Tidak Ada Istilah “Habis Manis Sepah Dibuang”
Pepatah di atas mungkin terpikir di
benak istri saat suaminya menikah lagi. Padahal bila suaminya adalah
suami yang baik, saleh, dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala,
serta melangkah menuju poligami dengan memerhatikan syarat-syaratnya,
si istri tidak perlu mengkhawatirkan dirinya menjadi sepah yang
dicampakkan. Sebab, istri tetaplah istri, walau istri tua atau istri
lama, toh istri baru dengan berjalannya waktu akan menjadi istrilama pula.
Berbeda halnya apabila suaminya seorang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wata’ala,
maka bisa saja ia menelantarkan istri pertamanya karena telah
mendapatkan istri muda. Apalagi ketika istri mudanya turut memprovokasi
dan terlalu banyak menuntut. Oleh karena itu, kita ingatkan suami yang
sampai berlaku demikian, hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan takut akan siksa-Nya. Telah datang ancaman Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada suami yang berlaku curang atau tidak adil di antara istri-istrinya;
orang itu akan datang pada hari kiamat dalamkeadaan sebelah tubuhnya miring.
Kepada istri muda pun kita ingatkan,
hendaklah bertakwa kepada Allah l dan takutlah akan siksa-Nya. Janganlah
merusak apa yang sudah dibina. Jika engkau memiliki perasaan sebagai
perempuan, istri tua pun punya perasaan yang sama. Jika engkau cemburu,
dia pun begitu. Jika engkau ingin disayang, dia pun demikian.
Terkadang istri pertama khawatir, cinta
suami akan beralih kepada istri yang baru. Padahal, sebenarnya cinta
adalah urusan Allah Subhanahu wata’ala. Hamba tidak mampu
menguasainya. Cinta suami bisa saja luntur kepada istrinya walaupun si
suami tidak memiliki istri yang lain. Bisa jadi sebaliknya, cinta suami
bertambahtambah kepada istrinya padahal si suami telah memiliki istri
selainnya. Jadi, urusan cinta adalah urusan hati, Allah Subhanahu wata’ala lah yang mengaturnya. Seorang istri sebatas berusaha mereguk cinta suami.
Sebenarnya, kerelaan seorang istri,
ketulusannya, pengertian, dan tidak banyak tuntutannya, justru menjadi
salah satu pendorong terbesar berseminya kasih sayang di hati suaminya.
Suami yang baik tentu pandai memberikan apresiasi. Suami menikah lagi
pun bukan tanda suami tidak cinta lagi. Lihatlah Ummul Mukminin, ibunda
orang-orang yang beriman, Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Betapa suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mencintainya lebih dari yang lain. Namun, cinta itu tidaklah menghalangi beliau n untuk menikahi sekian wanita setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Sebab, menikah lagi memang tidak berarti melupakan cinta yang lama.
Tentu kita masih ingat pula berita dalam sirah Alasan sangat mendesak
yang memaksanya untuk minta berpisah. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab ath-Thalaq, bab “Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at”)
hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, betapa sering beliau menyebut-nyebut Khadijah radhiyallahu ‘anha—istri pertama beliau yang telah lama wafat—, memuji, menyanjung, dan mengenang kebaikannya sampai membuat Aisyah radhiyallahu ‘anha cemburu. Inilah kesetiaan kepada cinta yang lama, yang tidak luntur dengan datangnya cinta yang baru.
Terkadang juga para istri keberatan
suami menikah lagi karena merasa dihinakan serta dijatuhkan harkat dan
martabatnya. Dengan kata lain, gengsinya terusik.
Sebenarnya kekhawatiran seperti ini pun
mudah terjawab. Mengapa harus gengsi jika suami mempunyai istri yang
lain—yang jauh berlipat-lipat kali lebih mulia daripada ia memiliki
kekasih gelap atau selingkuh dengan wanita yang tidak halal, atau na’udzubillah, jatuh dalam zina—sementara wanita salehah ahlul jannah setingkat Aisyah2 yang kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Keutamaan Aisyah dibanding wanita-wanita lain
seperti kelebihan tsarid (makanan yang istimewa dari campuran gandum
dengan daging) dibandingkan dengan makanan yang lain”,
juga ditinggal menikah oleh suaminya dan tidak merasa dihinakan atau dijatuhkan harkat martabatnya. Padahal yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan wanita sembarangan, melainkan para wanita berparas jelita, berbudi mulia, dari keturunan yang mulia, seperti Zainab bintu Jahsy, Juwairiyah bintu al-Harits, Shafiyah bintu Huyai, dan yang lainnya.
Menolak Tinggal Berdekatan dengan Madu
Apabila seorang suami menginginkan
istri-istrinya tinggal berdekatan di satu kompleks misalnya, yang setiap
istri memiliki rumah tersendiri, tidak ada hak bagi istri untuk menolak
keinginan suami tersebut. Misalnya, ia menuntut agar jangan didekatkan
dengan madunya, ia ingin tinggal berjauhan, dan sebagainya.
Walaupun cemburunya mencapai puncak, itu
bukanlah alasan penolakan terhadap keinginan suami. Justru yang wajib
baginya adalah mendahulukan syariat dan menaati suaminya daripada rasa
cemburunya. Tidak pantas seorang istri yang mukminah memperturutkan rasa
cemburunya dan membiarkan perasaan itu menguasainya. (Fatawa ManarulIslam, al-Imam Ibnu Utsaimin, 3/116)
Yang Terjadi di Antara Madu
Cemburu memang perasaan yang pasti
terselip di antara para madu. Ini adalah perasaan yang wajar selama
tidak melampaui batas sampai pada tingkat melakukan kedustaan atau
menuduh serampangan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-’Asqalani rahimahullah mengatakan, “Asal dari sifat cemburu bukanlah
hasil usaha wanita, sebab wanita memang diciptakan dengan sifat
tersebut. Namun, apabila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang
semestinya, jadilah tercela. Ketika seorang wanita cemburu terhadap
suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti
berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan
madunya, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal itu pasti dan ada
bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Jika cemburu itu hanya
didasari sangkaan tanpa bukti, tidak diperkenankan. Adapun bila suami
adalah orang yang adil dan telah menunaikan hak setiap istrinya, tetapi
masih tersulut juga kecemburuan, ada uzur bagi para istri tersebut
(yakni dibolehkan) apabila cemburunya sebatas tabiat perempuan yang
tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan
catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang
diharamkan baik ucapan maupun perbuatan.” (FathulBari, 9/404)
Ada di antara wanita yang sifat
cemburunya melampaui batas sehingga berangan-angan poligami tidak
dibolehkan dalam syariat ini. Bahkan, ada yang membenci syariat karena
menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian
suaminya apabila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian,
tetapi lisannya digunakan untuk mencaci maki madunya, meng-ghibah, dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah al-Wadi’iyah, hlm. 158—159)
Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas
perempuan merasa mendapatkan musibah yang sangat besar ketika suaminya
menikah lagi. Semestinya, apa pun kenyataan yang dihadapi, seorang
mukminah semestinya sadar bahwa semua itu adalah ketentuan takdir Allah Subhanahu wata’ala. Segala musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatanagama yang diperolehnya.
Gejolak cemburu ini juga muncul dalam rumah tangga yang paling mulia dari manusia termulia Shallallahu ‘alaihi wasallam. Istri-istri beliau saling cemburu dan berusaha mengundang cinta beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak
menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. Sebagian
kisah-kisah cemburu dalam rumah tangga manusia terbaik tersebut di
antaranya sebagai berikut. Aisyah radhiyallahu ‘anha bertutur tentang cemburunya,
مَا
غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ
لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku kepada Khadijah, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebut dan menyanjungnya.” (HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha,
كَأَنَّهَ
لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ:
إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu3, dan aku mendapatkan anak darinya.” (HR. al-Bukhari no. 3818)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sebab cemburu Aisyah adalah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebut Khadijah meskipun telah tiada. Aisyah sebenarnya aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering menyebutnya, Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah, meletuplah emosi Aisyah dan mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya berkata kepada suaminya, “Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.”
Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah, karena Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabia wanita.” (Fathul Bari, 9/405)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin
(istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau.
Melihat hal itu, istri yang Nabi n sedang berdiam di rumahnya memukul
tangan pelayan yang membawa makanan tersebut, hingga jatuhlah piring itu
dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan
belahan piring tersebut, kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan,
lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.”
Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti
berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara
piring yang pecah disimpan di tempatnya. (HR. al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan, perempuan yang
sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan
tatkala api cemburu berkobar. Sebab, dalam keadaan demikian, akalnya
tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/403)
Namun, apabila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti ghibah, Rasulullah n tidak membiarkannya. Suatu saat Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukuplah bagimu Shafiyah,dia itu begini dan begitu.”
Salah seorang rawi hadits ini mengatakan
bahwa yang dimaksud Aisyah adalah Shafiyah itu pendek. Mendengar hal
tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Aisyah,
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh, engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya.” (HR. Abu Dawud no. 4875, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Ada lagi kisah lainnya. Ketika sampai berita kepada Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha bahwa Hafshah bintu Umar radhiyallahu ‘anhuma mencelanya dengan mengatakan bahwa dirinya putri Yahudi, ia menangis. Bersamaan dengan itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Beliau pun bertanya,
“Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu
adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Bagaimana
bisa dia membanggakan dirinya di hadapanmu?” Kemudian beliau menasihati
Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wata’ala, wahai Hafshah!” (HR. at-Tirmidzi no. 3894, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan al-Misykat no. 3894)
Suatu ketika, di malam giliran ‘Aisyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan selendangnya, melepas kedua sandalnya, dan meletakkannya di sisi kedua kakinya. Beliau lalu membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya. Setelah itu, beliau pun berbaring. Tidak berapa lama, beliau bangkit dan mengambil selendangnya dengan perlahan, lalu mengenakan sandalnya dengan perlahan agar tidak mengusik tidur ‘Aisyah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar ‘Aisyah. Setelah itu, pintu ditutup kembali dengan perlahan. ‘Aisyah yang ketika itu disangka telah lelap dalam tidurnya, ternyata melihat apa yang diperbuat oleh suaminya. Ia pun bangki mengenakan pakaian dan kerudungnya.
Untuk selanjutnya, kita dengar penuturan ‘Aisyah, “Kemudian
aku mengikuti beliau hingga beliau sampai di permakaman Baqi’. Beliau
berdiri lama, lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau berbalik, aku pun berbalik. Beliau bersegera, aku pun
bersegera. Beliau berlari kecil, aku pun berlari kecil. Beliau berlari
lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului
beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku membaringkan
tubuhku, beliau masuk. Melihat keadaanku beliau pun berkata, “Ada apa
dengan dirimu wahai’Aisyah, kulihat napasmu memburu?” Aku menjawab,
“Tidak ada apa-apa.” Beliau berkata, “Beri tahu aku, atau Allah Subhanahu wata’alayang
akan mengabarkan kepadaku.” Aku pun menceritakan apa yang baru
berlangsung. Mendengar ceritaku, beliau berkata, “Berarti engkau adalah
sosok yang akulihat di hadapanku tadi?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau
mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau
bersabda, “Apakah engkau menyangka Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu4?”
‘Aisyah berkata, “Bagaimana pun
manusia menyembunyikannya, niscaya Allah mengetahuinya. Memang, semula
aku menyangka demikian.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,
“Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, aku pun
menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya. Jibril tidak mungkin
masuk ke kamar ini, sedangkan engkau telah membuka pakaianmu. Tadi aku
menyangka engkau sudah tidur sehingga aku tidak ingin membangunkan
tidurmu, karena khawatir engkau akan merasa sendirian (dalam sepi)
dalam kegelapan malam.
Jibril berkata kepadaku saat itu,
‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi permakaman Baqi’
guna memintakan ampun bagi penghuninya’….” (HR. Muslim no. 974)
Pernah juga suatu malam, Aisyah x merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ia pun kemudian meraba-raba mencari beliau. Ia menyangka beliau pergi
ke rumah istri yang lain. Ternyata ‘Aisyah mendapatkan beliau sedang
ruku’ atau sujud seraya berdoa,
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu, tidak ada sesembahan yang benar selain-Mu.”
‘Aisyah pun berkata, “Sungguh, aku
berada dalam satu keadaan, sementara engkau berada dalam keadaan yang
lain.” (HR. Muslim no. 485)
Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
apabila hendak bepergian (safar) adalah mengundi di antara
istri-istrinya, siapa yang diajak dalam safar tersebut. Suatu ketika,
jatuhlah undian kepada ‘Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anha. Keduanya pun dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam safar tersebut, apabila malam telah menjelang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berjalan bersisian dengan unta yang ditunggangi ‘Aisyah x (yang berada
di dalam sekedup/semacam tandu yang diletakkan di atas unta, sehingga
tidak
terlihat orang-orang di sekitarnya) dan beliau berbincang bersamanya.
Suatu ketika, Hafshah radhiyallahu ‘anha berkata kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Tidakkah engkau mau menaiki untaku malam ini dan aku menaiki untamu,
hingga engkau bisa melihat dan aku bisa melihat?” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Iya.” Lalu ia pun menaiki unta Hafshah dan Hafshah menaiki untanya.
Datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju unta yang biasa dinaiki oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tanpa mengetahui bahwa yang ada di dalam sekedupnya adalah Hafshah, bukan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhs. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam, kemudian berjalan bersisian dengan unta tersebut hingga mereka singgah di suatu tempat.
‘Aisyah merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pada malam itu. Ia pun cemburu, hingga ketika mereka berhenti dan
singgah di suatu tempat, ‘Aisyah memasukkan kakinya ke dalam
rumputrumputan seraya berkata, “Ya Rabbku, biarkanlah seekor
kalajengking atau ular menyengatku. Aku tidak sanggup berkata apa-apa
kepada Rasul-Mu.” (HR. al- Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 2445)
Cemburu Tidak Membuat Ibunda Kita Buta
Kisah-kisah cemburu di atas kitabawakan bukan untuk mencela istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah perempuanperempuan yang paling mulia. Cukuplah bagi mereka kemuliaan dengan Allah Subhanahu wata’ala memilih mereka menjadi pendamping hidup Rasul-Nya yang mulia.
Jangan pula kisah mereka dijadikan dalil
oleh para perempuan sekarang untuk membenarkan tindakan salah mereka
dengan dalih cemburu, atau untuk menolak ucapan baik dari suami mereka
yang menasihati mereka dalammasalah cemburu dengan mengatakan,
“Istri-istri Rasulullah juga cemburu dan berbuat ini dan itu karena
dorongan cemburunya.” Memang benar mereka (istri-istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam) cemburu dan engkau pun cemburu, namun kebaikan yang ada pada diri mereka tidak didapatkan pada dirimu….
Ketahuilah, bagaimanapun cemburu yang
ada di tengah mereka, tidaklah membuat mereka menutup mata dari kebaikan
yang ada pada madu mereka dan tidak mengantarkan mereka untuk membuat
kedustaan guna menjatuhkan madu mereka.
Satu contoh, ketika peristiwa Ifk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pendapat Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha salah seorang istri beliau, tentang diri ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Zainab radhiyallahu ‘anha, “Apa yang engkau ketahui tentang Aisyah dan apa pendapatmu?” Zainab radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai Rasulullah,aku menjaga pendengaranku danpenglihatanku. Demi Allah, aku tidakmengetahui darinya selain kebaikan.” (HR. al-Bukhari no. 4141)
Lihatlah kejujuran Zainab! Cemburunya
kepada ‘Aisyah tidak membuatnya lupa akan kebaikan dan keutamaan
‘Aisyah. Demikian pula sebaliknya pada diri ‘Aisyah, ia pernah memuji
Zainab, “Aku belum pernah melihat seorang perempuan pun yang paling baik
agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala,
paling jujur dalam ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi,
paling banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk
bekerja lalu hasilnya ia sedekahkan dan digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
Padahal, Zainab inilah yang menyamai kedudukannya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengarkan pula pujian ‘Aisyah terhadap Juwairiyah, salah seorang
ummahatul mukminin, “Kami tidak pernah mengetahui ada seorang perempuan
yang lebih besar berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah.” (al-Isti’ab, 4/1805)
Pujian ini dilontarkan oleh ‘Aisyah
ketika bani Mushthaliq, kaum Juwairiyah, dibebaskan oleh kaum muslimin
dari penawanan karena pernikahan Rasulullah n dengan Juwairiyah. Pujian
ini dengan jujur diucapkan ‘Aisyah. Padahal sebelumnya, ‘Aisyah cemburu
pada Juwairiyah. ‘Aisyah mengatakan, “Juwairiyah adalah perempuan yang
berparas elok dan manis. Setiap orang yang memandangnya pasti akan
terpikat. Aku melihatnya dari balik pintu saat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk meminta tolong dalam hal pembebasan dirinya dari status tawanan
perang. Ketika itu aku tidak menyukainya, karena aku tahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melihat keelokannya sebagaimana yang aku lihat.” (al-Isti’ab, 4/1804)
Demikian sedikit contoh dari kehidupan rumah tangga para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang menunjukkan bahwa kecemburuan tidaklah membutakan mereka dari
kebenaran dan melihat kenyataan. Semoga shalawat, salam, dan berkah
Allah Subhanahu wata’ala tercurahkan selalu bagi panutan umat dan kekasih-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhai istri-istri beliau yang mulia yang menjadi teladan terbaik bagi para wanita umat ini.
Sekarang, coba kita lihat apa yang ada
pada diri para perempuan yang cemburu pada hari ini—selain yang
dirahmati dan diselamatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala!
Sungguh, cemburu telah membuat mereka buta. Mereka menjatuhkan
kehormatan perempuan yang mereka cemburui di hadapan suami mereka dan
orang lain. Bahkan, mereka menempuh cara-cara yang dilarang oleh agama
guna “menyingkirkan” perempuan yang membuat panas hatinya karena
cemburu. Wallahul musta’an.