Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

#Brother_i_love_you 8 - 14 (tamat)

#Brother_i_love_you,
Khadijah Afendi
#Bagian8

Hari ini kakak keluar dari Rumah Sakit setelah 3 hari mendapatkan perawatan. Lukanya tidak begitu parah benturan di kepalanya tidak menyebabkan luka serius. Bella Sekertaris kakak datang menjemput dengan menggunakan mobilnya, aku pun diminta kakak untuk ikut mengantarnya pulang, aku mengiyakan karena sebelumnya aku sudah tukar sift kerja dengan Suster yang lain.

Sampai dirumah kakak, ku melihat bangunan Rumah yang cukup megah, dengan Gerbang besar dan Rumah berlantai 2. Di Garasi terparkir 2 mobil yang cukup Mewah salah satunya merek mobil buatan Eropa yang aku suka, Mini Coper.

Kakak bercerita saat perjalanan pulang selama bekerja di Jepang kakak tidak sedikit pun mengambil gaji yang di berikan Bossnya, kakak menyimpannya karena keperluan makan dan lainnya di tanggung oleh Boss. Setelah pulang ke Tanah Air kakak mencoba merintis usaha dengan membuka Mini Market, hingga akhirnya usaha itu berkembang pesat. Aku ikut senang mendengarnya karena kakak menjadi seseorang yang sukses.

Kakak juga bercerita alasan mengapa ia tidak pernah menghubungi aku dan mama, saat turun di Bandara Jepang pertama kali, Handphone kakak hilang entah dimana. Hingga kakak kesulitan untuk menghubungi kami, sebenarnya ketika pulang ke Tanah Air kakak ingin memeberi kejutan kepada mama, tapi ternyata kakak lah yang terkejut.

Di depan pintu ada dua orang menunggu kakak, seorang wanita paruh baya, dan satu laki-laki yang sosoknya sangat aku kenal, Mang Osep.
Ya supir mama dulu, kini bekerja dengan kakak.
"Neng masih kenal mamang?" tanya mang Osep sambil menyalami ku.
"Tentunya mang, bagaimana Dina bisa lupa." Jawabku tersenyum.
"Ini kenalin, Bi Minah dia yang membantu kakak jika dirumah, ngurus makan dan lain sebagainya" ujar kakak memperkenalkan wanita paruh baya yang berdiri di samping mang Osep.
"Haloo Bi, saya Dina" ujarku memperkenalkan diri
"Ooh ini ya Den neng Dina yang suka Aden ceritain" ujar Bi Minah sambil tersenyum memegang tanganku.

"Cerita apa bi?" Tanyaku penasaran
"Eehh sudah-sudah" ujar kakak memotong pembicaraan kami.
"Iyaa mau sampai kapan ngobrol di luar?" Tanya Bella menyambung percakapan kami. Tak sadar sedari di dalam Mobil tadi kami diamkan, sudah bagaikan supir.
Masuk kedalam rumah aku terkesima dengan perabotan dan furniture kakak yang mewah tapi bergaya minimalis, selera kakak menata rumah boleh juga, pikirku.
Aku dan Bella mengantarkan kakak ke kamarnya, di samping tempat tidur terpajang foto Aku, mama, dan kakak. Aku senang kakak tidak pernah melupakan kami.

"Bell makasih banyak udah jemput aku pulang, besok pekerjaan kamu bawa saja kesini" ujar kakak pada Bella. Sambil matanya mengisyaratkan Bella untuk keluar pintu kamar.
"Kamu ngusir aku?" Tanya Bella terang terangan, karena memahami isyarat dari kakak.
"Kamu kan capek Bell dari kemarin, nungguin aku di Rumah Sakit" ujar kakak.
"Ya udah kamu jangan lupa minum obat ya" ujar Bella sambil pamit pergi.
"Bella selain sekertaris juga teman kakak, kami saling mengenal waktu sama sama tinggal di Jepang" ujar kakak menjelaskan hubungannya dengan Bella.

Aku kikuk berada di kamar dengan kakak hanya ber 2, entah mengapa. Padahal dulu aku dan kakak sering ngobrol di dalam kamar, apa karena kami baru bertemu lagi setelah sekian lama berpisah, apalagi selagi duduk di Ranjangnya kakak selalu memandangiku.

"Kamu makin cantik Din" ujar kakak, aku tertuduk sambil tersenyum
"Tapi nggak usah kembang kempis gitu hidungnya" ujar kakak sontak membuat ku kesal, ku ambil bantal di ranjangnya lalu kupukul kakak. Kakak hanya tertawa melihatku marah, lalu memegang pergelangan tanganku.

"Kamu memang cantik" ujar kakak sambil menatapku, terlihat serius kali ini.
"Tokk... tokk.. tokk" terdengar pintu kamar kakak di ketuk dari luar
"Denn, makan dulu. Bi Minah sudah siapkan" ujar Bi Minah dari balik pintu.
Aku dan kakak keluar turun dari kamar, yang berada di lantai 2. Ku lihat di meja makan sudah banyak menu di sajikan. Kulihat menu favoritku cumi asin cabe hijau ada disana, seakan-akan memanggilku untuk segera makan.

"Ini favorit neng Dina sudah bibi siapkan" kata bibi sambil menunjuk cumi di meja.
"Bibi tau darimana? Dari kakak ya???,,, kakak cerita apa saja bi" tanyaku pada bi Minah penasaran
"Udahh makan dulu" kata kakak sambil menarik kursi menyuruh aku duduk.

"Bibi makan disini, panggil juga mang Osep" ujar kakak pada bibi tapi bibi menolak, dan kembali kedapur. Kakak bercerita ia sering makan bersama bibi dan mang Osep di meja makan yang sama, baginya bi Minah dan mang Osep sudah seperti keluarga. Kakak memang baik, kesuksesannya tidak merubah ke pribadiannya sama sekali.

Selesai makan aku pamit pulang pada kakak, karena aku harus bekerja. Aku menyuruh kakak untuk datang kerumahku bila ada kesempatan. Kakak mengiyakan.
Sampai dirumah aku bercerita pada Santi di telpon.

"Apaaa,, seriuss?? Kenapa baru bilang kalau kamu sudah ketemu Riyan" ujar Santi kaget mendengar ceritaku. Sebenarnya aku bukan tak mau cerita dengan pertemuanku dan kakak namun situasinya yang bertemu kakak seperti itu membuat aku lupa untuk bercerita. Santi menyuruhku mengundang Riyan datang kerumah, dia berjanji akan membuatkan kue yang spesial. Karena untuk urusan seperti itu memang Santi jagonya.

Esoknya kakak datang kerumah, rumah kami rumah masa kecil aku dan kakak. Turun dari motor kakak tidak langsung masuk dia menatap luar rumah ku sambil memegang kedua sudut ujung matanya, terlihat seperti menahan tangis.
Aku, Santi, dan Damar menyambutnya, dan membawanya masuk ke rumah. Kakak minta ijin masuk ke kamar mama, lalu ku iyakan, di kamar mama kakak duduk di ranjang mama sambil menangis, "Riyan datang ma, maafkan Riyan" ujar kakak. Aku dan Santi ikut menangis Damar menepuk pundak kakak, Selesai melihat kamar mama, kakak masuk ke kamarnya. Kakak tersenyum. Dia merasa senang kondisi kamar masih seperti saat ia meninggalkannya dulu.

"Yukk ke bawah aku sudah siapkan kue" ujar Santi, mengubah suasana haru saat ini.
Damar membantu Santi menyiapkan kue, aku dan kakak melihatnya di meja makan.
"Kalian terlihat cocok" ujar kakak ku pada Santi dan Damar

"Benarkah? Santi gimana kalau kita nikah aja" tanya Damar pada Santi yang sedang menyiapkan kue. Sontak membuat aku dan kakak saling memandang kaget.

"Setuju" jawab Santi singkat, aku dan kakak semakin kaget saja.
"Hei, pernikahan bukan lah hal yang bisa kalian permainkan" ujar kakak ku pada Santi dan Damar.
"Aku sudah ingin segera menikah,dan mencari yang serius, bagaimana San kamu mau?" Tanya Damar pada Santi.

"Ok,, bawa orang tua mu ke Rumah ku pekan depan" jawab Santi. Aku dan kakak terdiam saat ini aku dan kakak bagaikan obat nyamuk di antara mereka.
"Kalian kapan?, ayolah kalian juga cocok" Ujar Santi, membuat aku kaget. Kakak menatapku sepertinya menantikan jawaban.

"Akkkuu... Dan kakak kan saudara mana bisa" jawabku. Wajah kakak terlihat kecewa, sepanjang pertemuan hari ini kakak banyak terdiam. Kontras sekali dengan pasangan gila di hadapanku yang tiba tiba di mabuk asmara, entah apa yang merasuki mereka.
Kakak pamit pulang, aku mengantarnya sampai kehalaman depan.
"Kakak masih mencintai kamu Din, bukan sebagai adik. Pikirkan baik baik bagaimana perasaan mu terhadap kakak" ujar kakak ku, aku terdiam.

Bersambung...


---

#Brother_i_love_you
#Bagian9

Perkataan kakak selalu terngiang di telingaku, Bagaimana tentang perasaan ini aku pun tidak yakin, aku belum bisa membedakannya. Apakah perasaan ini cinta ataukah hanya rasa sayang adik kepada kakaknya semata. Kupikir aku harus segera mendapatkan jawabannya.

Gawaiku berdering, menandakan ada pesan masuk ku lihat itu dari kakak. "Din, tolong bantu kakak ganti perban" bunyi dari pesan tersebut. Aku pun datang kerumah kakak disambut bi Minah, bi Minah bilang di ruang kerja ada Bella, mungkin untuk mengantarkan berkas-berkas karena untuk saat ini kakak berkantor dari rumah. Saat akan ku ketuk pintu ruang kerja kakak, terdengar percakapan antara kakak dan Bella di dalam.

"Jadi dia itu bukan adik kandung mu kan yan?" Tanya Bella pada kakak, mungkin aku yang di maksud olehnya.
"Ia bukan" jawab kakak singkat.
"Lalu bagaimana perasaan mu?, aku dengar dari mang Osep alasan kenapa kamu dulu pergi dari rumah" tanya Bella pada kakak.

"Aku mencintainya sebagai wanita, bukan sebagai adik." Jawab kakak.

"Lalu aku??? Kamu sangat faham kan aku mencintaimu" tanya Bella, sepertinya aku tak harus mendegarkan percakapan ini, tapi entah mengapa aku tak ingin beranjak dari sana.

"Sudah aku jelaskan dari awal, jangan menyukaiku" tegas kakak pada Bella, Membuat wanita itu menangis. Menurutnya banyak laki laki yang ia tolak karena ia menyukai kakak ku. Bahkan ia rela untukterus di samping kakak ku walaupun ia tahu kakak tidak menyukainya.

Kakak menenangkan Bella yang menangis, dia berdiri di belakang bela dan menepuk punggungnya, melihat pemandangan ini mengapa hatiku kesal. Ku pikir aku datang di waktu yang salah aku kembali pulang ke rumah, setelah sebelumnya pamit kepada Bi Minah.

Dirumah aku menceritakan kejadian itu pada Santi, aku hanya heran mengapa kakak tidak menyukai Bella, wanita yang cantik dan sexy punya kaki yang jenjang dan dada yang besar. "Huh berbeda sekali dengan dadaku" gerutuku di depan cermin, sambil membandingkan ukuran dadaku dengan punya Bella.

"Nggak semua laki laki tertarik dengan wanita berdada besar" ujar Santi menghiburku.
Lalu aku melihat kearah kaki ku, sungguh berbeda sekali dengan kaki Bella, bahkan melihat kaki nya pun aku sudah minder.

lagi lagi Santi tersenyum melihat tingkahku di depan cermin.
"Kamu cemburu???" Tanya Santi

"Cemburu??? Nggak, aku hanya aneh mengapa kakak tidak menyukai wanita itu padahal dia nyaris sempurna" jawabku, tapi sepertinya Santi tidak percaya.

"Aku tahu Riyan, dia tidak akan mudah mengubah perasaannya" ujar Santi, entah mengapa dia berbicara seperti itu, seolah-olah ingin menenangkan aku. Gawaiku kembali berbunyi kali ini kakak mengimi ku pesan lagi, "keluar,,, kakak ada di luar" tulis kakak di dalam pesan singkat.

Aku mengintip dari jendela kamar, kulihat kakak ada di bawah. Seketika aku berlari ke luar membuat Santi heran.

"Mau kemana Din?" Tanya Santi

"Kakak ada dibawah" ujarku lari dari kamar.
Kulihat kakak masih di atas motornya, memakai kemeja putih yang dilipat, bercelana panjang semata kaki berwarna dongker, bersepatu kets dan memakai kacamata senada dengan warna celananya. Kakak sangat tampan pikirku, walaupun kepalanya masih terlilit perban, tak membuat luntur ketampanannya.

"Tadi kata bibi kamu kerumah?" Tanya kakak, aku mengangguk.
"Kenapa tidak masuk?" Tanya kakak lagi.

"Sepertinya kakak sibuk dengan Bella?" Jawabku, kakak tersenyum sambil mencubit daguku, ku tepis dengan tangan.

"Cemburu?" Tanya kakakku sambil tersenyum

"Nggak, kenapa kakak memanggilku jika sedang sibuk dengan wanita lain" ujarku, lagi-lagi kakak tersenyum, entah apa yang membuat hal ini begitu lucu baginya.

Kakak mempersilahkan aku naik ke motornya, tak lupa sebelum itu memakaikan Helm, entah ingin membawa ku kemana, sampai saat motor kakak berhenti di sebuah wahana bermain, setelah membeli tiket kakak menarik tanganku dan mengajakku bermain di berbagai wahana.

Kakak mengajakku naik wahana Biang Lala padahal kakak tahu aku takut ketinggian tapi aku tak kuasa menolak ajakannya, diatas Biang Lala aku tak sanggup membuka mata karena takut, kakak terus membujukku dengan alasan pemandangan sangat bagus bila di lihat dari atas. Pelan pelan ku buka mataku, benar kata kakak pemandangan memang terlihat bagus bila di lihat dari atas, Tapi saat Biang Lala melaju turun ke bawah aku tak sanggup menahan rasa takut. Kakak memegang tanganku erat.

Setelah naik Biang Lala kakak kembali mengajakku ke wahana yang lebih menantang, wahana yang menghempaskan kita tinggi ke atas, setelah diatas di hempaskan lagi ke bawah. Ku lambaikan tangan ke kakak tanda tak sanggup untuk naik wahana tersebut. Kakak naik sendirian, setelah bersiap kakak memegang sabuk pengamannya kuat-kuat setelah wahana di hempaskan ke atas seketika orang orang berteriak termasuk kakak hanya saja kakak berteriak, "Dinaaaa i love youuuuu".

Setelah pulang dari Wahana bermain, kakak mengajakku kerumahnya untuk mengganti perban, sesampainya dirumah kakak, ternyata sudah ada Bella disana.

"Aku nunggu kamu yan, ditelpon nggak diangkat, ada berkas satu lagi yang belum kamu tandatangan." Ujar Bella, kakak menyuruhnya menaruh di ruang kerja, lalu kakak pamit pergi mandi terlebih.

Aku menunggu kakak di ruang tamu, Bella menghampiriku.

"Kamu serakah ya Din, apa nggak cukup kamu jadi adiknya saja?" Tanya Bella sinis.
"Maaf itu bukan urusan kamu" timpal ku, tak kalah sinis.

"Kamu jangan senang dulu, hati seseorang bisa saja berubah, karena aku tidak tinggal diam" ujar Bella sambil berlalu pergi. Apa dia menggretakku pikirku, dia pikir aku takut? Maaf aku bukan Dina si gadis manja seperti beberapa tahun yang lalu.

Selesai mandi kakak turun ke ruang tamu, dengan hanya memakai handuk model kimono berwarna putih. Dia menghampiriku menyuruhku mengganti perban, padahal sebenarnya dia bisa melakukan sendiri.

Kakak duduk di sofa, aku berdiri dihadapannya sambil perlahan membuka perban. Selagi aku membuka perban, mata kakak tak lepas memandang ku, membuat ku gugup lalu reflek menampar pelan wajahnya.

"Aww, Suster macam apa yang kasar seperti ini" ujar kakak padaku, membuat aku tertawa.
"Habis pasiennya pikirannya pasti mesum" ujarku.

"Kakak tidak berfikir mesum, kakak hanya berfikir kamu cantik, jangan jangan kamu yang berfikir mesum" timpal kakak, kali ini membuat aku malu. Aku menampar pelan pipi sebelahnya. Kakak memegang tanganku, kali ini dia meletakkan tangan ku di pipinya.

"Bagaimana sudah kau pikirkan bagaimana perasaan mu pada kakak" lagi lagi kakak bertanya tentang itu. Aku mulai bingung menjawabnya.
"Aku belum yakin, tolong beri aku waktu lagi" pintaku pada kakak. Kakak mengangguk, dia bersedia menungguku, karena dia sangat faham jika berada di situasi ini, karena bertahun tahun kami menjadi saudara.
Perban kakak selesai aku buka, lukanya telah mengering, kali ini tidak perlu di pasang perban lagi. Aku pamit pulang, kakak mengantarku ke pintu depan rumahnya, sambil menunggu mang Osep mengambil mobil, untuk mengantarku.
"Din, kakak ingin selalu bersama kamu, sudah cukup tahun-tahun kemarin kakak lalui tanpa kamu." Kakak berkata seperti itu sambil memegang tanganku.
"Ayo neng Dina" panggil mang Osep yang sudah siap mengantarku pulang, kakak membukakan pintu mobil untuk ku.
Bersambung...

---


#Brother_i_love_you
#Bagian10

"Din... besok bantu aku pilih baju yang cocok buat acara pertemuan keluargaku dan Damar" pinta Santi ditelpon. Aku bertanya mengapa ia begitu yakin akan keputusannya menerima tawaran Damar untuk menikah, apakah tidak terlalu terburu-buru. Santi berujar Dia sudah cukup mengenal Damar, dan sudah menyadari sejak lama gelagat damar yang mulai menyukainya, Damar memang orang yang humoris tapi dia serius untuk hal semacam ini.

Aku iri pada Santi yang mudah sekali memantapkan hatinya untuk memilih Damar, lalu bagaimana denganku? Apa yang sebenarnya aku ragukan?. Aku belum betul-betul bisa membedakan bagaimana perasaan ini yang sebenarnya.

Esoknya selepas bekerja, aku membantu Santi memilih baju di Butik dalam sebuah Mall, Dress berwarna mocca berlengan pendek diatas siku, dengan panjang semata kaki sangat cocok dengan Santi. Setelah dari butik Santi mengajakku kesebuah kedai kopi di dalam Mall, Santi memesan sedang aku memilih meja. Tak disangka disana aku melihat Kakak bersama Bella, sedang meminum kopi bersama, sepertinya obrolan mereka begitu seru karena ku lihat kakak tertawa.
"Kok masih disini?" Santi bertanya dengan membawa 2 buah kopi pesanannya.
"Itu lihat" aku menunjuk ke Arah kakak dan Bella.

Santi menarik tanganku menuju mereka, kakak terkejut melihat kehadiranku dan Santi disana.
"Oh hai... kebetulan ketemu disini" ujar Santi basa-basi.
aku lihat wajah Bella seperti tidak senang melihat kehadiran kami. Kakak mempersilahkanku duduk disampingnya, Santi duduk di samping Bella.

"Kalian naik mobil atau motor kesini?" Tanya Santi.
"Mobil, Bella yang nyetir" jawab kakak

"Oooh iyaa... motor kamu kan cuma boleh dinaikin Dina kan? Pasti Bella belum pernah di bonceng Riyan?" Tanya Santi pada Bella.

"Aku memang belum pernah naik motor Riyan, tapi Riyan sering tidur di mobilku" jawab Bella sinis.
Mendengar itu mendadak dadaku panas, aku tidak tahan lama-lama disana, lalu pergi ke toilet, dan ternyata Bella mengikutiku.

"Kenapa Din? Kok kamu kaya nggak suka gitu denger Riyan pernah tidur di mobilku"
"Kalian rekan kerja bukannya hal itu biasa tidak ada yang istimewa" jawabku
"Mau aku ceritakan yang lebih dari itu, tidur dikamar yang sama misalnya" Bella sepertinya sengaja memancing kemarahanku.

Aku pergi meninggalkan toilet menuju tempat duduk kami, ku buru-buru pamit pada kakak sambil Membawa Santi pulang, terlihat kakak heran dengan sikapku.

Sepanjang jalan menuju rumah aku terdiam, walaupun Santi juga sepertinya penasaran dengan sikapku, setelah mengantarkan Santi pulang kupacu mobilku agar berlari kencang, entah di kisaran berapa kecepatannya aku tak peduli.

Hebat sekali kakak sudah berani tidur dengan wanita itu. Lalu dia mengajakku untuk serius menjalin hubungan dengannya, waktu memang bisa mengubah seseorang. Lelaki mana yang tahan berada disamping Bella tanpa menjalin suatu hubungan. Hanya lelaki yang Bodoh, pikirku kacau.
Malam ini sungguh aku tidak bisa tidur, entah mengapa. Udara terasa begitu panas padahal AC sudah kuturunkah suhunya. Kuambil Handphone di tas, biasanya jika bermain Handphone di kamar akan mempercepat mataku untuk mengantuk. Kulihat ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari kakak.

"Sudah tidur?" Tanya kakak dalam pesan itu.

Kubiarkan pesan begitu saja, aku terlalu malas untuk menjawab. Mataku ku paksakan terpejam agar hari ini cepat berlalu dan berganti besok pagi yang lebih baik.

Paginya seperti biasa aku membuat secangkir kopi dan roti tawar sambil mengechek Handphone ku, dari luar kudengar seseorang mengetuk pintu. Ketika ku buka ternyata kakak yang berdiri di depan pintu, dan melemparkan senyum kepadaku, entah untuk apa dia datang sepagi ini kerumah, lalu kupersilahkan masuk kedalam.

"Bikinin kakak roti Din. Kakak rindu roti buatan kamu" ujar kakak

Kurapihkan rambutku yang tergerai sambil memasukkan roti di mulutku. Kakak memegang bahuku lalu memintaku membelakanginya, dan mengikat rambutku, seperti yang sering di lakukannya dulu.
"Kakak merindukan suasana seperti ini Din" aku tak bergeming.

"Apa Bella berbicara sesuatu padamu kemarin" tanya kakak lagi.
"Tidak ada. Dia hanya membanggakan karena dia pernah tidur satu kamar dengan kakak"

Kakak tertawa, mendengar ceritaku. Dia menjelaskan ketika masih di Jepang kakak pernah demam tinggi dan Bella yang merawatnya ketika sakit. Kakak berkata jangan terlalu mendengar apa yang Bella katakan karena dia sengaja memancing kemarahanku. Aku percaya dengan yang kakak katakan, karena aku sangat mengenalnya.

Kusadari perasaanku pada kakak lebih dari sekedar saudara, dan Bella menyadarkan ku akan hal itu.
"Apa kakak yakin ingin selalu bersamaku?" Tanyaku memastikan, Kakak mengangguk.

"aku juga merasakan hal yang sama. Aku tidak suka ada wanita lain yang menyukai kakak" ujarku.
kakak tersenyum lebar lalu memeluk erat tubuh mungilku, Dia tampak sangat bahagia begitupun aku.

Selesai sarapan kami pergi bekerja, aku mengantar kakak ke Kantor terlebih dahulu dengan mengendarai mobilku. Sepanjang perjalanan kakak terus menatapku, membuat aku merasa malu, lalu tangannya mencubit pipiku, untuk memastikan ini mimpi atau bukan. Sesampainya di Kantor, kakak minta aku menjemputnya selepas pulang bekerja akupun mengiyakan, kakak keluar dari mobilku.

Tapi ketika mobil hendak ku pacu, ia mengetuk kaca dan memintaku membuka, setelah kubuka kakak tiba tiba mencium pipiku, tentu saja membuatku terkejut lalu pergi sambil melambaikan tangan.

Entah mengapa hari ini aku ingin cepat pulang, rasanya hidupku jadi penuh warna, semangatku tidak seperti biasanya. Selepas bekerja aku jemput kakak, kulihat ia sudah di lobi kantornya. Kali ini kakak mengajaku kerumahnya, aku pun tak menolak.

Selepas mandi kakak mengampiriku di ruang tamu, rambutnya masih basah, bau tubuhnya sangat harum. Kakak duduk di sampingku lalu menggenggam erat tanganku, sambil tersenyum.
"Kita menikah saja Din, kakak merasa nggak bisa jauh dari kamu" pinta kakak.

"Apa aku dilamar?"
"Iya. Kakak melamarmu malam ini"
"Aku kecewa, kenapa kakak melamarku hanya begini. Lakukanlah yang romantis seperti di drama drama Korea" ujarku kecewa.

Kakak tertawa, lalu mencium tanganku dan memohon maaf, karena melamarku tanpa persiapan terlebih dahulu. Bersandar dibahu kakak, rasanya begitu menenangkan karena saat ini ku temukan lagi sandaran hidupku.

"Kakak mencintaimu Din" ujar kakak sambil memegang daguku. Kulihat wajahnya mendekat ke wajahku, ku lihat bibirnya mengarah pada bibirku, sepertinya ini akan menjadi ciuman pertamaku.
"Maaf Den. Makan malamnya sudah siap" suara bi Minah membuyarkan suasana Romantis kami. Ciuman pertamaku gagal lagi

Bersambung...
---

#Brother_i_love_you
#Bagian11

"Jangan pulang Din. Kakak masih ingin bersama kamu" pinta kakak, ketika aku menyelempangkan tas ke bahu.

Saat ini sungguh perasaanku padanya adalah rasa cinta pada seorang kekasih, bukan lagi perasaan sayang adik terhadap kakak. Aku menatap matanya lalu tersenyum, aku juga ingin tinggal lama disisinya, tapi terlalu takut. Takut jika perasaan ini tak terkendali.

"Besok aku mampir sepulang kerja" ujarku sambil memegang tangannya, masih terlihat tatapan harapan agar aku tetap tinggal. Pelukan hangat darinya semakin membuat aku enggan pulang.
"Hmm ... kakak ingin ketika pagi mataku terbuka, kamu ada disampingku" lirihnya sambil mencium rambutku.

Aku berpamitan, kulambaikan tanganku sebelum masuk ke mobil, Saat mesin mulai dihidupkan, Kulihat kakak mengetuk kaca.

"Kakak ikut, motor kakak kan dirumah kamu" aku tersenyum mendengar alasan itu.
Didalam mobil, kuhidupkan radio. Sebuah lagu dari Band Naff berjudul "Akhirnya ku menemukan mu" menemani perjalanan kami. Sesekali kakak menatapku, menyentuh pipi dengan jari telunjuknya dia sangat suka bila aku tersenyum.

Sampai dirumah kakak merogoh kantongnya seperti mencari sesuatu.
"Kuncinya ketinggalan" ujarnya sambil tersenyum.

Aku tertawa kecil, apakah ini alasan untuknya mengikutiku sampai kerumah. Kunyalakan Tv diruang tamu, lalu duduk disofa diikuti kakak.
"Mau bikin kopi" tanyaku.

"Boleh. Jangan terlalu manis. Kamu udah cukup manis buat kakak" jawabnya gombal, entah darimana keahlian gombal itu didapatkannya, atau mungkin itu alamiah ketika seseorang sedang jatuh cinta. Kusajikan kopi di meja lalu aku pergi mandi terlebih dahulu.

Kubiarkan air mengaliri tubuh, bau wangi sampo dan sabun menambah kesegaran, seketika hilang penat seharian beraktifitas. Kupilih baju yang cocok, tidak mau yang terlalu sexy karena ada lelaki yang kucintai. Tak ku ijinkan liarnya fantasi karena salah memilih baju, minyak wangi kububuhkan agar semakin percaya diri.

"Kalau princes mandinya lama ternyata" kakak meledek
"Nungguin yaaa ..." ledekkku

Kakak menepuk sofa disampingnya mengisyaratkan agar aku duduk disana.
"Wangi kalau udah mandi" ujar kakak ku meledek lagi
"Tadi bau, kok di peluk" gerutuku.

"Kakak nggak bilang bau. Su'udzhon" ujarnya terkekeh.
Kakak berbaring dipangkuanku, kami saling menatap tersenyum. Kusentuh dahi, hidung, hingga bibirnya sungguh indah ciptaannya.
"Kakak mau pulang Din" pamit kakak.

"Motor kakak kan nggak ada kuncinya" ujarku.
"Nggak apa. Naik Taxi online aja, kakak takut nggak kuat iman kalau terus disini" kakak tersenyum
"Dihhh" ujarku singkat menyadari keadaan kami yang bukan sekedar adik kakak lagi.

****

Esoknya kuceritakan tentang aku dan kakak pada Santi. Terkejut namun bahagia mendengar ceritaku. Kubantu dia merapihkan riasanya yang sebentar lagi akan di lamar Damar.

Para tetamu datang, kulihat Ayah Ibu Damar nampak langsung akrab dengan orang tua Santi. Tanggal pernikahan pun di tentukan kurang dari tiga bulan lagi.

Iseng kuperhatikan perut Santi, aku curiga dia melakukan sesuatu dibelakangku hingga pernikahan akan terjadi secepat ini.

"Kamu hamil San?" Tanyaku sambil mengelus perutnya
"Gila ..." Santi memukulku dengan tangannya. Aku terkekeh.
"Lagian kalian itu lucu. Baru kemarin dilamar sama Damar secara tiba-tiba, lalu sekarang persiapan pernikahan secepat kilat. Untung kaya" ujarku meledek.

"Pacaran cuma buang waktu Din. Kalau sudah cocok segeralah menikah, tunggu apalagi. Nunggu disamber Bella" Santi balas meledekku. Aku terdiam, ada benarnya juga ucapan Santi. Namun aku dan kakak sebatangkara, melihat Damar melamar diantar orang tuanya hati sedih sebenarnya. Siapa nanti yang akan mendampingi aku dan kakak di hari bahagia nanti.
Gawaiku berbunyi, pesan singkat dari kakak masuk, "Dimana? Katanya mau mampir kerumah" tanya kakak dalam pesannya.

Ku balas pesan kakak dengan menelponnya, dan menjelaskan hari ini acara lamaran Santi dengan Damar. Dan berencana kerumah kakak setelahnya.

Kulihat mobil terparkir di halaman rumah kakak, mobil Bella sepertinya. Kalaulah aku egois, ingin rasanya kakak mengganti Bella sebagai sekertaris, dan mencari yang lain. Perasaanku selalu cemburu saat melihat Bella dengan kakak.

Didalam seperti tak ada kehidupan, bi Minah tak didapurnya, pikirku mungkin kakak diruang kerja, kaki menuntunku berjalan kesana. Kudapati kakak diruang kerjanya tentu saja bersama Bella, yang sedang khusyuk memperhatikan layar Laptop di meja kerja kakak dan berdiri membungkuk disampingnya.

Terlihat sangat sexy gaya berpakaian Bella, kemeja dibiarkan terbuka kancingnya hingga bagian dada, rasanya ingin segera berlari memasangkan kancing kemejanya.

"Tok ... tok ... tok" pintu kuketuk, kakak dan Bella memandangku.
"Hai Din sini masuk" panggil kakak.

"Aku pulang. Besok kita bahas lagi" Bella pamit. Lalu tersenyum kecut memandangku.
"Pakaiannya apa memang seperti itu?" Tanyaku pada kakak, yang asyik memandang Laptopnya.
"Iya dia itu lama di Jepang, maklumin aja"

"Enak dong. seger terus pemandangannya setiap hari" gerutuku, kakak tak bergeming terus memandangi Laptopnya.
"Denger nggak sih kak?" tanyaku kesal merasa tak digubris.

Kakak memundurkan kursinya, mendorong dengan kakinya menuju aku yang tak berada jauh disisinya.

"Nyonya Riyan cemburuan sekali. pakaiannya memang seperti itu, jadi kakak sudah biasa melihatnya tak ada yang istimewa. Biasa saja" ujar kakak sambil memegang kedua tangan ku.
"Mana ada kucing menolak ikan" gerutuku

"Tapi kucing mahal cuma makan makanan dalam kemasan dan tidak sembarangan" jawab kakak, aku terdiam. Perkataannya ada benarnya.

"Kemana bi Minah?" Tanyaku karena saat datang tak kulihat ia dimanapun termasuk di dapur daerah kekuasaannya.

"Kakak suruh berlibur kerumah anaknya. Biar nggak ada yang ganggu kita" kakak bangun dari kursinya. Ku balikan badanku ingin segera pergi meninggalkan ruang kerjanya, kakak memelukku dari belakang.

"Menginaplah disini Din. Jangan pulang" bisiknya. Kubalikkan badanku memukul kepala kakak dengan tas, "Dasar mesum!".

"Aww ... sakit. Dengerin dulu, menginap disini untuk buatkan kakak sarapan, bibi besok malam baru pulang, bibi nengokin cucunya sakit. Kamu tuh otak mesum" kakak mencubit kedua pipiku.

Bersambung...

---

#Brother_i_love_you
#Bagian12

Sarapan pagi tertata dimeja, sederhana. Hanya roti tawar dengan isian telur, sosis, ditambah saus dan mayonaise kesukaannya. Tapi si empunya belum keluar dari kamar. Penasaran, lalu langkah kuayunkan menuju kamar kakak, mendapatinya sedang memakai kemeja dan dasi.
"Din ... sini latihan" panggil kakak.

"Latihan apa?" Tanyaku
"Pakaikan dasi ... hahaha"

"Manja amat. pakai sendirilah ..." ujarku sambil mengambil dasi yang di ulurkan kakak.
Cukup sulit memasangkannya, karena kakak mempunyai postur yang lebih tinggi dari badanku, tinggi badan hanya sampai sebahu kakak. Arahkan tangan agar melingkar di lehernya. Terlihat kakak menelan ludah beberapa kali karena terlihat jelas dari gerakan jakunnya yang menonjol.

"Hayo mikirin apa?" Candaku sambil menyimpulkan Dasi.
"Kamu tuh ..." kakak menyentil keningku dengan tangannya.
Tangan kakak dilingkarkan di pinggang kecilku, tatapannya tak bisa dihindari.
"Bibi nggak ada" ujar kakak sambil mengangkat kedua alisnya memberi kode.

Aku tersenyum menatapnya, sungguh rasanya belum pernah segugup ini hingga membangunkan bulu-bulu roma, membuat tak sadar tangan ini mencengkram kuat bahunya. Wajah kakak mendekat ke wajahku, merasakan deru nafasnya semakin dekat, tak kuasa lalu kupejamkan mata. Ciuman itu ternyata mendarat di kening, kakak tersenyum.

"Pilihan yang salah mengajakmu menginap dirumah" ujar kakak menatap wajahku
"Kenapa?" Aku penasaran.
"Kamu nggak ingat semalam, setelah kita ngobrol lalu mengantarmu ke kamar aku merasa frustasi" kakak berlalu pergi keluar kamarnya.

Semalam kami memang ngobrol banyak di taman rumah. Bercerita biasa, sesekali aku bergelayut manja dibahunya, begitupun kakak. Dia tidur di panguanku sambil bercerita ini dan itu.
Setelah malam cukup larut kakak mengantarku ke kamar tamu, memang ada kejadian lucu, kakak ingin ikut masuk kekamar, tapi di urungkannya. Setelah pintu ditutup tak lama kakak mengetuk kembali, pintu kubuka sedikit hanya wajahku yang terlihat. Kakak lalu menyuruhku mengunci pintu rapat rapat.

Mengingat kejadian itu, pasti otak mesumnya menggelora, namun ditahan sekuatnya.
Di meja makan, kakak terlihat sudah menikmati sarapan, aku menarik kursi duduk di sampingnya, suasana memang terasa berbeda getaran itu nyata adanya. Aku hampir tak percaya memiliki perasaan ini padanya, memperhatikannya menyantap makananpun begitu bahagia, cinta itu memang sungguh luar biasa.

"Kakaknya jangan diliatin terus Din" kakak sadar betul aku memperhatikannya.
"Iih Ge'er" ujarku terkekeh.
Suasana berdua berubah drastis dengan kedatangan Bella, yang nampak terkejut dengan kehadiranku sepagi ini.

"Loh kok ... pagi-pagi dia ada disini Yan?" tanya Bella heran
"Dia menginap" jawab kakak singkat.
"Kamu gilaa? Dia itu bukan adik kamu kan Yan?" Suara Bella meninggi
"Bukan, dia pacarku" jawab kakak sambil menatap kearahku.

"Riyaaannn ..." Seketika Bella bertingkah seperti cacing kepanasan. Kakak pamit pergi ke kantor diantar mang Osep. Bella memicingkan matanya ke arahku
"Kamuuu ..." Bella menunjuk penuh amarah.
"Apaaa ..." ujarku menantang, dalam hatiku tersenyum senang.
Bella pergi penuh amarah, tapi malah terlihat lucu untukku.

***3 Bulan kemudian***

"Saya terima nikah dan kawinnya, Santi binti Satrio Cahyono dengan Mas Kawin cincin emas seberat 5gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai." Damar mengikrar janji sucinya di depan penghulu, disambut teriakan "Sah" oleh para saksi.

Suasana begitu haru, nampak mama Santi dan Damar meneteskan air mata bahagia. Semua tetamu mengucapkan selamat kepada mereka, pernikahan sederhana namun begitu terasa kesakralannya.
Kupeluk erat Santi, airmata haru tak tertahan menetes di mata kami.
"Jaga Santi baik-baik" pesanku pada Damar.

"Iya nek ..." jawab Damar meledekku. Lalu gantian bersalaman dengan kakak.
"Nggak nyangka playboy itu mendahului ku" ujar kakak.
Setelah menikah Santi dan Damar dihadiahi rumah baru oleh orang tua mereka. Cukup mewah untuk ditinggali bersama anak-anaknya nanti. Hari ini aku dan kakak akan mengunjungi mereka membawa hadiah berupa hiasan dinding untuk dipajang.

Aku dan kakak di persilahkan masuk, begitu banyak jamuan dimeja padahal kami hanya datang berdua. Melihat suasana pengantin baru begitu menyebalkan bagiku, melihat Santi dan Damar yang tidak biasa begitu membuat perut terasa mual. Lontaran panggilan sayang membuat bulu kuduk berdiri semua.

Apalagi tingkah mereka yang tidak malu-malu di depan aku dan kakak, saling suap suapan dan bertingkah manja, sungguh tidak mirip Santi, pikirku.
"Ayo kak pulang. Bisa muntah lama-lama lihat tingkah mereka" aku berdiri menarik tangan kakak, kakak menyuruhku untuk tetap duduk. Santi dan Damar tertawa melihat tingkahku.
"Kamu iri ya Din?" Tanya Santi meledekku
"Nggak ..." jawabku ketus

"Hahaha ... bilang aja iri. Ayo dong Riyan, kapan mau dihalalin? liat nih aku sama Damar udah sah" tanya Santi pada kakak.
"Gimana Din? Aku terserah Dina" tanya kaka, dan memutuskan menyerahkan keputusan padaku.
"Di usahain dong Yan biar Dina nya mau, nggak peka ah ..." ujar Santi yang seperti mengerti perasaanku. Selama ini kakak memang sering mengungkapkan ia ingin bersama dalam ikatan pernikahan. Tapi aku seperti tidak melihat usahanya yang lebih untuk itu, semuanya terlihat biasa dimataku.

Aku mengantar kakak pulang ke rumahnya, dia menyuruh untuk mampir aku menolak. Entah mengapa selepas dari rumah Santi seperti ada yang mengganjal dalam pikiran, benar kata Santi kakak memang seperti tidak ada usaha yang lebih untuk melamarku.

Perumpamaannya seperti tetangga menawarkan makanan kalau mau silahkan diambil kalau tidak mau ya sudah. Kenapa tidak seperti orang tua meberi makanan, walaupun menolak tapi di usahakan agar mau makan, sungguh tidak peka, Pikirku.

Berhari-hari sejak mengunjungi Santi, kakak ku abaikan. Telponnya tak diangkat begitu juga pesan singkatnya, tak pernah dibalas. Bahkan saat mencari kerumah dan ketempat kerja pun aku berusaha menghindarinya. Bukan apa, hanya ingin tahu bagaimana kesungguhannya.

Sesekali kulihat di jendela kakak nampak frustasi, jika kerumah pintu tak dibuka ia mengacak kasar rambutnya. Sebenarnya aku rindu, tapi aku juga ingin tahu bagaimana usahanya.
Semakin hari rasanya semakin tersiksa tak bertemu kakak. Kuputuskan untuk menghubunginya dan membuat janji bertemu membuang jauh semua egoku. Ditaman Rumah Sakit tempat bekerja kutemui kakak yang sedari tadi sabar menunggu.

"Kak Dina minta maaf ..." aku menunduk merasa bersalah karena ego yang terlalu besar
"Lain kali kalau ada masalah bicarakan, jangan menghidar seperti itu" ujar kakak sambil mebelai lembut rambutku.

Gawai kakak berbunyi, untuk menjawabnya kakak pergi menghindariku, Ini aneh tidak biasanya seperti itu. Tentu saja membuatku penasaran dan ingin bertanya telpon dari siapa hingga harus pergi ketika mengangkatnya.
"Siapa?" Tanyaku penasaran.

"Bella. kakak pergi dulu ya Din" kakak membelai rambutku lalu pergi.
Pikiranku berkecamuk, kenapa kakak menjauh ketika Bella menelpon? Ada apa? Kakak tidak biasanya seperti itu, siapapun yang menelpon dia akan mengangkatnya dihadapanku termasuk Bella.

Bersambung...

--- 

#Brother_i_love_you
#Bagian13

Sebenarnya sangat penasaran dengan sikap kakak yang tidak biasa, atau mungkin terlalu berlebihan menyikapinya. Rasanya itu wajar dia bekerja dengan wanita cantik, pintar dan sexy, ada rasa khawatir, tapi buru-buru kutepis karena yakin kakak bukan laki laki seperti itu.

Telpon tak diangkat apalagi pesan singkat, walaupun hati dan pikiran berkecamuk tapi ku jernihkan berharap dia hanya sedang sibuk. Atau mungkin dia masih marah dengan sikapku kemarin.
Sepulang bekerja aku mampir kerumah kakak, hati ini merasa kesal saat mobil sedan berwarna hitam keluaran Jepang terparkir di halaman rumah kakak, itu mobil Bella. Diruang tamu terdengar suara tawa, sepertinya mereka sedang berbicara. Entah apa yang di bicarakan begitu seru mendengarnya.

"Kak ..." aku memanggil kakak yang belum menyadari kehadiranku.
"Ehh ... Din, sini"
Aku duduk disamping kakak, ketika itu pun Bella berdiri hendak pulang seperti tidak suka dengan kehadiranku.

"Lohh mau kemana Bell?" Tanya kakak
"Pulang dulu Yan, nanti kita bicara lagi besok"
"Tunggu sebentar, sekalian bawa berkas yang tadi" kakak berlalu ke ruang kerja mengambil berkas, meninggalkan aku berdua dengan Bella.

Ditinggal berdua posisi kami menjadi sangat canggung, Bella menyukai kakak dan dia pun tau kini aku kekasihnya. Sebenarnya ini adalah sebuah kesempatan, rasanya tergelitik ingin bicara dan bertanya apakah dia masih menyukai kakak dan mengapa tidak menyerah saja.
"Bell ... kamu ini kan cantik, kenapa tidak punya pacar?" Tanyaku membuka obrolan.
"Maksud kamu? Kamu takut Riyan aku ambil?"

"Enggak ... aku hanya heran, kenapa wanita secantik kamu masih sendiri."
"Kalau aku mau, aku bisa kencan dengan siapapun. Pertanyaan kamu itu menandakan kamu takut aku mengambil Riyan. Makanya jaga baik-baik karena aku akan selalu berada disisinya, faham!" Ujar Bella lalu meninggalkanku dan menyusul kakak keruang kerja. Selang berapa lama mereka keluar lalu Bella pamit pulang.

Aku berfikir kata-kata Bella ada benarnya, wanita itu selalu ada disamping kakak, kapanpun lengah ia bisa menikung tajam.
"Kok bengong?" Tanya kakak membuyarkan lamunan.
"Tadi Dina telpon kok nggak diangkat?" Tanyaku penasaran.
"Oooh ... tadi ada meeting sama Klien"
"Sama Bella juga?"

"Ya iya lah ... diakan sekertaris. Cemburu aja" ujar kakak sambil tangannya mengacak rambutku.
Sikap kakak malam ini kurasakan tidak ada yang berubah, seperti biasanya. Mungkin benar kakak tadi sibuk hingga tidak ada waktu untuk memberi kabar, memang akunya yang berfikir terlalu berlebihan. Tapi bagaimanapun Bella bukan wanita yang bisa disepelekan.
"Besok sore selepas kerja aku mau pergi sama Santi dan Damar, kakak mau ikut?" Tanyaku.

"Mau kemana? Nanti kamu baper lagi pulang main sama mereka" ujar kakak mengingatkanku.
"Nggak kok. Santi ngajak makan diluar, ikut ya ... ya... yaaa" pintaku sedikit merayu.
Kakak menolak, karena ada pekerjaan yang lain yang tak bisa ditinggalkan akupun memahaminya.

***

"Ah serius Bella ngomong kaya sama kamu Din?" Tanya Santi saat aku menjelaskan perihal pertemuan ku dan Bella dirumah kakak kemarin.

"Cantik nggak sih?" tanya Damar penasaran.

"Cantik." Ujarku singkat sambil menyeruput kopi caramel machiato pesananku di cafe sebuah Mall.
Saat asyik mengobrol, kulihat kakak baru saja masuk bersama Bella. Bella memesan, kakak duduk lumayan jauh dari tempat duduk ku saat ini. Apakah mereka sedang menunggu Klien ataukah baru selesai meeting lalu menyempatkan membeli kopi. Aku penasaran, ingin rasanya mendatangi mereka dan bertanya langsung namun ku urungkan.

"Itu.. Mar yang namanya Bella" sambil menunjuk kearah Bella
"Ooh wow ... perfecto" ujar Damar lalu dijewer Santi.

Aku iseng mengirimkan pesan singkat pada kakak, bertanya sedang apa dan dimana. Lumayan terkejut dengan jawaban dari pesan singkat yang kakak kirimkan padaku, "kakak dikantor". Tentu saja kakak berbohong, karena saat ini ia berada di tempat yang sama denganku namun tak menyadarinya. Mengapa kakak berbohong, pikirku.

Kakak dan Bella pergi lebih dulu dari Cafe, ingin rasanya membuntuti kemana perginya setelah ini, tapi ku urungkan karena terlalu takut. Takut melihat kenyataan kalau nyatanya mereka pergi ke tempat lain bukan kembali kekantor.

"Tanya langsung ke Riyan din, jangan pikir yang macam-macam" ujar Santi meyakinkanku.
Ada apa dengan kakak? Mengapa ia berbohong, padahal kalaupun kakak jujur sedang keluar membeli kopi bersama Bella aku tidak akan marah. Rasanya menyakitkan mengetahui kebohongan walaupun hanya seujung kuku apalagi oleh dia yang tidak pernah melakukan ini sebelumnya.
Apakah aku harus bertanya langsung? Ataukah dibiarkan saja, sungguh sangat penasaran.

Malam ini saat akan mengunci pintu rumah, terdengar deru mesin mobil. Kulihat dari jendela kakak turun dari mobil yang dikendarai Bella. Sungguh menyebalkan melihatnya turun dari kendaraan itu dan melambaikan tangan. Terdengar suara ketukan dari luar, lalu kubuka pintu, senyum kakak mengembang seperti tak merasa berdosa sore tadi dia sudah berbohong.

Kakak merebahkan badannya di kursi panjang depan Televisi, sementara aku mengambil air minum. Terlihat wajahnya sangat lelah setelah seharian bekerja atau mungkin jalan-jalan bersama Bella, sungguh pikiran buruk ini sangat menyiksaku.

"Tumben mampir" tanyaku sambil menyuguhkan air dimeja.
"Kangen aja, nggak boleh?" ujar kakak tersenyum, sambil menarik tanganku untuk duduk disampingnya, lalu ia mencoba menyandarkan dagunya dibahu namun aku menghindar. Tentu saja membuatnya heran

"Kenapa?" Tanya kakak heran
"Kakak yang kenapa" aku balik bertanya.
"Kenapa apanya"

"Kenapa kakak berbohong, bilang kalau kakak dikantor padahal kakak dicafe bersama Bella, aku melihatnya" ujarku sedikit emosi. Kakak diam, seperti berfikir entah apa yang akan ia jawab.
"Kakak minta maaf" kakak memegang erat tanganku.
"Kenapa harus berbohong, kakak sangat faham aku tidak suka kebohongan sekecil apapun" sambil berlalu meninggalkan kakak yang duduk dikursi dan masuk kekamar. Kakak mengikuti namun segera ku kunci.

"Ayolah Din kita bicara. Jangan kekanakan seperti ini" ujar kakak sontak aku membuka kembali kunci kamar dan menghampirinya didepan pintu.
"Aku? Kekanakan?" Ujarku sambil menahan air mata agar tidak menetes dihadapannya.
"Kakak kesini karena merindukanmu Din"

"Tapi aku tidak suka kebohongan kakak" ujarku sambil kembali menutup pintu, dan menghempaskan tubuh kekasur. Aku memang bertingkah kekanakan tapi rasanya ini wajar karena sesungguhnya aku sedang merasa takut.

Ini pertengkaran pertama kami, mungkin terlihat sepele bagi orang lain tapi kebohongan kecil bisa menjadi besar bila dibiarkan. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, sepertinya kakak pulang entah dijemput siapa, mungkin oleh mang Osep.

Pagi ini aku terbangun dengan mata sedikit bengkak, karena semalam menangis. Membasuh wajah dengan air mungkin akan sedikit menyegarkan wajah, lalu bergegas turun ke bawah untuk membuat sarapan.

Aku terkejut melihat meja makan sudah terhidang makanan, kulihat seorang pria berkemeja garis-garis itu yang menyiapkan sambil menyunggingkan senyum, pria yang semalam bertengkar denganku.

"Selamat pagi, sarapan dulu nona cantik" ujar kakak sambil menarik kursi menyuruhku duduk.
Aku mengigit roti, namun lupa rambut masih terurai khawatir rambut ikut termakan lalu kurapikan sambil membiarkan roti terus menyumpal di mulut, biasanya jika seperti ini kakak akan membantu merapikan rambut namun kali ini berbeda. Kakak mengambil roti yang menyumpal mulutku dengan mulutnya membuat tatapan mata kami tak terhindarkan, membiarkan roti  yang menyumpal di mulut diambil olehnya, lalu kakak menaruhnya di piring.

"Din... mata kamu masih ada beleknya" ujar kakak sambil terkekeh.
"Yaaaaa ...!" pekikku

Bersambung...

----


#Brother_i_love_you
#Bagian14_end

Sarapan pagiku kacau, gara-gara belek. Padahal sudah dipastikan bersih saat cuci muka tadi, kenapa ada yang masih menempel sungguh memalukan. "Kenapa harus malu? Bukankah biasa seperti itu?" Gumamku sambil membenamkan wajah ke air diwashtafel.

"Gak usah malu, dulu kamu umbelan kakak yang elap" ujar kakak menahan tawa, tentu saja mengagetkanku.

Kakak mengambil handuk, lalu mengelap wajahku, namun hati ini masih kesal, bukan karena masalah ini tapi masalah kakak berbohong masih belum tuntas.

"Bukannya kakak semalam pulang bersama mang Osep?" Tanyaku.
"Bukan, semalam kakak menyuruh mang osep untuk mengambil pakaian" jawab kakak sambil merapikan rambutku.

Pembicaraan kami berhenti saat terdengar suara Bell berbunyi, sepertinya ada tamu diluar.
Kakak pergi keluar membukakan pintu sedang aku mandi terlebih dahulu.

Selesai mandi terlihat Bella ada diruang tamu, sungguh kedatangannya tak kuharapkan, untuk apa? Sepertinya dia senang sekali berkeliling disekitar kakak akhir-akhir ini, apakah ia berfikir aku akan memberikan celah, tentu saja tidak. Rambut yang masih basah dibiarkan tak kukeringkan dengan hairdryer rasanya tak bisa lama lama neninggalkan mereka hanya berdua, itu sangat menyebalkan.

"Din kakak harus berangkat dulu kekantor" kakak pamit.
"Dengan Bella?" tanyaku.
"Tentu saja, apakah kamu sudah menjadi adiknya, lalu pacarnya sekarang mau merangkap sekertarisnya. Serakah" ujar Bella tersenyum kecut meninggalkan ku.

"Lihat. aku tak percaya dengannya, dia menempel terus pada kakak" gerutuku
"Aku mencintaimu" ujar kakak sambil mengecup keningku lalu pergi.
Tentu saja aku sangat percaya kalau kakak mencintaiku, tapi aku tidak percaya dengan Bella.

***

Sepulang kerja aku berencana mengajak kakak menonton film, mengetik pesan dengan gawai bertanya apa kakak bersedia atau tidak, namun tak kunjung dibalas, karena penasaran akupun menelpon namun tak diangkat juga. Kenapa lagi dengan kakak? Kenapa akhir-akhir ini sering begini, membuat kesal.

Kupacu Mobil entah kemana ku arahkan, teringat Santi adalah tempat terbaik untuk membagi keluh kesah. Walaupun sekarang ada Damar tapi toh Damar itu juga temanku. Pasti dia tidak akan keberatan kalaupun datang berkunjung.

"Apa aku ganggu" tanyaku sambil melepas sepatu masuk kerumah Santi
"Enggak lah, masuk. Tumben" Santi menyambutku
"Akhir-akhir ini kakak susah dihubungi" ujarku.

"Aku juga kalau jadi Riyan males ngehubungi kamu Din. Sekertarisnya kan cantik" sambung Damar memanaskan suasana hatiku, beruntung istrinya sangat sigap dengan menjewer kuping Damar.
Obrolan kami berlanjut hingga malam, tak terasa memang kalau sudah berbicara dengan Santi ia selalu membuat hati jadi lebih tenang. Gawaiku berbunyi sepertinya ada sebuah pesan masuk, dan ternyata itu dari kakak. Bertanya saat ini ada dimana, karena dia datang kerumah. Lalu aku berpamitan pada Santi untuk pulang.

Sampai dirumah aku melihat kakak berdiri didepan pintu, sesekali kakinya memainkan batu kerikil dihalaman rumah.

"Darimana kok baru pulang?" Tanya kakak.

Aku diam, sambil membuka pintu rumah, kakak mengekorku di belakang.
"Kok nggak dijawab?" Tanya kakak heran dengan sikapku.

"Kakak juga nggak jawab pesan sama telpon dariku" jawabku ketus
"Kakak sibuk"

"Kalau begitu kakak pulang, besok kakak kan kerja untuk apa kakak kemari" ujar ku ketus, kakak hanya diam.

"Besok kamu akan tahu, kenapa kakak jarang balas pesan atau jawab telpon"
"Karena Bella kan?"

"Besok, sepulang kerja tunggu kakak didepan Rumah sakit tempat kamu kerja" pinta kakak sambil memegang tanganku.

Esoknya Sepulang kerja seperti janji yang sudah dibuat kakak, aku menunggunya di depan Rumah Sakit. Tak lama menunggu dari jauh terlihat mobil Mini Duper milik kakak berhenti dihadapan, lalu menyuruhku untuk masuk kedalam mobil.

"Mau kemana kita?" Tanyaku, kakak tidak menjawab dan hanya tersenyum. Masih penasaran aku bertanya pada mang Osep tapi tidak ada jawaban mang Osep pun hanya tersenyum.

Di tengah perjalanan yang cukup sepi, mang Osep memberhentikan laju mobilnya. Lalu membuka pintuku dan kakak meminta agar pindah kekursi depan. Cukup mengherankan namun kuturuti saja, yang mengagetkan kakak duduk di kursi kemudi mobil, aku mulai cemas apa yang akan dilakukan kakak tidak mungkin kakak akan mengemudikannya, pikirku.

Kakak menderita Vehophobia, yaitu perasaan kecemasan, takut, dan gelisah saat mengemudikan mobil. Ini diakibatkan trauma masa kecilnya yang sempat mengalami kecelakaan, dulu jangankan mengendara naikpun kakak tidak sanggup.

"Hati-hati Den" ujar mang Osep dari kaca, kakak tersenyum.
"Kakak yakin?" Tanyaku memastikan, lagi-lagi kakak tersenyum.

Mobil dinyalakan, ada perasaan khawatir dalam diri tapi kulihat wajahnya tidak nampak kecemasan justru terlihat tenang dan santai. Sesekali dia memegang tanganku lalu menciumnya. Kenapa kakak terlihat begitu mahir? Sejak kapan dia belajar? Fikirku.

Mobil terus melaju, tidak kencang dan tidak pelan. Mungkin karena aku yang terlihat tegang kakak menyalakan musik, lagu dari 'Cristina perri berjudul A thousand years', mengubah suasana menjadi romantis, lalu kakak meminggirkan mobilnya.

"Kakak baik-baik saja? Sejak kapan kakak bisa mengendarai mobil?" Tanyaku, kakak mengangguk, sambil meraih kedua tanganku.

"Kakak memberanikan diri ingin menyetir mobil, saat kita pulang dari rumah Santi. Sebelum menikah, kakak ingin menjadi orang yang benar benar bisa diandalkan sama kamu Din." Entah mengapa ini membuatku sangat haru.

Aku pernah melihat bagaimana kakak berjuang melawan ketakutannya hanya untuk duduk didalam mobil, keringatnya bercucuran tubuhnya gemetar.
"Lalu siapa yang mengajari kakak?" Tanyaku.
"Mang Osep dan Bella"

"Bella?"
"Iya, kamu jangan cemburu lagi Din, dia membantu kakak untuk bisa menyetir agar bisa melamar kamu, bagaimana kakak bisa menjadi seseorang yang kamu andalkan kalau nyetir mobil saja nggak bisa. Kamu maukan Din, jadi istri kakak?" Tanya kakak sambil mengeluarkan cincin bertahtakan berlian dari kantongnya.

Aku diam, mataku berkaca-kaca jadi selama ini dia sering tak membalas pesan karena sibuk menaklukan dirinya hanya untuk bisa menyetir mobil dan menjadi seseorang yang dapat kuandalkan.
"Kenapa bertanya? Kalau kakak pasti tau aku akan menjawab ... aku mau ..." ujarku, kakak tersenyum bahagia sambil memelukku, air mata menetes tak terbendung.

"Aku mau, kita terus bersama, menggapai mimpi-mimpi kita, punya bayi-bayi lucu yang mirip kamu sama kakak" kakak mengecup keningku lalu memakaikan cincin di jari manis.

Setelah itu kami memutuskan untuk berziarah ke makam mama dan papa. Dipusara mama kakak menangis memohon maaf, dan berjanji akan menjagaku selama hidupnya.

"Din ingat nggak malam dimana kakak jujur sama mama, kalau kakak menyukai kamu?" Tanya kakak, ingatanku pun flashback kemasa dimana kakak meminta ijin akan keluar dari rumah.
"Ingat" jawabku.

"Malam itu mama bilang, mama nggak keberatan kalau kakak menyukai kamu. Tapi mama masih bingung" ujar kakak, aku pun menangis mendengar cerita itu.

***

"Seriuss,,, kamu dilamar Riyan. Ya ampun Dinaaa" ujar Santi, akupun dengan bangga memamerkan cincin pemberian kakak. Santi memeluk erat dan menangis haru.

"Kalian pantas bahagia, setelah apa yang terjadi selama ini" ujar Damar
"Cincinku bagus kan? Ini baru dilamar bukan kaya Damar, ngelamarnya spontan saat Santi lagi iris kue. Hahaha" ujarku meledek

"Hmmm ... sombong" ujar Santi sambil memukul bahuku.
Handphone ku berbunyi, sebuah pesan dari no tak dikenal rupanya dari Bella.
[Ada dimana? Hari ini ada meeting dengan Wedding organaizer]

Rupanya Bella tahu rencana pernikahan kami, tentu saja, dia sekertaris kakak. Segala keperluan mungkin akan diurus olehnya.

Aku bergegas menuju kantor kakak melakukan Pertemuan dengan orang-orang Wedding organaizer, konsep pernikahan terbuka dipinggir pantai aku pilih, karena itu impianku sejak lama. Kakak setuju dia menyerahkan semua keputusan padaku.

Selesai rapat aku ijin ke toilet, disana kutemukan Bella sedang menatap cermin.
"Bell, terima kasih untuk mendukung hubunganku dan kakak" ujarku

"Bagaimanapun Riyan sangat mencintaimu, aku sudah berusaha memikat hatinya tapi tidak berhasil. Kali ini aku berlapang dada mengurus pernikahan kalian, aku berdo'a yang terbaik. Tapi jangan biarkan aku mengurus perceraian kalian juga" ujarnya sambil berlalu, wanita itu memang sombong, bagaimana dia sudah berbicara perceraian padahal menikahpun belum, "Aku tidak akan bercerai" pekikku.

***

Hari bahagia kami pun tiba, Santi mendatangiku di ruang make up tak henti henti air matanya mengalir
"Heii ... aku bisa sedih nanti" ujarku pada Santi, Santi mengangguk.

Riasanku sudah selesai, gaun putih panjang menjuntai dengan hiasan bunga melingkar dikepalaku. Ku berjalan menuju tempat ijab qobul dengan digandeng Santi dan mamanya. Santi tak henti-hentinya meneteskan air mata haru. Dari jauh kulihat kakak memakai jas dengan warna yang senada denganku duduk dihadapan penghulu dan paman dari pihak papah yang bertindak sebagai wali.
Jantung berdebar, rasanya belum pernah berdebar sehebat ini, Aku duduk disamping kakak, ia tersenyum lebar kepadaku.

Akad dimulai, paman menjabat erat tangan kakak, lalu mengucap ijab qobul
"Saya terima nikah dan kawinnya Dina Rahayu binti Doni Raharjo dengan mass kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar lima juta lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus rupiah dibayar tunai!"

"Bagaimana saksi sah?" Tanya penghulu
"Sahhh!" Teriakan saksi dan undangan yang datang.

Aku tersenyum memandang kakak yang kini jadi suamiku, ada perasaan lucu dan haru. Sungguh tidak pernah menyangka sebelumnya, jodoh memang siapa yang akan tahu.

***

Pagi ini saat kubuka mata ada yang berbeda, lelaki yang ada dulu kupanggil kakak kini resmi menjadi suami. Masih tertidur lelap, ku arahkan jari menyentuh bulumatanya yang lentik, memandangnya sedekat ini tak pernah terbayang sebelumnya.

"Brother i love you" bisikku.

"I love you too" jawabnya sambil menarik tanganku dan membenamkan tubuhku dalam pelukannya.
Kecupan mesra kudaratkan dibibirnya, kakak membalasnya lalu tersenyum. Pelukannya semakin erat.
"Kamu harus tanggung jawab" ujar kakak. Sambil menutup tubuh kami dengan selimut.

Tamat...

*Terimakasih kepada Komunitas bisa Menulis, pak Isa Alamsyah dan para moderator yang telah memberikan kesempatan kepada saya.
Terimakasih kepada para pembaca yang sudah setia menunggu. Mohon maaf masih banyak kekurangan, insya Allah saya akan terus belajar... Hanupis (hatur nuhun pisan)