bicarakan hal lain disini, ini Rumah Sakit, bukan rumah makan kamu."

Ameera menyodorkan formulir yang harus di isi Rado sebelum melakukan pemerikasaan darah di laboratorium.
"Besok malam aku akan membuka Restaurant baru, kamu datang ya."

"Maaf dokter Ameera besok sudah ada janji dengan saya, kita akan fitting baju untuk pernikahan kami."
Tanpa mengetuk pintu Riga masuk ke ruangan Ameera dan langsung menjawab ajakan Rado pada Ameera.

"Kalian akan menikah?"
"Iya, Sabtu depan, Ameera pasti mengundang kamu juga kok, iya kan sayang?"
Sayang?
Riga melirik pada Ameera sambil melemparkan senyum membuat Ameera kikuk.
"Rado, ini formulir pemeriksaannya, langsung bawa saja ke ruangan laboratorium di lantai dua, nanti aku menyusul kesana."

Ameera memaksa Rado untuk bangkit dari duduknya. Rado sebaiknya segera keluar dan tidak mendengar lebih banyak lagi lelucon yang keluar dari mulut Riga.
"Tapi..."
"Nanti aku telepon, sekarang ke lab aja dulu."

Ameera mendorong tubuh Rado agar segera keluar.
"Jadi itu yang namanya Rado?"

Ameera masih berdiri didepan pintu setelah mengantar Rado keluar. Sementara Riga duduk di ujung meja kerja Ameera.
"Pak Riga ada keperluan apa kesini?"

Ameera berusaha menutupi kegugupannya. Aahh...laki-laki itu selalu saja membuat jantungnya nyaris copot.
"Rado ganteng juga ya, persis seperti yang diceritakan ibumu, tapi saya tidak suka dia sok akrab seperti tadi pada calon istri saya."

Ameera membuang muka dari tatapan Riga. Ada kilatan tajam dari sorot mata Riga.
"Maaf Pak Riga, saya masih ada pekerjaan yang harus saya seleseikan....."

Tenggorokan Ameera tercekat, tidak mampu lagi melanjutkan kalimatnya saat menyadari Riga sudah ada di hadapannya, begitu dekat. Bahkan Ameera bisa medengar suara nafas Riga dan mencium parfum mewah yang selalu dikenakan Riga karena jarak mereka yang sangat dekat. Ameera mundur beberapa langkah, menjauh.

"Besok malam aku jemput kamu jam 7, kita fitting baju."
Suara Riga terdengar lembut. Ameera tidak berani mengangkat wajahnya yang saat itu pasti sudah berwarna kemerahan.

Please...jangan perlakukan aku seperti ini, jangan membuat desiran di hatiku semakin hebat, jangan membuatku semakin jatuh dalam perangkap cinta yang bodoh.
Ameera merutuki diri sendiri. Aku tidak mungkin akan sanggup menikah denganmu Pak Riga....

_________________________

Fahri menatap lepas deburan ombak di pantai Pattaya, tubuhnya terasa begitu lelah setelah dari kemarin tidak berhenti mengurus Anggodo yang hingga kini masih menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Memorial Pattaya.

"Hai, kamu Fahri kan? Masih ingat aku? kita bertemu di pesta malam kemarin, aku Satya, aku masih tergila-gila lho sama penampilan kamu yang seksi malam itu."
Satya mengedipkan mata kirinya sambil menggigit ujung bibirnya sendiri, memggoda Fahri.

-----


Satya dan Fahri terlibat percakapan hangat di bibir pantai Pattaya, pantai yang merupakan salah satu surga bagi para pelaku penyimpangan seksual. Pattaya adalah sebuah kota mungil nan menawan dengan luas 22, 2 km persegi yang terletak di pesisir teluk Thailand dengan hamparan lanskap pantai yang indah. Pattaya adalah surganya para pecinta sesama jenis, bahkan disana ada sebuah red-light district-nya para gay yang bernama Boyztown. Tempat ini mulai berdiri pada akhir tahun 80-an dan langsung menjadi salah satu pusat hiburan malam yang banyak dikunjungi wisatawan terutama kaum homoseksual. Di Thailand, L9B7 sudah di dianggap normal sehingga Thailand menjadi salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi kaum sodom ini karena disana mereka bebas melakukan apapun.

Untuk sementara, Fahri bisa melupakan Anggodo dan proses hukum yang akan dihadapinya di Indonesia. Kehadiran Satya yang hangat disisinya kini mampu memberi ketenangan.
Andai Fahri tidak bertemu Satya sebelumnya di pesta gay malam itu, Fahri tetap masih bisa mengenali Satya sebagai laki-laki penyuka laki-laki, hanya dengan melihat dari penampilan Satya.
Satya berpenampilan modis dan terlihat sangat peduli dengan penampilan, sama seperti kaum gay kebanyakan yang selalu menjaga penampilan dan selalu ingin tampil modis dan trendy sehingga selalu update tentang penampilan. Satya memiliki bentuk tubuh yang atletis, karena bagi kaum gay menjaga bentuk tubuh agar tetap atletis itu sangat penting karena bagi mereka, otot semakin menonjol itu semakin seksi, otot yang mereka miliki sama seperti perempuan yang memiliki bagian tubuh yang ingin menonjol seperti payudara dan bokong. Bagi kaum sodom ini, semakin besar dan kencang ototnya maka mereka akan semakin bangga dan percaya diri. Makanya tidak heran kalau fitnes center sering dipenuhi oleh mereka bahkan sering dijadikan tempat untuk menggelar pesta seks sesama jenis. Satya memiliki wajah yang teduh dan tatapan yang teduh, salah satu modal kaum gay untuk menarik hati pasangannya, dan biasanya laki-laki homo memiliki tatapan yang sangat tajam dan mendalam terhadap laki-laki lain yang disuakinya dan membangkitkan gairah seksualnya. Kaum gay selalu menjaga wangi tubuhnya, memakai parfum berkelas yang hargaya mahal agar selalu memiliki tubuh yang wangi dan menggairahkan. Kaum gay meski memiliki tubuh atletis namun ketika sedang bersama pasangan gay nya dia bisa berubah menajadi kemayu dan berbicara dengan gaya yang manja, jari kelingkingnya yang selalu terangkat pada saat ia sedang mengerjakan sesuatu seperti saat minum bahkan saat tidur, jari kelingkingnya selalu melentik ataupun menjauh dari jari manis. Disamping itu kaum gay biasanya menjaga jarak dari perempuan, hobi shopping dan menghabiskan banyak waktu di salon, betah mengerjakan pekerjaan rumah terutama pekerjaan di dapur dan biasanya suka menonton film romantis. Meski semua ciri-ciri itu tidak selalu ada pada laki-laki gay dan kadangkala ada pada laki-laki normal atau heteroseksual namun setidaknya bisa dijadikan sebagai salah satu acuan kewaspadaan untuk mengenali keberadaan mereka di sekitar kita.

"Gak bosen liburannya cuma menghabiskan waktu disini? ke Patpong yuk?"
Satya sudah tidak segan lagi menunjukkan ketertarikannya pada Fahri.

"Aku lagi sedih nih, pacar aku udah mulai jaga jarak gara-gara ibunya mau bunuh diri. By the way mana Anggodo? kok gak kelihatan?"
"Dia lagi istirahat."
Fahri berkilah.

"Ayolah kita ke Patpong."
Satya merajuk, tangannya mulai nakal merengkuh bahu Fahri.
Patpong adalah salah satu kota di Thailand yang terkenal di dunia, kota yang menurut sejarahnya dibuka oleh imigran China tersebut dibagi menjadi dua bagian, ada wilayah yang diperuntukkan untuk kaum gay, lesbi dan transgender dan ada wilayah yang diperuntukkan untuk laki-laki normal.

________________________________________

Satya dan Fahri berjalan bergandengan di sepanjang jalan kota Patpong, sesakali tangan Satya memeluk pinggang Fahri. Di sepanjang jalan ada ratusan laki-laki gagah bertubuh atletis dan perempuan cantik hilir mudik di sepanjang kawasan hiburan tersebut mencari hiburan sesuai dengan selera dan kesenangan masing-masing sesuai orientasi seksualnya.

"Cari minum dulu yuk haus."
Fahri mngajak Satya mampir ke sebuah Cafe.
Mereka duduk berhadapan. Satya menatap Fahri lekat saat mereka menunggu pesanan minuman.
Fahri memang tidak seganteng dan seatletis Rado tapi untuk saat ini sepertinya bisa menjadi obat luka di hati Satya karena ditinggalkan Rado, kekasih laki-lakiya.
Tatapan Satya berhenti pada leher Fahri, disana ada seperti luka lecet yang berwarna keunguan.
"Tadi malam kamu habis bercinta sama Anggodo?"

Fahri menggeleng.
"Mas Anggodo sedang sakit."
Satya membuang muka dari Fahri, memandang hiruk pikuk kota Patpong yang memanjakan mata kaum penyuka sesama jenis sambil berpikir bagaimana setelah ini menjauh dari Fahri, Fahri hampir payah, tidak akan bisa diandalkan, gumam Satya dalam hati.

Satya menangkap ada beberapa titik ruam di bagian tubuh Fahri yang sama persis seperti yang ada di leher. Satya meyakini itu adalah salah satu tanda dan gejala sarkoma kaposi, seperti yang pernah dijelaskan dokter Ameera padanya. Sarkoma kaposi adalah kanker yang berasal dari sel-sel endotel, yaitu sel yang melapisi pembuluh limfa atau pembuluh darah. Seseorang yang terkena AIDS memiliki risiko tertinggi menderita sarkoma kaposi. Ketidakmampuan sistem kekebalan tubuh untuk melindungi tubuh dari infeksi memungkinkan virus herpes terkait sarkoma kaposi bereplikasi.

"Fahri, aku ke toilet dulu ya."
Satya membelai rambut Fahri sebelum berlalu.

_______________________________________

Sudah lebih dari satu jam Fahri menunggu Satya yang tidak juga kembali. Akhirnya Fahri memutuskan untuk segera kembali ke Pattaya karena pihak Rumah Sakit tempat Anggodo di rawat meminta Fahri untuk segera datang ke Rumah Sakit, katanya ada hal penting yang harus dibicarakan terkait rencana pengobatan Anggodo selanjutnya.

Fahri gelagapan saat akan membayar minuman yang tadi dipesannya bersama Satya. Dompet yang tadi disimpan di saku jeans yang dikenakannya raib entah kemana, padahal semua kartu identitas, atm dan kartu kredit ada di dompet itu.

_______________________________________

Ameera menyodorkan sebuah kertas pada Handini.
"Ini formulir permohonan gugatan cerai ibu untuk Pak Fahri, Bu Handini bisa mengisinya sekarang, jadi ketika nanti bertemu Pak Fahri saat pemeriksaan ibu bisa sekalian meminta tandatagan Pak Fahri untuk surat gugatan perceraian ini."

"Bukannya istri itu tidak boleh menggugat cerai suami? Hak talak kan hanya ada di suami, bukan di istri."

"Betul bu, hak talak memang ada di suami tapi tidak berarti bahwa istri tidak boleh menceraikan dirinya sendiri dan melangsungkan perpisahan antara dirinya dengan suaminya. Seorang istri berhak untuk menceraikan dirinya dari suaminya dan mengadakan perpisahan antara dirinya dan suaminya dalam kondisi-kondisi tertentu. Syara' telah membolehkan bagi perempuan untuk memfasakh (membatalkan/merusak) ikatan pernikahan dalam beberapa kondisi, misalnya ketika suami menyerahkan masalah talak di tangan istri, jika istri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat sehingga tidak bisa melakukan hubungan suami istri, impoten atau telah di kebiri. Jika suami mengidap penyakit yang membahayakan, atau suami yang menjadi gila atau suaminya tidak mau memberi nafkah baik lahir maupun batin padahal ia mampu. Bukankah ibu Handini sudah mempunyai beberapa alasan seperti itu? jadi tidak berdosa jika ibu ingin meminta berpisah dari Pak Fahri."

"Kenapa dokter Ameera ingin segera aku bercerai dengan Mas Fahri?"
Karena aku ingin melihat Pak Riga bahagia. Sekuat apapun aku berusaha untuk membahagiakan Pak Riga, usahaku akan selalu sia-sia, karena bukan aku yang ada di hati Pak Riga, tapi ibu Handini.
Sisi hati Ameera yang lain berceloteh dalam senyap.
"Karena ibu Handini dan anak-anak berhak bahagia."

________________________

Ameera menatap Maura yang terbaring lemah di ruang PICU. Ventilator masih terpasang untuk membantu pernafasan Maura.
"Bertahanlah Maura, kamu harus kuat seperti ibumu."

Sudut mata Ameera basah.
"Maaf dok, permisi saya mau mengganti popok Maura."
Seorang perempuan kurus meminta ijin pada Ameera, dia Dewi.
"Biar saya bantu."

Ameera membatu Dewi mengganti diapers Maura. Bayi kecil itu tampak semakin kurus saja.
"Apa Maura ini punya saudara?"
Tanya Ameera pada Dewi, berharap jawaban Dewi akan menjadi petunjuk keberadaan Arkania.
"Punya dok, saya titipkan di panti asuhan karena saya tidak bisa mengurusnya. Kakaknya Maura itu hiperaktif, dia autis, saya pusing ngurusnya, lagian saya tidak punya uang."
"Dititipkan di panti asuhan dimana?"
"Di panti asuhan Kasih Pertiwi di Sukabumi."

___________________________

Siang itu juga Ameera ke Sukabumi, dengan beberapa informasi tentang panti asuhan Kasih Pertiwi yang dia dapatkan dari google.

"Ameera memasuki sebuah bangunan sederhana yang di halaman depannya tertulis "Panti Asuhan Anak Kasih Pertiwi."

Baru melangkahkan kaki beberapa langkah memasuki halaman langkah Ameera di jegal oleh seorang laki-laki tua berwajah tidak bersahabat.
"Cari siapa?"
"Saya mau bertemu ibu panti."
"Ada keperluan apa?"

Laki-laki tua itu tampak tidak suka dengan kedatangan Ameera.
"Marzuki....biarkan tamunya masuk."
Seorang perempuan berusia enam puluh tahunan keluar dari dalam panti.
"Cari siapa Neng?"

Tanya perempuan itu ramah.
"Maaf ya, tadi itu Marzuki, dia memang selalu begitu pada setiap tamu yang datang. Dia belum lama tinggal disini, ibu merawat dan mengajak dia tinggal disini karena kasihan dia hidup sebatang kara, maklumlah masyarakat kita belum bisa menerima mantan narapidana hidup di tengah-tengah mereka, jadi ibu ajak Marzuki tinggal disini buat bantu bersih-bersih panti dan kebun yang ada di belakang panti, dia bilang dia punya pengalaman kalau soal bersih-bersih karena dulu dia berprofesi sebagai penjaga sekolah."

-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 23
Oleh: Khayzuran

Fahri kebingungan bagaimana dia harus kembali ke Pattaya. Jarak Petpong ke Pattaya itu 149,3 km, tidak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki. Jangankan untuk membayar ongkos perjalanan Petpong-Pattaya, untuk membayar minuman yang tadi di pesan Satya dan sudah dia minum saja tidak mampu karena sama sekali tidak ada uang yang tersisa.

Denga alasan mau ke toilet dulu Fahri berhasil melarikan diri dari cafe. Fahri berjalan menyusuri jalan kota Petpong tanpa tujuan. Hari mulai merambat malam, perut Fahri mulai terasa keroncongan, ia hanya bisa menelan ludah saat melewati restaurant yang menyajikan berbagai makanan yang tampak enak yang terlihat dari kaca show case.

Langkah Fahri terhenti didepan sebuah klub malam. Pintu klub itu sengaja di buka, sama seprti klub-klub yang lainnya yang ada di kota Petpong ini, membiarkan pintunya terbuka agar para pengunjung dapat menyaksikan sedikit dari atraksi para penari stiptis laki-laki yang ada di dalamnya sehingga tertatik untuk masuk.

Di kota Petpong ini ada beberapa tempat yang terang-terangan menulis sebagai panti pijat kaum gay dan klub homoseksual. Fahri melihat ada banyak laki-laki berwajah tampan dengan tubuh atletis tampak mengantri untuk masuk ke tempat itu.

Fahri kembali memutar otak bagaimana ia harus mendapatkan uang agar bisa segera kembali ke Pattaya, Anggodo yang masih terkapar di Memorial Pattaya Hospital membutuhkan kehadirannya.
Fahri tidak punya keahlian yang bisa digunakan untuk bisa segera mendapatkan uang.
"Apakah aku harus menjual diri pada laki-laki hidung belang agar aku bisa pulang?"
Fahri berbicara pada dirinya sendiri.

_________________________________________

Handini menyandarkan tubuhnya pada tembok dingin di dalam sel. Senyumnya merekah saat matanya lekat menatap Maura yang sedang tertidur pulas. Kemarin Ameera membawakan foro Maura yang sedang tertidur lelap dalam pangkuan Ameera untuk Handini.
"Ibu Handini jangan khawatir, saya akan membantu mengurus Maura."
Lembuat suara Ameera memberi ketenangan pada Handini.

"Sabar sayang, sebentar lagi kita akan berkumpul kembali. Doakan ibu agar bisa mengatakan semua kebenaran ini dan doakan agar semua orang percaya dengan yang ibu katakan."
Handini membelai foto yang ada di genggamannya, ia sangat merindukan kedua buah hatinya.

_________________________________________

Sementara di tempat lain, Riga melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan Handini.
Riga menatap undangan yang ada digenggamannya. Undangan bertuliskan namanya dan Ameera.
Bayangan wajah Ameera berkelebat di mata Riga, perempuan pintar yang cantik dan selalu berpenampilan sederhana. Ada senyum yang tersungging dari bibir Riga saat dirinya menyadari ada getaran-getaran halus yang Riga rasakan di hatinya saat membayangkan Ameera yang sedang tersenyum padanya.

Reflek tangan Riga mencari sebuah nomor di ponselnya lalu menekan nomor itu hingga terdengar nada sambungan telepon. Dengan frekuensi detak jantung yang meningkat Riga menanti sebuah suara di seberang sana yang akan mengangkat teleponnya. Namun hening, tidak ada suara, hanya nada sambungan telepon yang terdengar. Sekali lagi Riga mengulangi aksinya, namun orang yang di telepon tidak juga mengangkat telepon Riga, membuat Riga mulai khawatir.

"Ayo Ameera, angkat teleponnya."
Kini Riga mulai terlihat cemas, tidak biasanya Ameera mengabaikan telepon dari Riga.
Riga meyambar kunci mobil yang tergeletak di meja, ia bergegas mengeluarkan mobil dari garasi dan langsung meluncur ke rumah Ameera.

"Ameera tadi telepon katanya hari ini tidak pulang karena sedang ada tugas keluar kota, memangnya tidak mengabari Nak Riga?"

Ibu Ameera yang ditemui Riga justru balik bertanya pada Riga.
"Tidak Bu, tadi beberapa kali saya telepon juga tidak diangkat. Ameera keluar kotanya kemana ya Bu, sama siapa?"

"Ibu tidak bertanya, ibu kira tugas dari Rumah Sakit dan Nak Riga tahu."
Tugas dari Rumah Sakit? Mungkin dokter Chandra tahu kemana perginya Ameera jika memang itu tugas dari Rumah Sakit.
Riga langsung menghubungi dr. Chandra, namun sayang, dr. Chandra juga tidak tahu kemana Ameera pergi karena tidak ada tugas dari Rumah Sakit untuk Ameera yang mengharuskannya pergi ke luar kota.

Kini, Riga benar-benar mencemaskan Ameera, takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.
"Apa ada teman dekat Ameera yang tinggal di luar kota Bu?"
"Ada, Rania, teman seangkatannya di fakultas kedokteran, apa mungkin Ameera ke rumah Rania? tapi kan Rania sedang tidak ada di kampungnya. Kemarin Ameera cerita kalau Rania sedang ada di Rumah Sakit, menunggu anak majikan ibunya yang sedang dirawat di ICU karena mengalami gegar otak akibat kecelakaan mobil jatuh ke jurang."

__________________________________________

Ameera duduk termenung di kursi lapuk di teras panti asuhan Kasih Pertiwi, matanya menatap langit yang bertabur bintang. Sesekali Ameera melirik ponsel yang ia letakkan di sampingnya, ponsel itu tidak berhenti berdering, ada nama Riga di layarnya.

Ameera bersyukur hari ini sudah bisa bertemu Arkania, meski belum tahu apakah bisa membawa Arkania atau tidak. Tadi, Ameera sudah memperkenalkan dirinya dan permasalahan yang terjadi sehingga membawa Ameera datang ke panti asuhan Kasih Pertiwi ini pada Bu Dinar, ibu panti yang mengelola panti ini. Namun, Bu Dinar sepertinya belum percaya 100% pada Ameera sehingga tidak serta merta memberi ijin Ameera untuk membawa Arkania. Ameera harus membawa surat kuasa dari Dewi atau Handini jika ingin membawa Arkania dari panti ini.

Melam kian larut, kegelapan semakin pekat, Ameera merapatkan sweater yang dikenakannya untuk melawan rasa dingin.
Ponsel Ameera berbunyi lagi, bukan nada telepon, tapi ada pesan masuk via WA.

"Tolong angkat teleponku, jangan membuat aku gila karena mencemaskanmu."
Pesan dari Riga. Ameera hanya membacanya, tapi tidak membalas pesan itu. Detik berikutnya ponsel Ameera berdering, Riga video call. Klik, Ameera mematikan teleponnya.

Ameera memejamkan mata, kenapa masih saja ada rindu untuk laki-laki itu, laki-laki yang dicintainya namun tidak mencintainya. Laki-laki yang harus segera diikhlaskan dan dilupakannya jika misinya sudah selesei.

Ketenangan Ameera terusik, dia seperti mendengar rintihan kesakitan dari kejauhan. Ameera memincingkan mata dan telinganya mencari sumber suara. Samar mata Ameera menangkap sesosok tubuh ringkih berkelebat, melesat keluar dari kamar yang dihuni Arkania dan ketiga temannya sesama penghuni panti. Ameera mengikuti sosok yang mencurigakan itu, namun hilang menyelinap ke ruang belakang, ruangan yang terletak di belakang panti yang di peruntukan ibu panti untuk kamar Marzuki.

Ameera berbalik, masih ada suara rintihan kesakitan yang lamat-lamat terdengar. Langkahnya cepat menuju kamar yang dihuni Arkania dan teman-temannya.
Jantung Ameera seperti berhenti berdetak saat ia berdiri di depan pintu kamar Arkania yang terbuka dan menyaksikan apa yang terjadi di kamar itu.

-----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 24
Oleh: Khayzuran

Jantung Ameera seperti berhenti berdetak saat ia berdiri di depan pintu kamar Arkania yang terbuka dan menyaksikan apa yang terjadi di kamar itu.

Arkania sedang melumuri badannya dengan darah yang masih segar, sementara ketiga temannya berkumpul di sudut kamar dengan wajah penuh ketakutan. Ada pecahan beling yang berserakan di lantai, juga ada bercak darah tercecer, darah segar.
"Ibu...."

Ameera berteriak, berharap ibu panti akan segera datang.
"Arkania sayang, sini sama tante Nak, letakkan pecahan beling itu di lantai, biar nanti tante yang bersihkan."

Dengan hati-hati Ameera mendekati Arkania yang sebagian tubuhnya sudah berlumur darah.
"Lepaskan beling itu Nak...."

Pinta Ameera, namun Arkania malah semakin mengeratkan genggaman beling yang ada di tangannya. Arkania meraung kesakitan, darah segar mengalir dari tangan Arkania. Dengan sigap Ameera menggenggam pergelangan tangan kiri Arkania yang sedang menggenggam pecahan beling sementara tangan kanan Ameera menggelitik pinggang Arkania membuat Arkania kegelian dan dengan spontan membuka kepalan tangannya sehingga pecahan beling yang ada digenggamannya terjatuh.

"Aaaaa...Aaaaa....."
Arkania berontak, Ameera memeluk Arkania dan segera membawanya ke luar kamar.
"Ada apa ini?"
Ibu panti nyaris bertabrakan dengan Ameera di lorong.

"Bu, tolong bawa Arkania ke puskesmas atau klinik terdekat, minta pak RT atau siapapun untuk segera kesini bantu saya."

Ameera menyerahkan Arkania pada ibu panti dan setelah itu langsung melesat menuju ruangan belakang, ruangan yang disediakan ibu panti unuk istirahat Marzuki.

Ameera berjalan mengendap dalam kegelapan sambil menahan nafas. Ameera mengintip ke dalam kamar Marzuki dari celah lubang kunci, namun kamar itu tampak kosong, terlihat ada bercak darah di lantai.
"Brak...."

Sebuah benda keras hampir menimpa kepala Ameera, alhamdulillah lemparan batu itu meleset, mungkin karena gelap jadi lemparanya melenceng dari sasaran.
Ameera berbalik, dalam temaram malam Ameera mendapati sosok tubuh ringkih dihadapannya yang sedang berdiri dengan sebuah cerulit di tangan kanannya, berdiri tidak jauh dari Ameera, dia Marzuki.

"Menyingkir dari sini dan tutup mulut atau saya habisi kamu."
Marzuki mengacungkan cerulit, ada darah segar menganak sungai di pelipisnya. Entah apa yang tadi terjadi di kamar Arkania.
Ameera mundur, menempelkan tubuhnya pada pintu kamar Marzuki.
"Oke, biarkan saya pergi dan saya berjanji akan tutup mulut, tapi tolong jangan gannggu anak-anak panti."

Marzuki tertawa lalu terbatuk-batuk.
"Kamu pikir aku akan percaya sama kamu? aku tidak akan membiarkan orang yang sudah mengganggu kesenanganku lolos, kamu harus mati biar tutup mulut selamanya."
Marzuki mendekat, kilatan celurit ditangannya siap menebas Ameera. Lari atau tetap tinggal, nasib Ameera mungkin tidak akan berbeda, cerulit Marzuki akan mengoyak tubuhnya.
"Stop, aku mohon stop."

Teriak Ameera sambil memejamkan matanya, hati Ameera terlalu ciut melihat kilatan cerulit didepan mata.
"Dor.....Dor..."
Marzuki terhuyung, cerulit di tangan kanannya terjatuh diikuti tubuhnya yang limbung, lalu ambruk. Ada erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya.

Ameera masih menempelkan tubuhnya pada daun pintu kamar Marzuki, matanya membuka perlahan. Ameera belum berani mendekati Marzuki yang terkapar, khawatir laki-laki tua bangka itu hanya berpura-pura, lalu menyergap Ameera saat lengah.

Ameera tidak tahu siapa yang menembak Marzuki, pencahayaan dari bohlam kekuningan tidak mampu memudarkan pekatnya malam.

"Kamu tidak apa-apa?"
Seorang laki-laki dengan senapan angin di tangannya mendekati Ameera. Ameera seperti mengenal suara laki-laki itu.

"Mas Rado? Kenapa ada disini?"
"Ameera? kenapa kamu ada disini?

Rado dan Ameera sama-sama merasa heran kenapa keduanya ada disini, terlibat dalam permasalahan yang sama. Namun keduanya juga sama-sama merasa lega karena bisa saling menyelamatkan.
"Sebaiknya kita segera lapor polisi Mas, Marzuki harus segera diamankan."
"Jangan, kita sekap dulu dia."

Rado mengambil celurit yang tergeletak tak jauh dari Marzuki yang terkapar.
"Kamu tunggu disini awasi dia, aku akan mencari sesuatu untuk mengikat dia, jangan takut, dia tidak mungkin bisa lari."

Tak lama, Rado sudah kembali dengan tali tambang di tangannya.
"Mimisnya harus segera dikeluarkan Mas, biar perdarahannya berhenti."
"Bantu aku untuk mengikat dia, lalu kita bawa dia ke gudang, kamu bisa melakukan operasi kecil disana untuk mengeluarkan mimisnya."

"Tapi aku tidak membawa peralatan dan obat-obatan untuk melakukan operasi."
Rado mengikat kedua kaki dan tangan Marzuki lalu menyeretnya ke gudang. Marzuki meronta, berusaha melepaskan ikatan, tapi tubuh tuanya yang rapuh tidak mampu melawan kekuatan Rado yang masih muda dan bertubuh atletis, tubuh six pack hasil fitnes yang membuat Satya tergila-gila pada Rado.

"Buka...., Brengsek!"
Marzuki melolong dalam kegelapan Malam.
"Kenapa kita tidak menyerahkan dia ke polisi saja?"
"Ameera, dia itu baru keluar dari penjara karena kasus pedofil."
Ameera ternganga. Ya Allah, apa yang tadi terjadi di kamar Arkania? Mungkinkah Marzuki.....?
"Keluarkan mimis dari tangan dan kaki Marzuki, operasi pakai pisau saja, tidak usah pakai obat bius. Aku ambil pisau dulu ke dapur."

"Biar aku saja yang mengambil, Mas Rado tunggu disini."
Marzuki masih mengerang kesakitan, meringkuk di lantai berdebu dengan tangan dan kaki terikat tambang.
Ameera kembali dengan pisau dapur yang dia ambil dari dapur panti.
"Mas Rado, tolong bantu terangi dengan senter ponsel, Marzuki pasti akan sangat kesakitan, tolong bantu pegangin ya."

"Sakittt....Hentikan! Jangan bunuh aku!
Marzuki meronta karena kesakitan saat pisau yang di pegang Ameera berusahan mencongkel mimis yang ada di tangan Marzuki, tanpa obat bius. Mengeluarkan mimis dari tembakan yang ada di tangan cukup mudah karena mimisnya ada tepat di lobang luka tembak itu.

Ameera membalut luka di tangan Marzuki dengan verban yang ia ambil dari kotak P3K mobilnya. Luka itu seharusnya di jahit, tapi tidak ada benang dan jarum untuk menjahitnya jadi Ameera hanya membalutnya dengan kencang untuk menghindari terjadinya perdarahan.

Aksi Ameera berlanjut, pisau dapur yang ia genggam kini merobek betis Marzuki tanpa obat bius, mencari mimis dari senapan angin yang ditembakkan Rado pada kaki Marzuki.
Marzuki berteriak kesakitan, meronta dan meraung-raung, Ameera tidak juga menghentikan aksinya, cukup sulit mencari letak persembunyian mimis itu hingga membuat Ameera harus menyayat lapisan-lapisan daging di betis Marzuki untuk menemukannya.

"Harusnya luka ini di jahit Mas, perdarahannya cukup banyak. Tapi mudah-mudahan balut tekan ini bisa meminimalisir perdarahannya."
Ameera membalut kaki Marzuki setelah berhasil mengeluarkan mimis dari betisnya, balut tekan dengan kencang. Marzuki hampir semaput karena kesakitan.

"Ini dikepalanya juga ada luka."
Rado menjambak rambut Marzuki.
Ameera memeriksa kepala Marzuki, ada pecahan beling kecil-kecil disana. Setelah kepala Marzuki di bersihkan Ameera pun membalutnya dengan verban.

"Malam ini kita biarkan dulu dia disini, sambil kita memikirkan apa yang akan kita lakukan besok."
Ameera mengganti baju Marzuki dibantu Rado, lalu diselimuti dengan kain sebelum keduanya meninggalkan Marzuki di gudang yang masih meraung-raung kesakitan.

___________________________________________

Ameera dan Rado duduk di kursi kayu di teras depan panti, waktu hampir dini hari, namun keduanya tidak juga merasa ngantuk.
"Minum dulu teh jahenya."

Ibu Dinar meletakkan tiga gelas teh jahe di atas meja, lalu ikut duduk diteras.
"Arkania sudah tidur Bu?"
"Baru saja tidur, tadi ngamuknya cukup lama."

Dari informasi yang didapat dari teman sekamar Arkania, tadi Marzuki masuk ke kamar mereka dan memaksa mereka untuk membuka baju lalu bermain kuda-kudaan, namun semua anak-anak menolak perintah Marzuki dan membuat Marzuki geram. Marzuki mulai memaksa Agnisa, teman sekamar Arania, untuk membuka baju namun Agnisa melawan. Marzuki mencengkram leher Agnisa, saat itulah Arkania membantu Agnisa dengan menggigit kaki Marzuki. Saat Marzuki jongkok untuk melepaskan gigitan Arkania, Agnisa mengambil gelas minum lalu dilemparkan ke kepala Marzuki.

"Jadi ini yang namanya Ameera? Mas Rado pernah cerita sama ibu tentang Ameera, ternyata lebih cantik dari yang diceritakan Mas Rado, tapi sayang kalian tidak berjodoh."
Rado melirik Ameera, keduanya saling melempar pandang.
"Doain aja Bu biar berjodoh."

Rado tersenyum manis, matanya masih menatap Ameera.
"Mas Rado ini yang membiayai semua biaya operasional panti ini. Mas Rado kalau kesini pasti ke wisata berburu di Cikidang, makanya Mas Rado menyimpan senapan angin di kamarnya. Ibu masuk dulu ya, mau nemenin anak-anak tidur."

Rado dan Ameera saling membisu, keduanya menatap langit yang bertabur bintang.
"Apa kamu bisa mengebiri Marzuki? Beberapa hari yang lalu Bu Dinar telepon aku, dia minta ijin untuk mempekerjakan mantan napi bernama Marzuki yang sudah ditempatkan Bu Dinar di kamar belakang, katanya kasihan sudah tua hidup sebatangkara. Cukup sulit mencari informasi tentang masa lalu Marzuki dari website kepolisian, aku ingin tahu latar belakang kenapa dia dipenjara. Akhirnya aku meminta pengacara perusahaanku untuk mencari informasi dan ternyata Marzuki itu seorang pedofil, tadi sore aku langsung kesini untuk membereskan tentang Marzuki dan ternyata Marzuki sudah berulah."

"Harusnya para pelaku kejahatan seksual pedofil itu di hukum mati saja biar rantai setannya terputus."
"Untuk sementara kita kebiri saja Marzuki, jangan dulu diserahkan pada pihak kepolisian."
Usul Rado, Ameera menggeleng.

"Kebiri yang bisa dilakukan para dokter hari ini hanya pengebirian secara kimiawi. Kebiri kimia itu hanya menyuntikkan obat anti androgen yang berfungsi menekan hormon testosteron dengan maksud agar gairah seks akan menurun, kemampuan ereksi menurun, tapi kenyataannya gairah seksual itu kan bukan masalah hormon saja. Lagian penyuntikan obat anti androgen pada proses kebiri itu tidak cukup dilakukan satu kali, harus berulang kali kalau mau hasilnya efektif."

"Bagaimana kalau kamu melakukan kebiri fisik saja sama Marzuki, bisa kan?"
"Kebiri fisik itu membuang testis yang merupakan tempat produksi testosteron. Di dunia kedokteran saat ini, kebiri fisik sudah tidak lagi dilakukan kecuali ada indikasi medis tertentu seperti kanker prostat."

Rado menarik nafas panjang, tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Orang seperti Mas Rado tuh yang harusnya dikebiri atau hukum mati sekalian."
"Lho kok jadi aku? Aku kan sudah bilang, aku ingin sembuh, kamu bantu aku dong."

"Lagian hukuman kebiri juga tidak akan efektif Mas, huumnya juga haram. Syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan pengebirian pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Mas Rado pernah dengar gak hadits yang diriwayatkan imam Buhari? Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, ”Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW), "Bolehkah kami melakukan pengebirian?” Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu."

"Jadi apa dong hukuman yang pantas menurut Islam bagi pedofil?"
"Jika yang dilakukan adalah perbuatan zina maka hukum yang berlaku ya hukum zina, dirajam bagi yang sudah menikah, dicambuk bagi yang belum menikah. Jika yang dilakukan adalah persetubuhan lewat anus atau sodomi maka hukumannya adalah hukuman mati. Kalau yang dilakukan adalah pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina atau sodomi hukumannya ta'zir yang ditentukan oleh hakim. Itu hukuman yang tepat, kalau kebiri tidak akan menyeleseikan masalah."
Medical Daily pernah mengutip, kurang dari 10% dari 626 pasien yang dikebiri kimiawi kembali melakukan kejahatan seksual 5 tahun sejak proses pengebirian. Pada beberapa orang, hasrat dan dorongan seksual tidak berubah setelah proses pengebirian. Jadi pelaku kejahatan seksual itu hukuman yang pantas untuk mereka ya hukuman mati. Kalau cuma dikebiri dan dipenjara selama 15-20 tahun, setelah keluar dari panjara mereka bisa saja datang ke dokter untuk disuntik hormon testosteron untuk mengembalikan kejantanan mereka dan mereka bisa menjadi pelaku kejahatan seksual lagi yang lebih ganas. Mereka bisa melakukan kejahatan seksual disertai pembunuhan.

_____________________________

Setelah dibantu Rado meyakinkan Bu Dinar, Ameera diperbolehkan membawa Arkania. Rado meminta ibu Dinar untuk mengawasi Marzuki. Ameera dan Arkania pulang diantar Rado, mobil Ameera ditinggal di panti karena besok Ameera akan datang lagi ke panti untuk menyuntik Marzuki, bukan menyuntik obat anti tetanus serum untuk mencegah terjadinya tetanus karena luka kotor yang ada di tubuh Marzuki, tapi Ameera berniat untuk menyuntikkan obat antibiotik agar luka-luka di tubuh Marzuki tidak infeksi.

Ameera membawa Arkania ke rumahnya, untuk sementara Arkania diitipkan pada ibu karena Ameera harus segera ke rumah sakit. Ameera akan meminta Dewi untuk pulang ke rumah Ameera, menjaga Arkania, biar Ameera saja yang mengurus Maura di Rumah Sakit.

"Mas Rado pulang saja, sepertinya Mas Rado lelah, biar aku ke Rumah Sakit naik taksi online saja."
"Hari ini hasil cek darah aku keluar, jadi aku ke Rumah Sakit bukan untuk mengantar kamu tapi untuk mengambil hasil lab, tapi kalau kamu mau numpang aku gak keberatan sih."
Rado tersenyum meggoda Ameera.

____________________________________________

Rado dan Ameera berjalan bersisian memasuki pintu utama Rumah Sakit milik Riga.
"Mas Rado, nanti hasilnya bawa ke ruangan aku saja ya, aku tunggu disana."
"Oke, kamu jangan lupa sarapan ya, dari malam kamu belum makan lho."
Ameera mengangguk, lalu senyumnya mengiringi kepergian Rado yang masuk lift menuju laboratorium di lantai tiga. Tanpa menyadari ada sepasang mata yang menatap marah pada Ameera dan Rado sejak keduanya masuk ke gedung itu.

"Semalaman aku tidak bisa tidur karena mencemaskan kamu, ternyata kamu bersenang-senang sama mantan calon tunangan kamu, kalian berdua ngapain aja semalaman?"
Riga menjegal langkah Ameera, entah dari arah mana Riga datang. Nada sinis terdengar jelas dari intonasi suara Riga.

"Maaf Pak, aku cape, aku akan jelaskan nanti, aku permisi dulu."
Ameera hendak pergi namun tangan Riga mencengkram tangan Ameera dan menariknya menuju ruangan kerja Ameera.

"Lepasin, tolong Pak lepasin."
Ameera menarik-narik tangannya dari cengkraman Riga. Riga baru melepaskan cengkraman tangannya saat sudah ada di dalam ruangan kerja Ameera.
"Aku tidak suka kamu dekat-dekat dengan Rado, kamu itu calon istri aku, sebentar lagi kita akan menikah."

Ameera menarik nafas, mengumpulkan keberanian. Kali ini Ameera melihat Riga betul-betul marah padanya.
"Aku akan melepaskan Pak Riga, aku tidak akan berbicara pada siapapun tentang Pak Riga yang menghancurkan pernikahan ibu Handini, aku akan diam. Aku tahu Pak Riga sudah mengeluarkan uang banyak untuk persiapan pernikahan ini, aku akan membayarnya dengan mengabdikan diri di Rumah Sakit ini sampai utangku pada Pak Riga lunas. Maaf kalau pak Riga merasa dipermainkan, aku sungguh mohon maaf....."

Ameera menggigit bibirnya, ada isak yang tertahan.
"Tadi malam Pak Fahri sudah menjatuhkan talak untuk ibu Handini melalui pengacaranya, tunggulah 100 hari kedepan sampai selesei masa iddah. Belum terlambat bagi Pak Riga dan Bu Handini untuk saling membahagiakan."

Lanjut Ameera, kali ini suaranya melemah. Ada yang berdesir perih di hati Ameera, mencintai tidak harus memiliki bukan?.

Tadi malam, pengacara Handini mengabari Ameera tentang talak yang dijatuhkan Fahri melalui pengacaranya. Kata pengacaranya, Fahri sendiri bisa dipastikan tidak bisa memenuhi panggilan kepolisian karena masih ada di luar negeri untuk urusan bisnis.

"Ameera, kita harus segera ke Sukabumi sekarang, Bu Dinar barusan telepon, katanya Marzuki tidak ada di gudang, dia kabur."

Rado menerobos masuk ruang kerja Ameera tanpa mengetuk pintu apalagi mengucapkan salam. Riga menatap tidak suka pada Rado yang terlihat sangat akrab dengan Ameera.
"Kamu tidak boleh pergi Ameera, kita belum selesei bicara."

"Ayo Ameera, kita harus segera pergi kesana sekarang."
Rado memaksa Ameera untuk segera pergi dengannya ke Sukabumi, tak peduli dengan Riga yang memaksa Ameera untuk tetap tingggal.

----

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 25
Oleh: Khayzuran

Ameera bergegas mendekat pada Rado, tak dipedulikannya perintah Riga untuk tetap tinggal.
Arkania memang sudah selamat dari Marzuki, tapi bagaimana dengan anak-anak panti yang lain? Masa depan anak-anak jauh lebih penting dari pada urusan cinta bertepuk sebelah tangannya yang tidak juga memberinya kebahagiaan.

Riga meninju meja kerja Ameera dengan kepalan tangannya. Sebenarnya Riga bisa saja membuntuti Ameera dan Rado, ikut mereka ke Sukabumi, tapi hari ini Riga sudah berjanji akan menemui Handini. Riga juga ada janji dengan detektif swasta yang ia sewa untuk mengetahui keberadaan Dewi, Maura dan Arkania. Riga sangat menyayangi anak-anak itu meski bukan darah dagingnya.

Rasa sayang yang Riga rasakan untuk Arkania dan Maura, sama dengan rasa sayang yang Riga rasakan untuk Handini. Rasa untuk Ameera? Entahlah....Riga tidak bisa mendeskripsikan jenis rasa seperti apa yang ia rasakan untuk Ameera, tapi beda dengan yang ia rasakan pada Handini. Riga selalu ingin melindungi Handini dan anak-anak, memastikan mereka baik-baik saja. Sedangkan pada Ameera, bukan rasa ingin melindungi karena Ameera sendiri sosok yang kuat dan mandiri. Ameera seperti tidak membutuhkan orang lain karena banyak hal mampu ia lakukan sendiri tanpa mengeluh atau meminta bantuan orang lain. Hati Riga bahagia saat melihat Handini tersenyum, tapi hati Riga bergetar saat melihat Ameera tersenyum.

Riga keluar dari ruangan Ameera dengan raut muka kusut. Masih terbayang saat Ameera bergegas pergi bersama Rado dan mengacuhkannya.
"Aduhhh....., kalau jalan hati-hati dong."

Di koridor Rumah Sakit Riga bertubrukan dengan seorang perempuan lusuh dengan lingkaran hitam disekitar bola matanya, mata kurang tidur.
"Sorry...Sorry..."
"Pak Riga?"

"Dewi? Dimana Arkania dan Maura? Mereka baik-baik saja kan? Ada dimana sekarang? Aku sudah tahu kebusukanmu memperalat Arkania dan Maura untuk memeras aku."

Riga memberondong Dewi dengan banyak pertanyaan, perempuan yang selama ini dicarinya.
"Pak Riga harus bertanggungjawab, gara-gara Pak Riga hidup aku jadi hancur begini."
Dewi memukul-mukulkan kedua tangannya pada tubuh Riga, tangis Dewi pecah, rasa kesalnya selama ini ia tumpahkan pada Riga.

"Jangan menangis disini, malu sama orang-orang, ayo ikut aku."
Riga menarik Dewi, megajaknya ke ruang kerja Riga di lantai 5 Rumah Sakit. Riga tidak ingin dirinya dan Dewi jadi pusat perhatian orang-orang.
Tangis Dewi belum berhenti saat dia duduk di sofa empuk ruang kerja Riga, isakannya justru semakin keras.

"Aku perempuan bodoh yang dimanfaatkan oleh dua orang laki-laki sakit jiwa. Awalnya aku kira Mas Fahri tulus mencintaiku ternyata dia hanya menjadikan aku alat agar dia bisa berpisah dari Mbak Handini dan hidup bersenang-senang dengan pacar laki-lakinya. Lalu aku bertemu laki-laki sakit jiwa satu lagi yang terobsesi dengan cinta pertamanya, memanfaatkan aku yang sedang kesusahan untuk menghancurkan rumah tangga Mbak Handini dan Mas Fahri. Setelah itu aku dapat apa? Aku jadi pengasuh anak-anak Mbak Handini yang sakit tanpa uang yang cukup."

"Karena itu kamu meminta uang kepadaku dengan menyuruh Dadang?"
"Dadang siapa?"
"Kamu tidak usah pura-pura Dewi, aku tahu kamu bisa saja menghalalkan segala cara demi uang, termasuk memeras aku dengan alasan Arkania dan Maura. Sekarang katakan, dimana Arkania dan Mauara?"

"Demi Tuhan Pak, aku tidak tahu siapa itu Dadang dan aku tidak pernah menyuruh orang yang bernama Dadang untuk minta uang pada Pak Riga. Aku hanya pernah minta tolong sama Pak Riga waktu Maura sakit dan harus dirujuk ke Rumah Sakit besar, tapi Pak Riga malah memutuskan teleponku, aku marah sama Pak Riga, aku benci....!

Tangis Dewi tidak juga mereda.
"Sekarang dimana Arkania dan Maura?"
"Arkania aku titipkan di panti asuhan Kasih Pertiwi di Sukabumi, Maura ada disini, di ruang PICU."
"Kenapa kamu tidak bilang sama aku? Kamu sengaja menghindari aku? jangan-jangan kamu masih sekongkol sama Fahri, iya?"

"Bukannya Pak Riga yang menghindariku? Aku tanya ke petugas di ruang PICU katanya Pak Riga tidak ada, lagi cuti. Beruntung ada dokter Ameera yang baik hati. Selama ini biaya makan dan minum aku, juga biaya perawatan dan pengobatan Maura dokter itu yang menanggung. Kalau aku lelah dia juga yang gantian menjaga Maura."

Riga menjatuhkan tubuhnya pada kursi kerja. Yang selama ini dicari ternyata ada di depan mata, percuma saja dia menyewa detektif dengan bayaran mahal.
"Ayo kita ruang PICU, aku ingin melihat Maura."

__________________________________________

"Mas Rado, bisakah kita putar arah? Kita ke kantor polisi dulu."
"Untuk apa?"
"Kita lapor dulu ke kantor polisi terdekat, biar mereka berkoordinasi dengan kepolisian di Sukabumi untuk mencegah Marzuki kabur jauh. Aku khawatir sama anak-anak disana, kalau bisa kita minta bantuan pihak kepolisian untuk mengawasi panti."

Rado memutar arah laju mobilnya, menuruti instruksi Ameera, menuju kantor polisi.

Rado memarkir mobilnya di area parkir kantor polisi.
"Ameera, aku cari minum dulu ya, kamu mau minum apa?"
"Air mineral saja, aku masuk duluan ya Mas."
"Oke, nanti aku nyusul."

Rado berlalu. Tergesa Ameera menuju sentra pelayanan pengaduan.
Langkah Ameera terhenti saat melihat ada seseorang yang baru saja turun dari Rubicon putih dengan paper bag dan kantong kresek di tangannya. Ameera memperhatikan laki-laki itu yang berjalan tergesa menuju rutan yang berada satu komplek dengan kantor polisi. Perlahan Ameera mengikuti jejak langkah tegap laki-laki itu, masuk ke pos penjagaan lalu keluar lagi menuju ruang berkunjung. Ameera terus mengikuti meski sudah tahu kemana tujuan akhir laki-laki itu.

Dari kejauhan Ameera melihat ada senyum yang terkembang dari bibir laki-laki itu saat seorang perempuan duduk dihadapannya.
"Apa kabar Handini? senang melihatmu tampak lebih baik dari kemarin. Ini aku bawakan roti isi nenas dan jus alpukat kesukaanmu. Makanlah."

Riga mengeluarkan satu cup jus alpukat dari kantong keresek, dan mengeluarkan roti dari paper bag, lalu membuka plastiknya dan diserahkan pada Handini.
"Apakah ada kabar baik untukku? Aku kangen anak-anak."

"Jangan khawatirkan anak-anak, mereka sudah dirawat dengan baik oleh orang yang tepat. Kamu fokus saja sama masalahmu biar cepat selesai. Sudah ada kabar dari Fahri?"
Handini mengangguk.

"Dia sudah menjatuhkan talak untukku melalui pengacaranya."
Mata Handini berkabut. Betapa malang nasibnya, di khianati suami, menderita HIV, masuk bui atas dugaan pembunuhan yang tidak dilakukannya, dijatuhi talak dan harus berpisah dengan anak-anak.
"Kehidupanmu akan lebih baik tanpa Fahri. Pengacaramu sedang mengumpulkan bukti untuk membebaskanmu dari tuduhan. Fahri kan dalang semua ini?"

"Aku tidak tahu siapa dalangnya, tapi bukan aku pembunuhnya."
Mata Handini berkaca-kaca.
"Oke, aku percaya sama kamu. Jangan sedih Handini, ada aku. Aku akan selalu ada untuk kamu dan anak-anak, aku menyayangi kalian, aku tidak akan meninggalkan kalian."
Air mata Handini jatuh karena terharu dengan apa yang dikatakan Riga, sementara air mata Ameera jatuh karena cemburu dengan apa yang dikatakan Riga.
Ameera segera menghapus air matanya dengan telapak tangan. Lalu pergi menuju unit pengaduan.

__________________________________________

Menjelang sore, Ameera dan Rado baru sampai ke panti asuhan Kasih Pertiwi di Sukabumi. Kedatangan keduanya disambut ibu Dinar dan anak-anak. Di panti ada beberapa polisi tak berseragam yang sengaja berjaga untuk memantau panti, siapa tahu Marzuki kembali untuk melakukan aksi bejatnya lagi.

"Sejak dari kantor polisi, kamu terlihat murung, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
Rado menyunggingkan bibirnya. Kalau perempuan bilang tidak ada apa-apa itu berarti ada apa-apa. Perempuan memang selalu begitu, susah dimengerti tapi ingin selalu dimengerti.

"Sakit?"
"Nggak."
"Laper?"
"Nggak."
"Kangen Riga?"
"Nggak."
"Nggak salah?"
"Apaan sih Mas?"

Ameera cemberut, Rado tertawa.
"Om, mancing yuk?"
Dika, anak panti berusia 8 tahun menarik-narik baju Rado. Kalau main ke panti, Rado memang suka mengajak anak-anak memancing ikan di kolam yang ada di samping panti, kalau ikannya susah didapat biasanya Rado dan anak-anak sama-sama nyebur ke kolam, mancing ikan pakai jala. Sebenarnya bukan ikan yang dicari, tapi anak-anak senang main air, berlari saling mengejar dengan baju basah kuyup, itu jadi hiburan yang membahagiakan bagi mereka.

"Ayo, ajak juga tuh tante Ameera biar makin seru."
"Aku gak ikut deh, disini aja, cape."
Tolak Ameera, hati dan fisik Ameera memang benar-benar lelah.
"Ayo tante, ikut."

Kini Dika menarik-narik tangan Ameera.
"Ayo tante, seru lho."
Ratu, membujuk Ameera dia teman sekamar Arkania waktu tinggal di panti.
"Baiklah, tapi tante melihat aja ya, tidak ikut memancing."
"Om, gak usah mancing deh, kita main bola air aja."
Dika melompat ke kolam diikuti anak-anak panti yang lain.
"Ayo..."
Rado ikutan melompat.

"Nih bolanya, tangkap."
Salman, peghuni panti yang hanya mempunyai satu tangan melemparkan bola pada Rado sambil melompat ke kolam.
"Tante Ameera ayo ikutan, Om Rado di tim cowok, tante Ameera di tim cewek bareng aku."
Ratu berseru, tubuhnya sudah basah kuyup.
"Gak deh, tante jadi wasit aja."
"Gak usah ada wasit, ayo tante."

Anak-anak perempuan yang sudah basah kuyup naik ke pematang kolam lalu rame-rame menarik dan mendorong Ameera. Ameerapun tercebur, tawa mereka pecah, demikian juga dengan tawa Rado dan Ameera.

Rado, Ameera dan semua anak-anak panti sangat menikmati kebahagiaan sore itu.
"Kita kayak punya ayah dan ibu ya. Tante Ameera ibunya, Om Rado ayahnya."
Namira, gadis kecil berusia 5 tahun yang sejak bayi merah sudah menjadi penghuni panti berceloteh dengan girang.

__________________________________________

Rubicon putih yang dikemudikan Riga berbelok masuk ke halaman sebuah rumah tua yang di bagian depannya ada plang bertuliskan "Panti Asuhan Kasih Pertiwi". Dewi bilang dia mentipkan Arkania di panti ini, Riga ingin memastikan kondisi Arkania.

Riga mengamati dua mobil yang terparkir disana. Salah satu mobil itu dikenal Riga, itu mobil Ameera. Ternyata banyak hal terkait Handini yang disembunyikan Ameera dari Riga, soal Maura, soal Arkania dan mungkin saja masih ada hal lain yang disembunyikan Ameera darinya.
Riga mendengar suara gelak tawa yang riuh rendah, suara-suara itu berasal dari arah samping panti. Riga mendekati sumber suara, di dalam sebuah kolam berukuran besar yang sepertinya dangkal banyak anak-anak yang tampaknya sedang bermain saling melempar bola diselingi gelak tawa, disana ada Rado, juga Ameera.

Ameera tertawa lepas, teriakan-teriakan kecil yang keluar dari mulutnya membuat Ameera tampak menggemaskan.
"Om Rado jangan ngeliatin tante Ameera terus dong, ayo lempar bolanya."
Dika protes, Rado tersipu.

"Ameera kalau kita menikah dan punya banyak anak kayak gini seru kali ya."
"Memangnya Mas Rado mau punya anak berapa?"
"Kalu sepuluh bagaimana?"
"Genapkan aja deh satu lusin."

Ameera melempar bola tepat ke dada Rado. Mereka tertawa bahagia.
Sebenarnya Ameera sedang mentertawakan Rado, seorang gay yang bermimpi punya anak banyak. Mungkinkah Rado sungguhan ingin sembuh?

Perilaku LaGiBeTe itu seperti narkoba atau judi yang bisa menjadi adiktif (kecanduan) dan kalau sudah adikif perlu waktu dan proses yang tidak sebentar untuk bisa sembuh total.
LaGiBeTe bisa disembuhkan secara total jika pelakunya memiliki niat yang kuat. Banyak hal bisa ditempuh bagi para pelaku LaGiBeTe jika ingin sembuh, misalnya dengan rutin konseling dan terapi. Jika penyebab LaGiBeTe karena ikut-kutan, bisa ditreatmen oleh diri sendiri dengan kehendak yang kuat dan kesungguhan ingin sembuh. Hindari masuk kelompok atau bersinggungan dengan lingkungan yang rawan LaGBeTe. Lebih mendekatkan diri pada Allah juga peran orang tua dan keluarga bisa mempercepat proses penyembuhan para pelaku kelainan seksual ini.

Riga menarik nafas dalam. Ameera tidak pernah tertawa lepas seperti itu dihadapannya.
"Tadi aku bahagia melihat Handini tersenyum, tapi kenapa sekarang aku merasa sesak saat melihat Rado bisa membuat Ameera tertawa bahagia?"

Riga mendengus, pandangan matanya tidak beranjak dari Ameera. Kenapa mukanya terasa panas dan detak jantungnya menjadi cepat saat melihat Rado mencipratkan air kolam pada muka Ameera dengan cara memukul permukaan air, Ameera membalasnya dengan melakukan hal yang sama, dibantu dengan anak-anak, merekapun tertawa.

"Ameera kamu makin cantik kalau tersenyum, aku gak akan keberatan kalau kamu bersedia jadi ibu dari anak-anak panti juga ibu dari anak-anakku kelak."

Riga mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengatup, lalu berbalik kembali menuju mobil, sungguh tidak suka mendengar apa yang Rado katakan pada Ameera. Mungkin sebaiknya Riga pulang saja, toh Ameera sudah ada disini, di panti tempat Dewi menitipkan Arkania. Meskipun tadi Riga belum melihat Arkania tapi Riga percaya Ameera akan melakukan tindakan terbaik untuk Arkania. Rasanya Riga tidak siap kalau harus berhadapan dengan Ameera dan Rado saat ini, ada yang nyeri di hatinya, entah tersebab apa.

Atau...Haruskah Riga masuk ke panti dan mengajak Ameera serta Arkania pulang bersamanya?

bersambung