Terus semangat belajar dan berbagi ilmu sampai ke liang lahat, demi menjadi Hamba اللّهُ yang Kaffah.

Istri Pilihan 6 - 10

#Istri_Pilihan
#Part6, by Sumarni
#POV Bila

"Terserah Mas Wafi mau memanggilku dengan sebutan apapun, dipanggil Syahrini pun aku tak mau peduli. Yang kutahu di buku nikah nama Zanjabila bersanding dengan namanya, Rumaisil Muhammad Awafi."
***
Pagi ini aku bangun lebih cepat. Tak ingin dinilai menantu malas oleh ibu mertua. Setengah jam sebelum semua orang bangun, aku sudah bersiap-siap ke dapur.
Sesampai di dapur, aku berdiri lama menatap kulkas. "Sebenarnya aku mau ngapain? Masak aku nggak pintar, kalau nekad takut malah mengecewakan."

Kugaruk-garuk kepala yang masih terasa berat. Tidur membawa beban sekampung, tak bisa membuatku bangun dalam keadaan segar bugar. Tapi sebagai seorang istri, aku tak boleh loyo, harus bisa menyenangkan suami. Umur boleh muda, pikiran harus dewasa.
Tekadku sudah bulat, akan kubuat Mas Wafi melupakan masa lalunya. Sekarang dan sampai kapanpun, dihati suamiku hanya boleh ada namaku seorang.
Terserah Mas Wafi mau memanggilku dengan sebutan apapun, dipanggil Syahrini pun aku tak mau peduli. Yang kutahu di buku nikah nama Zanjabila bersanding dengan namanya, Rumaisil Muhammad Awafi.

Sekarang, hal paling utama yang akan aku lakukan adalah membuatnya sarapan istimewa, barangkali nasi tutug oncom.
Aku memang penggemar oncom, tapi selama ini jika pulang dari pesantren, Umi yang selalu membuatnya untukku. Dan keselnya lagi, aku lupa menanyakan resep masakan itu. Hiks.. Hiks..
'Sebaiknya tanya Mbah Gugel aja, deh?'
Aku berjalan kembali ke kamar untuk mengambil ponsel, tapi sangat terkejut ketika kulihat tempat tidur yang tadi masih ada Mas Wafi di atasnya, kini malah kosong. Kemeja dan celana Mas Wafi tergelefak di atas ranjang. Aku menutup sebelah mata saat melihat yang segitiga pribadi itu terletak paling atas.

'Owalah Mas, bok ya ditutup sedikit yang itu?' racauku dalam hati. Sementara di kamar mandi, pancuran air dari shower terdengar lirih.
'Pasti Mas Wafi sedang mandi.'
Segera kuraih ponsel dan kembali ke dapur. Tapi, dapur kini terdengar sedikit berisik. Sepertinya ada yang sudah bangun selain diriku. Mama mertuakah itu?
'Wah, bisa gagal ini rencana masak sambil nonton youtube?'
Meski ragu, kuteruskan langkah menuju ruang memasak itu. Tampak di sana, seorang wanita paruh baya, sedikit gemuk, tengah sibuk membersihkan bumbu-bumbu masakan di wastafel.
"Maaf, Buk?" lirihku sedikit mengagetkan wanita itu.
Dia berbalik, "Wah, Neng pasti Bila istrinya Mas Wafi?"

Aku mengangguk seraya tersenyum. Kubuka cadar yang menutup wajah, toh kami sesama perempuan, lagi supaya ibuk itu bisa mengenaliku. Kudekati wanita itu, lalu meraih jemari tangannya untuk kusalami.
"Masya Allah. Santun sekali. Saya Sarinem, Neng. Panggil saja Bik Nem. Disini sebagai asisten rumah tangga. Neng kenapa ke dapur? Ada yang mau diambil?"
Aku menggeleng, "Nggak ada, Bik. Saya cuma mau membuatkan sarapan?" jawabku malu-malu.
"Bibik yang biasa siapin sarapan?"
Wanita itu kembali tersenyum. "Kalau pagi, Bibik tugasnya cuma mencuci semua sayur dan bumbu. Biasa, Nyonya sendiri yang masak untuk sarapan. Tapi kalau Neng mau buat sarapan pagi ini, monggo Neng, silahkan. Barangkali mau membuatkan sarapan istimewa untuk suami," ucapnya sambil tersenyum menggoda.

Aku sedikit menunduk, malu. Kedua pipiku pasti sudah merona cabai.
"Benar Bik, nggak papa Bila yang masak?" Kucoba meyakinkan.
"Ya nggak papa atuh, Neng. Nanti kalau Nyonya bangun, biar saya yang sampaikan kalau sarapan pagi ini sudah Neng yang siapkan."
Kali ini aku memaksakan diri untuk tersenyum, entah kenapa aku malah merasa tak enak. Tapi ah, sudahlah.
Kuletakkan ponselku dengan youtube menyala. Lalu mulai menyiapkan bahan. Bik Nem sedikit heran.
"Itu lagi nonton apa, Neng?"

Ragu, tapi kujawab juga pertanyaan wanita itu. "Ini namanya Youtube, Bik. Sebenarnya, saya nggak pintar masak. Biasa makan makanan yang sudah dimasak Ibu di rumah. Tapi hari ini, saya pengen buat nasi Tutug Oncom untuk Mas Wafi, Bik?"
Bik Nem tersenyum menanggapi ucapanku.
"Sini Bibik bantu, Neng. Nggak usah pakai resep dari hape, saya ini asli Sunda. Seblak, Tutug Omcom, itu mah kecil," ucapnya sambil menyerahkan bumbu yang sudah selesai di cuci. Kencur, bawang merah, bawang putih, cabe rawit merah, cabe keriting, kini sudah ada di mangkuk kecil.
Bik Nem lalu mengambil wajan. "Semua bumbu ini dibakar terlebih dahulu, Neng. Oncomnya juga dibakar. Baru digiling dan ditambah garam."

Kulakukan semua arahan Bik Nem. Setelah selesai, wanita itu menyerahkan nasi yang sudah tanak.
"Diaduk ya, Neng," ucapnya sambil menyiapkan daun pembungkus.
"Nasi yang sudah diaduk itu, diletakkan di atas daun pisang ini, Neng." Bik Nem kembali memberi arahan.
Kuikuti sesuai petunjuk. Kini di atas meja dapur, lima piring sudah berisi nasi oncom. Harum aromanya menyengat, memaksaku ingin segera mencicipi. Tapi sabar, belum waktunya.
Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sambil menunggu detik-detik azan subuh berkumandang. Namun, kedatangan mama mertua ke dapur, membuat langkahku terhenti.
"Lho, Bila? Kok di dapur?" sapa Mama kaget.
"Ini Nya, tadi Neng Bila baru habis bikin sarapan buat Mas Wafi," potong Bik Nem. Aku hanya menunduk, takut yang kulakukan malah tak disukai Mama mertua.
"Sarapan?" seru Mama mertua.
"Maaf Ma, Bila ...."

"Pengantin baru kok di dapur, harusnya nemeni suami di kamar. Jangan khawatir, di dapur 'kan ada Mama sama Bik Nem?"
Aku menunduk, seperti dugaanku. Mama mertua pasti melarang menantunya ke dapur. Diantara rasa sungkan yang timbul, bahagia perlahan menyusup. Setidaknya hari ini Mas Wafi akan makan masakan buatanku.
"Bila minta maaf, Ma?"
"Yaudah nggak papa, coba kamu ke kamar. Barangkali Wafi sudah mau siap-siap ke mesjid."
Aku terkesiap. Tadi memang benar Mas Wafi sedang mandi, lalu apa sekarang malah sudah berangkat.
'Aduh, sedihnya aku jika dia pergi nggak pamitan ...."

***

Kubuka pintu berukiran mawar dengan perlahan. Di sana, beberapa meter di hadapanku, Mas Wafi tengah memakai koko lengan panjangnya. Kuintip sedikit. Tubuh Mas Wafi yang sedikit berotot meski nggak sispek kayak roti sobek enam bagian. Tetap membuat mataku melotot. Degup jantungku mulai rancak berdentum.
'Subhanallah ... gagahnya suamiku."
Setelah pakaian itu sempurna menutup tubuhnya ia mulai memakai minyak pada rambutnya. Gosok ke kiri, gosok ke kanan, gayanya bak seorang model minyak rambut. Ahay, tampannya Mas Awafiku.
Kini dia meraih sisir kecil, lalu menyisir perlahan rambutnya dengan cepat.
'Harusnya aku yang menyisir, ya? Ah, tapi malu ...."
Kututup kembali pintu kamar, mudah-mudahan Mas Wafi nggak menyadarinya.
Bayangan Mas Wafi dengan setelan koko putih plus kain sarung hitam, menari-nari di dalam benak. Andai aku bisa memeluknya, sekali ... saja. Rindu sekali hati ini ...
Ku sandarkan punggung pada pintu kayu itu beberapa menit, sambil menghayal.
'Yang belum nikah, jangan coba-coba ngehayalin lelaki ya, haram atuh. Saya mah udah halal, cuma belum berani nyentuh, ya ngehayal aja dulu nyambi nunggu waktu yang pas.'
Tiba-tiba...
Brukkk!

"Aww!" Tubuhku kesungkur ke belakang. Mas Wafi terkekeh saat mendapatiku jatuh ketika ia membuka pintu kamar.
'Ya Salam. Tamatlah riwayatku hari ini?'
"Ya Allah, Salsabila ...."
Aku bergidik, lagi-lagi dia memanggilku Salsabila. Mas Wafi mendekat, mencoba membantuku bangun dengan memegangi lengan.
Aku menepis tangannya. Dia terheran.
"Nama saya Zanjabila, Mas!" seruku tak lagi pelan. Ku dorong tubuhnya lalu berhamburan ke kamar.
"Eh ... Ih ... Bi- Bila, maaf. Mas salah lagi, ya."
Dia membatalkan keinginannya keluar kamar, malah membuntutiku yang duduk menghadap ke dinding kamar. Dari kemarin dia terus begitu, awalnya bersikap baik lalu menghempasku ke gunung tertinggi.
'Apa kamu kira aku nggak sakit, Mas?'
Kutundukkan wajah, sementara Mas Wafi mulai bertekuk di hadapanku. Tangannya yang terasa dingin menyentuh tanganku yang hangat.
"Tukan batal wudhu, Mas?" ucapnya sambil menggenggam jemari tanganku erat.
"Siapa suruh Mas megang tangan Bila?"

"Habisnya kamu ngambe, masak Mas biarkan?"
"Siapa yang ngambek?" Kuberanikan diri menatap matanya yang nampak ketakutan.
"Kamu?"
"Bila nggak ngambek?"
"Jangan bohong?"
"Bila nggak bohong. Siapa juga yang ngambe!"
"Kamu?"
"Nggak!"
Cup!
Ah, sensor dulu. Sesuatu mengenai bibirku.
Lembut dan hangat, aku membelalak. Mata kami bertemu sesaat, dia segera menarik wajahnya. Aku yang bagai kesiraman air bunga seketika menunduk.
'Ya Allah, tadi itu apa?'

***


#Istri_Pilihan
#Part7 POV Bila

***

Sesaat, kami terdiam kehabisan kata. Tepatnya mungkin kami tengah memaknai, apa, mengapa, dan bagaimana kecupan itu bisa terjadi diluar target. Aku memilin-milin ujung khimar yang kugunakan, anganku melayang entah kemana. Sementara Mas Wafi tampak dari ujung mataku tengah memain-mainkan jemari tangannya di atas paha.
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
"Mas,"
"Bila,"
Kami serempak menyebut nama masing-masing dalam waktu yang sama. Seketika pandangan kami bersiborok tajam, dan pecahlah tawa hangat yang membarengi.
"Udah nggak marah lagi 'kan?" tanyanya mengurai tawa.

Aku menoleh, mencoba menghentikan tawaku. "Tapi Mas janji jangan salah lagi manggil nama Bila?" rengekku manja. Ah, bisa-bisanya aku bersikap demikian. Aku tahu, sesuatu yang dilakukan Mas Wafi tadi berhasil menepis kekakuan diantara kami.
'Inikah nikmatnya pacaran setelah menikah? Alhamdulillah ... bersyukur sekali selama ini aku tak pernah tersentuh oleh lelaki lain. Sehingga setiap sentuhan yang kini kudapat setelah pernikahanku terasaa begitu mendebarkan dan istimewa.
'Aku sangat mencintaimu, Mas,' batinku menjerit kuat. Andai ia bisa mendengar, pasti bakalan heboh.
'Tapi aku nggak akan bilang cinta, sebelum kamu duluan yang bilang, Mas.'
Mas Wafi mengarahkan kelingking kanannya padaku. "Mas janji, Mas nggak akan salah nyebut nama kamu lagi ...."
Ia mencubit hidungku, saat aku melilitkan kelingkingku padanya. Aku hanya menatapnya dalam, penuh rindu. Sebenarnya aku ingin mempertanyakan, kenapa Mas Wafi selalu salah sebut, tapi ah sudahlah. Biarlah terjawab perlahan.

***

Mas Wafi menyantap nasi Tutug Oncom dengan nikmatnya, Papa mertua juga, Mas Alif apalagi, pakai nambah segala. Beruntungnya aku dimbah Gugelin sama Buk Nem. Besok-besok mau nanya resep Seblak deh, pokoknya setiap hari aku akan masak masakan istimiwa untuk Mas Wafiku.
"Pagi ini ke rumah sakit 'kan Fi?" tanya Mama setelah mengelap mulutnya.
"Iya, Ma. Sebentar lagi Wafi sama Bila mau ke rumah sakit."
'Rumah sakit? Ya Allah, aku ingin melupakan tempat itu. Aku ingin pergi ke tempat lain, ini 'kan bulan madu kami?'

"Kalau bisa sampai sore ya, Fi? Bik Nah semalam ijin sama Mama mau pulang kampung hati ini, mau bawa ibunya berobat. Kasihan kalau Salsa ditinggal sendirian 'kan?"
'Ya Salam, seharian? Cobaan apalagi ini?'
Mas Wafi melirik ke arahku, ia berdehem sebelum menanggapi ucapan Mamanya.
"Kenapa nggak Mama aja yang jagain Salsa, kasihan 'kan mereka, barangkali mau ke suatu tempat?" Papa mertua menimpali.

"Mama ada pertemuan dengan donatur Pa, di Panti Asuhan. Tapi Mama janji, jika acaranya cepat selesai, Mama akan segera menyusul ke rumah sakit kok. Kalian nggak masalah 'kan jagain Salsa?"
Mama menatap kami bergantian, barangkali ini saatnya aku mengambil hati mama mertua. Buat apa takut, toh ada aku juga. Kalau perlu akan ku rantai kaki Mas Wafi agar selalu berdekatan denganku.
"Kami nggak masalah, Ma?" jawabku entah mewakili isi hati Mas Wafi atau nggak. Tapi kulihat Mas Wafi menghela napas.
'Salahkah aku?'
"Alhamdulillah ... jadi Mama bisa tenang deh. Oya, Mama juga mau ngucapin makasih, untuk sarapan pagi ini. Mama acungkan jempol, deh. Ternyata Awafi tidak salah milih istri, cantik, shalehah dan pintar masak pula."

Semua mata kini menuju ke arahku. Harusnya Mama nggak usah membuka rahasia ini di depan semuanya. Wah, aku jadi geer, eh owalah...
Kilirik Mas Wafi yang juga kini tengah memandang ke arahku. Dia tersenyum lalu menggosok-gosok perutnya dan mengacungkan jempol di balik meja. Hanya aku yang bisa melihat karena akulah yang duduk di samping kirinya.
'Ah, senangnya hati ini. Masakan pertamaku untuk suami tercinta, ternyata dinikmati sekeluarga dengan lahap. Dan suamiku pun ... begitu berselera. Alhamdulillah ya, Allah. Inilah hari-hari penuh pahala yang Engkau janjikan. Semoga aku bisa amanah menjaga gelarku, Aamiinn ...."

***

Selesai sarapan, Bik Nem membereskan meja. Aku ikut membantunya. Sementara Papa dan Mama berangkat berbarengan. Mas Wafi, kemana suamiku pergi?
Aku meninggalkan dapur saat Bik Nem memintaku untuk masuk. Dia tidak mengijinkanku menyentuh piring kotor. Padahal kalau di rumah, piring kotor adalah jatahku sehari-hari.
Kunaiki tangga menuju kamar. Saat sempurna menapaki lantai atas, aku mendengar seseorang berbicara di telpon. Arahnya dari balkon. Mungkinkah itu Mas Alfi, karena di lantai dua ini, selain kamar Mas Wafi, kamar Mas Alfi pun ada.
Perlahan kugerakkan langkah menuju balkon. Tampak di mataku Mas Wafi yang menelpon, tapi sedang menelpon siapa? Penasaran, aku pasang telinga mendengar percakapannya.

[Iya, nanti Mas belikan, saat dijalan]
[...]
[Lho kenapa Bik Nah nggak nungguin Mas dulu?]
'Oh, itu pasti Mbak Salsa?' Entah kenapa hatiku jadi terasa sakit. Cemburu kembali merampas kebahagiaan yang tadi sempat berbisik di telinga.
[Yaudah, Mas kesitu sekarang]
Aku menghela napas. Pasti Mbak Salsa minta suamiku segera ke rumah sakit. Ya Allah, aku tidak ingin perasaan cemburu ini membuatku membenci iparku sendiri, padahal dia adalah wanita yang juga harus kuhormati. Karena menikah, tak hanya menuntut seorang wanita menghormati suami, juga seluruh keluarganya.
Selang beberapa detik, Mas Wafi menutup telpon. Gawat! Aku nggak mau ketauan menguping. Secepat kilat kulangkahkan kaki menuju kamar, tapi Mas Wafi duluan memergokiku.
"Bila ... tunggu!"
Aku berhenti, jantungku kembang kempis tak karuan. Kubalikkan badan agar bisa memenuhi panggilannya.
"Benar tadi kamu yang bikin sarapan?" tanyanya sambil menghampiriku.
'Alhamdulillah, kukira Mas Wafi akan bertanya, benar tadi kamu menguping?hihihi.'
"Em ... Iya, Mas. Enak nggak?"
Mas Wafi tersenyum, selalu berhasil merobek dadaku karena takjub. "Tadinya Mas kira kamu nggak bisa masak, tapi Mas salah. Masakanmu ngalahin masakan Mama?"
Aku bergidik. "Benarkah, Mas? Tapi itu Bik Nem yang ajarin?" jawabku ragu, inginnya sih nggak jujur, tapi Mas Wafi harus tau kebenaran. Bahwa istrinya bukanlah wanita sempurna, tapi sedang berproses menjadi sempurna, untuknya.

"Bila ... Bila ... seseorang boleh aja belajar masak dari manapun, tapi tiap tangan akan berbeda rasa saat mengolahnya. Dan Mas rasa kamu punya kelebihan di tanganmu?"
'Ya Robbi, ini memuji atau bagaimana? Kok kupingku terasa melebar?'
"Besok, buat lagi, ya?"
Duh, aku bingung. Bagaimana harus kujawab, kalau Mama mertua nggak mau aku berada di dapur?
"Em, iya Mas."
"Yaudah, sekarang kita ke rumah sakit, ya? Sekalian Mas kenalkan kamu sama Mbakmu, Salsa."
Aku mengembuskan napas, kalau ku jawab nggak mau, pasti Mas Wafi tetap akan pergi. Salahku sendiri sih, menyetujui permintaan Mama. Padahal aslinya pengen di ajak jalan-jalan...
Tanpa menunggu aku menjawab, mas Wafi melangkah ke kamar. Sepertinya dia hendak mengambil sesuatu.
Aku menunggu diluar, tanpa mengikutinya. Tak lama, Mas Wafi keluar lagi dengan menenteng kunci juga helm.
"Lho Mas, kok bawa helm?" tanyaku penasaran. Nggak lucu 'kan naik mobil pakaj helm. Bisa diketawain satu komplek ini.
"Mas hari ini pengen ke rumah sakit naik motor, kamu mau ikut nggak?"
Kedua netraku membelalak sempurna. 'Naik motor? Pasti duduknya deketan, alias nempel-nempel gitu lha ya? Brrrrr... kok tiba-tiba aku jadi merinding disco? Hihihi ....'
"Lho, kok malah bengong? Ayok?" Dia menarik tanganku untuk turun ke lantai bawah.
"Mas, tapi ...."

"Udah nggak ada tapi-tapian," jawabnya sambil terus menggenggam jemari tanganku.
Kugigit bibir perlahan, mencoba meredam gemuruh di dada bak badai tornado.
Ngapain takut coba, 'kan udah halal. Yang harusnya takut itu, kalau belum halal, bisa direpetin malaikat. Lha aku, sama Mas Wafi kan suami istri, mau ngapain aja juga boleh 'kan?
'Hohoho ....'
Sampai di garasi, Mas Wafi membuka penutup motor maticnya. Lalu memasukkan kunci untuk menyalakan kendaraan itu.
Setelah mesin menyala, Mas Wafi memukul-mukul tempat duduk motor yang sedikit berdebu. Aku hanya berdiri mematung di pinggir di pintu keluar.
"Motor ini udah lama nggak dipakai. Sesekali harus dicas, biar baterainya nggak soak. Kamu nggak masalah 'kan kita nik motor? Alergi debu atau asap nggak?" tanyanya lagi.
"Nggak, Mas," jawabku masih setengah bimbang.
"Bagus kalau begitu."
Mas Wafi berjalan mendekatiku. Dekat, semakin dekat. Lalu ia mengangkat kedua tangannya melewati kepalaku. Terasa jelas degupan jantungnya yang hampir mengenai wajahku.
"Mas mau ngapain?" tanyaku sambil memejamkan mata.
Dia menyentuh ujung hidungku. "Hai, pasti lagi mikir mesum, ya?"
'Hah, mesum katanya?'
Kubuka mata perlahan, Mas Wafi menunjukkan helm bergambar mickey mouse di tangannya.
"Mas mau ngambil helm. Coba lihat ke belakang, kamu berdiri dimana?"
Aku berbalik, 'Subhanallah, malunya hati ini.'
Di belakangku, ada rak tempat semua helm bertengger. Hiks...hiks...
Mas Wafi kini sudah duduk di balik setir. Ia mengeluarkan motornya dari bagasi, lalu melambai ke arahku.
"Ayok, sini?" Dia menepuk tempat duduk di belakangnya.
Aku mengerjap beberapa kali, "Kujadikan ini kesempatan atau ...?"
***
Lanjut?

-----


#Istri_Pilihan
#Part8, by Wahyuni
#POV Bila

***

"Banyak suami yang menginginkan istri layaknya seorang bidadari. Hal itu tak perlu menunggu sampai kiamat. Sebab, sosok bidadari tidak hanya tercipta di surga nanti, bahkan di dunia pun ada. Dia bukan hanya cantik secara fisik, tetapi juga lembut budi pekertinya. Matanya bening dan jernih. Kesuciannya pun terjaga. Dialah istriku, Radha Zanjabila." Awafi.

***

Sedikit deg-degan, kulangkahkan kaki mendekati motor Mas Wafi.
"Lho, kok lambat gitu jalannya?" Suara Mas Wafi terdengar nyaring diantara deru mesin motor yang masih dipanaskan itu.
"Em ... anu, Mas?"
"Anu apa? Kamu malu duduk semotor sama Mas?"
"Bukan gitu, Mas?"
"Lalu apa juga?"
Mas Wafi menarik tanganku lebih mendekat dengannya, helm yang masih ada di tangan, kini berpindah ke tangannya. Lalu dengan cekatan ia sematkan di kepalaku.
"Bilang donk kalau mau Mas yang pakaikan?"
Aku menaikkan pandangan, tersentak, kaget, pasti. Masak iya, itu yang kuinginkan? Ah, tapi boleh juga sih, 'kan jadi kelihatan romantis.
Aku tersenyum sambil terus menatap wajahnya saat ia menelungkupkan helm, 'Terima kasih ya, Allah. Untuk suami yang hampir sempurna ini.'

"Ayo naik?" Mas Wafi kembali memberi aba-aba. Kutanggapi dengan gerakan cepat. Bertopang pada bahunya, lalu mengambil posisi duduk miring.
"Bismillah, pertama kali dibonceng lelaki, langsung suami. No haram, no dosa. Indahnya Islam, inilah kenapa Allah melarang pacaran, kalau bersama yang sah itu terasa lebih nikmat." Aku bergumam dalam diam. Bersama degup jantung yang rancak berdendang.
Kuberanikan diri meletakkan tangan kanan di atas pahanya.
Mas Wafi terlihat tergelak, aku tahu diapun sama bergetarnya sepertiku. Mungkin, baginya akulah wanita pertama yang ia bonceng sedekat ini. Entahlah, semoga saja iya.
"Bismillah," ucap Mas Wafi sambil kemudian melajukan motor keluar halaman rumah.
"Pernah begini sebelumnya, nggak?" tanya Mas Wafi saat kami keluar dari gerbang perumahan.
Aku terkesiap, kudekatkan sedikit wajah agar dapat mendengar omongannya. Ah, jarak kami begitu dekat. Aku bisa melihat kulit bersihnya tanpa komedo setitikpun.
"Belum," jawabku sambil tersenyum menatap wajahnya di kaca spion.
"Berarti Mas yang pertama donk?" tanyanya lagi.
"Iya, Mas."
"Alhamdulillah ...."

Mas Wafi tampak semringah. Pasti dia bahagia karena tau dialah lelaki pertama yang berhasil sedekat ini denganku. Tapi, what about him? Aku juga mau tau donk?
"Kalau Mas sendiri?"
Dia menaikkan alisnya sambil membalas tatapanku di spion.
"Menurut kamu?"
"Pasti Bila yang kedua?" jawabku asal.
"Hah, setelah siapa?" Mas Wafi tampak kaget mendengar jawabanku.
"Setelah Mbak Salsa?"
"Astaghfirullah ... kok bisa ngomong gitu?" tanyanya tampak begitu heran.
"Mas 'kan pernah mau menikahi Mbak Salsa, barangkali pernah begini juga sama beliau?"
"Astaghfirullah ... kamu lagi suudhon sama Mas, dosa lho?"
Ia mengerucutkan bibirnya. Tampak sebal. Sesaat perasaanku dihinggapi rasa bersalah, bisa-bisanya berprasangka buruk untuk suamiku sendiri. Ya Allah, hamba sudah berdosa...
"Jujur ya, seumur hidup, ini juga yang pertama buat Mas. Mudah-mudahan cuma kamu seorang yang bisa begini sampai akhir hayat Mas kelak," ucapnya sambil mengambil jemari tanganku, lalu melingkarkan ke perutnya.

'Allahurabbi ... ada apa dengan dada ini, kenapa terasa begitu aneh?'
"Aamiinn ...." Kujawab doanya dengan khusuk. Doa yang sama tengah kulangitkan dalam hati. Semoga Allah meridhoi niatku menjadi istri shalihah untuk Mas Wafi sehidup sesurga.
Motor matic itu terus melaju, tidak cepat, tidak lambat. Dalam hati aku terus meminta, andai Dia berkenan menghentikan waktu, inginku berlama-lama dengannya. Jika memang tak mungkin, maka aku meminta agar jarak tempuhnya di jauhkan dari yang normal
Jika tak mungkin juga, maka bocorkanlah ban motor ini.
Blush!
Motor yang kami tumpangi tiba-tiba oleng, Mas Wafi memelankan gasnya. Lalu menepi ke pinggiran jalan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku yang sudah berdiri di pinggir motor.
Mas Wafi tampak melirik body motor yang ia kendarai. "Wah, bannya bocor ini?"
"Bocor?"
'Ya Allah, jadi doaku langsung Engkau kabulkan?'

"Bentar, ya. Mas coba hubungi teknisi biar mereka yang tangani, kita naik taksi aja?" ucap Mas Wafi sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Yah, kok mati? Perasaan tadi pagi sempat di charge?" Mas Wafi memberi jeda sejenak, "kamu bawa ponsel nggak?"
Aku menggeleng. Kutinggalkan ponselku juga di rumah, karena baterainya belum lima belas persen saat tadi kuisi ulang daya.
"Yah, kalau gini terpaksa harus dorong?" Mas Wafi menghela napas. Akupun jadi serba salah. Mudah-mudahan Mas Wafi bisa menyikapi ini sebagai sebuah rahmat. Setidaknya kami bisa menghabiskan waktu berdua sedikit lebih lama.
"Kamu sanggup jalan nggak? Kayaknya beberapa meter ke depan ada sebuah bengkel deh, nggak jauh kok?" tanya Mas Wafi yang mulai terlihat gugup. Kata hatiku, sepertinya dia merasa tak enak.
Andai ia tahu, semua ini adalah doaku. 'Mas, maafkan istrimu ini?'
"Mas, Bila dulu di Pesantren juara jalan santai lo?" jawabku membercandainya. Mas Wafi tertawa.
'Allah, aku bersedia berjalan sejauh apapun, asal bersamanya.'


***
Sepuluh menit berjalan, dari kejauhan tampak ada sebuah bengkel yang sudah beroperasi. Mas Wafi membelokkan motornya ke Toko Reparasi kendaraan tersebut. Aku mengikuti di belakang. Sebenarnya, aku kasihan pada suamiku itu. Dia sampai berlelah-lelah karena doaku. Sehabis ini, akan aku hilangkan kepegalannya. Seperti apa? Mungkin memijat atau ah, terlalu jauh menghayal, membahayakan readers yang masih jomlo.. Hihihi...
"Mas capek nggak?" tanyaku saat ia sudah menyerahkan motornya pada seorang tehnisi.
Dia menggeleng.
"Tapi Mas keringatan?" Kuulurkan tangan dengan selembar tissue pada wajahnya, menghapus keringat bening yang bertetesan dari dahi turun ke pelipis.
"Makasih, ya?" Dia mengusap pucuk kepalaku.
Di depan kami, ada sebuah warteg yang tampaknya buka 24 jam. "Kesitu yok, Mas?" ajakku padanya.
Mas Wafi menanggapi dengan anggukan. Dia menggandeng tanganku, dan kami pun melangkah menyeberangi jalan bersama.
Allah memang Maha Tahu, apa yang hamba-Nya inginkan. Kami memang tak berterus terang meminta waktu untuk berdua, tapi tanpa kami sadari, sesuatu menuntun agar waktu hanya ada untuk kami.

***

"Mau pesan apa, Mbak?" seorang lelaki berkaos biru menyapa kami saat sudah berada di dalam warteg.
Aku melirik Mas Wafi, sebenarnya aku tipe penyuka kuliner. Meski tadi di rumah perut sudah terisi penuh, tapi melihat pemandangan menggiurkan di depan mata, rasanya kok perut minta diisi lagi.
"Kamu mau makan apa? Pesan aja?"
Kusunggingkan selarik senyum ke arah Mas Wafi sambil menunjuk menu-menu yang kuinginkan.
"Peyek, kentang kecap, kikil, kerang, acar timun," ucapku sambil nyengir.
Kutelan saliva yang tiba-tiba memenuhi mulut. Sebenarnya masih mau semur jengkol, tapi takut bau mulut. Kutahan dulu, deh untuk saat ini.
"Cukup ini aja, Mas?"
Kembali kumelirik Mas Wafi, tapi Wallahualam, dia tampak tercengang.
'Mungkinkah karena semua pesanan ini?'
"Kamu sanggup ngabisin ini semua?" tanyanya sedikit keheranan.
Aku tersenyum, malu sih menjawab. Tapi dari kecil hingga dewasa, tak pernah sekalipun makanan jatahku ada yang bersisa.
"Insya Allah, habis Mas."

Mas Wafi menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin dia ragu. Akan kubuktikan sesat lagi.
Kami memilih duduk di meja paling sudut, dekat dengan jendela yang langsung menghadap ke jalan. Mas Wafi menarik kursi dan mempersilahkanku duduk di sampingnya, sebelah dalam. Setelah dudukku sempurna, lelaki itu kemudian ikut duduk di sebelahku.
Aku meliriknya sekilas, duduk di sebuah kursi, lalu diapit suami, rasanya gimana gitu. Kuurai pikiran nganu yang tiba-tiba muncul, lalu menatap pemandangan luar yang tampak mulai ramai.
Rasa canggung kembali membersamai kami. Rasanya ingin kutepis, mengingat tak ada lagi yang mesti kami jaga. Sah di hadapan allah, sah pula di mata manusia.
Tapi kenapa, tetap saja tak leluasa. Kusendoki sesuap makanan beserta lauknya, kemudian membuka penutup wajah. Melalui celah kecil yang terhubung ke mulut, kumasukkan makanan itu dengan perlahan.
"Risih nggak makan sambil pakai niqab?" tanya Mas Wafi yang berhasil membuatku berhenti mengunyah.
"Insya Allah nggak, Mas. Udah biasa."
"Sejak kapan mulai berniqab?" tanyanya lagi.
"Kelas empat MII, Mas."
"Udah lama sekali, ya? Kenapa kamu milih berniqab?"
Aku bergidik, "untuk menjaga hati, juga menjaga pandangan orang lain," jawabku singkat sambil menoleh ke arahnya.
Tiba-tiba, jemari tangan kananku menghangat. Mas Wafi menggenggamnya erat, tapi tanpa menoleh. Entah apa yang ia rasakan, tapi jujur, aku bahagia.
"Andai Kau berkenan, Ya Allah, hentikanlah waktu sesaat ...."

***

Matahari hampir setinggi kepala, terik sinarnya terasa membakar kulit. Mas Wafi mendorong motor keluar bengkel.
"Pasti kulitmu akan terbakar sinar matahari, harusnya tadi Mas nggak maksa bawa motor?"
Lelaki itu mendengkus kesal. Aku yang mendengarkan jadi merasa nggak semangat.
"Bila 'kan pakai baju Mas, jadi terlindungi ...."
Lagi-lagi ucapanku membuatnya tersenyum.
"Yaudah, yok naik. Mas yakin pasti Salsa sangat khawatir karena kita belum juga sampai di rumah sakit?" ucapnya dengan raut wajah cemas. Hatiku yang kadung cemburu ini berbisik, dia benar-benar khawatir.
"Mas mengkhawatirkan Mbak Salsa?"
"Iya."

Kuembuskan napas perlahan. Mungkin, sebentar lagi aku akan menangis, atau berpura-pura tersenyum. Bisakah kumeminta, aku tak ingin mengalami dua hal itu. Hiks...hiks...
Sesampai di rumah sakit, Mas Wafi kembali menggandeng tanganku menuju kamar rawatan Mbak Salsa. Langkahnya begitu cepat, aku kembali teringat ketika untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di tempat ini. Langkahnya sama cepat. Tapi begitu sampai di depan kamar, tanganku secepat kilat pula ia lepas.
Sekarang, apakah kejadian itu akan terulang lagi?
Menaiki lift, akhirnya kami sampai di depan kamar. Mas Wafi mengarahkan tangan kirinya untuk membuka pintu.
Perlahan, pintu kayu itupun terbuka.
"Salsa ....!"
Tanganku tersentak, Mas Wafi berhamburan ke dalam untuk menahan tubuh Mbak Salsa yang hampir tersungkur ke lantai.
Kedua tangan kekar suamiku memegang bahu wanita itu. Mereka, nyaris berpelukan.
Kututup mata sambil membalikkan badan.
"Kamu mau kemana, Sa?"
Masih terdengar saat Mas Wafi bertanya pada Mbak Salsa.
"Salsa mau duduk di kursi itu, Mas. Bosan di ranjang terus?"
"Tapi bahaya kalau gini, bisa jatuh?"

Aku tak lagi menunggu, 'sebegitu khawatirkah engkau padanya, Mas?'
Sambil menahan kilau mengambang yang memenuhi pelupuk mata, aku berlari menjauh dari tempat itu.
"Ya Allah, cengengnya aku ini." Kuusap pipi yang mulai basah karena tetesan air mata.
'Kenapa Kau beri cemburu yang membabi buta di hati ini, ya Rabb?'
Aku terus berlari. Entah kenapa aku ingin pergi, menjauh. Baru tadi kami bersama-sama mengukir bahagia, sekarang semua seperti debu yang diterbangkan angin, berserakan!
'Aku cemburu, terlalu, cemburu! Maaf, Mas?'
Bruukkk!
"Maaf."
Aku menabrak sesuatu, dan sebuah suara, membuat tangisku terhenti.

***


#Istri_Pilihan
#Part 9a
Untuk sementara hanya ada POV bila. Maafkan kekurangan ini.

***

Sebuah tangan terulur ke arahku. Ketengadahkan wajah, tampak di hadapan seorang lelaki berjas putih, persis seperti setelan seorang dokter. Rambutnya tebal dengan hidung segitiga, sekilas ia terlihat begitu menarik. Astahgfirullah. Lelaki itu tersenyum sambil hendak membantuku berdiri.
Seketika mataku membola, benarkah yang kulihat ini? Mas Azzam bukan, ya?
Lelaki itu masih menunggu uluran tangannya kusambut, tapi tidak, sekalipun jika aku masih singgle, tentu aku tak mungkin menerima bantuannya. Bersentuhan dengannya berarti haram. Dia lawan jenis.
"Terima kasih, Mas. Saya bisa sendiri." Aku menolak uluran tangannya. Dengan sedikit kepayahan kugerakkan tangan untuk menumpu tubuh yang tersungkur karena tabrakan tadi.
"Khairul Azzam," ucapnya setelah aku berhasil berdiri sempurna. Kini tangannya kembali terulur untuk berkenalan denganku.

Kudekap kedua tangan ke dada sambil mengayunkan kepala. "Zanjabila."
"Zanjabila?" ulangnya kembali.
Hatiku semakin deg-deg ser, jangan sampai dia mengenaliku.
"Boleh saya tahu, kamu berasal dari mana?" Dia kembali melempar pertanyaan.
"Permisi, Mas," ucapku sambil menggeser tubuh yang terhalang olehnya. Aku tidak boleh memberitahu lelaki ini dari mana asalku, atau dia akan tahu siapa Zanjabila yang baru saja ia tabrak. Gadis yang menolak lamarannya tiga bulan yang lalu. Ya Allah, kenapa bisa ketemu disini.
"Eh, tunggu ...."

Ah, tak kupedulikan lagi panggilannya. Langkahku malah semakin cepat. 'Ya Tuhan, jangan sampai kami bertemu lagi ...."
Aku berhenti di ujung koridor. Sambil terengah-engah kutarik napas perlahan. Lelaki itu, benar dia Mas Azzam yang dulu pernah ke rumah.
Dulu aku menolak lamarannya, karena saat itu aku ingin mengutamakn kuliah. Ternyata, hanya berselang tiga bulan, keluarga Mas Wafi datang ke rumah dengan niat yang sama.
Saat Mas Azzam ke kediaman kami, aku dengan tegas menolaknya. Tapi, wallahualam, hanya Allah yang tahu. Mungkin karena jodoh. Mas Wafi yang hanya aku lihat melalui foto, namun tak kuasa mulut ini untuk menolak. Aku, terlanjur jatuh cinta.
Siapa tahu pernikahanku dengan Mas Wafi tak mudah. Ada seseorang yang pernah mengukir kisah di hati lelakiku. Tapi aku tak boleh putus asa, akulah istri sahnya. Namun, gimana jika suatu saat Mas Wafi meminta ijin untuk menerima Mbak Salsa sebagai maduku?
'Awwww....'
Aku tak 'kan sanggup dimadu...
Ternyata sesuatu yang tak pernah aku rasakan selama gadis, malah kurasakan saat ini, ketika sudah menjadi seorang istri. Inilah penyakit paling menyesakkan dalam hidup, cemburu.
Tapi, bukankah cemburu itu pertanda cinta. Jika saja Mas Wafi dan Mbak Salsa tidak pernah tersangkut hati, tentu aku akan memandangkan mereka dengan cara yang berbeda. Tapi mereka??

***

Setelah menghabiskan satu gelas jus pokat dan dua potong kue basah, perasaanku jadi lebih tenang.
"Kalau begini terus, tiap hari bakalan nambah ne berat badan," gerutuku sambil mengambil selembar uang lima puluh ribu untuk membayar semua makanan.
Dengan tak semangat kulangkahkan kaki, mencoba berpikir positif. Bukankah yang terjadi tadi adalah sebuah kebetulan. Kami membuka pintu, terus Mbak Salsa hampir terjatuh. Jika saja Mas Wafi tak membantu, pasti wanita itu akan tersungkur ke lantai. Dimana hati nuraniku sebagai sesama manusia, bisa-bisanya aku cemburu disaat yang tidak tepat.

"Ya Allah, betapa gegabahnya aku. Harusnya tak perlu pergi begini, Mas Wafi pasti kecarian?"
Kupercepat langkah kembali ke kamar, dadaku terasa begitu sesak. Penyesalan karena telah kabur memenuhi ruang pikir. Andai syaitan tak memperdayaku tadi...
Sampai di depan kamar, aku hendak membuka pintu. Tapi gagang itu bergerak dengan sendirinya.
'Astaghfirullah.' Aku terkejut saat mendapati Mas Wafi dan Mas Doni keluar berbarengan dari kamar rawatan.
"Bila?" Mas Wafi juga tampak kaget, "kamu habis dari mana, Mas khawatir dari tadi?"
Aku meliriknya sekilas, lalu melirik lelaki di samping Mas Wafi.
"Dari kantin, Mas?"
"Kamu lapar lagi, 'kan tadi udah makan?"
"Bila haus, Mas?"
"Kalau haus, bilang sama Mas. Biar Mas yang belikan ...."

Aku hanya menunduk, dua rasa sekaligus menerpaku, perasaan berdosa karena telah berbohong pada Mas Wafi. Dan perasaan deg-degan akan lelaki yang satu lagi itu. Aku takut jika dia mengenaliku dan menceritakan kepada Mas Wafi jika dulu pernah mengkhitbahku.
Sesaat hening.
"Oya, Zam. Kenalkan, ini istriku," ucap Mas Wafi sambil memegangi bahuku.
Aku berdehem melepas kekakuan.
"Kamu ... yang tadi jatuh di koridor 'kan?" tanya lelaki itu padaku.
Ah, sedikit lega, sepertinya dia memang benar-benar tak mengenali siapa aku sebenarnya.
Kini Mas Wafi kembali membuka suara. "Kamu jatuh tadi, kenapa?"
Aku menarik napas.
"Istri jatuh kok ditanya kenapa, harusnya tanya ada yang sakit?"
Mas Azzam menimpali ucapan Mas Wafi dengan sedikit goyonan. Suamiku tersenyum.
"Untung tadi aku ngga jadi minta kenalan sama istrimu Fi, kalau nggak aku bisa patah hati."
Lelaki itu menepuk pundak Mas Wafi. Suamiku tampak keheranan. Dan aku, tentu saja mulai merasa risih.

"Yaudah Fi, aku pamit dulu, ya. Mau visit pasien lain. Kalau ada apa-apa, kabari ya?"
Dia tersenyum pada kami berdua, aku hanya menunduk, berusaha menjaga pandangan.
Selepas kepergian Mas Azzam, keheningan sejenak merajai. Mas Wafi tak beranjak, masih di depan kamar. Aku pun ikut-ikutan terdiam.
"Jadi tadi Azzam godain kamu?" tanyanya membuatku tersentak kaget.
"Nggak, Mas."
"Jadi, kok bisa ketemuan di koridor?"
Perasaanku mulai berkata, 'suamiku cemburu?'
"Cuma berpas-pasan, Mas?
"Berpas-pasan gimana maksudnya? Kalian saling kenal?"
Aku menggigit bibir perlahan, ya Robbi, haruskah aku jujur?
"Nggak Mas."
Mas Wafi mendesah panjang. "Yasudah, tapi besok kalau kamu buat kesalahan lagi, Mas akan kasih sanksi."
Aku menoleh seketika menatapnya, Mas Wafi tersenyum. Mengerucutkan sambil menggosok bibirnya dengan jemari tangan. Sepertinya dia sedang memikirkan sanksi gila-gilaan buat istrinya ini.
Tapi, dia luar biasa menawan dengan sikapnya itu.
'Coba jelaskan padaku Mas, kenapa kamu tercipta begitu sempurna?'
Detik kemudian Mas Wafi kembali membuka suara.
"Satu kesalahan satu ciuman!"
'What the ...?"
Kenapa nunggu salah untuk minta dicium, Mas. Lucunya kamu ...
'Kalau itu sanksinya, aku bakalan sering-sering buat salah deh, biar bisa cium kamu ....'
Wkwkwkw....
Yang jomblo jangan baper ya..hihihi... Baru boleh sama yang halal, ingat-ingat, ting!

-----


#Istri_Pilihan
#part 9b
POV Wafi

***

Pagi ini aku bangun dengan begitu semangat. Entah pukul berapa semalam mata ini terpejam, tapi saat tersadar, istriku ada dalam dekapan. Inikah nikmatnya berubah tangga, jika dahulu tidur memeluk bantal, sekarang berganti memeluk sesosok bidadari.
Hampir sejam mataku terbuka, memperhatikan tiap inci pahatan wajahnya yang begitu indah. Maha Karya Allah yang luar biasa, baru kali ini aku melihat bidadari dari jarak yang begitu dekat. Untungnya dia tertidur sangat pulas, jadi aku bisa leluasa menatap raut wajahnya. Aku pula yang sudah diam-diam meletakkan bibirku pada bibirnya. Mungkin kalau dia sadar, pasti sudah melawan.
Hanya satu yang membuatku penasaran, matanya sedikit membengkak, apa dia baru saja menangis. Ah, mungkin memang model ingkar matanya begitu. Kecoba menepis pikiran buruk yang tiba-tiba mendera.

Sebuah pesan whatsapp masuk ke ponselku. Tanpa banyak bergerak, kugerakkan tangan kiri meraih benda pipih yang terletak di atas nakas.
Salsa.
Jika mengingat gadis itu, hatiku sakit. Andai saja dulu Papa mengijinkan, pasti kami sudah bersama. Dan dia takkan menderita seperti sekarang. Tapi, tak ada ketetapan Allah yang buruk bagi hambanya. Suratan takdir yang tertulis bagi kami di Lauhul Mahfuzd, hanya sebatas kakak beradik. Seberapapun kami menolak, takdir Allah tetap akan berjalan.
Dan hikmahnya kini, aku bersama gadis belia ini. Gadis bercadar yang begitu terpelihara. Insya Allah aku yakin bahwa Salsa akan bahagia jika kelak dia sudah menikah, sepertiku.
Kubaca pesan yang dikirimkan Salsa.
[Mas, nggak balik lagi ke rumah sakit, ya?]

Aku mendesah, kekhawatiranku pada Bila membuatku lupa untuk kembali ke ruangan dimana Salsa dirawat. Segera saja kuketik balasan.
[Besok Mas kesitu, ya. Ini Mas sudah pulang.]
Kunanti pesan balasan dari Salsa, lama. Mungkin dia marah atau bagaimana. Karena selama ini, hanya dirinya seorang gadis yang begitu kuperhatikan dan aku jaga perasaannya. Semoga dia paham, bahwa aku sudah menikah.
Lebih sepuluh menit, sebuah pesan masuk kembali.
[Curang kamu, Mas. Tega nggak memberi kabar kalau sudah pulang, aku khawatir daritadi?]
Aku menelan saliva, benar saja dia khawatir. Dulu kalau dia begini, aku nggak tenang sebelum menelpon dan meminta maaf. Tapi malam ini, haruskah itu kulakukan? Sementara dalam dekapanku, seorang istri halal tengah terbaring dengan pulasnya.
Ah, aku harus bisa menjaga sikap. Sekarang aku seorang suami, yang harus menjaga perasaan istrinya, meski dia sedang tertidur.

Kupandang lagi wajah Zanjabila. Terluput kembali rasa khawatir akan Salsa. Subhanallah, jika tau begini nyamannya punya istri. Sudah sedari dulu aku halalkan. Eh, tapi dia masih sekolah waktu itu, ya. Pasti aku ditolak.
Memanglah sesuatu yang didapat setelah berperang dengan nafsu, dan berdamai dengan sabar, ternyata rasanya begitu indah. Kudoakan, yang jomlo selalu Istiqamah, jauhi yang haram, halalkan jika sudah mampu. Insya Allah akan Allah mudahkan.
Dengan pasti kuketik balasan, [Maafkan Mas, Sa. Tadi Kakak iparmu ketiduran di Mushalla, jadi Mas putuskan untuk mengantarnya pulang. Tapi sampai di rumah, justru Mas yang ketiduran, hingga lupa memberi kabar. ]
[Yasudah, kalau gitu istirahat saja, Mas. Selamat menempuh malam pertama, Mas.]
Sesuatu seperti menusuk jantungku. Sekarang passti dia marah.

Pernah dulu, dulu sekali, harapan akan bersama dengannya suatu malam. Ah, semua hanya masa lalu. Kukira kami akan dapat saling melupakan jika sudah bersama dengan yang lain. Jika aku sudah bersama Bila, maka Salsa juga harus punya pegangan.
'Sepertinya, Azzam adalah lelaki yang pantas. Apalagi dia sedang patah hati karena ditolak saat mengkhitbah anak seorang Imam mesjid.'
Semoga Allah mudahkan niatku ini.
Setelah puas menatap wajah gadisku, barulah kugerakkan tubuh, menunaikan ibadah tahajud. Malam ini tahajudku masih sendiri, tapi kupastikan malam-malam setelah ini. Akan ada yang menjadi makmum di belakangku. Insya Allah, Salsabila. Eh, Zanjabila.
Nama yang langka, tapi unik. Semoga dia bisa menjadi pelipur dahagaku
di dunia dan akhirat. Sebagaimana arti dari Dari namanya, air jahe disurga.

***

Sayup-sayup kudengar suara gemericik air di kamar mandi. Tapi mataku masih terasa berat, hingga tangan ini tergerak untuk menarik selimut kembali menutup tubuh. Kemana kehangatan yang semalam begitu menenangkan?
Aku tersentak. Mataku membelalak menatap jam di dinding. Sudah pukul setengah lima. Kemana Zanjabila?
Perlahan aku bangkit, berjalan keluar kamar mencarinya. Ternyata, dia ada di dapur, tengah menatap kulkas yang terbuka.
'Pasti dia sedang memikirkan makanan untukku sarapan. Alhamdulillah ...."

Tak ingin aku mengganggunya, kuputuskan kembali ke kamar dan membersihkan diri. Aku harus terlihat istimewa dan menawan. Akan kubuat dia terlena dan jatuh cinta, hingga kami bisa segera meneguk taman surga pengantin kami, berdua.
Setelah selesai bersuci, kukenakan pakaian terbaik. Koko putih dengan sarung hitam, plus kopiah hitam. Kusemprotkan parfum mukhallat, campuran aroma rose dan Saffron yang begitu lembut. Semoga istriku jatuh cinta.
Aku tersenyum, menatap pantulan wajahku sendiri di cermin. Sekarang malah aku kelihatan mirip Habib Bahar. Wkwkwk..
Hari ini, aku akan mencatat sejarah baru dalam hidup. Aku ingin bersama kekasih halalku menghabiskan waktu sepanjang hari.

***

Pov Bila.
Kami saling berpandangan, saat Mas Wafi menyebutkan sanksi yang akan kudapati jika berbuat salah.
"Kalau Mas yang buat salah, sanksinya apa?" tanyaku sok berani.
Dia memutar-mutar bola matanya. Berpikir serius, padahal kupastikan jawaban yang akan Meluncur sesaat lagi lebih ngawur dari yang barusan.
"Kalau Mas yang yang salah, Mas rela di ... cium!"
"Mas Wafi ...."
Reflek kucubit lengannya. Dia meringis, sakit, sakit katanya. Mas Wafi kelihatan sangat lucu. Bahagianya hatiku...
"Masuk, yuk?" Dia kembali menggenggam jemari tanganku agar aksiku mencubit lengannya terhenti.
Sesuatu mengalir perlahan, melihat caranya bersikap, aku tiba-tiba merasa bodoh karena sudah menaruh cemburu padanya hingga berpikir yang tidak baik.
"Allah, hilangkanlah api cemburu di dada ini ...."
Mas Wafi menggerakkan tangannya membuka pintu. Lalu tampaklah dihadapanku sosok cantik bak bulan purnama. Hingga kakiku pun bergetar untuk melangkah mendekatinya.
Kulitnya seputih kapas, mukanya glowing meski tanpa make up, bulu matanya lentik dengan bola mata besar, hidungnya ngalah-ngalahin Kajol. Bibirnya ranum bak buah strawberry, pasteslah Mas Wafi jatuh cinta.

Apa kabar denganku yang tak secantik dirinya? Pasti Mas Wafi menyesal karena nggak jadi menikahi bidadari seperti mbak Salsa.
Hiks.. Hiks...
Aku menatap Mbak Salsa sejenak, lalu kuulurkan tangan. Dia menyambutnya.
"Bila 'kan?"
"Ya, Mbak?"
"Mari duduk di sini, Dik." Mbak Salsa menunjuk kursi yang ada di sisi tempat tidurnya. Aku menurut dan duduk.
"Eh, Mas tinggal dulu ya, sebentar," ucap Mas Wafi sambil melepas tanganku.
"Mas mau kemana?" Mbak Salsa menimpali.
"Cari minuman?" jawabnya sambil melirik ke arahku.
"Oh Yaudah, Mas. Tapi jangan lama-lama?" perintah Mbak Salsa.

Aku menatap mereka secara bergantian, melihat cara Mbak Salsa berbicara dengan suamiku, ah, cemburu itu datang lagi. Bagaimana ya Allah, aku membunuhnya?
Selepas kepergian Mas Wafi, Mbak Salsa yang tadinya berbaring berusaha duduk. Kubantu agar mudah usahanya.
"Makasih." Dia tersenyum, manis sekali. Mengingatkanku pada senyum suamiku.
"Mas Wafi nyebelin, nggak?" tanyanya setelah berhasil duduk.
"Banget," kata hatiku tapi tidak mulutku.
"Nggak, Mbak."
"Syukurlah. Mas Wafi adalah lelaki terbaik yang pernah Mbak kenal. Dia orangnya setia, penyayang dan pintar. Kamu pasti akan bahagia menjadi istrinya?"
Kecoba melebarkan bibirku menanggapi ucapannya. Padahal jujur, sakit di dada bertubi-tubi kurasa, entah karena cara pandangnya terhadap suamiku, atau karena aku dapat merasakan kekecewaan yang ia rasakan.

"Oh, kasihan sekali kamu, Mbak. Pasti sulit menerima kenyataan ini?"
"Kenapa kamu menerima lamaran Mas Wafi?"
Aku terhenyak menanggapi pertanyaan Mbak Salsa kali ini. Sesaat bibirku kelu, aku benar-benar kehabisan kata.
"Mbak nanya begini, nggak ada maksud apa-apa, Mbak hanya ingin tahu seperti apa istri pilihan Mas Wafi ...."
Haruskah aku jujur padanya? Ah, jika memang aku dituntut untuk jujur dengan perasaanku sendiri, tentu itu hanya akan kulakukan di depan suamiku. Untuk apa gembar-gembor ke orang lain. Riyakan?
Kecoba menggerakkan pita suara.
"Sebenarnya, sebelum Mas Wafi ada seorang lelaki yang mencoba mengkhitbah saya Mbak, tapi saat itu saya masih sekolah. Saya katakan belum mau menikah, mau lanjutin sekolah dan kuliah dulu. Nggak lama, Papa dan Mama datang ke rumah dengan niat yang sama. Saat itu saya pun ingin menolak, tapi melihat pancaran harapan di wajah Abah, saya nggak tega Mbak. Bila nggak mau Abah kecewa untuk kedua kalinya?" jawabku lirih.
"Kalau gitu kamu menikah bukan karena cinta?"
"Mbak?"
"Mbak hanya mau tahu Bila, tapi jika kamu nggak mau jujur juga nggak papa," ucapnya sambil menatapku intens.
Aku terdiam sejenak, jika kukatakan aku jatuh cinta pada Mas Wafi sejak pertama kali melihat fotonya, pasti kelihatan seperti gadis gampangan. Gampang jatuh cinta. Ah, Mbak Salsa nggak boleh tau perasaanku sebenarnya. Hanya jika Mas Wafi yang bertanya akan kujawab dengan jujur.
"Nggak Mbak."

Sesaat kami berdua terdiam, kucoba membaca perasaannya melalui raut wajah. Tak terbaca, aku lupa belum kuliah di jurusan psikologi.
"Sebenarnya Mbak pernah sangat mencintai Mas Wafi, Bila?"
Aku terhenyak, kaget. Mbak Salsa menyatakan perasaannya padaku.
"Belajarlah untuk mencintainya, karena jika dia tersakiti, maka orang pertama yang akan kecewa adalah Mbak."
Aku menangkap buliran mengambang di pelupuk matanya. Ya Allah sebegitu sakitkah hatinya?
"Apa sekarang Mbak masih mencintai Mas Wafi?" Kuberanikan diri bertanya.
Mbak Salsa kembali menatapku sambil berpikir cara untuk menjawab. " Mbak ...."
Bersambung.

***


#Istri_Pilihan
#Part 10a, by Wahyuni
#Rasa Yang Tak Tertahankan

POV BILA

***
Degup jantungku terdengar jelas ke telinga, ucapan Mbak Salsa yang terpenggal, membuat rasa penasaranku berada pada puncak tertinggi.
Bagaimana jika dia berkata masih mencintai Mas Wafi, haruskah aku berbagi cinta dengannya?
Seharusnya tadi aku tak perlu menanyakan hal itu. Sekarang aku tinggal menunggu, apakah pertanyaan tadi akan menjadi duri dalam daging atau sebaliknya.
"Sebelum Mbak jawab, Mbak mau nanya sekali lagi sama kamu," ucapnya memecah lamunanku.
Aku kembali bergidik. "Mbak mau nanya apa?"
"Benar kamu nggak mencintai Mas Wafi?"
Aku menunduk sejenak, berusaha berpikir cepat. Jika aku berbohong, takutnya malah membuka celah untuk Mbak Salsa merebut hati Mas Wafi. Oh, kenapa bisa sebusuk ini pikiranku.
Mungkin aku harus merubah pendirian kali ini. Apapun yang akan kudengar nanti dari mulutnya, yang kebenaran dariku harus dia tahu.
"Sebenarnya ... Bila sudah mulai mencintai Mas Wafi, Mbak. Sepertinya, rasa itu sudah ada sejak kami duduk di pelaminan. "

Kualihkan pandangan setelah mengakhiri pengakuan itu, sepertinya jawabanku berhasil merubah raut wajah Mbak Salsa, tapi hanya sebentar. Wanita itu berhasil mencetak pelangi kembali di wajahnya.
"Syukurlah kalau begitu. Dan kalau kamu mau tahu perasaan Mbak, Mbak akan jujur," Mbak Salsa memberi jeda akan ucapannya sambil menarik napas, aku semakin deg-degan, "buat Mbak, Mas Wafi adalah masa lalu. Kami sudah sama-sama nerima status kami yang hanya sekadar kakak beradik. Kamulah wanita beruntung itu, Bila?"
Hatiku bergetar mendengar jawabannya. Benarkah aku gadis beruntung itu?
"Pernah dulu waktu Mbak masih SMP, Mas Wafi nyantri di pesantren. Sesekali dia pulang, kami jalan-jalan ke Gramedia. Kamu tahu, banyak gadis-gadis seumuran Mbak godain Mas Wafi. Sampai ada yang ngedeketin Mbak cuma buat minta nomor handphonenya. Kebayang nggak gimana perasaan Mbak waktu itu?"
Aku menggeleng. Aku belum pernah cemburu pada selain yang halal.
"Waktu itu Mbak marah-marah aja ke Wafi, padahal dia 'kan nggak salah. Belakangan Mbak baru sadar, kalau saat itu Mbak sedang cemburu," jawab Mbak Salsa berbinar-binar.
'Ya Allah, jadi mereka sedekat itu sejak kecil, ah apalah aku yang hadir saat dia sudah berumur tiga puluh tahun?'

"Mas Wafi cuma diam sambil senyum-senyum, lihat Mbak marah-marah. Mas Wafi selalu tenang menanggapi sikap Mbak yang awut-awutan."
Kucoba menepis rasa cemburu yang mulai menghinggapi. Aku ingin mengetahui semuanya.
"Berarti Mbak dan Mas Wafi sudah saling cinta sejak SMA, ya?" tanyaku lirih. Aku tak bisa membayangkan bagaimana mereka menghabiskan masa kecil bersama, tentu banyak suka dan canda yang tercipta setiap saat. Bisakah aku menciptakan kebahagian yang serupa di hidup Mas Wafi kini.
"Waktu itu belum Dik, mungkin kami nggak menyadari kalau rasa itu bernama cinta. Dia menjaga Mbak seperti seorang kakak terhadap adiknya. Cuma Mbak saja yang menanggapinya dengan rasa yang berbeda, Mbak seperti hendak memilikinya. Tapi Mas Wafi tak mengelak. Dia menuruti apapun kemauan Mbak. Saat itulah Mbak pikir dia juga punya rasa yang sama seperti yang Mbak miliki."
Mbak Salsa kembali menarik napas. Sepertinya bukan aku saja yang tersiksa dengan masa alu mereka, lebih dari itu, Mbak Salsa pun sama tersiksanya. Bahkan mungkin lebih.

"Mbak?" Aku memanggilnya lirih. Rasanya ingin aku menghentikan curhatannya, tapi entah mengapa kupikir ini adalah caranya untuk belajar melupakan suamiku.
"Maaf ya, Mbak jadi terkesan mengungkit-ungkit masa lalu."
"Bukan salah Mbak kok, 'kan tadi Bila yang nanya?" Aku mencoba meyakinkannya agar semua unek-unek dihati ia lepaskan.
"Kita bicarakan hal yang lain aja, ya?" Mbak Salsa mencoba mengakhiri pembicaraannya kami.
"Jangan Mbak, nanggung? Bila masih penasaran?"
Mbak Salsa kembali melempar senyuman seraya menghela napas. Detik berikutnya, lintasan peristiwa masa lalunya kembali mengalir, "suatu ketika, saat Mas Wafi baru saja selesai wisuda. Dia membuat seluruh rumah gempar. Mbak masih ingat banget waktu itu, dia minta waktu untuk membicarakan masalah serius. Mama, Papa sama Mbak, tercengang-cengang, terutama saat Mas Wafi bilang mau menikah."
Aku menarik napas dalam. Ini pernah diceritakan Mama mertua padaku.
"Pa, Ijinkan Awafi untuk melamar seorang gadis," ucap Mas Wafi kala itu.

"Papa terhenyak, Mama dan Mbak yang kala itu tengah menonton televisi juga begitu kaget. Mbak bingung, siapa gadis yang hendak dinikahi Mas Wafi. Sedangkan selama ini yang Mbak tau Mas Wafi tak pernah dekat dengan gadis manapun. Saat itu Mbak berencana, habis dia mengutarakan keinginannya, Mbak akan membanjiri Mas Wafi dengan amarah. Tapi niat itu berserakan saat Mbak tau nama Mbak lah yang dia sebut akan dilamar."
Aku lemas mendengar kalimat terakhirnya. Ya Allah, kasihan sekali mereka.
"Semenjak saat itu, kami dijauhkan. Mbak dikirim untuk melanjutkan SMA di kampung nenek dari pihak ibu, sementara Mas Wafi melanjutkan pendidikannya di Cairo. Kami memang tak pernah lagi berkumpul, tapi kami masih menjalani komunikasi melalui surat."
Aku menyentuh jemari tangannya. Sekarang aku malah merasa begitu berdosa, seakan aku menjadi alasan untuk kesekian kalinya yang menghancurkan kebahagiaan Mbak Salsa.
"Saat tamat SMA, Mbak pernah gila. Meminta Mas Wafi untuk menikahi Mbak tapi tanpa sepengetahuan Papa ...."
"Lalu, apa yang terjadi Mbak?"

"Mas Wafi menolak, dia terlalu penurut. Mas Wafi bilang, jika dia sudah menyelesaikan pendidikannya, dia akan meminta ijin kembali pada Papa untuk melamar Mbak."
"Lalu Mbak?"
Mbak Salsa tiba-tiba menatapku tajam.
"Papa tetap menolak. Bahkan Mbak dikirim ke Kuala Lumpur," ucapnya begitu lirih. Sepertinya kejadian ini begitu menyakitkan untuk Mbak Salsa. Apalagi sekarang, Mas Wafi sudah menikahiku.
'Ya Allah, jika aku tahu seperti ini kejadiannya, tentu aku takkan menerima lamaran Mas Wafi. Lantas, jika dihati Mbak Salsa masih dipenuhi nama Mas Wafi, tentu hal yang sama pun tengah dirasakan suamiku. Mas, menyesalkah kamu sudah menikah denganku?'
Kemana aku bawa perasaan ini, sangat tidak enak terasa ...
"Semua itu masa lalu Bila, kamulah masa depannya. Mbak sama sekali nggak marah kok, Karena menolak pernikahan kalian, artinya Mbak melawan takdir. Mbak nggak sekurang ajar itu pada Tuhan."
"Maafkan Bila, Mbak?"

"Lho kok maaf, kamu nggak salah. Semua udah ketetapan yang nggak bisa dielak, Bila. Tapi, Mbak punya satu permintaan sama kamu?"
Aku terbelalak, permintaan apa, kenapa begitu takut mendengarnya.
"Mbak harap kamu jangan menaruh cemburu pada Mbak, ya? Jangan anggap Mbak sebagai adik ipar, tapi kakak iparmu. Kamu boleh mengadu apapun pada Mbak, tentang Wafi, Mama, Papa, bahkan tentang Bik Nah sekalipun. Mbak siap mendengarkan dan mengusahakan yang terbaik untuk kamu."
Aku tergugu dalam diam. Pikiranku hanya dipenuhi rasa cemburu pada wanita ini, sementara dia sangat ingin aku mendapatkan yang terbaik. Kutarik napas perlahan, tak terasa sebulir kristal mengalir dari sudut mataku, membasahi cadar hitam yang kugunakan.

Mbak Salsa mengelus punggung tanganku. Aku mencoba untuk tersenyum. Sekilas dimata wanita itu, tampak kilau mengambang yang membendung. Hampir saja luruh, tapi ia beberapa kali mengerjap. Mungkin tak ingin terlihat lemah di hadapanku.
"Boleh Mbak lihat wajah kamu?" tanyanya hati-hati.
Aku mengangguk, detik kemudian kubuka tali cadar yang menutupi wajahku. Mbak Salsa tersenyum berbinar-binar.
"Cantik sekali bidadari pilihan Mas Wafi. Mbak yakin Mas Wafi pasti betah di sisimu ...."

***

Di luar matahari semakin terik, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Aku dan Mbak Salsa mengobrol cukup lama, sementara Mas Wafi belum juga kembali dari membeli minuman. Kukira dia menyekalian dengan shalat Zuhur. Hanya aku yang sedikit tak tenang karena belum memenuhi panggilan Sang Pemilik Kehidupan. Namun, tak mungkin jika aku meninggalkan Mbak Salsa seorang diri, setidaknya sampai Mas Wafi kembali.
Tepat pukul 13.30 WIB, Mas Wafi kembali ke ruangan, di tangannya ada dua kantong jus dan dua bungkus nasi. Lega rasanya, tapi kok ada yang mengganjal. Kenapa jus di tangannya cuma dua, kamikan bertiga.

Suamiku melangkah mendekati Mbak Salsa, bukan aku. Tak masalah, tapi sekurang-kurangnya, dia melempar senyum. Lha ini nggak!
"Ini jus untukmu, kamu suka mangga 'kan?" ucap Mas Wafi sambil menatap lawan bicaranya.
Cekatan Mas Wafi mengeluarkan jus itu dari plastik lalu memberikannya kepada Mbak Salsa. Aku hanya bergeming. Tak ingin cemburu, seperti yang dipesankan Mbak Salsa tadi.
Detik berikutnya, Mas Wafi mengeluarkan satu jus lagi dari plastik. Lalu dia menyeruput jus yang kuperkirakan untukku. Karena itu jus favoritku, wortel.
"Lho Mas, mana jus untuk Bila?"
Untung pertanyaanku sudah diwakili oleh Mbak Salsa, jadi nggak kelihatan mengharap banget. Toh aku juga sudah minum tadi.

"Bila 'kan tadi udah minum di kantin, jadi Mas nggak beli lagi?"
Ya Salam. Beneran Mas Wafi cuma mau membiarkanku melihat-lihat mereka minum? Siap-siap aja kamu, Mas?
"Kamu nggak haus lagi 'kan Bila?"
Aku membelalak, dari tadi, inilah tatapan pertamanya. Tapi pertanyaan Mas Wafi? Aku jengkel mendengarnya.
Kulirik Mbak Salsa sambil mengumpulkan segenap keikhlasan untuk menjawab.
"Benar Mbak, Bila nggak haus lagi."
"Tukan benar feeling, Mas. Untung cuma beli dua, jadi nggak mubazir."
Aku kembali menarik napas perlahan, sambil memejamkan mata. Dalam hati terus kudengungkan, 'jangan marah, jangan marah."
Mungkin karena aku belum shalat, jadi emosiku tak terkendali.
"Mas,"
"Mas,"
Aku dan Mbak Salsa memanggil Mas Wafi berbarengan. Suamiku menaikkan alisnya, sedikit bingung mungkin.
"Mbak dulu."

Aku menyilahkan Mbak Salsa untuk menyampaikan ucapannya terlebih dahulu.
"Ke taman yuk, Salsa bosan dari tadi di kamar terus?"
Sejenak hening, hanya suara angin dari mesin pendingin ruangan yang terdengar tiupannya.
'Em, boleh juga. Eh tapi tadi Bila juga mau ngomong 'kan?"
Mas Wafi balik bertanya padaku.
"Emm ...."
'Haruskah aku meninggalkan mereka berdua yang mau ke taman itu? Tapi gimana, aku belum shalat. Maafkan hamba ya Allah, hamba shalat lima belas menit lagi. Rasanya hamba nggak rela mereka berduaan di taman?'
"Nggak jadi, Mas. Yaudah, yuk ke taman," ajakku pada mereka.
Dengan sigap kulihat Mas Wafi mengambil kursi roda yang terletak di sudut ruangan. Kemudian dia mendekatkan alat itu ke samping tempat tidur Mbak Salsa.
"Yuk, Mas bantu, Sa."
Mbak Salsa senyum semringah sambil mengambangkan tangannya, Mas Wafi menyambut. Tangan kanan Mas Wafi menggenggam jemari lentik Mbak Salsa, sementara tangan kirinya menopang pada lengan. Aku membuang pandangan ke luar jendela. Menikmati rasa sakit yang perlahan menghujam dadaku.
"Aku di sini, Mas. Kenapa tak kamu minta bantuanku saja untuk memegang Mbak Salsa? Apa kamu takut aku akan mencelakakannya?"
Kugosok-gosok perlahan bola mataku yang tiba-tiba terasa panas.
"Maaf Mbak, aku tak sanggup memenuhi janjiku. Aku mencemburuimu Mbak?"

***

POV WAFI
Hari ini aku akui, menikah bukan saja menjadi penyempurna agama, tapi pelengkap kebahagiaan. Bagaimana tidak, jika semalam aku tidur ada yang menemani. Pagi ini, aku ke rumah sakit juga ada yang menemani.
Iseng, aku sengaja nggak mengajaknya naik mobil, sesekali naik motor, biar kelihatan romantis. Bisa sambil peluk-pelukan gitu. Biar yang jomlo pada iri.. Hihihi...
Dia menaruh tangannya di pahaku. Ah, kurang romantis. Kuraih jemari tangannya yang lembut itu, lalu kulilitkan ke perutku. Jantungku sontak dag dig dug, entah dia bisa merasakannya atau tidak. Baru begini saja sudah seperti melayang ke surga. Yang lain, Wallahualam.
Awalnya Bila tergelak, sepertinya dia sama bergetarnya denganku. Tapi biarlah, bukankah kami sudah halal.

Sampai di rumah sakit, aku sangat terkejut saat tiba-tiba dia menghilang.
"Kemana dia pergi?"
Inginku mencari tapi tiba-tiba beberapa perawat juga seorang dokter masuk untuk memvisit. Betapa terkejutnya aku saat tahu, Azzam, sahabatku yang hendak kukenalkan pada Salsa bekerja di rumah sakit ini. Sepertinya Allah ingin mempermudah usahaku.
Kami berbicara banyak, sampai kemudian dia permisi karena ada jadwal observasi di ruangan lain.
Tiba-tiba, saat kubuka pintu mempersilahkan Azzam pergi, Bila muncul di hadapan kami.
Lebih terkejutnya lagi, ketika kutahu tadi mereka sempat bertemu. Bahkan, Azzam bilang tadi dia hendak menggoda istriku. Wah, sepertinya aku harus lebih hati-hati.
Saat kami sudah berada di ruangan, aku meminta ijin pada dua gadis itu untuk membeli minuman. Soalnya tadi Salsa bilang dia haus, tapi sempat terjatuh di koridor. Mungkin dia belum sempat membeli minuman.

Sedikit enggan kutinggalkan mereka berdua yang belum sama sekali saling mengenal. Maka dari itu, aku tak langsung beranjak. Berdiri beberapa lama di balik pintu. Takut sesuatu yang tak wajar terjadi di dalam. Semisal, jambak-jambakan atau apalah. Astaghfirullah....
Kupasang telinga mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
"Kenapa kamu menerima lamaran Mas Wafi?"
Itu Salsa yang bertanya.
"Mbak nanya begini, nggak ada maksud apa-apa, Mbak hanya ingin tahu seperti apa istri pilihan Mas Wafi ...."
Ah, Salsa ... Aku menekan pelipis, sulit sekali kujelaskan keadaan ini.

"Sebenarnya, sebelum Mas Wafi ada seorang lelaki yang mencoba mengkhitbah saya Mbak, tapi saat itu saya masih sekolah. Saya katakan belum mau menikah, mau lanjutin sekolah Dan kuliah dulu. Nggak lama, Papa dan Mama datang ke rumah dengan niat yang sama. Saat itu aku pun ingin menolak, tapi melihat pacaran harapan yang ditimbulkan Abah, hatiku luluh. Aku tak sanggup melihat Abah kecewa untuk kedua kalinya?"
'Jadi, sebelum aku, Bila sudah pernah dilamar lelaki lain? Kenyataan apalagi ini?'
"Kalau gitu kamu menikah bukan karena cinta?"
"Mbak?"
Aduh, kenapa suaranya kabur. Kubuka sedikit celah pintu.
"Mbak hanya mau tahu, jika kamu nggak mau jujur juga nggak papa."
Aku menarik napas menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut istriku. Dan jawabannya ...
"Nggak Mbak."
'Ya Allah, jadi dia tidak mencintaiku?'

***


#Istri_Pilihan
#part 10b
#Akui Saja

POV BILA
"Wanita cantik akan membuka mata lelaki, tapi wanita baik akan membuka hati lelaki."
Radha Zanjabila.
***

Mas Wafi mendorong kursi roda yang diduduki Mbak Salsa. Tak ingin ketinggalan, aku mengekor di belakangnya. Tapi tentu, dengan hati yang tercabik-cabik, juga langkah yang tertatih-tatih.
Menyadariku yang tak menyeimbangi langkahnya, Mas Wafi memberhentikan mendorong kursi roda itu.
"Kok lemas gitu jalannya?" ucap Mas Wafi sambil berbalik menatapku.
Aku yang tadinya berjalan sambil menunduk seketika menengadah. Kudiamkan diri sejenak, berharap ia mengerti perasaanku. Mas Wafi balas menatapku lama, entah apa yang ia pikirkan.
'Mas, andai bisa kuungkapkan, aku ini sedang dibakar api cemburu?'
"Jalannya kok loyo gitu? Kamu udah lapar?" Mas Wafi kembali melempar pertanyaan.
Kuranggapi dengan helaan napas, nggak peka banget ini suami. Dari pagi sampai sekarang aku 'kan udah dua kali makan, mana mungkin lapar lagi secepat ini.

Rasanya ingin kuluapkan semuanya, tapi kenapa semua itu tertahan di tenggorokan. Apakah benar karena aku ingin menjaga perasaan Mbak Salsa? Lantas perasaanku sendiri bagaimana?
'Semua ini, kamu yang salah, Mas. Tak cium kamu nanti, ah nggak mau, tak bejek-bejek terus tak masukin karung kamu, Mas.'
Huwaaaa....
"Benar kamu lapar lagi, ya?" Mas Wafi mengulang kembali pertanyaanya.
Kujawab dengan gelengan. Suaraku terlalu mahal untuk menanggapi pertanyaan basi begitu.
"Yaudah, ayok sini di samping Mas."
Aha, mataku berbinar mendengar ajakannya. Kepercepat langkah hingga bisa bersisian dengannya. Tapi bukan bahagia yang kudapat justru rasa sakit yang nggak ketulungan.
Diantara desingan angin yang merambat pelan, suara Mbak Salsa memecah keheningan.
"Mas, ingat nggak dulu, kamu pernah duduk di kursi roda begini. Saat itu aku yang dorongin kamu ...."
Kupingku panas lagi.

"Iya, Mas ingat. Kamu nggak sanggup dorong kursi rodanya 'kan?" Mas Wafi menimpali.
"Mas keberatan dosa, ya?" goda mbak Salsa tanpa menoleh. Kursi roda yang dia duduki terus bergerak maju.
Aku terbengong melihat mereka mengenang masa kecil. Kapan kamu sakit lagi Mas, aku kuat Mas buat dorongin kamu.. Hiks.. Hiks..
"Salah, Mas keberatan pahala, hanya orang-orang beriman yang mampu mendorong Mas. Kamu 'kan banyak dosanya, makanya nggak kuat dorong orang shaleh seperti Mas. Hihihi ...."
'Keganjenan kamu, Mas.'
Sengaja, kuinjak kaki Mas Wafi dengan kuat!
"Awww ...."
Dia menjerit kesakitan.

"Sakit ya, Mas? Maaf ya, Bila nggak sengaja."
Hihihi ... Rasain kamu, Mas.
Mas Wafi mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. Mudah-mudahan kamu sadar, Mas. Dan segera insaf. Sebelum jadi suami durhaka!
"Mas nggak papa?" tanya Mbak Salsa, kali ini aku mulai menyikapinya sok perhatian. Gusti, maafkanlah hamba yang hina ini.
"Nggak papa, kaki Bila 'kan kecil. Tadi itu kerasa kayak digelitikin aja, gitu. Hihihi ...."
Mas Wafi tertawa lebar. Rasanya pengen tak bungkam mulutmu itu, Mas. Kesel ...
"Yaudah, kita kesitu aja yuk, ada kolam ikan," ucap Mbak Salsa menghentikan kekehan Mas Wafi.
Suamiku membelokkan kursi rodanya, lalu memilih berhenti di dekat kolam ikan. Tentunya, dengan aku diantara mereka yang terus mengekori.
"Mas bawa ponsel nggak?" tanya Mbak Salsa.
"Ada, untuk apa?" Mas Wafi menimpali.
"Fotoin aku sama Bila ya, Mas?"

Mataku yang bulat terbelalak. Ternyata Mbak Salsa doyan selfi, aku mah kagak.
"Ayo, sekali aja, kenang-kenangan?" ajak Mbak Salsa.
Aku bergidik menatap Mas Wafi. Lelaki itu tersenyum dan mengambangkan tangannya. Kurendahkan hati, menuruti kemauan Mbak Salsa, perlahan melangkahkan kaki mendekatinya. Dia menggandeng tanganku.
"Siap, satu, dua, tiga!"
Cekrek!
Jadilah satu foto.
Cekrek! Cekrek! Dua, tiga empat, tapi ternyata Mbak Salsa belum puas juga.
"Mas, foto bertiga, yuk?"
Kualihkan pandangan menatap Mas Wafi, suamiku juga menatap ke arahku. Mungkin dia segan atau bagaimana. Ah, sulit sekali kuartikan tatapannya.
"Mas, nggak usah, lah?" tolaknya halus.

"Sekali aja, Mas. Biar ada kenang-kenangan. 'Kan kemarin Salsa nggak datang di acara pernikahan kalian. Ayok Mas, sekali aja?" Mbak Salsa kembali merengek.
Kutarik napas sedalam-dalamnya. Lalu netraku beralih menatap Mas Wafi yang kemudian berjalan mendekati kami. Dia memegang kamera ponsel, lalu bergerak ke sampingku.
Alhamdulillah, kukira dia bakalan nyuekin aku dan berdiri di sisi Mbak Salsa. Ternyata Mas Wafiku belum amnesia.
"Mas ditengah donk, biar keren fotonya?" ucap Mbak Salsa. Mas Wafi tak berkata apa-apa, tapi dia bergeser, menuruti permintaan Mbak Salsa untuk berdiri di tengah.
'Tega kamu, Mas! Apa kamu nggak tahu, di sampingmu ada yang lagi cemburu!'
Aku mengusap kelopak mata yang tiba-tiba mengabur. Coba katakan, hari ini aku berapankali udah nangis? Huwa...
"Siap, ya? Satu, dua, tiga!"
Disaat Mas Wafi menyebutkan kata terakhirnya, aku merasa ada yang berbeda. Sesuatu melingkari pinggangku. Hangat, meluruhkan segenap rasa cemburu yang sedari tadi berkobar. Jemari itu kini semakin erat merangkul hingga aku menempel ke tubuh Mas Wafi.
Ah, rasa ini, kenapa begini tiap kali bersentuhan dengannya?
Aku menoleh sejenak, lelaki itu tak berpaling. Tatapannya lurus ke kamera.
Blast!
Sebuah sinar menerpa wajah kami. Bagaimana hasilnya, pasti fantastis. Aku 'kan nggak sedang melihat kamera, tapi ...
"Lihat, Mas. Lihat, Mas!" teriak Mbak Salsa. Mas Wafi menunjukkan kameranya dengan wajah berbinar, seberbinarnya wajah adik tiri suamiku.
Aku menjauh, mereka kelihatan sangat asyik. Nggak mungkin juga 'kan mereka macam-macam, suamiku tahu agama, itu juga di tempat umum. Aku harus pergi, sudah cukup lama aku menangguh waktuku bertamu pada Allah hanya karena cemburu.
"Ampuni hamba ya, Allah?"

***

POV Wafi
Aku pergi saat tahu apa isi hati Zanjabila. Tak ingin mendengar lebih lama, aku belum siap patah hati. Sesaat emosiku bergejolak, tapi sekuat tenaga kutahan.
"Akan kubuat dia mencintaiku, hanya aku seorang. Tapi bagaimana caranya?"
Sepertinya dia harus cemburu. Bukankah cemburu itu tanda cinta? Jika dia mencemburuiku, berarti dia mulai cinta.
Kupejamkan mata, memikirkan siapa sasaran yang bisa kujadikan penyebab Bila cemburu. Haruskah Salsa?
'Ah, tak masalah. Hanya untuk hari ini,' batinku meracau.
Aku mulai menyusun rencana. Otakku berputar cepat, kubeli dua jus, mangga jus kesukaan Salsa dan wortel, jus kesukaanku. Lalu membeli dua bungkus nasi.
Seberapapun aku ingin pembuktian, tetap aku tidak boleh melupakan jatah makan siangnya. Jika sebelum menikah, seorang ayah bertanggung jawab terhadap anak gadisnya. Maka setelah menikah, suami bertanggung jawab penuh akan anak gadis orang yang ia peristri.
Aku, Awafi, tidak boleh melalaikan hal itu!

Selesai berbelanja, kusempatkan diri ke Mushalla untuk menunaikan shalat Zuhur. Setelahnya, aku segera kembali ke ruangan. Pasti Bila menunggu lama.
Hahaha, hatiku tertawa mengingat hal konyol yang sesaat lagi akan kulakukan. Seumur hidup, baru kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Jika dulu aku pernah tertarik pada Salsa, itu lebih ke rasa ambisi. Itulah kenapa Islam melarang jatuh cinta kepada selain pasangan halal. Tidak ada yang menjadi landasan kecuali nafsu semata.
Perasaanku pada Salsa berbeda, aku ingin memilikinya, dan berhak memilikinya. Karena dia istriku. Setiap dekat dengannya, rasa rinduku semakin bertambah. Rasa rindu yang menyenangkan, karena mencintai dan merindui pasangan adalah pahala.

Kulangkahkan kaki dengan pasti. Memasuki ruanganaku sangat bersyukur, suasana sangat mendukung. Bila dan salsa mulai tampak berbaur. Sengaja kulewati saja istriku tanpa menyapa, apalagi senyum. Hufht, sebenarnya nggak tega, tapi ...
"Ini jus untukmu, kamu suka mangga 'kan?" Kuberikan jus mangga kepada Salsa sambil mencuri pandang menatap Bila.
Tak ada reaksi, sepertinya dia nggak cemburu. Berarti harus kujalankan rencana kedua. Kukeluarkan satu jus yang bersisa, lalu kuseruput dengan nikmat. Bila menoleh. Wah, sepertinya kali ini berhasil.
"Lho Mas, mana jus untuk Bila?"

Salsa ... Salsa ... harusnya tadi aku wapri dia dulu ya, mau buat kakak iparnya cemburu. Waduh...
Setengah bingung, kujawab asal pertanyaan adik tiriku itu. "Bila 'kan tadi udah minum di kantin, jadi Mas nggak beli lagi?"
Kupandangi wajah Bila untuk kesekian kalinya. Cadar itu berhasil menutupi segala kata hatinya.
"Kamu nggak haus lagi 'kan Bila?"
Ah, pasti kali ini ada sesuatu yang akan dia perlihatkan, semisal ngambe, atau apalah. Ternyata aku salah, dia justru menjawab kalau dirinya benar tidak haus.
Ya Allah, istriku ini benar-benar cuek. Aku menghela napas. Tiba-tiba...
"Mas,"
"Mas,"
Mereka menyebut namaku berbarengan. Wuih, ini langka dalam hidupku.

"Mbak dulu."
Bila menyilahkan Salsa untuk menyampaikan ucapannya terlebih dahulu.
"Ke taman yuk, Salsa bosan dari tadi di kamar terus?"
Mataku langsung menoleh ke arah Salsa. Awalnya merasa enggan, tapi kukira ini cara paling mustajab untuk membuktikan kecemburuan istriku.
Kuiyakan kemauan Salsa. Tapi seingatku tadi, Bila juga ingin menyampaikan sesuatu, apa? Kutanya padanya, tapi dia malah mengatakan nggak jadi dan setuju dengan ide Salsa.
Bila ... Bila ... Aku semakin penasaran padamu.
Dengan sigap aku meraih kursi roda, lalu membantu Salsa bangkit. Aku berniat membantu Salsa dengan menahan pada lengannya yang beralaskan lengan baju, tapi Salsa justru mengambangkan tangannya.

Reflek kugenggam tangannya. Astaghfirullah, aku tersentak. Yang kulakukan ini salah, segera saja kulepas dan meletakkan kedua tanganku pada lengannya.
Inilah kenapa yang bukan mahram dilarang berdekatan. Aku sudah berbuat salah, di depan istriku pula. Hukum aku jika dia tak mau memaafkanku, Allah.
Kurasa, membuat Bila cemburu adalah cara yang salah. Aku tidak akan melakukannya lagi, sampai kapanpun.
Tentu Bila benar, kami 'kan dijodohkan, mana mungkin dia langsung merasakan jatuh cinta hanya dengan melihat selembar foto. Mencintai itu butuh proses bukan?
'Maafkan Mas Bila. Setelah ini, Mas akan minta maaf ....'

Bersumbang.