Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU 16-20

CERBUNG
#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 16
Oleh: Khayzuran

Handini melipat sajadah dan mukena yang kemarin dibawakan Riga, ia baru saja menunaikan sholat isya. Ada doa panjang yang khusyuk, ada air mata yang jatuh tertumpah di atas sajadah. Handini sangat merindukan Maura dan Arkania, mutiara-mutiara hatinya yang saat ini dipercayakan pada Dewi untuk merawat dan mengasuhnya. Semoga Dewi diberi kemampuan untuk menjaga Arkania yang spesial dan Maura yang lemah karena masih sangat kecil. Hari ini usia Maura tepat lima bulan, bayi kecil itu harusnya masih full ASI tapi sekarang harus full tanpa ASI, bukan karena jarak yang memisahkan tapi sejak Handini mengetahui dirinya positif HIV, Handini lagsung menghentikan pemberian ASI pada Maura.

 Meski secara medis Maura kemungkinan besar menderita HIV juga seperti Handini, tapi Handini tidak pernah berhenti berdoa berharap ada keajaiban untuk Maura.

Kalau saja Handini tahu bahwa dia mengidap HIV sejak sebelum hamil atau pada awal kehamilan Maura dan langsung minum obat ARV (anti retro viral) maka jumlah virus HIV bisa ditekan. Jika rutin minum ARV secara disiplin maka resiko penularan HIV dari ibu ke bayi bisa ditekan sampai tujuh persen. Handinipun pasti akan memilih metode persalinan secsio caesaria karena memang bisa menurunkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi saat persalinan, terutama jika viral load ibu menjelang persalinan kadarnya tinggi. Namun sebenarnya ibu dengan HIV positifpun bisa

melahirkan secara normal jika sudah minum obat ARV sejak usia kehamilan 14 minggu atau kurang dan jika kondisi viral load kurang dari 10.000 kopi/ml, karena semakin banyak jumlah partikel virus dalam darah berarti semakin tinggi resiko ibu hamil menularkan virus dan mengalami komplikasi HIV.

Handini hanya satu dari ribuan orang di luar sana yang tidak menyadari telah tertular HIV karena merasa bukan kelompok beresiko sehingga terlambat di diagnosa dan di terapi.

________________________

Allah selalu punya rencana yang hebat untuk hambaNya, meski kita sering tidak menyadarinya, salah satunya keberadaan Dewi untuk Handini. Sebelum mengetahui dirinya positif HIV, Handini sangat tidak menyukai kehadiran Dewi di tengah-tengah kebahagiaan keluarganya, Dewi seperti duri tajam dalam rumah tangga Handini dan Fahri. Perempuan sesholehah apapun pada awalnya pasti akan susah menerima kehadiran perempuan lain di hati dan hidup suaminya,

Handinipun demikian, hatinya teramat sakit saat tahu Fahri mencintai perempuan lain selain dirinya, perlu proses yang panjang untuk bisa berdamai dengan keadaan itu. Syariat Islam memang telah memperbolehkan poligami dan tidak sampai mewajibkannya. Poligami hukumnya mubah (boleh) bukan sunnah (mandub), orang yang melakukannya belum tentu mendapat pahala yang berlimpah tapi mungkin saja mendapatkannya. Kebolehan poligami merupakan suatu keniscayaan. Poligami merupakan hukum syara' yang dinyatakan di dalam Al Qur'an secara jelas. Namun dengan banyaknya yang mempraktekkan poligami tanpa ilmu atau dengan ilmu yang minim sehingga banyak yang menggambarkan poligami dengan gambaran yang keji dan busuk. Padahal bukan syariat poligaminya yang salah dan perlu di kritisi tetapi orang-orang yang mempraktekkannya dengan cara yang salah yang harus introspeksi.

Poligami adalah solusi di banyak kondisi. Kita tidak dapat memungkiri bahwa di dunia ini terdapat laki-laki yang mempunyai tabiat yang tidak biasa, yang berbeda dengan laki-laki pada umumnya, yaitu tabiat laki-laki yang tidak bisa puas hanya dengan satu orang istri. Laki-laki seperti ini bisa saja menumpahkan hasrat seksualnya yang kuat itu pada istrinya namun bisa berdampak buruk pada istrinya itu. Dalam kondisi seperti ini poligami adalah salah satu solusi, menikahi lebih dari seorang perempuan untuk mencegah kemudharatan dan mencegah terjadinya perzinaan suami dengan perempuan lain yang tidak halal. Kondisi lain seperti mandul atau fertilitas yang diderita seorang istri bisa menjadikan poligami sebagai solusi untuk mendapatkan keturunan bagi suaminya. Suami masih sangat mencintai istri dan istri masih sangat mencintai suami, rasa cinta dan sayang diantara keduanya itu menjadikan keduanya tetap mempertahankan keberlangsungan kehidupan rumah tangga mereka dengan penuh ketentraman, namun disisi lain suami sangat menginginkan keturunan. Jika poligami dilarang, maka dalam kondisi seperti ini mungkin suami akan menceraikan istri yang dicintainya demi mendapatkan keturunan dengan berikhtiyar menikahi perempuan lain. Dan banyak lagi kondisi lain yang bisa saja poligami dijadikan solusi.

Poligami bukan ajang untuk memuaskan syahwat, bukan juga ajang untuk adu gengsi dan adu nyali, karena pernikahan itu ibadah, baik pernikahan dengan istri pertama, istri ke dua, istri ke tiga maupun dengan istri ke empat.

Kita bisa merujuk pada pernikahan Rasulullah SAW dan Khadijah RA, Rasulullah menikahi Khadijah pada saat beliau berusia 23 tahun. Khadijah RA tetap menjadi satu-satunya istri beliau selama 28 tahun. Sejak menikah dengan Khadijah RA sampai Khadijah wafat, beliau tidak pernah berpikir untuk poligami, padahal saat itu poligami sudah menjadi tradisi dikalangan masyarakat Arab. Harusnya seorang suami tidak hanya melihat poligami yang di contohkan Rasulullah tapi harus juga belajar tentang kesetiaan Rasulullah pada ibunda Khadijah, tetap menjadi satu-satunya istri yang sangat dicintai beliau hingga Khadijah tutup usia.

Kini Handini justru bersyukur Dewi menjadi istri Fahri, menjadi ibu untuk Maura dan Arkania disaat Handini tidak lagi bisa menjadi ibu yang mempunyai waktu untuk mereka. Apalagi nanti jika virus HIV terus menggerogoti daya tahan tubuhnya pasti Handini tidak akan mempunyai kekuatan yang cukup untuk bisa mengurus Arkania dan Maura. Demikianpun nanti jika virus itu mengantarkannya untuk pulang, pulang sebenar-benarnya pulang, pulang menghadap Allah, Arkania dan Maura tidak akan kehilangan sosok ibu karena ada Dewi di samping mereka.

Mungkin ini tidak adil untuk Dewi, di usianya yang masih belia Dewi harus mengurus anak suaminya, sementara suaminya sendiri tidak berlaku layaknya suami yang baik untuk Dewi.

_______________________

Lampu sel sudah dimatikan, semua penghuni sel yang berjumlah 16 orang sudah bersiap tidur berjejalan. Bukan hanya di sel yang dihuni Handini saja yang over kapasitas tapi disemua sel yang ada di semua rutan dan lapas di seluruh Indonesia.

Di Jawa Barat saja sebenarnya lapas yang ada hanya mampu menampung napi sebanyak 15 ribu orang tapi justru dihuni oleh lebih dari 23 ribu orang.

Handini belum bisa memejamkan mata disaat sebagian besar penghuni selnya sudah terlelap, dengkuran yang keluar dari mulut-mulut mereka saling bersahutan, membuat mata Handini semakin sulit terpejam.

Terbayang wajah lucu Arkania dan wajah Maura yang menggemaskan. Handini tersenyum seolah Arkania dan Maura ada di depan Handini sedang tersenyum. Lalu muncul bayangan wajah Fahri, laki-laki yang dulu sangat di hormati dan dicintainya, tapi kini? entahlah, Handini tidak tahu lagi rasa seperti apa yang ada di hatinya untuk Fahri. Sungguh Handini tidak menyangka laki-laki yang dulu memperlakukannya seperti putri raja kini tak ubah seperti raja yang bersikap kejam pada budak beliannya. Fahri sunggguh tidak punya hati dan empati, tidak hanya menularkan virus HIV pada Handini tapi tega menjebloskan Handini ke dalam penjara, memisahkan seorang ibu dengan anak-anak yang sangat dicintainya demi menjaga harga dirinya, menutupi kelakuannya yang bejat dan terlaknat. Fahri pikir Handini akan diam saja diperlakukan seperti ini, mungkin memenjarakan Handini bagi Fahri adalah cara terbaik untuk membuat perempuan itu bungkam. Handini tidak akan lagi bisa berhubungan dan menjalin komunikasi dengan abah dan umi untuk menceritakan semua kelakuan Fahri selama ini yang pasti membuat mereka murka.

Baru saja Handini akan melipat kelopak matanya, Handini merasakan ada sesuatu yang menyelinap masuk kedalam gamis yang dikenakannya, sebuah tangan meraba-raba bagian intim handini membuat Handini spontan berteriak sambil mengibaskan tangan itu dengan kasar. Namun ada tangan lain yang menyumpal mulut Handini dengan gumplan baju membuat teriakan Handini hanya sebatas di kerongkongan saja.

Sekuat tenaga Handini menendang-nendangkan kaki sementara tangannya berusaha melepaskan sumpalan kain di mulutnya.

"Toloonng...."
Handini beringsut berdiri setelah mencakar tangan yang menyumpal mulutnya, menggigit tangan itu sekeras mungkin sementara kakinya masih deras melakukan tendangan ke berbagai arah.
Handini mencari stop kontak lampu, kakinya menginjak tubuh beberapa napi yang sedang tertidur, membuat mereka menggumam murka.

Lampu menyala, mata Handini berang, nafasnya terangah-engah marah. Entah tangan siapa yang tadi menggerayangi badan dan menyumpal mulut Handini karena saat lampu sel berhasil dinyalakan semua napi di sel itu semuanya sedang tertidur.
"Siapa yang tadi berani kurang ajar sama aku?"

Tanya Handini menyalak, tak ada yang berespon dengan pertanyaan Handini. Handini menatap curiga pada perempun yang sedang tidur telungkup yang tadi berbaring tepat disampingnya.
"Ingat ya, aku ini tersangka kasus pembunuhan dan aku tidak takut hukumanku akan di tambah karena membunuh salah satu dari kalian."

Ancam Handini dengan suara menggelegar namun lagi-lagi tidak ada yang peduli dengan ancaman Handini, mereka semua masih tampak tertidur dengan tenang, entahlah mungkin mereka pura-pura tidur.
"Hei anak baru, ngelindur lo ya, brisik tau, diem lo gua mau tidur."

Perempuan bertato yang meringkuk di sudut sel protes dengan kelakuan Handini. Perempuan yang sering dipanggil mami oleh penghuni rutan ini.

Mimpi? aku gak mungkin bermimpi saat masih terjaga, aku yakin itu bukan mimpi tapi kenyataan.
Handini tidak berani kembali ke tempat dimana tadi dia berbaring, ia hanya jongkok di dekat stop kontak, bersender pada tembok yang dingin.

"Minggir lo, jangan jongkok di atas kepala gue."
Seseorang menyikut Handini. Rutan ini sudah over kapasitas, kaki ketemu kaki, kepala ketemu kepala badan ketemu badan, susah bergerak, makanya tidak heran hal seperti ini berdampak pada munculnya homoseksualitas dan lesbian karena tubuh sering bergesekan. Bahkan kamar mandi kecil yang ada di dalam sel tidak tertutup sempurna, temboknya hanya setinggi leher manusia dewasa. Makanya sudah menjadi rahasia umum kalau rutan dan lapas menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya homoseksual dan lesbians.

"Matiin lampunya!"
Perintah mami lagi, Handini bergeming.
"Lo budeg ya, gua bilang matiin lampunya gua gak bisa tidur kalau terang."
Handini masih bergeming membuat perempuan mami semakin berang, mami berjalan mendekati Handini.

"Astaghfirullah..."
Handini mengelak saat kaki perempuan bertato itu melayang hendak menendang kepalanya. Dengan sigap Handini menangkap kaki itu lalu membantingnya dengan keras membuat mami limbung.
"Brengsek, berani lo sama gue?"

Kerudung Handini di jambak, Handini mengelak lagi sambil mengeluarkan jurus momtong jireugi dilanjutkan dengan ap chagi, syukurlah Handini masih mengingat beberapa jurus taekwondo sehingga bisa melakukan perlawanan pada mami. Napi yang lain satu persatu mulai bangun dan mengelilingi Handini, mereka seperti sudah bersiap untuk bersama-sama menyerang Handini dan membela mami.

"Kita kasih pelajaran cewek sok alim ini."
Perintah mami, mereka hanya mengiyakan dengan anggukan. Tanpa menunggu diserang, Handini langsung melancarkan serangan secara membabi buta pada napi lain yang mengepungnya meski Handini sangat yakin kekuatan yang dimilikinya tidak akan mampu untuk mengimbangi kekuatan belasan napi lainnya.

"Toloongg..."
Hadini melolong dengan harapan teriakannya akan di dengar sipir yang sedang berjaga, namun sia-sia, pukulan demi pukulan sudah mulai menghujani tubuh Handini, sebagian bisa ditangkis dan sebagiannya lagi mendarat di beberapa bagian tubuh Handini, membuat rasa nyeri yang bertubi-tubi.
"Tolongg.."

Handini kembali berteriak sambil mengangkat tubuh napi yang berbadan kecil lalu melemparkan tubuh itu ke arah jeruji, menimbulkan suara teriakan dan benturan yang cukup keras. Dan setelahnya Handini kembali mendapat serangan dari napi yang mengeroyoknya.
"Berhenti!"

Dua orang sipir berdiri di depan sel.
Handini berusaha melepaskan cengkram tangan beberapa napi, berlari menuju pintu sel yang sedang dibuka sipir.

"Stop, hentikan!"
Dua sipir masuk sel, Handini tergesa keluar sel menyelamatkan diri, sementara dua sipir itu masih terus berusaha menenangkan kondisi di dalam sel.
"Pasti kamu yang bikin keributan lagi."
Seorang sipir menunjuk-nunjuk wajah mami.

______________________

Siang ini Riga berencana menemui Handini di rutan tapi Handini menolak bertemu tanpa alasan meski alasan sesungguhnya Handini tidak mau Riga melihat wajahnya babak belur sisa perkelahian semalam.

Dari sipir penjara Riga mengetahui bahwa tadi malam ada keributan di sel Handini sehingga untuk sementara Handini dipindahkan ke sel isolasi. Riga yakin pasti terjadi sesuatu yang buruk pada Handini.

Riga ingin menemui kepala rutan namun sayang beliau sedang ada rapat dengan menkumham. Riga ingin meminta hak-hak Handini sebagai tersangka diantaranya hak untuk meminta dan mengajukan penangguhan penahanan, menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan dan hak bebas dari tekanan seperti diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.

"Dokter Ameera bisa ke rutan sekarang? saya perlu bantuan dokter untuk memeriksa kesehatan Handini."
Send
Ceklis dua
Ceklis biru
"Baik Pak, saya masih ada pasien satu lagi, setelah ini saya langsung ke rutan."
"ok"

________________________

"Ibu Handini masih ingat saya?"
Tanya Ameera ramah saat sudah duduk berhadapan dengan Handini dibatasi kaca pembatas.
Handini mengangguk.

"Saya sudah meminta ijin kepada petugas untuk memeriksa ibu Handini di klinik rutan, dan sudah diijinkan."
"Saya tidak apa-apa, tidak perlu diperiksa."

Ameera mengulum senyum getir, dia bisa meraba rasakan apa yang dirasakan Handini saat ini, suasana hatinya pasti sedang hancur.

"Baiklah kalau begitu, nanti ibu Handini bisa mengompres lebam-lebam di muka ibu dengan air hangat dan ini, ibu harus mengkonsumsi ini lagi setiap hari, saya membawakannya lagi untuk persediaan jika obat ARV yang dibawa Pak Riga tempo hari habis."

Ameera menyodorkan kotak plastik berisi ARV, Handini membiarkannya.
"Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, tapi sejauh ini terapi ARV dipercaya bisa menurunkan angka kematian dan rasa sakit, meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan harapan hidup. Bu Handini masih ingin menemani anak-anak tumbuh besar dan dewasa kan?"

"Bisakah dokter Ameera memeriksa kondisi kesehatan Maura?"
"Maura sekarang ada dimana? biar nanti saya yang menjemut Maura untuk cek darah di Rumah Sakit."

"Maura ada bersama Dewi di rumah Dewi. Dewi itu istri kedua suamiku, sekarang dia yang menjaga anak-anakku. Rumah Dewi di jalan Melati no 21."

Ameera menghela nafas berat, sepertinya Handini belum tahu apa yang terjadi di luar sana terkait keberadaan Dewi, Arkania dan Maura. Sampai sekarang Riga belum bisa melacak keberadaan ketiganya.

"Kalau bertemu Dewi sampaikan ucapan terimakasih saya untuk dia, nanti saya akan membuat surat kuasa untuk Dewi agar Dewi bisa mengambil uang tabungan saya di bank untuk memenuhi semua keperluan anak-anak."

"Memangnya ibu Handini yakin ibu akan lama ada disini sehingga membuat surat kuasa untuk Dewi?"
Handini terdiam, tentu saja dia tidak ingin berlama-lama disini dan berpisah dengan anak-anak tapi sekarang belum saatnya Handini menceritakan semuanya pada siapapun termasuk pada Ameera ataupun Riga.

"Saya tidak yakin ibu Handini melakukan apa yang dituduhkan."
"Dokter Ameera tidak mengenal saya dengan baik, hubungan kita hanya antara dokter dengan pasiennya, jadi dokter Ameera tidak akan bisa menarik kesimpulan apapun tentang saya jika hanya berbekal informasi yang minim."

Handini salah, Ameera sudah mengetahui banyak hal tentang Handini dari Riga. Betapa laki-laki itu mengenal Handini dengan baik, mendeskripsikan dengan jelas setiap hal tentang Handini sampai Ameera bisa menarik kesimpulan bahwa Handini seorang perempuan yang pintar dan lembut, seorang ibu yang penyayang dan penuh perhatian, seorang istri sholehah yang taat suami dan seorang sahabat yang meyenangkan, juga seorang perempuan yang sangat dicintai Riga hingga membuat laki-laki itu tidak menikah sampai sekarang.

"Saya pernah membaca pasal 242 Ayat (1) yang berbunyi , "Barang siapa dalam hal-hal yang menurut undang-undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang khusus untuk itu dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun", ibu Handini pernah membaca bunyi pasal itu?"
Handini terdiam, pikirannya melayang pada kejadian malam itu yang mengantarkannya berada di sel tahanan.

Malam itu Handini mendapati Fahri sedang bertengkar dengan seorang laki-laki, dari percakapan keduanya Handini tahu bahwa laki-laki itu sedang cemburu pada Fahri, entah siapa laki-laki itu.
"Aku sudah lama menyukai kamu tapi kamu tidak pernah peduli, kamu hanya mempedulikan laki-laki tua itu."

Handini tercekat, telinganya seperti tersambar petir saat mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu. Jadi, Fahri menyukai laki-laki? siapa laki-laki tua yang dimaksud oleh laki-laki itu?. Sekarang Handini tahu dari mana asal virus HIV yang kini bersarang di tubuhnya, Fahrilah yang bertanggungjawab atas semua ini.

Handini tidak menyangka suaminya mempunyai orientasi seksual yang menyimpang karena selama berumah tangga dengan Fahri kehidupan seksual Fahri dan Handini normal-normal saja, sama sekali tidak ada yang mencurigakan dari aktivitas seksual Fahri. Tapi kini Handini semakin yakin bahwa kelainan orientasi seksual Fahri telah membuat hidup Handini dan anak-anak hancur.
"Kita lebih baik mati bersama dari pada aku tidak bisa memiliki kamu."

Laki-laki itu mengacungkan sebilah pisau di hadapan Fahri dan bersiap menusukkannya pada Fahri.
"Kamu ini apa-apaan? singkirkan pisau itu."
Fahri mundur beberapa langkah, laki-laki itu maju semakin mendekat.
"Aku mencintai kamu Fahri tapi kamu selalu mengabaikan aku."

Laki-laki itu menusukkan pisaunya pada tubuh Fahri namun pisau itu justru berbalik menusuk dirinya setelah Fahri mengelak dan menendang lutut laki-laki itu sehingga membuat laki-laki itu tersungkur dengan pisau terhujam di perutnya. Dan kejadian itu disaksikan Handini dalam jarak tidak kurang dari 2 meter. Saat Fahri terdesak akan ditusuk laki-laki itu Handini keluar dari persembunyiannya dengan maksud untuk menolong Fahri. Meski sangat membenci kelakuan Fahri tapi bagi Handini Fahri tetap ayah anak-anaknya yang harus di selamatkan dan Fahri masih berstatus sebagai suami sah Handini.

Fahri terkejut dengan kehadiran Handini yang tiba-tiba, tapi otaknya berpikir cepat.
"Handini, tolong bantu aku untuk membawa dia ke rumah sakit, kamu jaga dia dulu, kamu tarik pisau yang tertancap di perut itu agar perdarahannya tidak semakin banyak dan dia tidak kesakitan seperti itu, aku akan membawa mobil dulu disana."

Fahri segera berlari menuju parkiran meninggalkan Handini yang kebingungan menghadapi laki-laki itu yang sedang mengerang kesakitan, darah segar mengalir dari perutnya.
"Too..looongg..."

Erangan laki-laki itu semakin keras, nampaknya ia sedang sekarat. Handini tidak tahu bentuk pertolongan seperti apa yang harus diberikan pada laki-laki itu. Mungkin Fahri benar, Handini harus segera mencabut pisau itu agar bisa sedikit mengurangi rasa sakitnya. Darah muncrat mengenai wajah, kerudung dan baju yang Handini kenakan saat tangan Handini mencabut pisau yang terhujam di perut laki-laki itu, bertepatan dengan suara sirine dari mobil yang mendekat.

"Ahamdulillah..." desis Handini lega saat mendengar suara sirine mobil, tapi ternyata itu bukan sirine mobil ambulance tapi sirine mobil polisi.

Fahri tidak pernah kembali ke TKP, bahkan setelah Handini diringkus polisi di TKP dan dibawa ke kantor polisi.

________________________

Malam itu di tempat terpisah Aggodo memburu kedatangan Fahri.
"Bagaimana? istrimu sudah mati?"
"Jadi kamu yang merencanakan semua ini?"
Selidik Fahri pada Anggodo.

"Seharian istrimu memata-matai kamu terus, aku tidak tahan melihatnya, jadi aku berencana untuk menyingkirkan dia. Aku membayar Sukirman 20 juta untuk bersandiwara akan membunuh kamu, aku tahu istri kamu sangat menyayangi kamu jadi dia tidak mungkin membiarkan kamu terbunuh tanpa berbuat apa-apa untuk menolongmu. Istrimu pasti akan berusaha menghalangi tusukan pisau Sukirman, jadi dia yang akan terbunuh."
"Tapi kenyataannya Sukirman yang terbunuh dan aku yang membunuhnya."


-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 17
Oleh: Khayzuran

"Ibu Handini baik-baik saja?"
Ameera menyelidik mata Handini yang basah. Ada duka yang kentara dari matanya yang redup, lebam-lebam di wajah Handini semakin menyempurnakan betapa payah perempuan malang itu.
"Saya kangen anak-anak, ingin sekali memeluk mereka, tolong tengok mereka di rumah Dewi."
Ameera mengangguk lemah, ingin sekali memeluk Handini memberinya sedikit kekuatan, namun apa daya, kaca yang memisahakan mereka tidak dapat dipecahkan.

Seorang sipir mengingatkan kalau waktu kunjungan sudah habis.
"Dokter Ameera, tolong tengok Arkania dan Maura di rumah Dewi, jalan Melati no 21. Tolong sampaikan pada Dewi untuk merawat mereka seperti anak sendiri."
"Baik Bu, nanti saya wakili ibu untuk memeluk mereka, ibu jangan khawatir, insyaa Allah mereka akan baik-baik saja."

Ameera pamit, melangkah keluar ruangan besuk dengan hati perih, mungkin kalau Ameera ada di posisi Handini, ia akan lebih hancur dari Handini. Dunia seperti tidak adil, kemalangan demi kemalangan tidak henti menimpa Handini, nyaris tanpa jeda.
Ameera menghentikan langkahnya, berbalik ke arah Handini yang ternyata sedang menatap kepergiannya dengan air mata menganak sungai di kedua pipinya. Ameera mendekat pada Handini lalu berbisik.

"Kebenaran akan tetap menjadi kebenaran meski seluruh dunia mendustakannya."
Di luar, Riga sudah menunggu dengan gelisah.
"Kita ke rumah Dewi lagi hari ini, siapa tahu ada titik terang tentang keberadaan Dewi dan anak-anak."
Ajak Ameera pada Riga.
"Handini bagaimana? baik-baik saja kan?"

Mata itu, mata syarat cinta, mata yang menggambarkan kecemasan yang sangat.
Ameera menelan ludah, ia tahu betapa besar rasa cinta Riga untuk Handini hingga tak sedikitpun menyisakan rasa itu untuk Ameera.
Bukan karena Riga mirip Choi Siwon dengan mata sedikit lebih membulat, tapi entahlah Ameera selalu merasakan hatinya berdesir saat dekat dengan Riga, mungkin karena Riga memiliki semua definisi kemapanan seorang pria ditambah lagi dengan jiwa sosialnya yang tinggi tapi tetap low profile.

"Dokter Ameera?"
"Oh iya Pak, Alhamdulillah ibu Handini baik-baik saja."
Riga mendapati Ameera melamun.
Riga selalu menangkap ada sesuatu yang berbeda dari sikap Ameera setiap membicarakan tentang Handini. Benarkah apa yang dikatakan dokter Chandra? kalau Ameera bersimpati padanya?
Ponsel Ameera berdering, sesaat Ameera sibuk dengan ponselnya.

"Maaf Pak Riga, saya harus segera kembali ke Rumah Sakit, ada pasien B20 yang kritis, dokter Chandra meminta saya untuk visite dan melaporkan kondisinya segera karen dokter Chandra sedang rapat dengar pendapat di kantor DPRD."

"Iya tidak apa-apa, nanti saya ke rumah Dewi sendiri saja, selamat bekerja dokter Ameera, jangan lupa makan siang ya."
Bagi Riga kalimat terakhir yang dia ucapkan mungkin kalimat basa basi biasa saja tapi bagi Ameera mampu menimbulkan getaran-getaran halus di hatinya.
"Terimaksih Pak, Bapak juga jangan lupa makan siang."
Kedua manusia berlainan jenis itu saling melempar senyum sebelum berpisah.

______________________

"Mana pasien yang tadi dikonsulkan ke dokter Chandra?"
Hanya perlu waktu sekitar 35 menit dari rutan ke Rumah Sakit, Ameera langsung menuju ruang PICU.

"Itu dok sedang ditangani dokter Hanga dan dokter Yusuf, tadi pasien sempat apnoe, sekarang dokter Hanga sedang memasang ventilator."
Jelas perawat PICU yang ditemui Ameera di nurse station.

Dokter Hanga itu dokter spesialis anesthesi dan dokter Yusuf itu dokter spesialis anak.
"Pasiennya usia berapa? DPJP nya dokter Yusuf?"
"Iya dok, pasiennya baru berusia 5 bulan, pasien rujukan dari Rumah Sakit Sekarwangi, datang kesini kondisinya sudah kritis karena kata perawat yang merujuknya keluarganya lama mengambil keputusan untuk dirujuk."

"Apa diagnosanya?"
"Pneumonia berat dok, ada tanda-tanda meningitis juga."
"Sudah cek lab B20?"
"Sudah dok, hasilnya reaktif."

Hhmm....Ameera menarik nafas dalam sambil memperhatikan dokter Yusuf dan dokter Hanga yang sedang melakukan tindakan ditemani dua orang perawat PICU. Ameera mendekat ke arah mereka setelah melapisi bajunya dengan baju khusus ruangan PICU.

"Suster ini diapersnya."
Seorang perempuan berperawakan kurus menyerahkan satu pack diapers kepada perawat yang tadi berbicara dengan Ameera di nurse station. Mungkin penunggu pasien PICU, ada lingkaran hitam di sekitar matanya, mata lelah dan kurang tidur.

"Bu, tadi dokter Yusuf dan dokter Hanga sudah menjelaskan kondisi Maura, kami sedang berusaha semaksimal mungkin, tapi memang kondisinya masih kritis, ibu tolong bantu doa ya."
"Iya Sus, dokter di Rumah Sakit sana juga bilang mereka sudah berusaha semaksimal mungkin tapi peralatan disana sangat terbatas jadi disarankan untuk di rujuk ke Rumah Sakit besar yang ada ICU untuk anaknya dan saya minta di rujuk ke Rumah Sakit ini karena saya tidak punya uang. Maaf Sus, apakah direktur di Rumah Sakit ini masih Pak Riga?"

"Bukan Bu, sekarang direkturnya dokter Chandra, tapi pemilik Rumah Sakit ini masih Pak Riga."
"Boleh saya minta tolong? tolong kabari Pak Riga kalau Maura sedang dirawat disini."
Suster itu tampak mengerutkan keningnya, menatap lekat pada perempuan lusuh yang sedang berdiri di depannya.

"Maaf ibu saya tidak punya nomor Pak Riga, oh iya silahkan ibu tunggu di ruang tunggu saja ya kalau ada yang penting terkait Maura saya akan segera kabari ibu."

_______________________

Dengan langkah gontai Riga keluar dari pekarangan rumah Dewi yang masih tidak berpenghuni. Bukan Dewi yang dikhawatirkan Riga, tapi Arkania dan Maura.

"Riga, kamu tidak lupa kan malam ini ada janji makan malam dengan papa dan mama?"
Pesan dari mama via whatsapp. Malam nanti mama dan papa akan merayakan wedding anniversary jadi Riga harus sudah ada di Singapur sebelum jam 7 malam karena orang tua Riga tinggal disana.
"Iya Ma, sebentar lagi Riga otw bandara."

"Besok pagi kita berangkat liburan ke Maldives, kamu harus ikut, semua sudah mama persiapkan, gak lama kok, cuma satu minggu, kamu juga kan perlu refreshing, jangan kerja terus."
"Ok"

-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 18
Oleh: Khayzuran

"Dokter Ameera konselor HIV/AIDS kan? tolong konseling keluarga pasien ini ya."
Dr. Yusuf membuka sarung tangan dan maskernya setelah selesei membantu dr. Hanga memasang ventilator pada Maura.
"Iya dok, baik."

"Besok saya tunggu reportnya, pagi sebelum visite."
Ameera mengiyakan permintaan dr. Yusuf.
"Sus, bisa tolong panggilkan keluarga pasien itu? siapa tadi nama paiennya saya lupa."
"Anak Maura, dok. Baik dok, sebentar saya panggilkan."

Maura? nama yang familiar di telinga Ameera. Ameera membuka medical record pasien bernama Maura, ada nama Dewi yang tertulis sebagai penanggung jawab pasien.

Antara lega dan sedih, Ameera menunggu kedatangan Dewi di ruang dokter PICU. Lega karena akhirnya Maura yang selaman ini dicari Riga ternyata ada disini, di Rumah Sakit miliknya sendiri. Sedih karena kondisi Maura yang kritis. Dari mdical record yang dibaca Ameera, Maura bukan hanya terserang broncho pneumonia berat tapi juga menderita radang selaput otak, harapan hidupnya sangat kecil. Anak sekecil Maura harus bertarung dengan berbagai kuman, bakteri dan virus penyebab penyakit karena daya tahan tubuhnya sendri sudah lemah digrogoti virus HIV. Virus itu tidak ada obatnya, tidak ada obat yang bisa melumpuhkan atau mematikan virus, jika terserang penyakit karena virus maka langkah terbaik adalah meningkatkan daya tahan tubuh dengan banyak makan buah dan sayur, agar daya tahan tubuh kita kuat menghadapi serangan virus itu karena obat tidak bisa mematikan virus. Orang yang terkena HIV justru daya tahan tubuhnya sangat lemah sehingga selalu kalah menghadapi virus, bakteri dan kuman, akibatnya sangat mudah jatuh sakit berat, menderita infeksi oportunistik.

"Dok, ini keluarga Maura."
"Silahkan masuk, duduk disini. Apa kabar bu?"
Ameera mengulurkan tangan yang disambut dengan dingin oleh Dewi. Tampang Dewi sangat kusut sekali, menggambarkan kalau pikirannya sedang kacau.

"Saya dokter Ameera, benar ibu keluarganya pasien bernama Maura?"
Dewi mengangguk.
"Ibunya?"
Pancing Ameera. Dewi mengangguk.
"Ibu sambung." Jawab Dewi pelan.
"Ibu kandungnya masih ada?"

"Ada."
"Maaf Bu, banyak yang ingin saya tanyakan pada ibu terkait Maura, tolong ibu jawab dan jelaskan dengan jujur agar kami bisa memberikan pengobatan dan perawatan terbaik untuk Maura."
Dewi mengangnguk lagi.

"Kami sudah melakukan pemeriksaan rontgen dada dan CT Scan kepala juga cek darah di laboratorium terhadap Maura, tadi mungkin dokter Yusuf sudah menjelaskan kalau Maura menderita infeksi pernafasan dan infeksi selaput otak. Daya tahan tubuh Maura sangat lemah, kami menduga ini disebabkan oleh penyakit lain, kemarin ibu sudah diminta persetujuannya untuk cek darah Maura bukan?"

"Iya dok, bagaimana hasilnya?"
Ameera menarik nafas panjang sebelum mengatakan hasil laboratorium itu pada Dewi.
"Maura positif terinfeksi HIV Bu, mungkin ibu tahu kira-kira dari mana Maura bisa tertular virus itu?"

Mata Dewi berkaca-kaca, ada isak yang tertahan.
"Maura memang bukan anak kandung saya, tapi saya menyayangi dia, ibunya menitipkan Maura pada saya."

"Sekarang ibunya dimana?"
"Ada di penjara karena di diduga membunuh pacar laki-laki ayah Maura."
Benarlah, tidak salah lagi, ini Maura putrinya Handini.
"Pacar laki-laki ayah Maura?"

Tanya Ameera hati-hati, ia harus bisa menarik benang merah dari semua yang Dewi katakan.
"Saya istri siri Mas Fahri, ayah Maura. Ibu Maura bernama Handini, ibu rumah tangga biasa tapi punya bisnis produksi sepatu. Saya kenal Mas Fahri waktu magang di kantornya, Mas Fahri sangat baik dan perhatian, tapi saya tidak pernah berpikir untuk merebutnya dari Mbak Handini."
Tangis Dewi pecah, bahu Dewi naik turun menahan isak. Ameera merengkuh bahu Dewi, memberi kekuatan.

"Tadi ibu katakan kalau Bu Handini dipenjara karena diduga membunuh pacar laki-laki suaminya? apa Pak Fahri punya orientasi seksual yang menyimpang?"
"Awalnya saya tidak tahu, saya tahu setelah saya menikah siri dengan Mas Fahri, ada yang bilang kalau Mbak Handini kena HIV , dia menuduh saya yang menularkanya pada Mas Fahri lalu Mas Fahri menularkan pada Mbak Handini padahal saya tidak pernah berhubungan badan dengan siapapun selain dengan Mas Fahri itupun setaelah saya jadi istrinya. Saya menyesal menikah dengan Mas Fahri."

"Tadi ibu katakan kalau ibu tidak pernah terpikir untuk merebut Pak Fahri dari ibu Handini tapi kenapa ibu justru menikah dan jadi istri Mas Fahri?"
"Karena saya butuh uang untuk biaya kemotherapy ibu saya, saya sangat menyayangi ibu saya jadi saya terpaksa melakukan ini, saya tidak menyangka kalau akhirnya saya akan terjebak pada situasi sesulit ini."

Ameera membiarkan Dewi menumpahkan air mata, perempuan muda itu tampak tertekan dan frustasi.
"Apa Pak Fahri memaksa ibu Dewi untuk dinikahi dengan janji akan membiayai biaya pengobatan?"
"Bukan Mas Fahri, tapi sahabatnya Mas Fahri dan Mbak Handini."

Konseling yang dilakukan Ameera jadi lebih mirip introgasi polisi pada pelaku tindak kriminal.
"Mbak Handini dan Maura kena HIV, Mas Fahri hilang entah kemana, dan satu-satunya orang yang saya harapkan bisa membantu saya juga sudah tidak percaya lagi pada saya padahal kalau bukan karena dia yang memaksa saya untuk menghancurkan rumah tangga Mas Fahri dan Mbak Handini saya juga tidak akan terlibat dalam keadaan yang rumit ini. Dok, tolong sampaikan pada yang punya Rumah Sakit ini, Maura ada disini, sangat membutuhkan pertolongannya."
"Maksud ibu siapa?"

"Pak Riga, orang yang sudah menjebak dan memaksa saya untuk menghancurkan rumah tangga Bu Handini agar Pak Riga bisa memiliki Mbak Handini. Bodohnya saya mau menerima tawaran Pak Riga demi uang."
Ameera menelan ludah, berkelebat wajah Riga dengan senyumnya yang manis, Choi Siwon versi Indonesia yang selalu hadir dalam mimpi Ameera . Laki-laki itu.....

________________________

"Saya sudah tahu keterkaitan Pak Riga dengan ibu Handini dan Pak Fahri. Pak Riga sudah membayar Dewi untuk menghancurkan keluarga Mbak Handini dan Pak Fahri, membuat keluarga mereka berantakan, membuat masa depan Arkania dan Maura hancur. Kalau saya bongkar semua ini ke Ibu Handini dan ke media, karir dan masa depan Pak Riga akan hancur juga. Nikahilah saya dan saya berjanji akan menutup mulut saya seumur hidup."

Tangan Riga bergetar membaca pesan via WA itu, pesan dari Ameera.

-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 19
Oleh: Khayzuran

"Saya sudah tahu keterkaitan Pak Riga dengan ibu Handini dan Pak Fahri. Pak Riga sudah membayar Dewi untuk menghancurkan keluarga Mbak Handini dan Pak Fahri, membuat keluarga mereka berantakan, membuat masa depan Arkania dan Maura hancur. Kalau saya bongkar semua ini ke Ibu Handini dan ke media, karir dan masa depan Pak Riga akan hancur juga. Nikahilah saya dan saya berjanji akan menutup mulut saya seumur hidup."
Tangan Riga bergetar membaca pesan via WA itu, pesan dari Ameera.

_____________________

Butiran-butiran bening berjatuhan menimpa touch screen smartphone Ameera, tangannya bergetar meletakkan smartphone itu di meja.
"Maafkan aku...."

Lirih Ameera sambil menyusut air mata dengan ujung kerudugnya.
Aku tahu ini bukan cinta tapi obsesi, aku tahu ini jahat untuk ibu Handini dan Pak Riga, aku tahu tindakan ini menjadikan masa depanku sebagai taruhannya.
Perang batin dalam hati Ameera.

Ada sesal yang menjelma perih, rasa cintanya pada Riga telah membuat Ameera tega menjatuhkan harga dirinya sendiri di mata laki-laki yang dicintainya tapi sama sekali tidak mencintainya, jangankan menempatkan Ameera dihatinya, mungkin bagi Riga ada atau tidak ada Ameera sama saja, keberadaan Ameera tak pernah berarti lebih dari karyawan yang bekerja di Rumah Sakit besar miliknya.

Ameera meraih kembali smartphone, jari-jainya yang lentik menyentuh layar bening itu.
"Assalamualaikum, Rania kamu dimana?"

"Aku sudah ada di kampung, dua hari lagi aku kan menikah, kamu jangan lupa datang ya, gak pesta kok cuma syukuran kecil aja sama keluarga, tetangga dan teman dekat."

Ameera menarik nafas dalam, ada suara riang Rania di ujung telepon sama. Ameera ingin sekali berbagi cerita dengan Rania sahabatnya, tapi momennya tidak pas karena Rania sedang berbahagia mempersiapkan pernikahannya dengan Farhan, ustadz muda di kampungnya yang mencintai Rania dengan tulus.

Setiap orang memang mempunyai jalan hidup yang tak sama, ada celah bahagia, ada poros duka.
"Berceritalah, aku siap mendengarkan, ada apa?"

Rania tahu kalau tidak ada hal yang penting Ameera tidak akan meneleponnya karena mereka sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.

"Hari ini aku meminta Pak Riga untuk menikahiku."
"What?"

Ameera bisa membayangkan saat ini wajah Rania seperti apa, perempuan cantik itu selalu ekspresif merespon sesuatu terlebih hal yang mengagetkan.
"Aku malu-maluin ya?"
"Gak kok, perempuan yang melamar laki-laki kan sah-sah saja, halal hukumnya. Cuma kadang budaya masyarakat di kita saja yang sering menggap hal ini masih tabu. Islam tidak membatasi lamaran hanya boleh diajukan oleh laki-laki saja. Masih inget gak waktu kita ikut pesantren Ramadhan mengkaji kitab Fathul Bari'? Di kitab itu dijelaskan bahwa ada shohabiyah yang datang kepada Rasulullah untuk minta dinikahi, tidak hanya seorang shohabiyah tapi banyak, ada Khaulah binti Hakim ada Ummu Syuraik dan ada juga Laila binti Hatim. Pertanyaan kamu tadi mirip dengan pernyataan putrinya Anas bin Malik, ia berkata pada bapaknya, "Betapa sedikitnya rasa malau yang dimiliki wanita itu". Lalu Anas bin Malik menjawab, "Bahkan ia lebih baik darimu, ia menyukai Rasulullah SAW lalu menawarkan dirinya pada beliau."

"Tapi kan ilmu dan amal baikku belum sabanyak para shohabiyah."
"Iya sih para Shohabiyah itu bukan sebaik-baik suri tauladan yang wajib di ikuti, tapi kita bisa mengambil banyak pelajaran dari mereka.

Ameera bukannya kamu pernah bilang ya kalau Pak Riga itu sedang memperjuangnya first sekaligus true lovenya?"

Ameera mengangguk, tentu saja Rania tidak bisa melihat anggukan itu karena mereka terpisah jarak ratusan kilo meter.

"Aku sudah kayak bucin ya? Ngemis-ngemis cinta pada Pak Riga. Aku hanya ingin Pak Riga hidup layaknya laki-laki normal, menikah dan punya keturunan tanpa resiko. Perempuan yang sedang diperjuangkan Pak Riga itu positiv HIV, lagian dia kan sekarang masih berstatus istri dari suaminya.

Aku tidak bilang kalau aku lebih baik dari ibu Handini, perempuan yang sangat dicintai Pak Riga tapi setidaknya aku sehat dan besar kemungkinan bisa mengurus Pak Riga dengan baik. Aku tahu Pak Riga sangat sedih dengan kondisi ibu Handini, dia pasti mau melakukan apapun demi menolong ibu Handini, tapi menolong perempuan tidak harus dengan cara menikahinya kan Ra?"

"Love is blind itu bener kali ya, cinta itu kadang membuat orang yang pintar mendadak tampak bodoh, termasuk kamu Ameera. Kamu ini kan konselor HIV harusnya kamu tahu dong kalau pasangan yang HIV masih bisa hamil dan melahirkan anak normal asal rajin minum ARV, rutin cek CD4 dan kalau ingin hamil bisa berhubungan suami istri tanpa menggunakan kondom asal kadar CD4 nya rendah dan dilakukan pada masa subur istri."

"Iya Ra, aku tahu itu, tapi rasanya tidak tega kalau Pak Riga menjadi kelompok beresiko terjangkit HIV/AIDS hanya karena menikah dengan ibu Handini. Bukankah pernikahan yang beresiko seperti itu hukumnya makruh? "
Ameera masih membela diri.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah membahas secara rinci tentang hukum pernikahan pengidap HIV/AIDS dan akhirnya mengeluarkan fatwa terkait hal itu yang mulai berlaku sejak tanggal 24 Juni 1997. Di dalam fatwa tersebut menyatakan apabila HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (maradh daim), maka hukumnya makruh. Dalam hukum Islam, makruh itu adalah sesuatu yang dianjurkan untuk tidak dilakukan, jika ditinggalkan akan mendapat pahala,tetapi jika dilakukanpun tidak berdosa.

Namun hukum pernikahan antara orang sehat dengan pengidap HIV/AIDS bisa berubah menjadi haram jika penyakit terebut susah disembuhkan (maradh daim) dan diyakini bisa membahayakan orang lain, dalam hal ini pasangannya yang sehat.

Sedangkan pernikahan antara sesama pengidap HIV/AIDS hukumnya boleh.
"Iya makruh dan jatuhnya bisa sampai haram. Makanya penting sekali untuk general check up bagi kedua pasangan yang ingin menikah dari jauh-jauh hari. Menikah itu kan ibadah, menyempurnakan setengah dari agama, banyak kebaikan dan keberkahan yang akan kita dapatkan. Jika setelah general check up ternyata salah satu calon pasangan itu positif HIV, butuh waktu sekitar 3-6 bulan untuk pengobatan menurunkan kadar visrus HIV nya baru aman untuk menikah. Sebagai konselor HIV/AIDS kamu pasti lebih fahamlah tentang masalah ini."

"Jika Pak Riga bersedia menikah denganku aku akan minta Pak Riga untuk menikahi ibu Handini setelah Bu Handini bercerai dengan suaminya dan selsei masa iddah."
"Kalau skenario kamu seperti itu berarti bukan cuma Pak Riga yang akan masuk pada kelompok orang yang beresiko tertular HIV tapi kamu juga Ameera."

"Tapi setidaknya Pak Riga masih punya kesempatan untuk mempunyai keturuanan yang sehat dari aku dan punya kesempatan juga untuk membahagiakan dan merawat cinta sejatinya dan anak-anaknya. Ibu Handini itu orang baik, dia berhak bahagia, aku yakin dia bisa menjadi madu aku yang baik untukku. Disisi lain aku juga bisa membantu Pak Riga untuk merawat ibu Handini sekaligus merawat cinta mereka."

"Kamu sudah siap dengan segala resikonya? Ameera berbagi cinta itu tidak mudah."
"Aku kira tidak lebih sulit dari merebut hati Pak Riga dari Bu Handini."
Sesaat keduanya saling diam. Ameera dan Rania, dua sahabat yang berbeda dalam menyikapi rasa cinta. Ameera berjuang untuk mendapatkan laki-laki yang dicintainya padahal laki-laki itu tidak mencintainya. Sedangkan Rania berjuang untuk melupakan laki-laki yang sangat mencintainya meski sebenarnya Rania juga mecintainya , namun Rania lebih memilih menikah dengan laki-laki lain dan melupakan rasa cinta itu.

"Bagaimana persiapan pernikahan kamu? Arjuna dan dr. Fauzan diundang?"
Ameera mengalihkan topik pembicaraan.
"Alhamdulillah semua berjalan lancar, kamu jangan lupa datang ya, aku mengundang Mas Fauzan juga. Aku tidak mengundang Mas Arjuna secara khusus tapi aku mengundang keluarganya, lagian Mas Arjuna mau berangkat ke Austria untuk mengambil program doktoral jadi aku undang khususpun sepertinya tidak bisa datang."

"Kenapa kamu tidak jujur pada Arjuna kalau kamu juga mencintainya?"
"Ameera, aku sudah mengambil keputusan untuk menikah dengan Kang Farhan, sama dengan kamu yang sudah mengambil keputusan unuk minta dinikahi sama Pak Riga, berarti kita harus sama-sama komitmen dengan resiko yang mungkin terjadi dari keputusan yang sudah kita ambil."
Ameera mengamini apa yang dikatakan Rania.

Mungkin cinta Ameera pada Riga tidak salah, karena cinta itu tidak mempunyai mata jadi bisa jatuh pada hati siapa saja tanpa direnacanakan, mungkin cara Ameera untuk mendapatkan Riga yang tida ahsan.
Suara bel dari pintu depan terdengar nyaring.

"Rania, sudah dulu ya sepertinya ada tamu, thanks ya, semoga pernikahan kamu lancar."
"Amiin, dan semoga semua rencana kamu juga lancar jika itu baik untuk kamu dan orang lain, jangan lupa datang ke pernikahan aku ya bawa Pak Riga sekalian."
Keduanya tertawa sebelum akhirnya saling menutup telepon setelah berbalas salam.
Bel dari pintu depan berbunyi lagi diiringi dengan ucapan salam.
"Waalaikumsalaam, iya sebentar."

Ameera membuka daun pintu, didepannya berdiri sosok laki-laki bertubuh tinggi atletis, tersenyum memperlihatkan lesung pipinya, manis.
"Siapa Ameera?"
Ibu muncul dari arah dalam rumah menyonsong tamu yang datang. Ameera mematung dengan lutut bergetar dan bibir pucat.
"Assalamualaikum, Tante, perkenalkan saya Riga calon suami Ameera."

-----


#PESAN_UNTUK_ISTRI_SUAMIKU
Part 20
Oleh: Khayzuran

Ameera membuka daun pintu, di depannya berdiri sosok laki-laki bertubuh tinggi atletis, tersenyum memperlihatkn lesung pipinya, manis.

"Siapa Ameera?"
Ibu muncul dari arah dalam rumah menyongsong tamu yang datang.
Ameera mematung dengan lutut bergetar dan bibir pucat.

"Assalamualaikum, Tante perkenalkan saya Riga calon suami Ameera."
"Ohh Nak Riga, silahkan duduk. Mohon maaf di rumah ini tidak ada penghuni laki-laki jadi silahkan duduk disini saja ya."
Ibu Ameera dengan ramah mempersilahkan Riga duduk di kursi yang ada di teras depan.
"Baik, terimaksih Tante."

"Ameera temani dulu Nak Riga, ibu ambil minum dulu."
"Biar Ameera saja yang ambil minum Bu."
"Biarin ibu saja, ayo duduk temani Nak Riga."
Ameera menjatuhkan tubuhnya yang lemas di kursi. Riga sudah duduk terlebih dahulu. Riga mencuri pandang ke arah Ameera yang tertunduk dalam.

"Jadi, kapan kita menikah?"
Pertanyaan Riga menyambar daun telinga Ameera, tidak hanya telinganya yang terasa panas tapi hatinya juga. Ameera tidak berani megangkat muka dan melihat ke arah Riga. Laki-laki itu pasti sudah menganggap Ameera sebagai perempuan murahan yang memanfaatkan situasi untuk menjebak Riga.

"Secepatnya."
Jawab Ameera datar tanpa melihat ke arah Riga. Tidak ada riak bahagia dalam air muka Ameera layaknya perempuan yang sedang membicarakan pernikahan.
"Ok, Sabtu depan ya, kita pesta kebun saja, saya ada WO yang bisa menyiapkan semuanya dengan baik."

Air mata Ameera nyaris jatuh, hatinya terasa bagai di iris sembilu lalu ditaburi garam dan cuka, perih. Sebesar itukan cinta Riga pada Handini? hingga membuat laki-laki itu bertekuk lutut padanya tanpa protes atau membela diri sedikitpun.
"Tidak usah ada pesta, akad saja di rumah."

"Aku anak satu-satunya, orang tuaku pasti menginginkan pesta pernikahan yang mewah, mengundang banyak sodara dan kolega."
Ameera semakin tertunduk dalam.
"Kamu mau mahar apa?"
Ameera tercenung, tidak siap dengan pertanyaan Riga sejauh ini.
"Apa saja yang tidak memberatkan."

Yang berat itu bukan memberikan mahar untukmu tapi menikahimu. Begitulah suara hati Riga yang ada dalam bayangan Ameera.
"Katakan saja, aku akan penuhi."

Suara Riga terdengar tulus. Memenuhi hal-hal yang bersifat duniawi bagi Riga mudah saja, dengan kekayaan berlimpah Riga bisa membeli banyak hal yang bisa menyenangkan hati perempuan.
Namun Ameera tidak pernah sedikitpun berniat untuk memanfaatkan Riga dari segi materi. Meski mahar adalah hak istri dan kewajiban suami dan istri boleh meminta mahar apa saja, namun bagi perempuan perlu di ingat bahwa sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah. Mahar yang paling bagus dan menjadi mahar yang terbaik adalah mahar yang paling mudah untuk dipenuhi.

"Aku ingin mahar hafalan surat An-Nisa' ayat 1-10"
Riga menelan ludah, tidak yakin bisa memenuhi permintaan Ameera. Hanya surat-surat pendek dalam juz 30 yang di hafal Riga.

"Oke, bisa. Mau tambahan mahar apa lagi? berlian?"
Ameera menggelang, sekilas pandangannya beralih pada Riga yang tenyata sedang memandang ke arahnya. Pandangan mereka beradu sesaat, lalu Ameera menunduk lagi, ada desiran hebat di hatinya. Tidak tega rasanya melihat Riga yang tak berdaya untuk menolak semua permintaan Ameera. Laki-laki yang nyaris sempurna itu hanya mengiyakan semua permintaan Ameera kecuali soal resepsi pernikahan.

Handini sungguh hebat bisa merajai hati Riga dalam waktu selama itu. Dan Riga sungguh setia, menunggu selama itu dan rela berkorban demi cintanya pada Handini, perempuan yang kini mengidap HIV.

"Silahkan minum dulu Nak Riga."
Ibu meletakkan tiga gelas lemon tea di atas meja.
"Aku pamit kedalam dulu."

Ameera meninggalkan ibu dan Riga lalu masuk kamar.
"Pulanglah, jangan bicara apapun pada ibu."
Ameera mengirim pesan pada Riga.

Langsung ceklis dua dan berwarna biru, itu tandanya pesan Ameera sudah dibaca Riga.
"Oke."
Lagi-lagi tanpa penawaran dan penolakan, Riga langsung memenuhi permintaan Ameera.
"Langsung pulang saja, pamit sama ibu, aku tidak bisa menemui lagi."

Ceklis dua warna biru namun tidak ada balasan lagi dari Riga.

_____________________________________

"Sayang....Bangun Yang."
Anggodo berusaha membangunkan Fahri yang masih terlelap. Akhirnya Anggodo bisa sampai juga ke tempat tidur setelah berjalan merangkak dari kamar mandi karena kesakitan hebat.
"Yang..."

Suara Anggodo melemah sebelum akhirnya jatuh pingsan. Sementara Fahri masih pulas menikmati alam mimpinya. Dia baru tidur menjelang terbit fajar karena tadi malam Anggodo mengajak Fahri berpesta di sebuah cottage di kawasan pantai Pattaya bersama teman-teman satu komunitasnya se Asia Tenggara.

Menjelang matahari setinggi bayangan Fahri baru bangun dari tidurnya. Fahri mendapati Anggodo tersungkur di lantai dengan darah membasahi handuk putih yang dikenakannya. Di lantai tampak darah berceceran yang sudah mengering.
"Mas...."

Fahri menepuk-nepuk pipi Anggodo setelah merebahkannya di kasur. Wajah Aggodo tampak pucat, mungkin karena Anggodo mengalami banyak perdarahan. Sampai Fahri menidurkannya di kasurpun darah segar masih keluar dari anus Anggodo.

Fahri mulai panik karena Anggodo ternyata pingsan dan tidak dapat dibangunkan. Fahri meminta bantuan kepada petugas hotel untuk membawa Anggodo ke Rumah Sakit terdekat.
Aggodo masuk ke ruang emergency Rumah Sakit Memorial Pattaya, beberapa petugas IGD langsung menangani Anggodo.

30 menit kemudian seorang dokter menemui Fahri. Dokter itu mengabarkan kalau Anggodo mengalami perdarahan hebat dari tumor di anusnya. Dokter itu belum bisa memastikan apakah tumor di anus Anggodo tumor ganas atau tumor jinak karena untuk mengetahui jenis tumor itu harus dilakukan operasi kecil untuk mengambil jaringan tumor. Jaringan tumor itu kemudian diperiksakan di bagian patologi anatomi dan hasilnya baru bisa keluar seminggu kemudian.

Langkah pertama yang harus segera dilakukan sekarang untuk Anggodo adalah transfusi darah untuk mengganti darah yang banyak keluar dari anus Anggodo. Kadar HB Anggodo sekarang hanya 5,2 gr% kemungkinan besar Aggodo memerlukan transfusi darah sebanyak 4 kantong atau sekitar 1000 cc jika kualitas darah transfusinya bagus, tapi jika kualitas darahnya jelek mungkin harus transfusi lebih dari 4 kantong.

Setelah mendengar penjelasan dokter, Fahri keluar dari ruangan IGD dengan muka kusut, tangan kekarnya meremas rambut yang semerawut. Semoga saja persediaan darah di Rumah Sakit ini cukup, karena Fahri sendiri tidak mungkin bisa mendonorkan darahnya untuk Anggodo. Fahri sama dengan Anggodo, sama-sama pengidap AIDS. Fahri baru tahu bahwa dia sudah menderita AIDS sekitar satu bulan yang lalu. Saat lima tahun yang lalu Fahri memgetahui dirinya terkena virus HIV, Fahri langsung berobat dan minum ARV dengan harapan bahwa virus HIV yang bersemayam di dalam tubuhnya tidak sampai menyebabkan AIDS. Mungkin karena aktivitas seksual menyimpang Fahri cukup aktif sehingga meningkatkan resiko baginya dan Anggodo untuk terkena AIDS.
HIV dan AIDS itu berbeda,

HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dengan menghancurkan sel CD4 (Sel T) yang merupakan bagian dari sistem imun spesifik yang bertugas melawan infeksi dan AIDS adalah kondisi yang dapat disebabkan oleh HIV, sebuah penyakit kronis akibat infeksi HIV yang memunculkan sekelompok gejala berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh. AIDS dianggap sebagai tahap akhir dari infeksi HIV jangka panjang. Tidak semua pengidap HIV akan otomatis terkena AIDS di kemudian hari. Pengidap AIDS memiliki sistem imun yang sangat lemah sehingga sangat rentan terhadap resiko infeksi seperti herpes zoster, sarkoma kaposi, limfoma non hodgkin, TBC, kanker dan peumonia.

Ponsel Fahri berdering.
"Pak Fahri, ada surat panggilan dari kepolisian untuk Pak Fahri, suratnya ada di kantor karena di alamat rumah Pak Fahri tidak ada siapa-siapa, rumahnya kosong. Pak Fahri diminta untuk datang ke kantor polisi lusa Pak."

Nindi, resepsionis di kantor memberi kabar untuk Fahri.

bersambung ...